Anda di halaman 1dari 4

Menangis atau tertawa?

Bagi sebagian orangtua, ah mungkin mayoritas orangtua sangat ingin anaknya menjadi
dokter. Mereka akan sangat bangga saat ada yang bertanya, anak ibu kuliah di mana? Di
kedokteran. Maka kebanyakan orang akan memandang dengan mata berbinar, menganggukkan
kepala dan bibir berbentuk huruf O. Aku tak tahu apakah itu berarti mereka sangat kagum,
merasa tidak percaya, merasa iri atau perasaan-perasaan aneh lain. Aku tidak peduli apa kata
orang. Walau mereka merasa kuliah di kedokteran adalah hal yang sangat istimewa, tapi tidak
bagiku. Menurutku jurusan apapun yang diambil oleh seseorang, jika ia berusaha keras
memberikan yang terbaik disana dan berhasil menjadi individu yang profesional dibidangnya, itu
jauh lebih baik daripada kuliah di kedokteran tapi selalu berada di urutan terbawah. Sayangnya
orangtua dan keluargaku adalah kelompok mayoritas yang mengagungkan fakultas kedokteran
atau FK dan ingin sekali anaknya menjadi seorang dokter kelak.
“Ber, nanti kalau misalnya nggak lulus jalur SNMPTN di FK nggak apa-apa ya.
Kalaupun lulus, nggak harus jadi yang nomor satu di angkatan, karena persaingan di sana keras,”
kata tante sambil menggoreng ikan di dapur.
“Ooh, sesusah itu ya, nte?” tanyaku yang sedang duduk di meja makan, memperhatikan
tante yang sibuk mengaduk ayam gulai di kuali. Tante yang seperti chef professional itu sanggup
memasak dua masakan sekaligus dengan tangan kanan dan kiri mengaduk secara bersamaan.
“Iya, kamu orangnya gampang stress, terbiasa ada di peringkat Top 3 di kelas, kalau
terlalu ambius pas kuliah nanti bisa stress, depresi, terus jadi gila,” sambung tante lagi.
Aku tersentak. Apa, gila? Kuliah di kedokteran bisa menyebabkan mahasiswa jadi gila?
Oh my God, if this faculty is so hard to handle, why you want me to be a doctor like you? Jika
beliau tahu aku bisa depresi, kenapa aku masih diminta untuk memilih fakultas gila ini saat
pengisian formulir mahasiswa undangan tiga bulan yang lalu?
Beda lagi dengan orangtuaku. Keduanya sungguh berbeda soal anaknya ingin jadi apa
jika sudah besar nanti.
“Nak, Beri jadi dokter aja ya. Dulu mama pengen banget jadi dokter tapi nggak lulus
ujiannya. Kalau Beri, mama yakin kamu bisa,” sahut mama di ujung telepon.
“Kalau menurut papa nggak lulus juga nggak apa. Mau jadi arsitek boleh, jadi konsultan
keuangan juga boleh. Nanti kita cari universitas yang nggak kalah bagusnya. Nanti papa temenin
pergi ujian,” kata papa juga melalui telepon. Ia terdengar cukup antusias, tapi aku tahu itu hanya
dibuat-buat. Papa biasanya tidak ambil pusing jika anaknya ingin kuliah, yang penting
universitasnya bagus, harga standar, dan jurusan yang ingin dipilih nggak ‘aneh-aneh’. Aneh di
sini bukan dalam artian tidak berkualitas atau uangnya sedikit, namun profesi wajar dan banyak
ada di masa dulu, masa 90an saat papa masih kuliah.
“Pa, aku mau jadi apoteker.”
“Boleh, Nak.”
“Kalau jadi ahli pertambangan pa?”
“Nggak apa-apa.”
“Kalau jadi programmer?”
“Boleh juga, Sayang.”
“Pa, tiba-tiba aku mau jadi DJ.”
“Wah, kalau itu jangan.”
Bukan DJ-nya yang salah. Namun, karena era papa dahulu DJ masih belum ada, atau
mungkin a rare profession maka kening papa pasti akan berkerut-kerut saat aku menyebut dua
huruf itu. Papa memang seorang pria yang sulit menerima kemajuan zaman dengan cepat. Kalau
kata adikku papa nggak kayak pancasila, nggak fleksibel sesuai perkembangan zaman.
Lain lagi komentar teman-temanku saat tahu bahwa aku hanya memilih satu jurusan saat
mengisi formulir SNMPTN.
“Apa? Kamu jadinya pilik FK? bukannya mau jadi programmer?” tanya Rizu terkejut.
“Nggak jadi, nggak boleh sama mama,” jawabku sedih.
“Terus, selain pilih FK, apalagi? Kan kita ada 2 universitas, masing-masing boleh pilih 2
fakultas.”
“Cuma itu aja,” jawabku polos.
“Maksudnya?” sahut Rizu terkejut. Kali ini suaranya naik satu oktaf. Tampaknya ia
punya bakat di bidang vokal.
“Maksudnya dia nggak milih yang lain,” kata Putri yang ada di samping Rizu ikut
menjelaskan.
“Apa, jadi satu aja?” sorak Rizu.
Aku mengangguk dengan santai, sambil duduk di bangku panjang di depan kelas.
