Anda di halaman 1dari 5

BAB I [ Merpati ]

"Penemuan jasad di sungai Juo sempat menggemparkan warga di sekitar pagi ini. Pasalnya
setelah pihak kepolisian mengidentifikasi mayat tersebut, hasil mengatakan jikalau ia adalah
seorang idol yang kini tengah naik daun."

"Kasian banget, padahal masih muda." Wanita parubayah ini berceletuk seraya mengayunkan
sendok ke dalam mulut.

"Kalau aku jadi dia, bakalan kepengen hidup abadi. Udah ganteng, punya banyak uang, dikejar-
kejar banyak cewek lagi. Nikmat mana yang kau dustakan?" Tak kalah remaja yang juga duduk
di satu meja menyambung dengan memegang semangkok mie.

Clakkk!

Mata mereka berdua teralih melihat sosok yang baru saja keluar dari balik pintu kamar. Gadis
ini berjalan sedikit lesuh sembari memegang tali tas sandangnya.

"Masih kerja? Ini Minggu loh, Rum," ucap Halimah kepada anak gadisnya.

Dengan santai Arum berjalan melewati ibu dan juga adik laki-lakinya. "Bulan ini harus terbit 2
buku, jadi gimana pun caranya harus nyelesaiin perihal kesalahan naskah."

"Kakak kerja mulu. Pikirannya kerja, kerja, gak takut jadi perawan tua? Umur udah 23 tahun
juga," celetuk Niko.

"Wah, anak tetangga sebelah katanya bentar lagi mau hantaran, kapan ya anak Ibu juga bisa
gitu?" sindir Halimah melirik Arum.

Mendengar perkataan tersebut membuat Arum memutar bola mata melas. Ia dengan cepat
memasang sepatu membuka pintu rumah dengan sedikit kesal. Telinganya sudah bosan
mendengar celotehan orang-orang tentang kapan dia menikah.

Arum memang terkenal sebagai pekerja keras, yang ia pikirkan tak lain bagaimana caranya kaya
di usia muda bukan bagaimana cara menikah di usia muda. Bekerja di bidang yang ia minati tak
pernah sekalipun membuat Arum ingin menyerah. Menjadi seorang editor di salah satu kantor
penerbitan memang sudah menjadi keinginan tersendiri sedari dulu.

"Sayang mau beli es cream."

"Iya sayang, ayok...."

Dia mendengus kesal ketika melihat sepasang kekasih berpas-pasan dengannya. Jalanan
ibukota ini memang terkadang dipenuhi oleh para remaja dimabuk asmara. Arum tidak
mengalami philophobia, hanya saja ia sedang tak tertarik dengan percintaan, apalagi ketika dia
mengingat kejadian di masa lalu.

Arum berhenti di depan halte bus. Berdiri dia sembari sesekali memperhatikan layar gawai
untuk memastikan sekarang jam berapa. Sibuk menunggu, matanya tiba-tiba saja teralih
melihat gerumbunan orang-orang di sebrang jalan. Kepalanya mendongak melihat lebel gedung
yang terpampang jelas di atas.

"Neon Entertainment," gumamnya pelan.

"Klarifikasi atas kematian Joo kami!"

"Pihak Neon Entertainment harus bertanggungjawab atas kematian Joo Febriansyah!"

Melihat hal tersebut membuat Arum hanya menggeleng lalu berkata, "Fans fanatik. Kematian
'kan sudah takdir, kenapa seheboh itu."

Tak lama bus yang Arum tunggu tiba. Tak ingin ambil pusing dia segera masuk ke dalam.
Kepalanya melirik ke kiri dan kanan, suasana bus pagi hari ini terasa sepi, dia berpikir mungkin
karna Minggu jadi tidak ada anak sekolah atau pekerja kantoran yang berlalu-lalang untuk
beraktivitas. Dengan santai Arum mengambil earphone mulai menghubungkannya ke gawai.
Sedikit tergoyang tubuhnya di kala mobil ini berhenti secara tiba-tiba. Ditengok oleh Arum pintu
depan, seorang wanita tua dengan pakaian esentrik masuk lantas terduduk tepat di sampingnya.

"Padahal banyak bangku kosong, kenapa pengen duduk di samping aku banget." Arum
menggerutu kesal di dalam hati memalingkan wajah sembari menaruh earphone di kuping.
Saat jari Arum ingin menekan lagu, wanita parubayah di samping berceletuk, "Kasian banget,
udah dipisahkan sebelum bertemu."

Seketika Arum terdiam kaku, matanya melirik wanita di samping yang tengah berbicara dengan
tatapan mata ke depan. Santai sosok itu menarik senyum lalu memutar pandang ke arah gadis
di sampingnya.

