DIA kembali menghela napas. Tulisan yang tercetak di atas lembaran kertas di
tangannya, tak lagi ia jamah dengan kedua matanya yang dihiasi kacamata butut.
Pandangannya tertuju pada ratusan map yang bertumpuk di sekelilingnya. Masih banyak
naskah cerpen yang masuk yang belum ia baca untuk kemudian ia analisis, dan dinilai
sejauh mana kualitasnya. Judul, ide, gaya pemaparan, diksi, kaidah-kaidah kebahasaan
konvensional, pesan yang hendak disampaikan, serta substansi, itulah yang ia jadikan
Ia memang salah seorang juri yang mendapat kehormatan untuk menilai dan
menyeleksi naskah-naskah cerpen yang masuk dalam sebuah lomba akbar penulisan
cerpen remaja se-Jawa Barat tahun ini. Baginya, menjadi juri sebuah lomba penulisan
bukanlah perkara mudah, meskipun sebelumnya sudah belasan kali ia pernah menduduki
Ia sebut bukan perkara mudah sebenarnya hanya terletak pada satu hal, yakni
keadaan batin dan pikirannya selama menjajaki naskah-naskah yang ia review. Contohnya
ketika hari pertama penilaian dua hari yang lalu, ia mesti menenangkan diri dulu setelah
perjalanan menuju tempat dimana ia dan juri-juri lain akan mengadakan penilaian
naskah, ban motornya bocor di tengah jalan. Ia periksa, ada dua-tiga paku menancap. Ia
tanya orang di sekitar, didapatinya jawaban bahwa tukang tambal ban ada di ujung
perempatan. Terpaksa ia papah sepeda motornya yang sudah tua itu, dan menghabiskan
sedang tutup. Orang-orang yang nongkrong di sekitar perempatan memberi tahu ada
tukang tambal ban lain di ujung jalan simpang lima, dekat stasiun. Jaraknya ada dua
Hampir dua setengah jam ia habiskan untuk mengurusi bannya hingga kembali
normal. Itupun setelah sebelumnya harus saling adu mulut dahulu dengan tukang tambal
ban itu hanya gara-gara harga yang harus ia bayar cukup mahal melebihi perkiraannya.
Tak hanya itu, ia pun harus berurusan dengan polisi lalu lintas gara-gara ngebut dan
menerobos dua lampu merah. Niatnya ingin cepat-cepat sampai lantaran waktunya sudah
terbuang banyak, malah membuatnya lupa dengan ancaman tilang. Urusan tak
memanjang setelah ia terpaksa menyerahkan dua lembar lima puluh ribu, meski setelah
sampai di tujuan, ia tak luput dari sasaran kemarahan kawan-kawannya sesama juri. Ia tak
mampu lagi memberi penjelasan apapun untuk sekedar membela dirinya, dan hanya
menjawab dengan helaan nafas panjang, lelah. Ia telat tiga jam lebih. Wajar jika semua
***
seberang, agak jauh dari tempat ia duduk, Prapto, yang sering dipanggil Prap, seorang
yang juga menjadi juri seperti dirinya, tertawa terbahak-bahak. Empat juri lainnya yang
duduk agak jauh, menatap Prap dengan agak penasaran, lalu keempatnya saling
tiba itu mungkin mengganggu kawan-kawannya yang lain, Prap mencoba angkat bicara
"Maafkan aku kawan," katanya sambil menghapus air mata yang menitik lantaran
tak kuasa menahan tawa. "Cerpen yang sedang kubaca ini benar-benar konyol. Kalian
Empat juri yang ia sebut kawan itu hanya mendongak sejenak, mengangkat alis, lalu
"He, Sam! Kalau kau muak atau bosan, nih, baca cerpen yang sedang kubaca ini.
Hitung-hitung sebagai hiburan buatmu. Kulihat kau begitu kusut. Setelah membaca ini
Dia, yang dipanggil Sam, membetulkan letak kacamatanya yang hampir melorot,
"Ha? Iya ya... Ah, bagaimana aku ini. Yah, sudahlah, lupakan..." ucap Prap sambil
masih cengengesan, lalu meneruskan lagi bacaan di tangannya. Suasana kembali senyap.
***
salah satu sudut dinding, tak menyejukkan pikirannya yang penat. Tadi pagi, ia mengalami
kejadian menjengkelkan lagi. Kalau kemarin dengan tukang tambal ban dan polisi lalu
lintas, kali ini dengan istrinya, cekcok, hanya gara-gara sarapan favoritnya, pecel, tak
disertai sambal kacang dan ikan asin. Masih segar dalam ingatannya kejadian pagi tadi.
