Anda di halaman 1dari 48

Candy POV

"Masih 4 episode lagi". kataku bersemangat

ketika mulai memutar drama romantis

korea di laptopku, berhubung besok hari

minggu, kuhabiskan stok drama korea yang

diberikan Tia sahabat dekatku. Aku meraih

sebaskom popcorn yang sudah kusiapkan.

Waktu berputar begitu cepat sampai

akhirnya episode terakhir berhasil

kuhabiskan. Mataku sudah pedih sekali,

aku mengucek mataku kemudian meraih

jam beker di meja nakas, waktu

menunjukan pukul 05.30, kuletakkan

kembali jam itu menyingkirkan laptop dan

menarik selimut. Suara rintik hujan pagi ini

mulai turun membuatku nyaman

bersembunyi dibalik selimut.

Aku terbangun dari tidurku, rasanya lapar

sekali. Kuputuskan untuk pergi kedapur

mencari makanan, ketika membuka pintu

kuamati suasana rumah sepi sekali. Mama

pasti lagi arisan pikirku. Akupun menuruni

tangga dengan malas. Aku menghampiri

kulkas, aku mengamati isi kulkas, ada

beberapa sayur segar, telur, ikan, daging,


dan buah. Aku meraih apel lalu

memakannya. Mataku mengamati meja

makan, tak ada apa-apa, mama pasti

sengaja tak menyisakan makanan untukku,

hukuman karena putrinya bangun disiang

hari. Terpaksa harus keluar mencari makan,

dirumah memang tidak disediakan

makanan instan sepeti mie atau roti, mama

paling anti makanan instan, bahkan aku

yang anak SMA kelas 3 masih sering

disuruh membawa bekal buattan mama. Itu

sebabnya mas Rion segera pindah ke

apartemen demi tinggal sendirian, kurasa

dia menghindari mama, aku tersenyum

geli. Akupun naik keatas mencuci mukaku,

mengganti pakaian dengan kaos hitam

agak kedodoran, celana jins dan memakai

jaket. Tanpa berkaca aku segera meraih

dompetku dan turun. Ketika sampai

ditangga bawah aku mendengar suara

televisi diruang keluarga menyala. Itu

artinya ada orang dirumah, numben emang

Yoga nggak main ya? pikirku, Akupun

segera menuju keruang keluarga dan

kudapati seorang laki-laki dengan wajah


masih imut-imut khas wajah anak ABG

sedang menatap layar televisi dengan

serius kulihat didepannya terdapat 1 kotak

pizza yang sepertinya baru dipesan. Aku

menelan ludahku ketika ia mengambil 1

slice pizza dan memakannya,anak itu pasti

tak menyadari keberadaanku. Kurasakan

perutku meronta dan dengan percaya diri

aku menghampirinya "Temennya Yoga ya

dek"? Anak itu menatapku dengan tatapan

serius, kulihat matanya menyipit

mengamatiku dari atas hingga bawah, jujur

aku risih dengan tatapannya. Dengan cuek

akupun berjalan mendekat dan duduk di

sampingnya lalu meraih 1 slice pizza.

"Minta ya". aku tersenyum padanya dan

segera memasukkan pizza sebanyak-

banyaknya dalam mulutku sampai penuh.

"Yoha gimaha ghok gamu sengiri". kataku

masih sambil mengunyah dan mulai

mengambil 1 slice pizza lagi.

"Ampun jorok banget sih kamu Sri!

kebiasaan deh". Suara mas Rion

mengagetkanku dari belakang.

Aku melongo saat mas Rion duduk


disebelahku.

"Jorok ah, buruan tutup mulut kamu, cewek

nggak ada manis-manisnya". Gerutu mas

Rion sambil merebut pizza ditanganku.

Aku menelan sisa pizzaku "Mas kok ada

disini"?

Belum sempat memasukkannya ke dalam

mulut mas Rion berkata "Gue main, nggak

boleh? dasar adek durhaka".

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal

lalu duduk bersandar kesofa dengan

perasaan jengkel.

"Nambah lagi Bim".

Aku menoleh pada kakaku yang terlihat

sedang menawarkan pizza pada anak itu.

"Mas kenal"? tanyaku

"Siapa?"

"Sama temennya Yoga". jawabku.

"Mana"? kini mas Rion menatapku heran.

Dengan ragu aku menunjuk anak yang

duduk disebelah kiriku "Dia". Tiba-tiba

suasana ruangan menjadi hening, hanya

suara televisi yang mengisi.

"Hahahahahaha". tiba-tiba tawa mas Rion

meledak hingga kunyahan pizza berhasil


lolos keluar dari mulutnya.

"Jorok ih". Kataku sambil menyingkir

menjauhi mas Rion.

Kulihat anak disebelah kak Rion tak

bereaksi, matanya masih fokus menatap

layar televisi.

"Sok tau lo Sri hahaha". tawa mas Rion

mulai mereda "Dia temen gue".

Aku membelalakkan mataku tak percaya,

aku menatap mas Rion lalu beralih keteman-

nya mas Rion begitu berulang-ulang kali.

Beda sekali 180 derajat.

"Nggak usah heran gitu kali".

"Hmmm". aku kemudian manggut-manggut.

"Kenapa"?

"Enggak mas, beda aja gitu".

"Beda gimana"?

"Kalok aku liat temennya mas Rion kayak

masih seumuran Yoga".

Lagi-lagi kakakku tertawa.

"Tapi...".

"Tapi apa"?

"Kalok liat mas kayak om om".

"Uhuuuk". Teman mas Rion tersedak saat

minum lalu kulihat seperti ada guratan


senyum yang ditahan diwajahnya.

"Kamuuuuu". Mas Rion bersiap

menyerangku dan sebelum itu terjadi aku

sudah lari keluar rumah sambil tertawa

puas.

***

Aku menatap lembar nilai Ujian matematika

dan fisika ku dengan cemas.

"Dapet nilai berapa Can"?

"Gimana dong"? tanyaku cemas sambil

menatap Tia.

"Berapa sih"?

Tia merebut lembaran itu dari tanganku

kemudian melihatnya "Mampus lo Can". ia

masih mengamati lembaran itu lalu berkata

"Gue berani taruhan kalok nyokap lo bisa

langsung nyita laptop lo trus masukin elo

ke kamp bimbingan belajar".

"Gawat nih". Keluhku sambil terduduk

lemas menatap Tia menyetujui

pendapatnya.

"Sabar ya". Tia menepuk-nepuk bahuku.

