Anda di halaman 1dari 8

MONOLOG

Cerpen

“Belum Ada Judul”

Tugas ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Bahasa Indonesia

Guru mata pelajaran : Eka Purnama Sari,S.Pd

Oleh:

Regina Lathifah Zahra (27)

Kelas : X IPS 1

SMA NEGERI 1 PURWAKARTA

2019/2020
Naskah Monolog

“Belum Ada Judul”

(DUDUK TERKULAY TERDIAM MERENUNG DENGAN TATAPAN SAYU DAN


TANGAN DISILANGKAN DI DADA). Aku penulis paruh waktu yang bekerja sendiri,
tidak ada pertolongan kecuali dari Tuhan atau Setan. (MENGHEMBUSKAN NAFAS
SAMBIL MELURUSKAN TULANG PUNGGUNG). Berjam-jam aku telah menulis
cerita, kemudian berhenti ketika aku kesulitan menemukan sepotong judul paling tepat untuk
seluruh tubuh ceritaku. Berbeda dari biasanya, (MENAHAN MARAH) kali ini semua
mandek diujung-ujung garis akhir.

(MENGUSAP WAJAH GUSAR, MENYALAKAN LAPTOP DAN MULAI


MENGETIK). Aku harus menemukan sepotong frasa, istilah, atau metafora paling indah
untuk menggambarkan cerita yang kali ini aku berhasil tulis. (MENGERUTKAN DAHI,
GELENG-GELENG KEPALA). Ini tidak cocok. Terlalu picisan. Terlalu visual dan kurang
misterius. (MENYENDERKAN TUBUH) bukan judul yang pas untuk sebuah cerita sastra.
(MENGHEMBUSKAN NAFAS, MENGERUTKAN DAHI SAMBIL MELETAKKAN
SIKUT DIMEJA LAYAKNY ORANG BERTANYA). Apa pentingnya sebuah judul?,
bukankah cerita akan tetap bagus kalau kisahnya padu dan tetap menarik dibaca?,
(MENYENDERKAN TUBUH SAMBIL MENYILANGKAN TANGAN, MELIRIK
PADA SUATU ASA).

(BERGANTI PAKAIAN MENJADI SESEORANG YANG MENENTANG PIKIRAN


BUSUK SI AKU) “Judul itu seperti tampilan luarmu! Dia saja setiap pagi mencatut dirinya
hampir setengah jam di depan cermin untuk mengaca dan menata tampilan. Jadi kalau cerpen
kamu bagus tapi judul kamu busuk, itu mirip politisi. Mungkin maksud tujuannya baik,
(MENYILANGKAN TANGAN DI DADA) tapi cara dan ucapannya muslihat macam nenek
sihir.”

(KEMBALI MENJADI SI AKU). (BERANJAK DARI KURSI. TUBUHKU


RENGGANGKAN. PUNGGUNGKU LURUSKAN. JEMARIKU LEMASKAN. KU
HIRUP DALAM-DALAM UDARA LEPAS TENGAH MALAM. BERJALAN
SEBENTAR MENGITARI MEJA KERJANYA. MENYIMAK JUDUL-JUDUL BUKU
YANG KU PUNYA). Memang lebih nyaman memilih judul ku sendiri, bukan meminjam
punya orang.
(KEMBALI KE TEMPAT DUDUK, MENATAP LAYAR LAPTOP. MEMBUKA
PLAYLIST DALAM SPOTI*FY. MENELITI SATU DEMI SATU JUDUL LAGU
YANG SELALU DI GUNAKAN SEBAGAI LATAR MENULIS CERPEN). Ternyata
memilih jauh lebih sulit. Tidak semudah membiarkan musik-musik itu menyusuri parit syaraf
dan mengairi lubang telinga. (MENDENGUS).

(DUDUK TEGAK SAMBIL MENYENDER PADA KURSI, MENYILANGKAN


TANGAN DI DADA). Bila aku memakai cara Murakami dengan meminjam judul orang,
redaktur akan jengah dan bisa-bisa berpikiran penulis kreatif tapi kreativitasnya tumpul.
(MENGGELENG. MENGETUKAN KEPALAN TANGAN PADA TENGKORAK
KEPALA).

Judulku hilang. Aku belum nemu judul yang baik. (BERDECAK KESAL, MEMATIKAN
LAPTOP). Aku yakin, cerita soal perempuan tua itu memang cerita yang belum ada judul.
(BERANJAK DARI KURSI MENINGGALKAN TEMPAT KERJANYA).
“Belum ada judul”

Cerpen karangan : Teguh Affandi

7 Februari 2019

Dengkur istrinya di ruang sebelah disahut dengkur yang lebih halus dari anak pertamanya.
Suasana malam telah menjadi kemul yang menggumuli isi rumah, petak jalanan, dan setiap
lorong. Hanya matanya yang belum rela dia katupkan. Dia masih menghadapi layar komputer
yang menjadi sumber satu-satunya cahaya terang di ruangan kecil yang sudah lama dia sulap
sebagai perpustakaan sekaligus ruang kerjanya, tempat dia menulis dari selepas makan
malam, kira-kira jam sembilan hingga maksimal tengah malam. Begitu dia mematok jadwal
bekerjanya sebagai penulis.

