Anda di halaman 1dari 4

Cerita pendek

Gabriella Christmazova Panggalo


Kelas IX-E
KALA SENJA DI PESISIR MAHAKAM

Taxi blue bird yang aku tumpangi dengan mama dari bandara AP Pranoto terus
meluncur menyusuri pesisir sungai Mahakam dari arah jalan Yos Sudarso menuju
kearah Loa Bakung tepatnya ke terminal angkutan antar kota Sungai Kunjang.
Aku dan mama hari ini terbang dari Manado dalam rangka menjenguk oma (ibu
dari papaku) yang minggu lalu sempat dirawat di RS di kota itu dan sekarang
sudah sembuh.

Sepanjang perjalanan di tepian Mahakam, aku melihat begitu banyak kapal-kapal


angkutan batubara yang lalu lalang di sungai itu. Ummmm, bener-bener ya
kekayaan bumi Kalimatan ini sedang digerus hehehe. Aku juga melihat pedagang
angkringan yang mulai mengelar lapak dan mendirikan tenda-tenda menjelang
senja untuk menjadi tempat tongkrongan anak-anak muda Samarinda.

Oh ya namaku William Mandagih, papaku orang Manado marga Mandagih dan


mamaku orang Batak Toba, borunya boru Simarmata. Aku anak tunggal dan
sekarang sudah duduk di kelas IX di salah satu SMP di Sendawar Kutai Barat.

Wil! Begitulah mama memecahkan konsetrasiku di dalam taxi. Ya, ma, sahutku.
“Tas hitam mama tadi dimana ya, nak?” tanya mama. “Oh itu Willam masukan
tadi ransel William, ma.. ada di belakang” lanjutku. “Coba kamu ambil dulu nak,
mama mau lihat karcis bis ke Sendawar, jam berapa?” ujar mama sambil
mengerutkan keningnya. “oke, ma. Bentar ya, Willam angkat ini koper putih
dulu” sahutku sambil menggeser koper putih mama yang konon cerita mama itu
koper dari mama masih kuliah di Medan dulu dibelinya waktu akan berangkat
KKN ke Sibolga, berarti koper itu jauh lebih tua dari aku, hehehe.

“Ini tasnya, mama”, sambil menyerahkan tas hitam itu ke mama. Mamapun
langsung menyambutnya tanpa mengeluarkan sepata katapun dan sepertinya
mama sedikit tegang saat mulai membuka tas itu.

“Oh my God, Wil!” kita ketinggalan bis Sendawar! Ujar mama yang setengah
berteriak. “Apa, ma? Emang karcisnya jam berapa, ma? Trus bagaimana William
dong, ma! Besok kan William ada ujian tengah semester”. Aku mulai ikut gelisah
juga. “Jam 5 sore, nak! Ini sudah setengah jam 6. Aduh gimana ini?” begitulah
mama gelisah karena otomatis kita tidak bisa ke Sendawar menggunakan bis,
karena bis terakhir itu pada pukul 5 sore.
Supir taxi mungkin ikut bingung melihat kami yang makin gelisah. Ibu dan mas,
mau lanjut kemana? Begitulah pak sopir itu membuka pembicaan. “Kami mau ke
Sendawar om, tapi karcis di ibu saya tenyata berangkatnya jam 5 tadi, sekarang
kan sudah setengah 6 om”. Begitu aku menjelaskan ke pak sopir itu. “Oh gitu,
boleh lihat karcisnya, mas?” Katanya. Aku memberikan karcis itu kepada pak
sopir yang telah meminggirkan taxinya tersebih dulu di depan Samarinda Islamic
Center. Pak sopir itu tiba-tiba mengambil hpnya dan mulai mencari nomor kontak,
entah siapa yang akan dihubungi. “Assalam walaikum! Begitu pak sopir
membuka pembicaraan ketika diseberang sana sudah tersambung panggilan itu.
No! iki eneng penumpangmu se’ nang taxiku, aku ndeloki karcise. Oh, om
sopirnya ternyata orang Jawa gumanku dalam hati, masih banyak pembicaraan
mereka kemudian ditutupnya.