***

Sesuai dugaan, mama menyita laptop dan

handphoneku. Tak hanya itu mama juga


memaksa mas Rion untuk kembali kerumah

untuk mengajariku.

"Gara-gara elo nih". keluh mas Rion sambil

menatapku galak saat kami memulai

pelajaran hari pertama.

Akupun menunduk "Abis mau gimana lagi".

jawabku dengan suara lirih.

"Ngomong apa lo"?

"Enggak". Jawabku sambil menggelengkan

kepala dengan berlebihan.

"Buruan kerjain soal ini, nanti gue koreksi".

perintahnya lalu beranjak dari duduknya

dan kemudian tiduran dengan nyaman

diranjangku.

Aku menggumam kesal menatapnya lalu

mulai mengerjakan soal yang ia tunjuk.

"Apa ini"? Mas Rion menggeleng tak

percaya menatap hasil kerjaku.

"Lo bego banget sih Sri, kayak gini aja

nggak bisa, masak lo kalah sama Yoga yang

beda 3 tahun ma lo".

Aku terdiam saat mas Rion mulai

membanding-bandingkanku dengan adik

bungsuku, kuakui kecerdasanku tak

sebanding dengan dua saudaraku itu. Aku


tak ada minat sama sekali dengan mata

pelajaran seperti matematika ataupun

sains. Pelajaran malam ini dimulai dan

diakhiri dengan omelan mas Rion.

Begitupun dengan beberapa hari kedepan

pun masih begitu.

"Pagi ma". sapaku saat mama sedang sibuk

menata meja makan.

"Pagi sayang".

Aku duduk dikursi dengan malas.

"Kenapa? capek"? tanya mama sambil

memperhatikanku.

"Nggak kok". kataku sambil menegakkan

dudukku.

"Seharusnya kamu lebih rajin can, jadi

nggak akan susah seperti sekarang ini,

mama nggak menuntut kamu buat dapet

nilai sesempurna kakakmu atau adikmu,

tapi setidaknya kamu bisa menangani hal

semudah itu". kata mama sambil

menuangkan air putih digelasku. "Mama

nggak ngelarang kamu buat jadi apapun

nantinya, tapi tolong selesaikan tanggung

jawabmu dengan baik, dengan begitu

kamu bisa menjalani masa depanmu


dengan tenang". mama tersenyum, lalu

mengecup pipiku.

Akupun tersenyum, kurasa ayah beruntung

memiliki mama pikirku.

"Pagi ma, mbak".

"Pagi sayang".

"Pagi dek".

Yoga duduk disampingku, seperti biasa ia

asyik membaca buku pelajarannya seperti

membaca novel.

"Yuk makan".

"Tapi mas Rion belum turun". Kataku.

"Oh iya mama belum ngasih tau kamu ya

can? Mas Rion ada tugas kerja keluar

negeri selama sebulan".

"Kemana"? tanyaku

"Ke Thailand". jawab mama sambil mengisi

piring dengan nasi.

Aku tersenyum, ada perasaan bahagia yang

meledak-ledak dihati, seperti baru saja

menang undian besar, akhirnya bisa libur

seminggu dari kakak kejam itu.

"Kalok kamu berharap ada libur belajar itu

salah". kata mama yang sepertinya sedari

tadi mengamati ekspresiku.


"Eh"?!

"Mama bilang nggak ada libur, jadi tetep

belajar".

Akupun menunduk lemas, dan mulai

menyuapkan makanan kemulutku.

***

Setelah selesai mandi aku mengganti

bajuku, kudengar guru lesku datang

setelah makan malam, jadi sekitar pukul

19.00. Aku menghempaskan tubuhku di

empuknya kasur lalu meringkuk nyaman.

Setelah selesai makan malam aku kembali

kekamarku.

Tok...tok...tok

"Masuk". teriakku.

Kulihat mama membuka pintu,

dibelakangnya kulihat temannya mas Rion

yang waktu itu. Ngapain dia disini? jangan

bilang? oh tuhan...

"Kenalin Bima ini Srikandi adiknya Rion

yang minta diajarin matematika sama

fisika". kata mama sambil tersenyum ramah

"Nah candy, ini Bima temennya mas mu,

yang bakal gantiin kakak kamu selama 1

bulan". Kami pun bersalaman, kulihat


ekspresi wajahnya masih seperti yang

kemarin hanya saja lebih santai, iapun bisa

tersenyum pada mama.

"Duuuh kalok kayak gini nggak ada

bedanya sama kakak". batinku dalam hati.

Mama keluar meninggalkan kami.

"Kata Rion lo nggak bisa apa-apa". Aku

kaget ketika ia mulai berbicara, tatapannya

seperti merendahkanku, apa-apaan itu?

jahat sekali. "Biasanya gue paling males

ngajarin orang yang tumpul dan bego

kayak lo, tapi yaaa mau gimana lagi"?

katanya sambil menyunggingkan senyum

meremehkan. Hatiku seketika terbakar,

ingin rasanya aku menendang perutnya

dan mengikatnya di tiang neraka, mata

kami saling menatap tajam.

"Lihat saja nanti". ancamku.

"Apa"? tanyanya kemudian mengabaikanku

seperti orang yang tak berguna dimatanya.

"Gue bakal mendapatkan nilai sempurna di

ujian matematika dan fisika selanjutnya".

kataku berapi-api.

Bima kemudian menoleh kaget padaku,

namun kemudian tersenyum dan


menghampiriku, semakin dekat dan dekat,

aku melangkah mundur hingga

punggungku menyentuh dinding.

tangannya mengurungku, ia mendekatkan

wajahnya bisa kurasakan hembusan

hangat nafasnya menerpa leherku, lalu

berbisik ditelingaku "Kita lihat saja nanti".

"Lo ngeremehin gue"? tantangku. ia

kemudian tertawa geli membuatku makin

geram.

"Mau taruhan"? tawarnya.

Aku menelan ludahku, seketika bulu

kudukku berdiri, merinding.

"Nggak berani hmm"?

"Okay". kataku sambil mendorong dadanya

menjauh. "Siapa takut"? balasku.

"Baiklah sebelum belajar gue rasa kita

harus membuat kontrak". iapun berjalan

membuka tasnya mengeluarkan kertas dan

pulpen lalu menulis sesuatu.

Ia menulis dengan serius kemudian

mengalihkan pandangannya padaku "Apa

yang mau lo taruhkan"? tanyanya.

"Hmmmm". Aku pun berfikir sejenak.

"Bagaimana kalok lo kalah, lo harus


menuruti semua permintaan gue"?

"Apa"? aku membelalakkan mataku kaget.

"Takut"? cibirnya.