"Ya tapi 'kan nggak sreg, Bu, masa' makan pecel ginian nggak disertai ikan asin,
terlebih sambalnya nggak ada lagi. Bagaimana ini? Ibaratnya ini sayur tanpa garam.
"Alah jangan banyak omong! Memangnya urusanku cuma masak saja? Lihat, cucian
kotor masih menggunung di belakang. Belum lagi lantai belum disapu dan dipel. Baju-baju
jemuran kemarin juga belum disetrika. Bapak malah enak-enakan ngorok. Mbok ya setiap
habis shubuh itu bantu-bantu istri, atau gimana gitu. Jangan mau enaknya saja"
"Iya, iya, aku ngerti. Tapi yo mosok bikin pecel nggak sekalian bikin sambelnya?
Kan enteng, cuma tinggal ngulek saja. Nggak sampai se-jam, tho? Lha cabe, gula, kacang
"Ee, ee, ee... enak ya sampeyan ngomong. Mbok ya tinggal dimakan saja beres,
jangan banyak ceriwis. Tuh, lihat anakmu, makan seadanya saja nggak banyak protes.
Ikhlas!"
bangku sekolah dasar kelas dua itu, yang sedang menyuapkan nasi ke mulutnya. Ia
perhatikan kedua bola mata anaknya, tergambar jelas, kepasrahan yang terpaksa, bukan
"Kalau sampeyan pikir ngulek sambel itu perkara gampang dan enteng, ya sudah,
bikin saja sendiri!" kata istrinya sambil beranjak ke dapur membawa piring bekas
makannya. Di dapur pun, panci-panci, ketel dan piring-piring mendadak saling bersuara.
Di meja makan, Sam dan anaknya hanya saling pandang, dang saling angkat bahu. Tak
habis pikir ia, kenapa istrinya marah-marah di pagi begini. Mendadak ia ingat, aksinya di
ranjang semalam tidak berhasil memuaskan istrinya. Ia pikir-pikir lagi, kalau-kalau ada
kesalahan lain yang pernah ia perbuat. Akhirnya ia menelan ludah. Memang iya, pasti itu
dedengkotnya, tak ada lagi selain masalah "ritual dewasa" semalam. Sebab, kemarin
punya masalah serius yang paling banyak ditakuti kaum adam! Tapi ada satu hal penting
naskah yang layak diutamakan untuk dibaca. Ia tak ingin membuang banyak waktu. Sore
***
Ia perbaiki letak kacamatanya yang melorot. Naskah berjudul Bunga Bunga Cinta
yang sedari tadi dipegangnya, sudah mendarat dengan selamat di dalam sebuah kardus
besar tak jauh di samping ia duduk. Sebuah tempat penyimpanan sementara untuk
naskah-naskah yang sudah ditakdirkan gagal lolos seleksi. Kini ia coba mengambil sepuluh
map. Mengeluarkan naskah di dalamnya satu per satu. Dipilihnya, mana judul yang paling
menarik di antara sepuluh itu. Judul-judul yang bertemakan percintaan dan cenderung
melankolis, ia singkirkan sementara. Ia coba mencari judul-judul yang sekiranya lain dari
yang lain.
membesar. Membangun Utopia, Fatwa Sesat, Bendera Penyair, Melodi Liberal, Sajak
Delapan Mata Angin, Pena Darah, Bumi Retak, Petaka di Negeri Sorga, dan masih banyak
lagi. Ia merespon berbagai cerita yang ia baca dalam batin. Tak mau ia berpolah seperti
yang baik ini, sayang settingnya kurang tepat. Duh, judulmu saja yang bikin penasaran,
Nak, tapi alurnya tidak jelas. Lha ini bikin cerita kok datar? Walah, menulis kata imbuhan
saja ngawur. Nhaa, ini baru oke, tapi sayang sekali, kurang penjiwaan. Ini diksinya kacau.
Dialog yang digunakan terlampau monoton ini. Gaya tulisan yang aneh. Mmm... Huh!