Namun, berbeda dari biasanya, kali ini semua mandek di ujung-ujung garis akhir. Dia sadar,
dia bukan Derek Redmond yang meski gagal di menjelang garis finis, bantuan datang dari
luar pagar pengaman. Dia penulis paruh waktu yang bekerja sendiri, tidak ada pertolongan
kecuali dari Tuhan atau Setan. Berjam-jam dia telah menulis cerita, kemudian berhenti ketika
dia kesulitan menemukan sepotong judul paling tepat untuk seluruh tubuh ceritanya.

Tidak seperti biasa. Ketika memasuki jam kerja sebagai penulis, dia akan membawa notes
kecil warna cokelat tua. Dari sana biasanya dia menggunakan daftar kata-kata paling indah
yang ditemukan di sembarang waktu-tempat untuk dijadikan judul. Ini trik yang dia dapatkan
ketika menghadiri diskusi buku bersama Kurnia Effendi, yang dari kisahnya kerap mencatat
semua kata-kata indah untuk dijadikan awalan menulis.

Berbekal kisah itu, saban hari ke mana pun dia mengantongi notes kecil itu. Bila menemukan
kata-kata indah, dia akan mencatatkannya. Nantinya saat di rumah, dari salah satu kata yang
ada dari dalam notes dia akan kembangkan menjadi sebuah cerita. Dari judul terpilih, dia bisa
meneteskan kalimat-kalimat hingga terbangun cerita padu.

Kali ini dia berkebalikan. Selepas makan malam, yang entah mengapa kali ini istrinya
menghidangkan bihun dengan kuah pedas yang dilengkapi dengan bokcai dan beberapa iris
dada ayam dengan bumbu ekstra pedas. Dia dapat melihat irisan cabai rawit dan bumbu
tabur boncabe level 30. Tidak biasa memang. Tetapi kelezatan ayam dan bihun kuah pedas
membuat dua mangkuk tandas sekali menunduk. Istrinya berkomentar kalau makanan pedas
selain menghilangkan stres juga meningkatkan mood menulis.

Beranjak dari meja makan, seketika perutnya berontak. Dia lari ke kamar mandi, yang disusul
tawa keras istri dan anaknya. Di kamar mandi itulah cerita berkembang di kepalanya. Suara
kran air yang menetes, wangi barus yang tergantung dekat pintu, keramik putih yang mulai
berbercak oleh cipratan odol dan sabun cair mendadak menumbuhkan sebuah kisah yang tak
dapat dia kendalikan lajunya. Urusan perut selesai, cerita di kepalanya berontak ingin
dituliskan.

Seperti dirasuki taksu, dia menyalakan komputer dan mulai mengetik. Suara tekanan ujung
jemari di atas tombok huruf keyboard menutup liang telinga, hingga tanpa sadar ketika cerita
selesai malam sudah masuk ke pertengahan. Tapi PR paling penting belum dia selesaikan.
Soal judul.
Dia harus menemukan sepotong frasa, istilah, atau metafora paling indah untuk
menggambarkan cerita yang kali ini dia berhasil tulis. Beberapa frasa yang dipilihnya sedetik
kemudian dihapus. Itu tidak cocok. Terlalu picisan. Terlalu visual dan kurang misterius.
Bukan judul yang pas untuk sebuah cerita sastra.

Dia mengembuskan napas. Sejam setelah cerita rampung ditulis, dia bertanya kepada malam
yang kali ini mulai mengejek kedunguannya. Apa pentingnya sebuah judul? Bukankah cerita
akan tetap bagus kalau kisahnya padu dan tetap menarik dibaca. Kemudian suara lain
menentang pikiran busuk itu. Judul itu seperti tampilan luarmu! Dia saja setiap pagi mencatut
dirinya hampir setengah jam di depan cermin untuk mengaca dan menata tampilan. Jadi kalau
cerpen kamu bagus tapi judul kamu busuk, itu mirip politisi. Mungkin maksud tujuannya
baik, tapi cara dan ucapannya muslihat macam nenek sihir.

Dia beranjak dari kursi. Tubuh dia renggangkan. Punggung dia luruskan. Jemari dia
lemaskan. Dan dia hirup dalam-dalam udara lepas tengah malam yang mulai digelayuti
embun, meski tipis. Dia berjalan sebentar ke sekeliling meja kerjanya. Menyimak judul-judul
buku yang dia punyai. Kemudian matanya terhenti dua buku dengan judul yang sama oleh
dua pengarang dunia yang berbeda generasi. Men Without Women.
Ah, kenapa tidak meniru cara Murakami menulis judul, pikirnya. Toh Murakami sah-sah saja
bila harus meminjam judul Ernest Hemingway, George Orwell, Raymond Carver, atau
mencuri nama Scheherazade dari Kisah Seribu Satu Malam. Kalau tidak begitu, meminjam
judul lagu sebagaimana Murakami meminjam judul lagu-lagu The Beatles
.
Dia coba memikirkan sebuah judul milik orang lain yang sekiranya tepat untuk dijadikan
judul cerpennya, tentu yang mewakili cerita yang baru saja dia bikin. Hampir dia menulis
judul Namaku Merah, sebelum dia ingat tokoh utama dalam ceritanya adalah seorang nenek
yang hanya dia sebut sebagai Perempuan Tua yang Ingin Cantik. Beberapa judul milik orang
lain yang dia coba pun selalu buntu. Tidak cocok. Memang lebih nyaman memilih judulnya
sendiri, bukan meminjam punya orang.

