Anda di halaman 1dari 8

Impromtu

© 2008 Aris Susanto

DIA kembali menghela napas. Tulisan yang tercetak di atas lembaran kertas di

tangannya, tak lagi ia jamah dengan kedua matanya yang dihiasi kacamata butut.

Pandangannya tertuju pada ratusan map yang bertumpuk di sekelilingnya. Masih banyak

naskah cerpen yang masuk yang belum ia baca untuk kemudian ia analisis, dan dinilai

sejauh mana kualitasnya. Judul, ide, gaya pemaparan, diksi, kaidah-kaidah kebahasaan

konvensional, pesan yang hendak disampaikan, serta substansi, itulah yang ia jadikan

sebagai tolok ukur penilaian.

Ia memang salah seorang juri yang mendapat kehormatan untuk menilai dan

menyeleksi naskah-naskah cerpen yang masuk dalam sebuah lomba akbar penulisan

cerpen remaja se-Jawa Barat tahun ini. Baginya, menjadi juri sebuah lomba penulisan

bukanlah perkara mudah, meskipun sebelumnya sudah belasan kali ia pernah menduduki

jabatan temporal seperti ini pada lomba yang sama.

Ia sebut bukan perkara mudah sebenarnya hanya terletak pada satu hal, yakni

keadaan batin dan pikirannya selama menjajaki naskah-naskah yang ia review. Contohnya

ketika hari pertama penilaian dua hari yang lalu, ia mesti menenangkan diri dulu setelah

kejadian menjengkelkan secara beruntun menimpanya. Kejadiannya dimulai ketika dalam

perjalanan menuju tempat dimana ia dan juri-juri lain akan mengadakan penilaian

naskah, ban motornya bocor di tengah jalan. Ia periksa, ada dua-tiga paku menancap. Ia

tanya orang di sekitar, didapatinya jawaban bahwa tukang tambal ban ada di ujung

perempatan. Terpaksa ia papah sepeda motornya yang sudah tua itu, dan menghabiskan

Impromtu – Cerpen Aris Susanto 1


waktu setengah jam untuk sampai ke tempat yang dicari. Sial, tukang tambal bannya

sedang tutup. Orang-orang yang nongkrong di sekitar perempatan memberi tahu ada

tukang tambal ban lain di ujung jalan simpang lima, dekat stasiun. Jaraknya ada dua

kilometer, cukup untuk membuatnya menggerutu selama perjalanan.

Hampir dua setengah jam ia habiskan untuk mengurusi bannya hingga kembali

normal. Itupun setelah sebelumnya harus saling adu mulut dahulu dengan tukang tambal

ban itu hanya gara-gara harga yang harus ia bayar cukup mahal melebihi perkiraannya.

Tak hanya itu, ia pun harus berurusan dengan polisi lalu lintas gara-gara ngebut dan

menerobos dua lampu merah. Niatnya ingin cepat-cepat sampai lantaran waktunya sudah

terbuang banyak, malah membuatnya lupa dengan ancaman tilang. Urusan tak

memanjang setelah ia terpaksa menyerahkan dua lembar lima puluh ribu, meski setelah

sampai di tujuan, ia tak luput dari sasaran kemarahan kawan-kawannya sesama juri. Ia tak

mampu lagi memberi penjelasan apapun untuk sekedar membela dirinya, dan hanya

menjawab dengan helaan nafas panjang, lelah. Ia telat tiga jam lebih. Wajar jika semua

yang menunggunya berang.

***

"Huakakakakakaa...!!! Haduh Gusti...!!! Ini..., ini...!!! Huakakakakaka...!!!"

Sekonyong-konyong suara ledakan tawa mengagetkannya. Dia menoleh. Di

seberang, agak jauh dari tempat ia duduk, Prapto, yang sering dipanggil Prap, seorang

yang juga menjadi juri seperti dirinya, tertawa terbahak-bahak. Empat juri lainnya yang

duduk agak jauh, menatap Prap dengan agak penasaran, lalu keempatnya saling

berpandangan, dan masing-masing saling mengangkat bahu, kemudian kembali pada

Impromtu – Cerpen Aris Susanto 2


naskah yang mereka pegang masing-masing. Merasa bahwa tawanya yang meledak tiba-

tiba itu mungkin mengganggu kawan-kawannya yang lain, Prap mencoba angkat bicara

memberi penjelasan meski sambil masih kesulitan menghentikan tawanya.

