Anda di halaman 1dari 5

Si Quiff

Aku baru selesai melaksanakan salat zuhur di masjid. Kegiatan selanjutnya makan siang.
Kulihat gedung fakultas dari kejauhan. Secara teknis masjid universitas berada di seberang
fakultas kedokteran. Namun secara kenyataan butuh waktu hampir 5 menit untuk berjalan
kembali ke fakultas di tengah garangnya panas matahari siang. Hari ini adalah hari terakhir
ospek fakultas. Akhirnya opening kehidupan kampus yang begitu membosankan ini berakhir
juga. Menyebalkan rasanya terjebak jauh dari rumah dan baru bisa pulang saat matahari sudah
terbenam.
Aku sangat malas untuk berjalan kembali. Ingin rasanya duduk berleyeh-leyeh ria di sini
hingga sore, tidak mengikuti jadwal ospek lalu kabur pulang ke rumah. Tapi jika kulakukan hal
itu maka aku akan jadi mahasiswa pertama yang membuat masalah di angkatan, everyone will
hate me. Aku akan jadi public enemy number one, hanya dalam sehari kedepan. Menyebalkan
sekali saat aku harus berpura-pura menjadi bocah baik dan jauh dari masalah.
Saat itu pertama kalinya kulihat lelaki itu. Kulitnya kuning langsat sepertiku, sedikit lebih
cerah, bedanya adalah ia tinggi, body goals sekali. Ia tampak duduk di tangga masjid cukup
lama, dengan tali sepatu sudah terpasang. Ia bahkan sudah duduk disana sebelum aku solat,
dengan tali sepatu terpasang dan posisi duduk masih saja dengan 20 menit yang lalu. Dalam
bahasa inggris kita menyebut keadaan ini perfect continuous.
Cukup lama aku memandangnya karena penasaran ia sedang apa, apa yang ada
dipikirannya. Tiba-tiba ia melihat kearahku, tatapan kami bertemu. Aku agak terkejut.
“Hai. Kita seangkatan, kan?” sahutnya tiba-tiba dan diakhiri senyum manis diakhir
pertanyaan.
“Iya,” jawabku singkat.
“Mau balik?” katanya lagi sambil mengalihkan pandangan ke arah gedung fakultas.
“Aku malas sebenarnya,” jawabku jujur. “Kamu kok nggak balik? Dari tadi duduk di
sana.”
“Sama, aku juga malas,” balas lelaki itu lagi. Ia melihat ke arah fakultas sejenak. Rambut
bagian atasnya tertiup angin, model potongan comb over undercut termodifikasi dipadu dengan
quiff, cocok sekali dengan wajahnya yang agak lonjong.
Ia tiba-tiba bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku. “Tapi kita tetap harus balik ke
sana, sebelum jam istirahat habis, sebelum kita ditanya-tanyain,” katanya padaku.
“Iya, sih,” balasku juga ikut berdiri dan berjalan bersama lelaki yang baru kukenal ini
keluar dari pekarangan masjid.
“Kita belum kenalan,” kata lelaki itu tiba-tiba berbalik ke arahku. “Igo,” katanya lagi
sambil mengulurkan tangan, mengajakku bersalaman.
“Eh, iya. Aku Beri. Awas hati-hati, kita sedang menuruni tangga,” sahutku sambil
menyambut uluran tangannya. Aku menggenggam hanya sekedarnya, tapi ia menyambut uluran
tanganku dengan hmm cukup erat.
“Tangan kamu dingin,” katanya berkomentar. Ia menuruni tangga dengan cekatan, 1
langkahnya untuk 2 anak tangga. Agak ngeri melihatnya seperti itu, seolah ia akan terjatuh di
hadapanku.
“Memang gitu. Dingin,” jawabku sekenanya. “Tangan kamu hangat ya, kayak tangan
mamaku,” kataku lagi.
“Ooh,” balas Igo sambil mengangguk-angguk. “Kamu asli sini ya?”