Aku geram melihat gayanya yang selangit,

tanpa perpikir panjang kujawab "Okay". Ia

tersenyum lalu menulis lagi.

"Lalu lo sendiri"? tanyaku.

"Gimana kalok sama"? tawarnya.

"Nggak usah". kataku sambil mengangkat

tanganku tanda tak setuju.

"Okay, mau lo apa"?

"Gue mau lo belutut didepan gue dan minta

maaf atas perlakuan sombong lo ke gue".

kataku sambil menyunggingka senyum licik.

Kulihat ia tertegun sejenak lalu menjawab

"Menarik."

"Apa"?

"Okay setuju". ia menulis lagi. setelah ia

menulis ia mengeluarkan matrai 6000 dan

menempelkannya di surat perjanjian itu.

Tunggu dulu dari mana Bima mendapatkan

matrai itu, apa dia memang sudah

merencanakannya?

"Nih"? ia menyodorkan kertas perjanjian itu

lalu dengan tatapan sebal aku


menandatanganinya.

"Okay, kita bisa memulai pelajarannya

sekarang".

Pelajaran dimulai dan diakhiri dengan

hinaan dan cacian dari Bima, lebih parah

dari mas Rion. Dia hanya diam saat mama

masuk mengantarkan camilan untuk kami,

kemudian cacian itu berlanjut lagi. Oh

tuhan kurasa mereka sahabat cocok satu

sama lain mas Rion dan Bima tidak ada

bedanya, tidak-tidak Bima lebih parah.

Pelajaran berakhir pukul 22.00 malam. Dan

entah mengapa aku masih melanjutkan

belajarku tanpa Bima, aku seperti ingin

mengejar ketertinggalanku dan

membuktikan padanya bahwa aku tak

serendah dengan apa yang ia katakan. Dan

yang lebih utama lagi aku ingin

menamparnya dengan lembaran nilai

sempurna matematika dan fisikaku.

Membayangkannya mampu membuatku

tercambuk untuk belajar terus menerus

tanpa peduli lelah, terkadang aku tidur

pukul 2 kemudian bangun di pagi hari

dilanjutkan dengan sarapan sambil


mengerjakan soal-soal. Luar biasa benar-

benar diluar kebiasaanku, rasanya aku

bernafsu sekali mengalahkan orang itu.

Awalnya mama dan Yoga terlihat heran saat

pertama kali aku mengubah kebiasaanku

tapi 1 minggu berlalu mereka terbiasa.

Begitupun dengan Tia, dia tau apa

hukumanku dari mama, jadi dia hanya

membiarkanku saat aku lebih memilih

tinggal dikelas ketimbang ikut dengannya

ke kantin, bahkan setelah aku

menceritakan tentang Bima ia

menyemangatiku dan membawakan

makanan ringan dari kantin, dan aku

bersyukur memiliki sahabat sepertinya. 2

minggu berlalu dengan rutinitas baru

membuatku mulai terbiasa. Aku mulai bisa

mengerjakan soal-soal sebanyak 82% aku

optimis dengan apa yang kudapat, aku

tersenyum saat melihat lebar hasil

koreksian Bima.

"Baru segitu sudah puas". ejeknya.

Aku menatapnya sebal, lalu cuek dan

menatap lembaran itu dan tersenyum lagi.

"lo takut kalah heh"? ejekku.


"lo tau? gue bisa meramal hasil nilai

ulangan lo nanti"?

"Nggak perlu". sahutku.

Kulihat ia menyunggingkan senyuman

miring khasnya, hiiiy aku selalu merinding

melihatnya.

***

Entah Malam ini rasanya aku ngantuk

sekali, berkali-kali kepalaku seperti mau

terjatuh dan berkali-kali juga aku

menahannya. Aku mengerjakan soal

dengan malas, bukannya aku tak bisa

hanya saja aku benar benar mengantuk.

Belum sempat menyelsaikannya, kepalaku

seperti ringan sekali dan gelap, samar-

samar aku mendengar Bima memanggil-

manggil namaku.

Aku membuka mataku kulihat beberapa

cahaya masuk dari celah-celah ventilasi

jendela kamarku. Kulihat mama sedang

duduk disampingku mengamatiku.

"Ma"? Panggilku.

"Ya sayang, mama cemas banget sama

kamu, masih pusing"?

aku tersenyum lalu menjawab "Enggak".


"Yaudah tunggu ya mama panasin bubur

dulu". kemudian mama keluar kamar,

kudengar mama mengobrol dengan

seseorang diluar.

Kemudian Bima masuk, kualihkan

pandanganku menatap langit-langit kamar.

Ia berjalan menghampiriku.

"Seharusnya lo tau apa yang badan lo

butuhkan". katanya

"kalok mau ganggu gue mending jangan

sekarang deh". aku menjawabnya kesal lalu

menarik selimutku menutup seluruh

badanku. Tanpa kuduga ia menyibak

selimutku, dengan geram aku menarik

selimutku lagi, kami saling tarik menarik

selimut, karena geram aku menariknya

sekuat tenaga dan "aaaah". aku mendesah

kesakitan, badannya menimpa badanku,

aku menatap wajahnya dan aku kaget

ketika melihat matanya memerah seperti

marah dan dan sedih. aku mengamati

wajahnya yang menegang menatapku.

Jujur wajah kakunya kali ini berhasil

menyihirku, jika dilihat-lihat ketika dia

marah ia seperti anak kecil yang sedang


ngambek. Tanpa sadar aku tertawa. Ia

menatapku dengan dengan geram lalu

berkata "Dengar, aku tau apa yang ada di

fikiranmu, jangan mengganggapku seperti

anak kecil". mendengar ucapannya seketika

berhasil membuatku terdiam dan kembali

memandang wajahnya takut.

"Camkan ini, Jangan sakit lagi tanpa

seizinku." Ia beranjak dari posisinya, dan

berdiri dipinggiran ranjang, aku masih

mencerna apa yang barusan ia katakan.

Tak selang berapa lama mama masuk

membawa semangkuk besar bubur hangat.

Aku makan dalam dalam diam.

"Tante Bima pulang dulu ya".

"Loh kamu belum makan loh".

"Lain kali aja tante".

"Cepet sembuh Can". Aku menghentikan

makanku dan menatap Bima.

Mama mengantarkan Bima keluar,

kemudian kembali lagi ke kamar.

"Mama nggak nyangka kamu bakal

semangat seperti sekarang ini Can".

Aku terdiam saat mama mulai berbicara.