Dia kembali menatap layar komputer dengan kursor berkedip tanpa lelah. Sebuah ide
bergerak dalam kepalanya. Dia membuka playlist dalam iTunes, meneliti satu demi satu judul
lagu yang kerap dia pergunakan sebagai latar menulis cerpen. Tangannya bergerak cepat tak
menemukan satu pun yang menarik. Ternyata memilih jauh lebih sulit. Tidak semudah
membiarkan musik-musik itu menyusuri parit syaraf dan mengairi lubang telinga. Dia
kembali mendengus.

Matanya semakin berat, dia sudah bekerja lembur untuk sebuah cerita. Sedangkan besok, dia
harus kembali bekerja di kantor dengan tuntutan yang berbeda. Dia tidak mau enjakulasi dini
karena tak berhasil merampungkan cerita dengan hanya menyisakan pemberian judul.
Bukan hanya sejatinya.

Bila cerita yang sudah jadi itu dia biarkan, sama saja membiarkan sepiring bihun goreng basi
tanpa disentuh. Itu bukan sifat aslinya.

Karena judul adalah pertaruhan pertama di depan pembaca. Dia sendiri yakin, pemilihan
judul adalah cara pertama membuat redaktur jatuh cinta pada tulisan kita. Dan bila dia
memakai cara Murakami dengan meminjam judul orang, redaktur akan jengah dan bisa-bisa
berpikir ini penulis kreatif tapi kreativitasnya tumpul. Dia menggeleng.
Dia mengetuk-ngetukkan kepalan tangan pada tengkorak kepala. Berharap sebuah
kata mbrojol keluar dari lipatan neuron kepalanya. Pasti ada kata, frasa, istilah, metafora yang
pas untuk setubuh ceritanya yang dia sangat yakin bagus tersebut.
“Kamu belum tidur?” suara itu mengagetkannya.

Dia memutar pandangan. Istrinya menguap berdiri di ujung pintu.

“Belum selesai.”

“Dan sebentar lagi azan subuh,” istrinya menimpali. “Kamu bisa kena masalah kalau ngantuk
di kantor.”

Dia melihat empat angka di pojok bawah layar komputer. Sudah lewat jam 4 pagi. Dia belum
tidur dan ceritanya belum rampung. Dia gagal menemukan judul.

“Judulku hilang. Aku belum nemu judul yang baik.”

“Memang ceritamu soal apa?” istrinya mendekat dan membaca enam halaman ceritanya di
layar komputer. Dia menanti reaksi paling pertama dari istrinya. Tersenyum. Kemudian
tertawa lepas.

“Ini tentang perempuan tua itu? Kalau begitu enggak perlu diberi judul. Kisahnya sudah
menggelikan.”

Tidak menyelesaikan persoalan, pikirnya. Dia begitu kesal, entah kepada dirinya yang kali ini
tumpul ide judul, kepada istrinya yang tak membawa penyelesaian, kepada malam yang
berlari begitu cepat, atau kepada tokoh ceritanya yang memang menyebalkan sedari awal.

Dia mematikan layar komputer. Dia berkeyakinan cerita soal perempuan tua itu memang
cerita yang belum ada judul. Diam-diam dia berharap dapat bersua dengan editor atau
redaktur untuk meminta usulan judul. Atau mungkin Anda, pembaca budiman, bisa
memberikan usul judul apa sekiranya yang tepat untuk sebuah cerita seorang perempuan tua
delapan puluh tahun yang datang ke dokter kecantikan minta dioperasi agar lebih mudah,
lebih cantik dari putrinya. Silakan! Dia pasti senang menerima usul dari Tuan dan Puan
Budiman.
Biodata penulis

Teguh afandi merupakan seorang pegiat klub baca di Indonesia. Dia pernah menjadi
editor di Naura Books Publishing (PT. Mizan publika) pada tahun 2016-2018. Sampi
akhirnya dia diangkat menjadi asisten editor sastra di PT. Gramedia Pustaka Utama sejak
November 2018.
Selain itu dia pernah memenangkan juara 1 sayembara cerpen Femina 2014, sampai
akhirnya dia sering mengisi rubik cerpen dan buku di Koran. Tak sedikit hasil karya
cerpen nya dimuat ganda di Republika dan NOVA.
Salah satu karya cerpen nya yaitu “ Mengabarkan Kematian”, karya cerpen nya ini
dipubliksikan pada 4 april 2019

Anda mungkin juga menyukai