“Nggak juga sih. Tapi, aku memang SMA di sini,” jawabku menyipitkan mata, silau
karena sinar matahari. “Kamu bukan dari provinsi ini ya? Darimana?”
“Aku dari Bogor, tapi aslinya Aceh,” jawab Igo sambil melihat ke arah langit.
“Oh, jauh ya. Kenapa kamu lihat ke sana? Ada apa di atas?” tanyaku ikut melihat ke arah
langit yang agak kelabu. Kami sudah hampir sampai di depan gedung fakultas. Tapi masih
menyusuri trotoar yang begitu panjang.
“Awannya kelabu. Kalau nggak tertiup angin sampai nanti sore bakal ada hujan lebat
nanti. Berarti kita nggak boleh sampai telat pulang kalau nggak mau kehujanan,” sahutnya
dengan suara yakin.
“Hahaha, gitu ya? Kamu bisa prediksi cuaca?” tanyaku keheranan.
“Hmm, bukan ahli cuaca cuma sering gitu kalau dari hasil observasiku. Kamu pulang
naik apa?”
“Mobil,” jawabku pendek.
“Bawa mobil sendiri?”
“Nggak. Kamu? Bawa motor atau gimana?” kataku balik bertanya.
“Nggak. Tadi aku diantar ke sini, tapi harus pulang sendiri. Apa aku naik angkot ya?
Soalnya teman kita yang di sini aku nggak kenal satupun,” kata Igo bingung.
“Pulang sama aku aja,” kataku sambil menunjuk ke arah diri sendiri.
“Bukannya kamu nggak bawa mobil?” tanya Igo masih keheranan.
“Memang nggak. Kan ada supirnya.”
“Wah, kamu punya supir pribadi?” kata Igo terkejut. Suaranya meninggi satu oktaf.
“Eeh, bukan supir pribadi. Kita pulang naik taksi,” jawabku santai.
“Taksi?” tanya lelaki dari Aceh ini semakin terkejut. “Mahal.”
“Terus pakai apa? Angkot?” kataku balik bertanya sambil tergelak melihat ekspresinya.
“Nggak usah cemas, nanti Tante Beri yang bayarin.”
Kini giliran si lelaki berpotongan rambut quiff ini yang tergelak. “Okelah, aku numpang
sama kamu ya,” katanya lagi. “Nah, udah sampai kita di kelas. Jangan lupa aku nanti ya, jangan
ditinggal,” sahut Igo lagi sambil melambaikan tangan ke arahku.
Aku menggangguk, terkekeh mendengar komentarnya. Aku juga masuk ke ruangan
ospek, dan berjalan lebih jauh ke ujung ruangan karena semua perempuan duduk di sisi yang
jauh dari pintu. Berbeda dengan teman baruku, si Quiff, ia sudah sedari tadi duduk di kursi
karena posisinya cukup dekat dengan pintu masuk ruangan.
xxx
Aku menunggu di depan pintu masuk fakultas. Sambil sesekali melirik jam tangan dan
memandang langit dengan cemas. Taksinya sudah hampir sampai, sudah di dekat masjid, jika
dilihat dari peta di aplikasi.
“Haai, maaf ya lama, tadi ke toilet dulu,” sahut seorang lelaki menepuk pundakku.
Aku tersendak kaget dan berbalik ke belakang. Ternyata teman yang kutemui di masjid
tadi, si Quiff. Ia sudah berdiri di depanku dengan senyum mengembang. Terlihat senang sekali,
sambil menenteng tas kain berwarna hijau lumut dari universitas, dan sebuah tas pinggang abu-
abu yang ukurannya lebih besar dari tas pinggang pada umumnya, bertengger di pinggang
kirinya. Kami mendapat tas kain yang mohon maaf agak jelek dari universitas dan tidak
diizinkan membawa tas ransel. Aku yang biasanya membawa banyak barang, berusaha keras
meminimalisir hingga akhirnya hanya menenteng tas hijau dan tas berisi mukena. Risih rasanya
karena banyak yang kurang. Maklum, perempuan. Tapi aku tak sendiri, karena ternyata temanku
juga agak feminim.