"Mama harap kamu tau batasan dalam


menekuni sesuatu". aku menyimak

"Kurasa kamu harus sadar ketika mama

melarangmu ini itu, mama yakin kamu anak

yang cerdas, bagi mama nggak ada anak

bodoh di dunia ini. Ketika ada kemauan

yang besar mama yakin kamu bisa

mendapatkannya apa pun itu, hanya saja

tanpa sadar kamu sering sekali

mengorbankan yang lain".

"Apa itu ma"? aku menatap mama.

"Kesehatanmu, jika seperti ini mama masih

khawatir padamu, jika kelakketika kamu

sangat menggilai sesuatu, untuk

mendapatkannya kamu akan terbiasa

mengorbankan yang lain".

Aku menyimaknya dalam diam, aku

mengerti apa yang mama katakan padaku.

Mama mengecup keningku lalu keluar

kamar. Aku menghabiskan waktu seharian

ini beristirahat, malamnya les di tunda.

***

Malam berikutnya berjalan seperti biasa

hanya saja sedikit berbeda, kali ini Bima

tidak lagi mengejekku seperti yang dia

lakukan sebelumnya. Aku mengerjakan


soal dalam diam, sesekali aku menatap

wajah Bima ia terlihat sedang serius

membaca buku. Aku menggelengkan

kepalaku lalu melanjutkan pekerjaanku.

Kurasa otak dan mataku sedang tidak

singkron sekarang, aku kembali

menatapnya, kali ini lebih lama, mengamati

wajah baby facenya, kemudian tersenyum,

kurasa aku tau alasan mengapa ia

berwajah kaku.

"Ehem". Suara deham Bima

menyadarkanku dari lamunan, aku segera

mengalihkan pandanganku dan kembali

sibuk dengan soal-soal. Apa dia sadar aku

memperhatikannya dari tadi?

"Waktu habis". katanya.

"Ya"? aku menoleh padanya.

"Waktu mengerjakan sudah habis candy,

cepat serahkan kertasmu".

Aku menyesal memilih memandanginya

dari tadi ketimbang mengerjakan soalku,

akibatnya masih ada beberapa soal yang

belum terisi. Dengan malas kuserahkan

lembaran kertas jawabanku. Kembali

kuperhatikan wajahnya ketika mengoreksi


jawabanku. Keningnya sering sekali

berkerut.

"Bisakah kau tidak mengerutkan dahimu"?

Tanyaku tanpa sadar, kemudian aku

menutup mulutku dan berkata "eeemmm

lupakan saja".

"Jadi ini alasan kau tak menyelsaikan

soalmu"?

"Apa"? tanyaku kaget.

"Dari tadi kau memperhatikanku, kau pikir

aku tak tahu"?

"eh apa? enggak, jangan kepedean deh".

kataku gugup, wajahku pasti sudah merah

saat ini. "Aku haus mau ngambil minuman

dulu dibawah, mau nitip"?

Ia menatapku dengan senyuman heran

kemudian tersenyum miring "Bukankah

minuman digelasmu masih ada"?

Uuuh aku merinding melihat tatapannya

sambil tersenyum, otakku berputar mencari

alasan "Aku bosen sama jus". lalu aku

melangkahkan kakiku dengan cepat keluar

kamar.

Ketika kembali aku mendapatinya sedang

bersandar dikursi sambil memejamkan


matanya, tak ada respon ketika aku

memanggilnya. Lagi-lagi aku kembali

penasaran dan mendekatkan wajahku pada

wajahnya, tanpa kusadari wajah kami

hanya berjarak beberapa centi saja. Secara

tiba-tiba tangan bima meraih kepalaku dan

kami berciuman, aku terbelalak, ia masih

memejamkan matanya dan memperdalam

ciumannya dibibirku, aku berusaha lepas

darinya, tapi kedua tangannya menahanku.

Awalnya aku meronta akan tetapi

ciumannya seperti menghipnotisku, aku

membalas ciumannya dan mengusapkan

jari-jariku dirambutnya, lidahnya masuk

kedalam mulutku dan mengajak lidahku

berdansa. Kami menghentikan ciuman kami

dengan nafas terengah-engah kami saling

memandang. Kemudian tida-tiba ia berdiri

"Waktunya habis, aku pamit pulang".

katanya yang berhasil membuatku

melongo. Dia berkata seperti tak terjadi apa-

apa barusan. Jujur aku kecewa.

***

Tinggal 2 hari lagi ujian sekolah akan

segera dimulai, setelah kejadian malam itu


Bima lebih dingin daripada sebelumnya, ia

lebih memilih diam dan menatap dengan

serius buku bacaanya, sering sekali ia

mengabaikanku, ia baru akan menatapku

saat meminta lembaran isisanku dan

berpamitan, itu saja.

***

"Huuh Akhirnya ujian selesai juga ya can".

"Iya". jawabku pura-pura lega.

"Gimana tadi, bisa ngerjain semua kan"?

"Kalau menurut perhitunganku sih yakin

bener 100%". Jawabku bohong

"Yes! akhirnya Candyku bisa membuktikan

kalau dia bukan wanita sembarangan". Tia

memelukku gemas "Jadi mau makan

dimana? Jadi karaoke kan"?

"Jadi dong, yuk langsung berangkat".

***

Akhirnya hasil ujianku keluar, nilaiku sama

seperti yang aku perkirakan sebelumnya

matematika 98 dan fisika 95. Tia terlihat

sedih saat melihat hasilku, tapi anehnya

perasaanku justru merasakan sebaliknya.

Jujur aku sengaja tidak menyempurnakan

nilaiku, aku ingin melihat reaksinya,


apakah dia ingat dengan perjanjian kami

sebelumnya. Aku memfoto nilaiku dan

mengirimkannya lewat pesan. Aku

menunggunya tapi tidak kunjung juga

dibaca. Sesampainya dirumah mama aku

menghempaskan tubuhku diatas kasur,

kembali ku cek pesan yang kukirimkan

padanya, tak ada balasan. Akupun tertidur,

sore hari mama membangunkanku, aku

segeran mandi dan berganti pakaian.

kemudian turun kebawah untuk makan

malam, kulihat mas Rion sudah pulang, ada

perasaan kecewa dihatiku.

"Gimana hasil ujiannya"? tanya mama.

"Lumayan ma". Jawabku lemah.

"Palingan juga cuma dapet pas standar".

kata mas Rion mengejekku.

Aku mengabaikannya.

"Dapet nilai berapa can"?

"Matematika dapet 98, fisikanya dapet 95".

kataku sambil menyendokkan makanan.