"Soulmate-mu udah melanggar hukum alam. Padahal masih ada takdir yang harus dia temui,"
ucap wanita ini menatap mata Arum lekat.

Dia menghela nafas, membuat Arum kebingungan karna mimik wajahnya tiba-tiba saja berubah
menjadi kalut dan keluh. Tatapan mata wanita itu teralih menengok langit dari kaca jendela bus.

"Kamu tau gak?" tanyanya. Tatapan itu kembali ke arah gadis di depan. Arum menggeleng
kebingungan. "Aku benci ketika seseorang dengan sengaja memutuskan benang merah yang
telah aku buat," lanjutnya.

"Benang merah?" Bingung Arum.

"Tapi aku gak perlu khawatir, sih." Senyumnya. Tanpa pamri dia menepuk kedua pundak Arum.
"Soalnya aku punya pasangannya."

Sedikit gagap Arum bertanya, "Pa--pasangan apa?"

"Kamu tau konsep merpati? Ketika merpati jantan dilepaas, dia tidak akan pergi jauh. Dia akan
kembali lagi ke arah merpati betina," terangnya dengan senyuman misterius.

"Terus? Apa hubungannya sama aku? Kenapa kamu kasih tau hal kayak beginian sama aku?"
ujar Arum keheranan.

Wanita ini mendekati wajah Arum, kemudian berbisik, "Karna kamu takdirnya."

Arum mendelik, menatap wanita tersebut sedikit aneh. Dalam pikirannya sekarang wanita ini
adalah orang gila yang suka bercerita hal-hal konyol. Tak ingin menyinggung dia hanya
mengangguk mengiyakan ucapan wanita tersebut dengan senyum kaku.
"Hahaha, iya," jawabnya singkat.

Dengan santai wanita ini memberi kode kepada Arum untuk menengok ke belakang. Sedikit
ragu gadis ini berbalik badan mencoba untuk memperhatikan apa yang ada di belakang. Ia
mendelik kala mendapati truk putih melaju dari samping kiri.

"Ungkap semuanya Arum, tugasmu adalah mencegah semuanya terjadi."

Arum menoleh ke arah sang wanita masih merasa kebingungan atas apa yang dia katakan. Lagi
wanita tersebut berceletuk, "Lakukan, atau aku gak bakalan bisa menjamin kalian berdua bisa
hidup."

Syetttt! Brugggh!

Bus yang Arum tumpangi terguling usai truk putih tak terkendali menabrak sisi kiri bus. Ia
merasa mati rasa, penglihatan gelap, yang ia dengar hanyalah teriakan histeris orang-orang
sebelum akhirnya semua menjadi senyap.

"AKU BELUM MAU MATI!"

Semua orang tersentak dari suasana damai. Seluruh mata tertuju ke arah sumber suara, bahkan
sang widyaiswara di depan ternanap dengan sebuah buku di tangan kiri dan spidol di tangan
kanan. Tak kalah kaget Arum saat mendapati suasana berbeda.

"Rum, lu baik-baik aja, kan?" tanya seorang gadis di sampingnya.

Arum terdiam, jari telunjuknya sontak teralih ke arah gadis di depan. "Nunu, anakmu mana?"

Nunu, teman sebangku sekaligus sahabatnya kebingungan. "Ha? Anak?"

Semua siswa-siswi tertawa ketika Arum mengatakan jikalau Nunu memiliki anak. Masih rancu
pikirannya apalagi ketika melihat suasana kelasnya dulu waktu SMA. Tak luput pandangan Arum
teralih kepada guru pria di depan. Dia kaget, seketika menutup mulutnya.

"Pak Mahmud? Gak nyangka bisa ngelihat arwah Bapak yang masih muda," tutur Arum.
Pak Mahmud mengangah melihat kelakuan muridnya. Arum yang tak tau apa-apa datang
menghampiri gurunya di depan, mimik wajah penuh empati ia utarakan memegang wajah Pak
Mahmud dengan penuh keharuan.

"Bapak, aku tau loh Bapak datangin alu di akhirat mau nagih utang vas bunga Bapak yang aku
pecahin dulu waktu SMA," ucap Arum.

Tak!

"Aw! Sakit, Pak!" Arum mengelus kepalanya yang dipukul menggunakan spidol oleh Pak
Mahmud.

"Arum! Belum minum obat ya kamu?! Kebiasaan, udah tidur di dalam kelas ngigo lagi! Sana
keluar cuci muka!" Usir Pak Mahmud.

Sedikit terdiam Arum, masih mengelus kepalanya yang sakit. "Sakit, arwah masih ngerasain
sakit ya?" gumamnya dengan bingung tak menghiraukan ucapan Pak Mahmud.

"ARUM DENADA!"

Anda mungkin juga menyukai