“Aduh, kalau kamu nggak lulus gimana? Ujian tulis kan susah,” kata Rizu cemas.
“Ya kalau nggak lulus baguslah, nggak perlu aku jadi dokter. Aku jadi programmer atau
jurnalis,” jawabku santai.
“Ya ampun, Beri,” kata Rizu sambil menepuk jidatnya, tak bisa berkata-kata.
Putri yang sedari tadi di sebelah Rizu hanya geleng-geleng kepala. “Nggak apa Zu, ini
pilihan hidup Beri. Mungkin itu jalan ninjanya,” sahut Putri sambil menepuk-nepuk pundak
Rizu.
“Itu bukan jalan ninja, Put. Ini masa depan anak orang,” kata Rizu dengan suara parau,
seperti hendak menangis.
“Nggak apa, kalau nggak lulus aku nggak nangis kok. Jalan hidup aku sudah ada di Lauh
Mahfudz, aku nggak punya kuasa untuk mengubah, aku nggak mungkin bisa melangkahi
Tuhan,” kataku pada Rizu.
“Iya sih,” sahut Rizu menghela napas, lesu.
xxx
Sore itu aku berbohong pada nenek bahwa aku akan telat pulang bimbingan belajar
karena ada materi yang ingin dikonsultasikan dengan guru les. Tapi kenyataannya aku justru
sedang duduk dengan sangat cemas di depan komputer di sebuah warnet untuk menunggu hasil
SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) atau yang saat itu disebut jalur
undangan. Jadwal pengumuman dipercepat 1 hari dan hanya aku saja anak perempuan yang
duduk di warnet itu menunggu hasil SNMPTN yang diumumkan secara online. Pukul 16.00
adalah jam pengumuman yang sudah ditunggu-tunggu. Jantungku berdegup kencang saat
mengetik keyboard komputer untuk masuk ke akun SNMPTN.
Saat proses loading selesai dan halaman pengumuman hasil muncul, aku melihat sekilas
ada fotoku di layar monitor tersebut. Aku merasa aneh karena mungkin teman-temanku akan
melihatnya bersama orangtua mereka di rumah tapi aku malah duduk sendiri di warnet bahkan
tanpa mengajak seorang teman pun. Aku sangat kaget karena layar itu menampilkan kotak
berwarna hijau muda dan tertulis Selamat, Anda lulus SNMPTN di...
Aku menarik napas panjang dan memperhatikan sekeliling, anak lelaki di sebelahku
sibuk bermain game online, sedangkan sisanya sibuk tertawa cekikikan sambil chatting dengan
aplikasi yang entah apa namanya dengan seorang bule, tidak ada yang memperhatikan. Aku
kembali menatap monitor dan hanya bisa bengong, terpana dengan apa yang muncul di layar.
Jika boleh jujur, sore itu aku benar-benar bingung apakah harus tertawa atau menangis. Gagal
dalam SNMPTN berarti kau harus siap berperang di SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri) atau yang kita kenal dengan ujian tulis. Sejak zaman kakekku yang
ternyata lulus melalui ujian tulis di Fakultas Farmasi ITB dan Nenek yang lulus di Fakultas
Sastra UI, ujian tulis memang terkenal sulit. Dari sekian orang anggota keluargaku, hanya 2
orang saja yang lulus melalui SNMPTN, mereka adalah mama dan oom-ku. Ternyata sekarang
aku menjadi personel baru ditim mereka.
Ratusan ribu orang bertarung setiap tahunnya agar bisa lulus di fakultas yang diinginkan
namun hanya beberapa ribu saja yang berhasil. Sukses di SNMPTN berarti mengambil jalan
pintas masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri), karena tidak perlu ikut serta dalam ujian tulis dan
sudah bisa bernapas lega karena sudah memiliki satu kursi di PTN yang diinginkan. Tapi, lulus
di SNMPTN juga harus siap menerima pilihan yang muncul di layar monitor. Kelulusan secara
undangan sulit untuk ditolak, berbeda dengan lulus melalui ujian tulis. Jika kita menolak
kelulusan secara undangan dan memilih jalur ujian tulis, maka kuota untuk penerimaan fakultas
tersebut akan dikurangi untuk adik kelas dari sekolah kita yang juga akan mengikuti SNMPTN
tahun depan. Sederhananya, sekolahmu akan masuk daftar blacklist dan mendapat punishment
karena kau tidak konsisten dengan pilihanmu terdahulu.
Sebenarnya aku tidak peduli jika aku menolak hasil SNMPTN dan sekolahku akan kena
punishment. Namun, aku tidak sanggup jika Perang Dunia III akan meletus di rumah jika aku
menolaknya. Aku pasti akan dimarahi habis-habisan oleh orangtua, nenek, tante dan oom-ku.
Jika diibaratkan memilih suami, maka aku adalah korban perjodohan yang terpaksa menikahi
seorang lelaki soleh, tampan, kaya dan maha sempurna namun aku tidak mencintainya.

Anda mungkin juga menyukai