“Taksinya udah sampai?” tanya Igo sambil merapikan isi tas pinggangnya yang
menyembul keluar. Saking penuhnya aku melihat beberapa lembar uang dua ribuan dan sepuluh
ribu karena resleting tas agak terbuka. Ia terlihat ribet seperti ibu-ibu pulang belanja dari pasar.
“Belum,” kataku melayangkan pandangan ke arah depan, terlihat sebuah taksi bernomor
D110. Kulirik handphone, nomor taksi ini sesuai dengan yang ada di aplikasi. “Eh, sudah
ternyata,” sahutku sambil berlari kecil ke arah taksi yang parkir di tengah fakultas, dekat tiang
bendera.
“Atas nama Beri, ya, Pak?” tanyaku saat supir taksi tersebut menurunkan kaca jendela.
“Iya, mbak,” balas lelaki paruh baya yang duduk di belakang kemudi itu.
Aku dan Igo bergegas masuk ke mobil. “Kita ke daerah Jati ya, Pak. Habis itu ke
Lolong,” kataku memberi tahu lokasi tujuan kami.
“Baik,” sahut Bapak paruh baya itu sambil menginjak kopling dan ganti gigi.
“Lewat jalan Mohammad Hatta terus sampai daerah Andalas atau nanti kita belok masuk
lewat Ampang?” tanya sopir taksi padaku.
“Terserah aja pak, yang paling cepat, soalnya mau hujan,” balasku asal-asalan.
“Hei, hujan juga nggak masalah,” kata Igo sambil menatap awan hitam yang
menggantung di langit dari balik kaca. “Kamu tinggal di Lolong? Kenapa nggak dekat kampus?”
“Aku tinggal sama Nenek,” jawabku singkat.
“Oh, enak ya, ada keluarga di sini,” balas Igo sembari tersenyum ke arahku. Tampaknya
sudah jadi kebiasaan mengakiri kalimat dengan senyum. Ia seolah sedang menghadiri wawancara
perilisan film terbarunya.
Sekitar 30 menit berlalu, kami hampir sampai di daerah Jati. Supir taksi yang duduk di
bangku depan dengan lincah memutar stir ke arah kanan, memotong sebuah mobil pribadi yang
ada di depan kami. Sedari tadi ia selalu menyalip siapapun yang ada di depannya. Ya, aku tahu,
tidak enak menjadi yang di belakang.
“Rumahmu di jalan apa?” tanyaku pada Igo.
“Oh, di Jalan Jati empat. Saya akan menunjukkan jalannya,” kata Igo sambil memberi
beberapa instruksi pada supir taksi.
Tak lama, kami sampai di depan rumah model tahun 90an berpagar coklat, dengan
dinding di cat warna biru muda, bertingkat dua. Mobil berhenti. Igo menoleh ke arahku, pamit.
“Ini kosanku. Kapan-kapan mainlah kemari,” katanya sambil mengedipkan mata kanan.
Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Namun saat sudah turun dari mobil, ia
kembali mengetuk kaca depan, bapak paruh baya itu pun menurunkan kaca mobilnya.
“Ini, Pak. Sisanya teman saya yang bayar,” kata Igo sambil menyodorkan uang 50 ribuan
kepada bapak supir. “Sorry Ber, I don’t have too much money like you, but thanks for today,”
katanya padaku. Ia berlari kecil membuka pagar dan kabur begitu saja.
“Hei,” kataku membalas perkataanya dengan setengah berteriak.
Supir taksi itu menoleh ke arahku, bertanya apakah uangnya boleh diterima. Aku
menghela nafas dan hanya bisa berkata lanjut ke Lolong.

Anda mungkin juga menyukai