Kelas : XI MIPA 5
No : 28
Penerbit : Shiela
Di dalam cerpen ini, Pak Banu seorang guru difitnah mencabuli muridnya
hingga Pak Banu diolok-olok oleh segerombolan orang di desanya. Anak-
anaknya tidak pernah peduli dengan dia dan isrinya, mereka hanya menikmati
warisan Pak Banu. Pak Banu dikenal sebagai orang yang baik dan tidak
mungkin melakukan hal pencabulan kepada muridnya. Pak Banu juga selalu
mengundang warga desanya untuk menyelesaikan masalah, sekecil apapun itu.
Tetapi sejak Pak Banu masuk ke dalam jeruji besi, desanya menjadi sepi, tak
ada lagi yang menghimbau anak-anak desa untuk tidak bermain di tengah jalan
saat adzan maghrib dikumandangkan. Desanya menjadi terasa sunyi, bahkan
kembali angker. Tak ada aktivitas malam hari pemuda karang taruna berlatih
bernyanyi.
Di meja teras rumah, satu eksemplar koran terdapat foto Pak Banu
tergeletak di lantai penjara pada lembar utama. Belum sempat membacanya,
dentuman keras dan dahsyat tiba-tiba menggetarkan rumah, hingga secangkir
kopi yang belum sempat diminum tertumpah. Ledakan muncul di beberapa titik
pematang sawah. Lumpur-lumpur itu menyiram atap-atap dan menyusup pintu-
pintu rumah, menjadi lantai baru yang cair, lengket, dan berasap.
Cerpen ini menggunakan bahasa yang sedikit sulit untuk dimengerti, jadi
untuk memahaminya diperlukan fokus yang tinggi. Jalan ceritanya sedikit
berantakan karena tidak dijelaskan mengapa Pak Banu dituduh mencabuli
muridnya dan alasan Pak Banu menembak dirinya sendiri. Jadi, sebagai
pembaca hanya dapat mengira-ngira masalah yang dialami Pak Banu.