"Uhuuk". tiba-tiba mas Rion menyemburkan

makananya dan sebagian masuk ke

piringku.

Aku memutar bola mataku kesal "Jorok


banget sih mas". protesku sambil

membersihkan meja dengan tisu dan

mengganti piringku dengan yang baru.

"Kamu nggak bohong kan"?

"Siapa juga yang bohong, kalok nggak

percaya cek aja sendiri". kataku cuek, mas

Rion tiba-tiba lari keatas menuju ruangan

kamarku, aku yakin dia tengah mencari

lembar hasil ujianku.

Mama hanya tersenyum menggeleng-

gelengkan kepala.

***

Aku tergesa-gesa melangkahkan kakiku,

setelah mendapat telepon dari Tia aku

segera melaju dengan taksi menuju alamat

yang ia tunjukan lewat pesan LINE,

sesampainya disana alamat tersebut

menunjukan disebuah apartemen mewah

aku segera masuk dan memencet tombol

lift. Aku terus-terus saja memikirkan Tia,

barusan ia menelponku dan mengatakan ia

sedang dalam keadaan bahaya kemudian

mengirimkan sebuah alamat. Sesampainya

disalah satu kamar apartemen aku

menekan tombol bel, lama tak ada jawaban


kemudian dengan gemas aku menekan

tombol berulang-ulang kali, hingga

akhirnya pintu terbuka, Aku kaget saat

orang yang membukakan pintu adalah

Bima, berbagai pikiran berkecamuk

dikepalaku? Apa hubungannya ia dengan

Tia?

"Cari siapa"? Tanyanya dingin.

Ada rasa gemas yang membuncah dalam

dada "Tia". jawabku singkat.

"Masuk".

Aku menurutinya lalu masuk ke dalam, ia

mempersilakan aku duduk,

meninggalkanku sendiri diruang tamu, Ia

kembali dengan membawa segelas jus

jeruk lalu meletakkannya dimeja. Kami

terdiam cukup lama hingga akhirnya ia

memulai obrolan "Tia udah pulang".

Aku menatapnya dengan tatapan curiga

"Apa hubunganmu dengan Tia? kenapa ia

bilang ia sedang dalam bahaya tadi"?

Ia mengusap-usap rambutnya gemas

kemudian menatapku "Kurasa itu bukan

urusan yang penting bagimu".

Kata-katanya berhasil menusuk jantungku,


apa itu artinya aku tak boleh mencampuri

urusannya?

Mataku memerah dan tanpa terasa aku

mulai meneteskan air mataku, Bima

melihatku bingung.

"Ada apa denganmu"?

"Jangan bilang kau sedang bertengkar

dengan Tia huhuuuu". tangisku semakin

keras.

Ia menatapku bingung dan heran "Memang

itu yang terjadi". jawabnya.

Tangisku semakin keras, kemudian Bima

duduk disampingku "jangan mengangis,

ada apa denganmu"?

"Jadi sejak kapan kalian berpacaran"?

tanyaku masih dalam tangis.

"What"? Bima menatapku kaget, tapi

kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Kau pikir itu lucu"? kataku sebal lalu

berdiri namun kemudian tangannya meraih

tanganku dan menariknya. Aku terjatuh

tepat diatas tubuhnya.

"Salah paham".

"Hah"?

"Kau salah paham, Aku marah dengan Tia


karena dia kabur dari rumah dan hendak

menginap diapartemenku".

"Lalu apa hubungannya dengamu"?

"Aku sepupunya". jawabanya berhasil

membuatku malu.

Saat aku hendak beranjak ia menahanku

dan menciumku, akupun membalas

ciumannya. Ciuman yang mulanya lembut

berubah menjadi kasar, kami berciuman

seperti serampangan.

"Kau masih ingat perjanjian kita kan"?

katanya saat kami melepaskan ciuman kami

sambil dengan nafas yang terengah-engah.

"Kupikir kau yang sudah lupa". kataku.

"Aku akan menagihnya sekarang".

kemudian ia menggendongku, kami

kembali berciuman, kurasakan Bima

meletakkanku pada kasur. Bima

menciumku dengan lembut, kemudian

ciumannya turun keleherku dan

menyerang leherku dengan gigitan gigitan

kecil yang membuat tubuhku merinding

dan kegelian, kurasakan tangannya

menyusup kedalam kaosku, meraba

payudaraku yang masih terbungkus bra, ia


meremasnya dengan lembut membuatku

mendesah tak karuan, ia menaikkan kaosku

dan bra yang kukenakan kemudian

tangannya memainkan putingku wajahnya

beralih didepan payudaraku, Bima meniup-

niupkan angin disekitaran putingku,

hembusan hangat nafasnya membuatku

semakin bergairah. Bima menggodaku

dengan mengecup ngecup putingku lalu

melahapnya, lidahnya memaikan putingku

dengan ahli, aku sampai bergerak tak

karuan dibuatnya, aku mengusap-usap

rambutnya. Tangan Bima turun kebawah

dan mengusap-usap permukaan celana

dalamku kemudian masuk dan memainkan

jarinya di pusat intimku, Aku tak tau jika

bercinta bisa senikmat ini.

"Kau basah sayang". ia memasukkan

jarinya dan mulai mengocok dengan tempo

pelan. semakin lama semakin cepat dan

akhirnya "Aaaaah". ia berhasil

mengantarkanku kesurga dunia yang

belum pernah aku kunjungi sebelumnya.

"Kau begitu menggoda". Bima bisik sambil

menjilati jarinya yang basah dengan


cairanku, dan anehnya hal tersebut

membuatku semakin bergairah.

Bima melepaskan bajunya, aku ikut

melepas ikat pinggangnya dan celananya.

Kini kami berdua telanjang, Bima kembali

menerjangku kemudian mengarahkan

kejantanannya di vaginaku, ia mengusap-

ngusapkannya dipermukaan vaginaku dan

membuatku semakin terangsang.

"Masukan sekarang, please". Aku

menatapnya dengan tatapan memohon.

Kemudian dengan perlahan-lahan ia mulai

memasukkan penisnya, baru setengahnya

yang masuk ia berhenti dan menciumku

dengan lembut kemudian mendorongnya

hingga tertanam sempurna, aku meringis

kesakitan, Bima tau itu ia terus menciumku

hingga aku telena dalam ciumannya,

kemudian ia mulai menggerakkan

pinggulnya, aku mulai mengerang tak

karuan.

"Aaaaah Bima".

"Yes Beib, call my name eeeeengh".