"Maafkan aku kawan," katanya sambil menghapus air mata yang menitik lantaran

tak kuasa menahan tawa. "Cerpen yang sedang kubaca ini benar-benar konyol. Kalian

harus membacanya segera!"

Empat juri yang ia sebut kawan itu hanya mendongak sejenak, mengangkat alis, lalu

kembali lagi pada bacaannya masing-masing. Merasa diacuhkan, Prap mengalihkan

pandangan kepada seseorang di seberang mejanya.

"He, Sam! Kalau kau muak atau bosan, nih, baca cerpen yang sedang kubaca ini.

Hitung-hitung sebagai hiburan buatmu. Kulihat kau begitu kusut. Setelah membaca ini

dijamin kau bakal terpingkal-pingkal"

Dia, yang dipanggil Sam, membetulkan letak kacamatanya yang hampir melorot,

sambil menghela napas pelan, menyahut,

"Kalau soal cerita konyol, sih, di depanku ini juga banyak!"

"Ha? Iya ya... Ah, bagaimana aku ini. Yah, sudahlah, lupakan..." ucap Prap sambil

masih cengengesan, lalu meneruskan lagi bacaan di tangannya. Suasana kembali senyap.

Masing-masing serius dalam naskah-naskah yang dibacanya.

***

Dia, yang namanya Sam, memandangi langit-langit ruangan. AC yang terpasang di

salah satu sudut dinding, tak menyejukkan pikirannya yang penat. Tadi pagi, ia mengalami

kejadian menjengkelkan lagi. Kalau kemarin dengan tukang tambal ban dan polisi lalu

lintas, kali ini dengan istrinya, cekcok, hanya gara-gara sarapan favoritnya, pecel, tak

disertai sambal kacang dan ikan asin. Masih segar dalam ingatannya kejadian pagi tadi.

Impromtu – Cerpen Aris Susanto 3


"Sampeyan ini mestinya bersyukur, masih biso mangan, Pak,"

"Ya tapi 'kan nggak sreg, Bu, masa' makan pecel ginian nggak disertai ikan asin,

terlebih sambalnya nggak ada lagi. Bagaimana ini? Ibaratnya ini sayur tanpa garam.

Rumah tangga tanpa buah hati. Hambar!"

"Alah jangan banyak omong! Memangnya urusanku cuma masak saja? Lihat, cucian

kotor masih menggunung di belakang. Belum lagi lantai belum disapu dan dipel. Baju-baju

jemuran kemarin juga belum disetrika. Bapak malah enak-enakan ngorok. Mbok ya setiap

habis shubuh itu bantu-bantu istri, atau gimana gitu. Jangan mau enaknya saja"

"Iya, iya, aku ngerti. Tapi yo mosok bikin pecel nggak sekalian bikin sambelnya?

Kan enteng, cuma tinggal ngulek saja. Nggak sampai se-jam, tho? Lha cabe, gula, kacang

dan terasi bukannya masih banyak di dapur?"

"Ee, ee, ee... enak ya sampeyan ngomong. Mbok ya tinggal dimakan saja beres,

jangan banyak ceriwis. Tuh, lihat anakmu, makan seadanya saja nggak banyak protes.

Ikhlas!"

Sam mengalihkan pandangannya ke anak semata wayangnya yang masih duduk di

bangku sekolah dasar kelas dua itu, yang sedang menyuapkan nasi ke mulutnya. Ia

perhatikan kedua bola mata anaknya, tergambar jelas, kepasrahan yang terpaksa, bukan

keikhlasan. Betul-betul memprihatinkan.

"Kalau sampeyan pikir ngulek sambel itu perkara gampang dan enteng, ya sudah,

bikin saja sendiri!" kata istrinya sambil beranjak ke dapur membawa piring bekas

makannya. Di dapur pun, panci-panci, ketel dan piring-piring mendadak saling bersuara.

Di meja makan, Sam dan anaknya hanya saling pandang, dang saling angkat bahu. Tak

habis pikir ia, kenapa istrinya marah-marah di pagi begini. Mendadak ia ingat, aksinya di

ranjang semalam tidak berhasil memuaskan istrinya. Ia pikir-pikir lagi, kalau-kalau ada

kesalahan lain yang pernah ia perbuat. Akhirnya ia menelan ludah. Memang iya, pasti itu

dedengkotnya, tak ada lagi selain masalah "ritual dewasa" semalam. Sebab, kemarin

Impromtu – Cerpen Aris Susanto 4


istrinya masih bersikap normal, bahkan mendadak genit. Nampaknya ia benar-benar

punya masalah serius yang paling banyak ditakuti kaum adam! Tapi ada satu hal penting

lagi yang baru disadarinya. Bajunya belum disetrika!