Wah... Cih! Sungguh... Lho? Sayang sekali... Oo... Ah... Hei! ...
melelahkan. Ia beri tanda beberapa karya yang layak dipertimbangkan untuk lolos
sementara dalam penilaiannya. Ia ambil lagi sepuluh cerpen. Mencari judul-judul lain
yang lebih menarik sambil mengamati beberapa kalimat dalam setiap paragraf kalau-kalau
ceritanya monoton, membosankan, klise, atau bahkan tak enak dibaca meski judulnya
menarik. Kadang ia pun ingin tertawa ketika mendapati sedikit humor yang terselip dalam
cerpen yang sebetulnya ia anggap serius. Atau kadang pula ia manggut-manggut ketika
membaca cerpen-cerpen religius yang sarat akan hikmah. Atau ia merasa terenyuh dan
terharu ketika mendapati salah satu cerpen yang menyajikan potret realitas sosial yang
selangkangan, dengan judul yang cukup membuat orang normal berpikir ngeres. Di Balik
Celana Dalam Yu Sri, Malam Ini Masih Empat Ronde, Babak Pemanasan Buat Istriku,
Desah Itu dari Balik Kamar, Burungku Kelelahan, Dua Menit di Kamar Mandi, dan lain-
lain lagi. Ia hanya geleng-geleng kepala. Tak habis pikir ada pula remaja yang berani
sebelumnya ia pun kerap mendapati cerpen-cerpen sejenis, namun waktu itu pesertanya
dari berbagai strata, tak peduli tua atau muda, sudah terkenal atau masih pemula. Tetapi
ia sedikit gembira, hampir semua cerpen berjenis ini berkiblat pada karya-karya penulis
perempuan senior kontemporer seperti Saman dan Larung-nya Ayu Utami, Nayla-nya
merasa sedikit puas membacanya. Namun ia hanya bisa melotot sambil berkali-kali
menelan ludah kala membaca salah satu cerpen yang cukup baik isinya yang berjudul
Burungku Kelelahan. Kalaulah bukan lantaran sumpah untuk bersikap objektif selama
penilaian, sudah tentulah cerpen yang seakan membicarakan dirinya itu disobeknya tanpa
ampun.
Aku dan Determinisme, Paradoks Sang Pluralis, Nietzsche Keseleo, Teologi Iblis, Eroica,
Dunia Tuhan, Kang Tardjo dan Secuil Bandwith, Logika Binatang Jalang, Sebaris Dosa
pemakaian bahasa prokem yang berlebihan, penggunaan kata asing di berbagai kalimat,
terlalu ambigu, kontradiktif, atau suatu cerpen yang mengetengahkan jalinan kisah dengan
membuka-buka kamus. Tapi inilah sisi lain yang ia sukai setiap kali menjadi juri sebuah
lomba penulisan. Dimana ia, yang sudah banyak makan asam-garam di dunia penulisan,
harus menyadari, bahwa masih banyak di luar sana mereka-mereka yang lebih muda, yang
memiliki sedugang wawasan. Ia tak bisa menutup mata bahwa berbagai pelajaran dan
pemahaman baru ia dapatkan setelah membaca karya para remaja yang kini berserakan
dihadapannya. Ia pun tidak lagi seenaknya main pukul rata bahwa karya tulis para
generasi muda sekarang tak ada apa-apanya. Dengan keahlian masing-masing penulisnya,
cerita percintaan yang seharusnya membosankan dan pasti itu-itu juga misalnya, malah
mencapai seribu di hadapannya itu, membuatnya deja vu, seolah ia kembali ke masa
remaja, saat ia pun pernah harus memeras otak ketika menulis cerita pendek untuk
diikutsertakan dalam sebuah ajang penulisan dulu. Ia menilai tak hanya dengan nalar,
menggunung ini, pastilah ada mereka-mereka yang berada dalam kemiskinan sarana
belajar, atau ada pula yang sedang sakit namun tetap memaksakan menulis, atau
barangkali ada yang termotivasi untuk mulai membaca dan menulis, ada yang ikut hanya
untuk sekedar iseng, atau mengharap hadiah, atau ada pula yang mungkin terpaksa
memplagiasi karya orang lain, atau sekedar ingin mengetahi kapasitas kemampuan
menulisnya sampai dimana. Menggema dalam hatinya, bahwa karya sastra dalam bentuk
***
"Pak, Pak, bangun tho cepetan! Ini sudah siang kok yo masih tidur. Kupikir sudah
bangun, sudah mandi, sudah siap segalanya dari tadi, ternyata masih ngorok. Katanya hari
ini masih harus jadi tim juri yang menilai... apa itu namanya, lomba cerpen...?!"
"Mati aku! Jadi aku me-review seabrek cerpen tadi itu cuma mimpi?! Gawat! Telat
lagi aku! Si Prap, Pur, Man, Anwar, Sugeng dan yang lainnya pasti marah-marah lagi
seperti kemarin!" []