Bima menambah temponya semakin cepat

dan cepat, kurasakan vaginaku berkedut


hebat kemudian "Aaaaaah". Aku meraih

kenikmatanku hanya dalam waktu

beberapa menit. Bima memberiku waktu

untukku menikmati kenikmatan ini. Setelah

beberapa saat kemudian ia mulai

memompa lagi dengan pompaan yang

cepat, tangan kirinya memainkan putingku

sedangkan payudara kananku dihisapnya

dengan kuat.

"Aku tak tahan lagiiiih".

"Sebentar lagi sayang aaaah".

"aku sudah mau keluar".

"Bersama sayang".

"Aaaaaah". kami mendesah bersamaan saat

mencapai puncak kenikmatan.

Kami berbaring saling berhadap-hadapan,

Bima membelai rambutku, aku

memejamkan mataku sambil

mengembangkan senyuman.

Suara detak jam perlahan-lahan terdengar

dengan jelas, aku membuka mataku,

kurasakan Bima memelukku dengan

pelukan yang protective. Hari sudah mulai

gelap, tapi aku masih dapat melihat

wajahnya yang sedang tidur sangat


nyenyak. Aku membelai wajahnya dan

mngelus rambutnya.

"Sudah bangun"?

Aku menatap wajahnya, matanya masih

tertutup, kemudian menarik tubuhku

mendekat hingga tubuh kami menempel.

"Sudah sore". kataku.

"Tinggalah disini sebentar lagi". Bima

membenamkan wajahnya didadaku, aku

dapat merasakan hembusan nafas nya

yang hangat menerpa kulitku.

"Bima, apa aku boleh bertanya"?

"Ya, tentu saja, katakan sayang".

"Mengapa kau berubah setelah kita

berciuman"?

Bima merenggangkan pelukannya dan

mensejajarkan kepala kami, ia menatapku

lalu berkata "Jujur saat itu, adalah pertama

kalinya bagiku bertindak tidak sesuai

dengan logika, aku sendiri syok

mengetahui kejadian itu, ada rasa bersalah

karena telah menciummu, setelah itu

kuputuskan untuk mencoba biasa saja,

namun yang kulakukan makin parah,

pikiranku tak berjalan sesuai dengan


bisikan hati. kemudian aku berpikir untuk

bersikap dingin kepadamu demi

menghindari perasaan itu, namun perasaan

itu semakin hari semakin membesar terus

menerus dan disinilah kini perasaan

membawaku, dan jika boleh kuakui...".

Bima menatapku "Aku jatuh cinta padamu".

Lanjutnya sambil mencium keningku. Aku

tersenyum bahagia, ternyata seperti ini

rasanya kupu-kupu bertebaran di dada.Aku berdiri menatap bangunan tua

didepanku, dengan gaya eropa tahun 1800-

an, dinding berwarna putih usang.

Halaman rumah yang cukup luas dengan

rumput jepang. Suara semilir angin begitu

terasa menyapa setiap helai rambutku yang

tak terikat. Kualihkan pandanganku pada

pohon beringin besar dipojokan halaman,

ia berdiri dengan kokoh menjulang,

dengan akar yang menggantung. Aku

menutup mataku, sekali lagi dapat

kurasakan kesunyiannya, suara gemuruh

mulai terdengar, tetesan hujan mulai turun,

satu tetes air tepat mengenai pipiku. Ketika

kubuka mataku tetesan yang lain mulai

menyusul. Dengan cepat ku tutupi


kepalaku dengan tangan, walau kutau itu

percuma saja tapi tetap kulakukan. Aku

berlari kecil menuju teras rumah, dengan

susah payah aku menarik koperku. Aku

mengepak-ngepakkan tanganku ketika

sampai di teras, mengusap-usap rambutku

yang dibasahi beberapa tetes air. Ketika

kuperhatikan hujan semakin deras,

anginpun semakin bertiup kencang.

Tampak cahaya kilat yang mulai ikut hadir.

Aku segera merogoh saku celana jeansku

mencari-cari secarik kertas yang diberikan

oleh ibuku. Sekali lagi aku mencocokkan

nomor rumah itu dengan apa yang tertulis

di kertas. "Sama". pikirku

CTAR

Suara petir mengagetkanku, dengan

segera aku mengetuk pintu rumah. Aku

menunggu beberapa menit, tak ada respon,

sekali lagi aku mencoba mengetuknya. Tiba-

tiba seorang wanita tua berpakaian khas

jawa membukakan pintu dan tersenyum.

"Non Sinta ya"? tanyanya.

"Iya". Jawabku sambil tersenyum.

"Silakan masuk non". Katanya sambil


membuka pintu lebar-lebar "Barusan ibu

telpon, nanyain non Sinta". Katanya

kemudian menutup pintu "Mari non saya

antar kekamar".

Aku pun mengikuti langkahnya. Aku

melihat banyak barang antik dirumah ini

"tentu saja". pikirku. Kemudian tanpa

sengaja aku melihat sebuah lukisan

seorang laki-laki, sepertinya keturunan

belanda. Aku menghentikan langkahku dan

mulai mengamatinya. "Apakah ini juga

lukisan tua peninggalan"?

"Non"?

Suara bibi menyadarkanku dari pesona

lukisan itu. Kemudian beliau berdiri

disampingku ikut memandang lukisan itu

sama sepertiku.

"Bagus ya non"? tanyanya meminta

pendapatku.

"Iya bik". Jawabku sambil tersenyum.

"Kata kakek buyut non dulu, lukisan ini

adalah lukisan pemuda bangsawan belanda

jaman dulu non". Jelasnya.

"Hmmm". Aku mengangguk-nganggukan

kepalaku, benar saja tebakanku lukisan ini


adalah lukisan peninggalan pada jaman

belanda.

"Ayok non mari". Aku kembali mengikuti

bibi.

Aku masuk ke ruang kamarku.

Kuperhatikan dekorasi ruangan mulai dari

meja rias, lemari, jendela, semuanya serba

kuno.

"Non mandi sama istirahat dulu aja, bibi

mau masak dulu, kalau sudah siap nanti

bibi panggil". Kata bibi.

Akupun mengangguk, kemudian beliau

pergi meninggalkanku.

Sebelum aku mandi kuputuskan untuk

merebahkan tubuhku sejenak di pulau

kapas impian setelah seharian menikmati

perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta

menggunakan kereta. Aku menggeliat

dengan nyaman. Mataku tertuju pada

langit-langit kamar. Walaupun rumah ini

tua dan sudah berumur ratusan tahun,

kurasa cukup terawat walaupun dindingnya

tak di cat ulang. Ibu pernah bercerita

tentang rumah ini sebelumnya. Sebenarnya

beliau mewarisi rumah ini, akan tetapi


entah mengapa beliau tak pernah

mengunjunginya dengan keluarga.

