Anda di halaman 1dari 12

Gael Aleron

Human Nature
Hubungan antara sifat alamiah manusia dan ideologi
politik modern

2022
[verba volant, scripta manent]

“Ada antusiasme tertentu dalam kebebasan, yang membuat sifat manusia


bangkit di atas dirinya sendiri, dalam tindakan keberanian dan kepahlawanan.”
--Alexander Hamilton

Seringkali ide tentang sifat alamiah manusia (human nature) digunakan


secara umum dan sederhana, sebagai semacam singkatan dari 'seperti inilah
manusia sebenarnya'. Namun, dalam praktiknya, berbicara tentang 'sifat
alamiah manusia' berarti membuat sejumlah asumsi penting tentang manusia
dan masyarakat di mana mereka hidup. Meskipun mungkin terdapat perbedaan
pendapat tentang isi dari sifat alamiah manusia, konsep itu sendiri memiliki
makna yang jelas dan koheren. Kodrat manusia mengacu pada karakter esensial
dan tidak dapat diubah dari semua manusia. Hal ini menyoroti apa yang bersifat
bawaan dan 'alami' tentang kehidupan manusia, sebagai lawan dari apa yang
telah diperoleh manusia dari pendidikan atau melalui pengalaman sosial.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa seseorang begitu saja percaya
bahwa perilaku manusia lebih banyak dibentuk oleh masyarakat daripada oleh
karakteristik bawaan yang tetap. Memang, pernyataan ini didasarkan pada
asumsi yang jelas tentang kualitas bawaan manusia. Namun demikian, terdapat
filsuf yang telah secara terbuka menolak gagasan tentang sifat alamiah manusia.
Misalnya, filsuf eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre (1905-80), berpendapat
bahwa tidak ada yang namanya ‘sifat alamiah manusia’, yang menentukan
bagaimana orang bertindak atau berperilaku. Dalam pandangan Sartre,

1
eksistensi mendahului esensi, yang berarti bahwa manusia menikmati
kebebasan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri melalui tindakan dan
perbuatan mereka sendiri, dalam hal ini, pernyataan konsep apa pun tentang
sifat manusia adalah penghinaan terhadap kebebasan itu.

Namun demikian, menggunakan konsep sifat alamiah manusia (human


nature) bukan berarti mereduksi kehidupan manusia menjadi karikatur satu
dimensi. Sebagian besar pemikir politik jelas menyadari bahwa manusia adalah
makhluk yang kompleks, multi-segi, terdiri dari unsur-unsur biologis, fisik,
psikologis, intelektual, sosial dan mungkin spiritual. Konsep sifat alamiah
manusia tidak menyembunyikan atau mengabaikan kompleksitas ini, melainkan
berusaha untuk memaksakan keteraturan di atasnya dengan menunjuk fitur-
fitur tertentu sebagai 'alamiah' atau 'esensial'. Tampaknya masuk akal, terlebih
lagi, bahwa jika ada hal seperti inti manusia, maka hal itu harus terwujud dalam
perilaku manusia. Oleh karena itu, sifat alamiah manusia harus tercermin dalam
pola perilaku yang teratur dan khas. Namun, hal ini mungkin tidak selalu
demikian. Beberapa filsuf berpendapat bahwa orang berperilaku dengan cara-
cara yang menyangkal sifat ‘sejati’ mereka. Misalnya, meskipun banyak bukti
perilaku serakah dan egois, kaum sosialis masih berpegang pada keyakinan
bahwa manusia itu kooperatif dan mudah bergaul, dengan alasan bahwa
perilaku seperti itu dikondisikan secara sosial dan tidak alami. Dalam hal ini,
penting untuk diingat bahwa sifat alamiah manusia bukanlah konsep deskriptif
atau ilmiah. Meskipun teori-teori tentang sifat manusia dapat mengklaim dasar
empiris atau ilmiah, tidak ada eksperimen atau investigasi yang mampu
mengungkap ‘esensi’ manusia. Oleh karena itu, semua model sifat manusia
bersifat normatif: model-model ini dibangun dari asumsi filosofis dan moral,
dan oleh karena itu pada prinsipnya tidak dapat diuji.

Diskusi yang tak ada habisnya telah terjadi tentang hakikat manusia.
Namun demikian, perdebatan-perdebatan tertentu sangat relevan dengan teori
politik. Yang paling utama di antaranya adalah apa yang biasanya disebut
perdebatan ‘nature/nurture’. Apakah manusia merupakan produk dari faktor
bawaan atau biologis, atau apakah mereka dibentuk oleh pendidikan dan
pengalaman sosial? Jelas, pertanyaan semacam itu memiliki implikasi yang
mendalam bagi hubungan antara individu dan ideologi politik. Pertanyaan-
pertanyaan penting juga telah ditanyakan tentang sejauh mana perilaku manusia
ditentukan oleh akal, pertanyaan-pertanyaan yang sangat berpengaruh pada isu-
isu seperti kebebasan individu dan otonomi pribadi. Apakah manusia adalah
makhluk rasional, yang dipandu oleh akal, argumen dan perhitungan, atau

2
apakah mereka dalam beberapa hal merupakan tawanan dari dorongan-
dorongan dan hasrat-hasrat non-rasional? Akhirnya, ada pertanyaan-
pertanyaan tentang dorongan-dorongan atau motivasi-motivasi yang
mendominasi perilaku manusia. Khususnya, apakah manusia secara alamiah
rakus dan egois, atau apakah mereka pada dasarnya kooperatif, altruistik dan
mudah bergaul? Pertimbangan-pertimbangan semacam itu sangat penting
dalam menentukan organisasi kehidupan ekonomi dan sosial yang tepat,
termasuk distribusi kekayaan dan sumber daya lainnya.

Nature versus Nurture

Perdebatan yang paling sering terjadi, dan mungkin yang paling


mendasar tentang sifat manusia berkaitan dengan faktor atau kekuatan apa yang
membentuknya. Apakah inti esensial dari sifat manusia itu tetap atau
ditentukan, dibentuk oleh ‘nature’, ataukah dibentuk atau disusun oleh
pengaruh pengalaman sosial atau ‘nurture’. ‘Nature’, dalam hal ini, adalah
penjelasan dari faktor biologis atau genetik yang menunjukkan bahwa ada inti
manusia yang tetap dan tidak berubah. Signifikansi politis dari keyakinan
semacam itu cukup besar. Pertama-tama, hal ini menyiratkan bahwa teori-teori
politik dan sosial harus dibangun atas dasar konsep sifat alamiah manusia yang
telah ditetapkan sebelumnya. Sederhananya, manusia tidak mencerminkan
masyarakat, masyarakat yang mencerminkan sifat alamiah manusia. Kedua, hal
ini menunjukkan bahwa akar pemahaman politik terletak pada ilmu alam secara
umum, dan dalam biologi pada khususnya. Oleh karena itu, argumen-argumen
politik harus dibangun atas dasar teori-teori biologi, sehingga argumen-argumen
tersebut memiliki karakter ‘ilmiah’. