Anda di halaman 1dari 2

Nama : Nurul Fatimatul Mubarok

Kelas : XI MIPA 5

No : 28

SARAPAN LUMPUR PANAS

Judul Buku : Bulan Memerah

Judul Cerpen : Sarapan Lumpur Panas

Penulis : Abednego Afriadi

Penerbit : Shiela

Tahun Terbit : 2013

Kota Terbit : Yogyakarta

Tebal Buku : 134 halaman

Cerpen yang di resensikan : Halaman 81-86

Buku kumpulan cerpen ini merupakan karya Abednego Afriadi. Beberapa


karya cerpennya tercantum dalam sebuah buku dengan judul Bulan Memerah.
Salah satu cerpenny berjudul “Sarapan Lumpur Panas”. Secara garis besar,
cerpen ini menceritakan tentang kesalahpahaman dan ketidaktahuan akan apa
yang sebenarnya terjadi.

Di dalam cerpen ini, Pak Banu seorang guru difitnah mencabuli muridnya
hingga Pak Banu diolok-olok oleh segerombolan orang di desanya. Anak-
anaknya tidak pernah peduli dengan dia dan isrinya, mereka hanya menikmati
warisan Pak Banu. Pak Banu dikenal sebagai orang yang baik dan tidak
mungkin melakukan hal pencabulan kepada muridnya. Pak Banu juga selalu
mengundang warga desanya untuk menyelesaikan masalah, sekecil apapun itu.
Tetapi sejak Pak Banu masuk ke dalam jeruji besi, desanya menjadi sepi, tak
ada lagi yang menghimbau anak-anak desa untuk tidak bermain di tengah jalan
saat adzan maghrib dikumandangkan. Desanya menjadi terasa sunyi, bahkan
kembali angker. Tak ada aktivitas malam hari pemuda karang taruna berlatih
bernyanyi.

Pak Banu selalu bersedih di dalam penjara, meringkuk dengan wajah


ditutupi dengan koran. Warga desa menjadi ingin lebih tau dan menyelidiki
masalah yang membawa Pak Banu ke penjara. Selama ini mereka hanya
dibingungkan dengan keterangan proses hukum Pak Banu, dari mulai ditangkap
hingga dijebloskan ke penjara. Semua tertutup, dengan alasan karena kasus ini
menyangkut aib. Keesokan harinya, warga sepakat membesuk Pak Banu. Setiba
di ruang tahanan, mereka mendapati Pak Banu yang sedang menangis
memanggil-manggil nama ibunya. Wajahnya semakin kusut dipenuhi keriput,
rambutnya acak-acakan, dan matanya memerah. Para tahanan tiba-tiba menatap
Pak Banu. Petugas LP berusaha mendiamkan Pak Banu, namun sekelebat
tangan Pak Banu keluar dari sela-sela jeruji dan menarik pistol petugas. Jari
manisnya memicu pistol itu tepat ke arah pelipisnya sendiri, lantas dengan
kepala bersimbah darah.

Di meja teras rumah, satu eksemplar koran terdapat foto Pak Banu
tergeletak di lantai penjara pada lembar utama. Belum sempat membacanya,
dentuman keras dan dahsyat tiba-tiba menggetarkan rumah, hingga secangkir
kopi yang belum sempat diminum tertumpah. Ledakan muncul di beberapa titik
pematang sawah. Lumpur-lumpur itu menyiram atap-atap dan menyusup pintu-
pintu rumah, menjadi lantai baru yang cair, lengket, dan berasap.

Buku ini memiliki cover yang menarik, dalam ceritanya banyak


menggunakan majas sehingga kalimatnya tampak indah, suasananya
digambarkan dengan detail sehingga pembaca bisa merasakan apa yang sedang
terjadi, seperti pada saat mereka kebingungan hingga tegang saat Pak Banu
menembak pelipisnya sendiri. Untuk membacanya hingga selesai pun tidak
memerlukan waktu yang lama.

Cerpen ini menggunakan bahasa yang sedikit sulit untuk dimengerti, jadi
untuk memahaminya diperlukan fokus yang tinggi. Jalan ceritanya sedikit
berantakan karena tidak dijelaskan mengapa Pak Banu dituduh mencabuli
muridnya dan alasan Pak Banu menembak dirinya sendiri. Jadi, sebagai
pembaca hanya dapat mengira-ngira masalah yang dialami Pak Banu.

Saya kurang merekomendasikan cerpen ini karena alur yang disediakan


membosankan dan sedikit berantakan meskipun cerita yang diangkat sudah
bagus. Sebaiknya, alur lebih diperjelas dan ditata lebih berurutan, serta konflik
yang diberikan lebih bervariasi agar tidak monoton untuk dibaca.

Anda mungkin juga menyukai