Suara kicau burung prenjak dari luar jendela membuyarkan lamunannya. Ia

kembali berusaha mengumpulkan konsentrasi untuk memilah dan memilih naskah-

naskah yang layak diutamakan untuk dibaca. Ia tak ingin membuang banyak waktu. Sore

ini ia mesti segera memeriksakan masalah pribadinya ke dokter spesialis!

***

Ia perbaiki letak kacamatanya yang melorot. Naskah berjudul Bunga Bunga Cinta

yang sedari tadi dipegangnya, sudah mendarat dengan selamat di dalam sebuah kardus

besar tak jauh di samping ia duduk. Sebuah tempat penyimpanan sementara untuk

naskah-naskah yang sudah ditakdirkan gagal lolos seleksi. Kini ia coba mengambil sepuluh

map. Mengeluarkan naskah di dalamnya satu per satu. Dipilihnya, mana judul yang paling

menarik di antara sepuluh itu. Judul-judul yang bertemakan percintaan dan cenderung

melankolis, ia singkirkan sementara. Ia coba mencari judul-judul yang sekiranya lain dari

yang lain.

"Siapa tahu kebosananku cair", pikirnya.

Lalu ia temukan beberapa judul yang cukup membuat rasa penasarannya

membesar. Membangun Utopia, Fatwa Sesat, Bendera Penyair, Melodi Liberal, Sajak

Delapan Mata Angin, Pena Darah, Bumi Retak, Petaka di Negeri Sorga, dan masih banyak

lagi. Ia merespon berbagai cerita yang ia baca dalam batin. Tak mau ia berpolah seperti

kawannya tadi, si Prap.

Impromtu – Cerpen Aris Susanto 5


Hmm, ini ceritanya menarik, tapi akhir kisahnya kok kurang greget? Penokohan

yang baik ini, sayang settingnya kurang tepat. Duh, judulmu saja yang bikin penasaran,

Nak, tapi alurnya tidak jelas. Lha ini bikin cerita kok datar? Walah, menulis kata imbuhan

saja ngawur. Nhaa, ini baru oke, tapi sayang sekali, kurang penjiwaan. Ini diksinya kacau.

Dialog yang digunakan terlampau monoton ini. Gaya tulisan yang aneh. Mmm... Huh!

Wah... Cih! Sungguh... Lho? Sayang sekali... Oo... Ah... Hei! ...

Kini ia mulai menikmati lagi tulisan-tulisan di hadapannya, meskipun cukup

melelahkan. Ia beri tanda beberapa karya yang layak dipertimbangkan untuk lolos

sementara dalam penilaiannya. Ia ambil lagi sepuluh cerpen. Mencari judul-judul lain

yang lebih menarik sambil mengamati beberapa kalimat dalam setiap paragraf kalau-kalau

ceritanya monoton, membosankan, klise, atau bahkan tak enak dibaca meski judulnya

menarik. Kadang ia pun ingin tertawa ketika mendapati sedikit humor yang terselip dalam

cerpen yang sebetulnya ia anggap serius. Atau kadang pula ia manggut-manggut ketika

membaca cerpen-cerpen religius yang sarat akan hikmah. Atau ia merasa terenyuh dan

terharu ketika mendapati salah satu cerpen yang menyajikan potret realitas sosial yang

begitu menyesakkan dada. Lain pula ketika ia mendapati cerpen-cerpen ber-"madzhab"

selangkangan, dengan judul yang cukup membuat orang normal berpikir ngeres. Di Balik

Celana Dalam Yu Sri, Malam Ini Masih Empat Ronde, Babak Pemanasan Buat Istriku,

Desah Itu dari Balik Kamar, Burungku Kelelahan, Dua Menit di Kamar Mandi, dan lain-

lain lagi. Ia hanya geleng-geleng kepala. Tak habis pikir ada pula remaja yang berani

menulis cerpen seperti itu diikutsertakan dalam lomba. Memang, tahun-tahun

sebelumnya ia pun kerap mendapati cerpen-cerpen sejenis, namun waktu itu pesertanya

dari berbagai strata, tak peduli tua atau muda, sudah terkenal atau masih pemula. Tetapi

ia sedikit gembira, hampir semua cerpen berjenis ini berkiblat pada karya-karya penulis

perempuan senior kontemporer seperti Saman dan Larung-nya Ayu Utami, Nayla-nya

Impromtu – Cerpen Aris Susanto 6


Djenar Mahesa Ayu, atau Kota Kelaminnya Mariana Amiruddin. Ada semangat

pemberontakan dan perjuangan merekonstruksi hal-hal yang dianggap tabu di sana. Ia

merasa sedikit puas membacanya. Namun ia hanya bisa melotot sambil berkali-kali

menelan ludah kala membaca salah satu cerpen yang cukup baik isinya yang berjudul

Burungku Kelelahan. Kalaulah bukan lantaran sumpah untuk bersikap objektif selama

penilaian, sudah tentulah cerpen yang seakan membicarakan dirinya itu disobeknya tanpa

ampun.