“Ibu, ini adik saya yang supirnya. Ternyata mereka masih di pomp bensin di Jln
Suryanata karena ngantri panjang isi BBM. Saya sudah pesankan untuk bisa
menunggu bentar, ketika keluar dari pomp bensin. Berarti arah kita balik ya bu,
kearah jalan Suryanata” begitu ujarnya. “Oh iya bapak, terima kasih banyak ya
pak. Aduuh untung ada bapak, kalau gak, kami bingung mau nginep dimana”
sahut mama dengan wajah penuh pengharapan. “Iya bu, sama-sama”, jawab pak
supir itu dengan ramah.

Aduh, ma. William udah dag-dig-dug gimana kalau gak berangkat saat ini, besok
mau ujian pula.. kataku ke mama. Ya, nak! Tuhan itu selalu memberikan
pertolongan yang terbaik pada setiap orang yang dikehendakiNya, Tuhan
memakai om supir ini untuk menolong kita.

Taxi berputar haluan kembali kearah kota tepatnya kearah jalan Pamgeran
Antasari dan terus menerobos senja yang mulai menghanyutkan kota Samarinda
menuju peraduan malam. Hingga sampai di depan pomp bensin dan syukur pada
Tuhan, bis Jaya Lestari masih menunggu sambil beberapa penumpangnya ke
kamar kecil di area pomp bensin.

“Sudah sampai, bu”. Kata pak supirnya. Kami bergegas turun dari taxi dan mama
tidak lupa membayar taxi itu dan memberikan sedikit ole-ole berupa makanan
camilan khas Manado ke pak supir, sambil mengucapkan banyak terima kasih.

Setelah seluruh barang bawaanku dengan mama, dimasukkan ke dalam bagasi


kami pun bergegas naik keatas dan mencari nomor kursi di karcis itu. Oh benar
saja, dua kursi yang kosong itu adalah kursi nomor 3 dan 4 tepat dibelakang pak
sopir bis.
“Maaf, om. Kami sudah menghalangi keberangkat bisnya”. Ucapku kepada pak
sopir. “Tidak apa, mas. Justru kami yang minta maaf ke ibu dan mas, karena tidak
bisa menghubungi via telepon dan wa karena agen kami lupa meminta nomor
kontak saat keluarga ibu dan mas mendaftarkan ke perwakilan di Sendawar.
Untung tadi ada mas Pram menghubungi saya. Kebetulan dia itu kakak saya jadi
dia punya nomer saya.“ Tidak berselang beberapa saat, bis situ mulai bergerak
melaju menuju Sendawar dengan melewati kota Tenggarong di kabupaten Kutai
Kartanegara, kota yang punya kenangan indah masa kecilku ketika mama dan
papa masih tinggal disana, waktu aku masih usia balita kata mama.

“Ma, William baru sadar kalau Tuhan itu gak pernah meninggalkan kita. Udah
jelas kalau bis ini udah berangkat, tetapi kenapa masih harus ngisi BBM dengan
antrian yang panjang dan udah gitu om supir taxi itu peduli banget sama kita, ma”
Begitulah kira-kira aku berkesah pada mama di bis itu.” Itulah, nak. kadang mama
bingung cara Tuhan menolong umatNya, tetapi ada saja cara yang Dia pakai
menolong kita. Soalnya jika kita harus tinggal, kita mau menginap dimana? Di
Samarinda gak ada sama sekali keluarga mama dan papa. Otomatis, hotel dan
tidak cukup budget mama lagi”.

“Jadi, ma. kalau kita beriman dalam hidup kita, pasti Tuhan menolong kita ketika
suatu waktu menghadapi masalah. William jadi malu pada Tuhan, ma. Kadang-
kadang William lupa berdoa hehehe”. Ujarku jujur pada mama. Mama hanya
tersenyum sambil memeluk aku dan mencium kepalaku.

Tidak lama berselang, bis terus melaju dalam keheningan malam temaram yang
sudah datang menghapus senja seraya mengantar bis itu keluar dari kota
Samarinda menuju tujuannya.

Cerita pendek ini adalah cerita fiktif belaka atau rekaan dan imajinasi saja, jika
ada kesamaan nama, tempat atau alur cerita itu diluar konteks atau untuk maksud
dan tujuan tertentu.

Anda mungkin juga menyukai