Biasanya ibu akan memilih liburan ke

tempat lain. Tapi kali ini aku diizinkan

beliau untuk menempati rumah ini.

Sebenarnya beliau sempat keberatan,

namun karena aku terus membujuknya,

akhirnya ibu bisa luluh juga dengan syarat

setelah lulus tes masuk keperguruan tinggi

maka aku harus pindah tempat tinggal

menjadi kos. Aku tak habis pikir kenapa ibu

begitu khawatir aku tinggal disini. "Apakah

beliau punya kenangan buruk dengan

rumah ini"? pikirku. Ah sudahlah, aku

beranjak dari tidurku, membongkar isi

koper, mencari handuk dan perlengkapan

mandi.

Selesai makan malam aku mulai menata

barang-barang dikoperku. Mengeluarkan

buku-buku. Kemudian karena kelelahan

maka belajar malam ini ku tunda dan

memutuskan untuk tidur lebih awal.

Sayup-sayup dapat kudengar suara piano

yang mengalun menggema keseluruh

ruangan dirumah ini. Aku mengerjap-


ngerjapkan mataku dan menajamkan

pendengaranku, tak salah lagi itu adalah

suara piano. Aku duduk dan mengucek-

ngucek mataku dengan malas. Tanganku

meraih ponsel kemudian "Pukul 02.00 dini

hari". kataku setengah berbisik. Siapa

gerangan yang bermain piano tengah

malam begini? Aku beranjak dari kasur

kemudian berjalan membuka pintu kamar,

suara itu semakin lama terdengar semakin

jelas semakin jelas. Dengan langkah pelan

aku mengikuti sumber suara. Kali ini tak

hanya suara piano, aku mendengar suara

keramaian. Ketika mencapai anak tangga

terakhir memasuki ruang tengah yang

cukup luas sebuah cahaya yang cukup

terang muncul, aku menutup mataku

kemudian sedikit membukanya pelan-pelan

untuk menyesuaikan. Ketika membuka

mataku, kulihat banyak sekali orang,

sebagian orang sedang berdansa dan

sebagian lagi sedang berdiri berkelompok,

mereka bercerita satu sama lain. Tubuhku

membeku memperhatikan kejadian ini,

kuperhatikan lagi orang-orang ini bukanlah


orang-orang yang datang di zaman yang

sama denganku, para wanita mengenakan

gaun pesta khas belanda jaman dahulu.

"Aaaaaa". Sebuah teriakan mengagetkanku

dari belakang ketika anak kecil tiba-tiba

berlari menerjang kearahku, belum sempat

aku menyingkir, anak itu berlari

melewatiku, tidak-tidak lebih tepatnya dia

berlari menembus badanku. "Bagaimana

bisa"? otakku segera berpikir keras.

Kemudian aku berjalan menuju beberapa

perkumpulan orang dewasa, aku berdiri

ditengah-tengah mereka dan tak ada reaksi

apapun dari mereka, aku menggerak-

gerakkan tanganku didepan salah satu

wanita setengah baya yang sedang tertawa.

Ia tak merespon apapun dari perlakuanku,

mereka tak melihatku. "Aku sedang

bermimpi, iya, pasti ini mimpi". kataku

pada akhirnya.

Suara gemuruh tepuk tangan

menyadarkanku. Seorang laki-laki tengah

berdiri dan membungkukkan badannya

setelah memainkan piano. Aku

memandangnya dan membelalakkan


matakuku "Laki-laki itu adalah laki-laki

yang aku lihat dilukisan tadi sore". Tanpa

sengaja mata kami saling bertemu.

Kemudian ia tersenyum, jujur saja

pandangan dan senyumnya

menghipnotisku. Aku menggeleng-

gelengkan kepalaku. Tidak mungkin ia

menyadari kehadiranku. Kulihat ia berjalan

menyapa beberapa perkumpulan orang-

orang dan mengobrol, tentu saja dia tak

menyadari keberadaanku, batinku. Lebih

baik aku kembali ke kamarku. Aku mulai

melangkahkan kaki menjauh dari

kerumunan itu menaiki tangga. Ketika

menutup pintu kamarku, aku duduk di

pinggiran kasur mencoba meyakinkan

bahwa kejadian ini adalah mimpi belaka,

aku mencubit punggung tanganku "Aww".

keluhku. Aku mulai merebahkan badanku

dan menyembunyikan tubuhku dibalik

selimut.

***

"Masih ngantuk non"? tanya bibi ketika

melihatku menguap.

"Dikit bik hehe". Jawabku.


"Non begadang ya semalem"? tanya bibi

lagi.

Aku hanya tersenyum. Banyak hal yang

ingin kutanyakan pada bibi, tapi kemudian

kuurungkan. Siang ini kuputuskan untuk

belajar diluar sekalian menikmati ramainya

kota Yogyakarta. Sebelum pergi aku

berpesan pada bibi bahwa aku akan

kembali saat sore hari.

***

Tok tok tok

"Masuk". kataku saat seseorang mengetuk

pintu kamarku.

"Makan malam sudah siap non, yuk

kebawah dulu". Kata bibi. Aku mengangguk

lalu mengikutinya. Ketika melewati lukisan

laki-laki itu entah mengapa rasanya

matanya bergerak mengikutiku. Aku segera

mempercepat jalanku dan mencoba

berpikir rasional.

***

"Halo".

"......".

"Iya buk, sinta baik-baik aja disini. ibuk

sama ayah gimana kabarnya disana"?


"......".

"Sinta juga kangen. Udah kok, sinta

barusan makan, ibuk juga udah makan"?

"....".

Aku menarik nafasku sejenak "Enak kok,

disini tenang, jadi enak buat belajar".

".....".

"Iya buk, Sinta nggak papa".

".....".

"Iya nanti Sinta kabarin lagi".

"....".

Aku menutup sambungan telpon dari ibuk,

aku meletakkan ponselku kemudian

kembali belajar.