Lalu ia temukan cerpen-cerpen dengan judul yang membuat dahinya mengkerut.

Aku dan Determinisme, Paradoks Sang Pluralis, Nietzsche Keseleo, Teologi Iblis, Eroica,

Dunia Tuhan, Kang Tardjo dan Secuil Bandwith, Logika Binatang Jalang, Sebaris Dosa

Sang Programmer, Fa'aina Tadzhabun, dan masih banyak lagi.

Ada beberapa cerpen ia dapati terlampau banyak menggunakan istilah-istilah sulit,

pemakaian bahasa prokem yang berlebihan, penggunaan kata asing di berbagai kalimat,

terlalu ambigu, kontradiktif, atau suatu cerpen yang mengetengahkan jalinan kisah dengan

landasan keilmuan diluar pemahamannya, dan kadangkala membuatnya terpaksa

membuka-buka kamus. Tapi inilah sisi lain yang ia sukai setiap kali menjadi juri sebuah

lomba penulisan. Dimana ia, yang sudah banyak makan asam-garam di dunia penulisan,

harus menyadari, bahwa masih banyak di luar sana mereka-mereka yang lebih muda, yang

memiliki sedugang wawasan. Ia tak bisa menutup mata bahwa berbagai pelajaran dan

pemahaman baru ia dapatkan setelah membaca karya para remaja yang kini berserakan

dihadapannya. Ia pun tidak lagi seenaknya main pukul rata bahwa karya tulis para

generasi muda sekarang tak ada apa-apanya. Dengan keahlian masing-masing penulisnya,

cerita percintaan yang seharusnya membosankan dan pasti itu-itu juga misalnya, malah

menjadi fantastis dan memikat untuk dibaca.

Impromtu – Cerpen Aris Susanto 7


Melihat dan membaca karya-karya para generasi muda yang jumlahnya hampir

mencapai seribu di hadapannya itu, membuatnya deja vu, seolah ia kembali ke masa

remaja, saat ia pun pernah harus memeras otak ketika menulis cerita pendek untuk

diikutsertakan dalam sebuah ajang penulisan dulu. Ia menilai tak hanya dengan nalar,

namun juga dengan perasaan. Ia membayangkan, diantara ratusan naskah yang

menggunung ini, pastilah ada mereka-mereka yang berada dalam kemiskinan sarana

belajar, atau ada pula yang sedang sakit namun tetap memaksakan menulis, atau

barangkali ada yang termotivasi untuk mulai membaca dan menulis, ada yang ikut hanya

untuk sekedar iseng, atau mengharap hadiah, atau ada pula yang mungkin terpaksa

memplagiasi karya orang lain, atau sekedar ingin mengetahi kapasitas kemampuan

menulisnya sampai dimana. Menggema dalam hatinya, bahwa karya sastra dalam bentuk

cerpen, apapun dan bagaimanapun jenisnya, tidak akan pernah mati.

***

"Pak, Pak, bangun tho cepetan! Ini sudah siang kok yo masih tidur. Kupikir sudah

bangun, sudah mandi, sudah siap segalanya dari tadi, ternyata masih ngorok. Katanya hari

ini masih harus jadi tim juri yang menilai... apa itu namanya, lomba cerpen...?!"

"HAH?! Aku kesiangan, Bu?!"

"Jelas! Matahari sudah pamer sinarnya sejak tadi"

"Kenapa aku nggak dibangunkan?!"

"Sampeyan ini... sudah dibangunkan sejak subuh tadi juga..."

"Mati aku! Jadi aku me-review seabrek cerpen tadi itu cuma mimpi?! Gawat! Telat

lagi aku! Si Prap, Pur, Man, Anwar, Sugeng dan yang lainnya pasti marah-marah lagi

seperti kemarin!" []

Bandung, 31 Juli 2008

Impromtu – Cerpen Aris Susanto 8

Anda mungkin juga menyukai