***

Aku membuka mata ketika kembali

kudengar alunan piano. Aku membenarkan

posisi duduk, mengusap leherku yang

pegal karena tidak sengaja tertidur di meja

belajar. Jantungku kembali berdetak

dengan kencang ketika mendengar alunan

piano yang menggema diseluruh ruangan

rumah ini. Bulu kudukku merinding

mendengar alunannya. Aku berjalan pelan

menuju kasur dan mencoba


mengabaikannya. Ketika aku menyelimuti

seluruh badan dan mulai memejamkan

mata, suara piano itu semakin keras dan

terdengar dengan jelas. Berulang kali aku

mengganti posisiku tak nyaman, suara

piano itu berhasil mengusikku. Lalu entah

apa yang kupikirkan, aku memutuskan

untuk turun dan memastikannya. Rasanya

seperti deja vu ketika aku mulai menuruni

tangga. Langkahku terhenti ketika tiba-tiba

aku menyadari bahwa lukisan laki-laki itu

kosong, tak ada sosoknya dilukisan itu. Aku

menelan ludahku dengan susah payah, aku

ragu untuk melanjutkan observasiku,

hingga kemudian alunan itu kembali

terdengar jelas. Seperti tehipnotis aku

berjalan hingga kusadari aku sudah berada

di anak tangga terakhir. Ketika memasuki

ruangan itu, sebuah cahaya yang bersinar,

cahaya itu terlihat begitu terang, aku

mengerjap-ngerjapkan mataku mencoba

beradaptasi. Ketika kubuka mataku dengan

sempurna dapat kulihat diruangan ini

hanya terdapat satu orang sedang bermain

piano, ia duduk membelakangiku. Aku


berdiri mematung memandangi

punggungnya.

Kemudian laki-laki itu menghentikan

permainan pianonya "Selamat datang

kembali". Kemudian ia menoleh padaku.

Rasanya jantungku berhenti berdetak saat

matanya bertemu dengan mataku. Aku

terdiam menatapnya mencoba mencerna

apa yang ia katakan, tunggu dulu! apakah

ia bisa melihatku? Kulihat ia berdiri

kemudian berjalan mendekat padaku, aku

ingin sekali berlari dari sini sekarang juga,

namun kakiku seperti membeku. Aku

menatapnya dengan perasaan takut.

"Jangan takut". Katanya lembut dan masih

berjalan mendekat hingga akhirnya ia

berdiri tepat didepanku. Aku mencoba

menutup mataku.

"Sssst jangan takut, aku tak akan

menyakitimu". Katanya berbisik

ditelingaku. Aku membuka mataku dan

melihat wajahnya yang dekat sekali dengan

wajahku. Ia menatapku sambil tersenyum,

jika dilihat dari tatapan matanya ia seperti

bahagia. Ketika sedang memikirkan


tentang ekspresi laki-laki itu tiba-tiba

kurasakan sesuatu yang lembut menyentuh

bibirku. Sentuhhannya begitu lembut dan

memabukkan, bukannya melawan ketika

dicium orang asing, justru sebaliknya aku

sangat menikmati ciuman ini. Aku

memejamkan mataku mencoba menghayati

setiap sentuhannya.

"Tinggalah bersamaku". Katanya diakhir

sesi ciuman kami, ia menempelkan

keningnya dikeningku.

Aku menganggukan kepala tanda setuju.

Kemudian ia kembali menciumku dengan

lebih agresif dan dalam. Aku menikmati

setiap sentuhannya. Aku mengalungkan

tanganku pada lehernya. Kemudian ia

menggendongku dengan posisi kami masih

saling berciuman, bahkan semakin panas.

Kurasakan ia meletakkanku dengan lembut

di kamarku. Ia menghentikan ciuman kami

kemudian tanggannya mengusap dengan

lembut pipiku. Aku kembali memejamkan

mataku, setiap sentuhannya bagaikan

candu bagiku. Ia kembali menciumku,

tangannya bergerak turun meremas


payudaraku. Aku mengerang tak karuan

menikmati setiap permainan yang ia

berikan, membawaku terbang hingga

menembus langit ke tujuh, tubuhku bagai

diawang-awang, bergetar hebat karena

nikmat.

***

Semenjak aku tinggal dengannya, aku

merasa aneh dengan keadaan sekitarku.

Tak ada waktu siang dan malam yang pasti.

Dirumah ini hanya ada aku dan dia, tak ada

bibi yang biasanya selalu memanggilku

untuk makan. Aku tetap makan, hanya saja

makanan selalu saja tersedia di meja

makan tanpa perlu bersusah payah untuk

membuatnya. Hingga pada akhirnya ketika

aku tertidur memejamkan mataku seusai

kami bercinta, sayup-sayup dapat

kudengar suara ibu memanggilku. Anehnya

aku justru memejamkan mataku dan

terlelap tidur.

***

Aku terbangun ketika merasakan tetesan

air menyentuh punggung tanganku, aku

membuka mata perlahan dan dapat kulihat


ibu sedang menundukan kepalanya sambil

memegang tangan kananku, beliau

menangis, ya tak salah lagi.

"Ibu...". Panggilku dengan lemah.

Kemudian beliau menatapku, ada rasa

senang, sedih, dan khawatir terpancar

dimatanya. Beliau tak langsung menjawab

panggilanku dan segera memelukku

seperti takut aku akan pergi lagi.

***

"Jadi Sinta pingsan 2 hari bu"? tanyaku saat

kami menuju perjalanan pulang kembali ke

Jakarta.

"Iya, kau tau ibu khawatir sekali, jangan

begitu lagi ya".

"Tenang bu, Sinta nggak bakal ninggalin

ibuk kok". kataku sambil memeluk beliau,

mencoba menenangkannya dari segala

kekhawatiran yang kutimbulkan beberapa

hari yang lalu.

Aku menatap keluar jendela kereta api

mencoba memikirkan berulang-ulang kali

apa yang telah terjadi beberapa hari yang

lalu "Bagaimana mungkin ini terjadi"?

Semuanya seperti diluar nalar. Aku tak bisa


memahaminya dengan logika. Lukisan laki-

laki itu...wajahnya...aku masih

mengingatnya dengan jelas dibenakku.

***

Suara piano itu kembali terdengar, kuraih

ponselku, waktu menunjukan pukul 02.00

dini hari. Jantungku berdegup kencang.

Tidak mungkin, aku bukan lagi di Jogja,

melainkan di Jakarta, bagaimana mungkin

suara piano itu bisa terdengar lagi? Aku

mencoba mengabaikannya, mencoba

meyakinkan diriku sendiri bahwa semua itu

hanyalah halusinasi. Aku

menenyembunyikan diriku dibalik selimut

hingga akhirnya sebuah tangan kurasakan

melinggkar diperutku, seketika aku seperti

menahan nafasku, degup jantungku

berpacu semakin kencang. Kurasakan

sebuah kecupan lembut dileherku dan

suara berbisik ditelingaku "Tak akan

kubiarkan kau meninggalkanku".

~THE END~

Anda mungkin juga menyukai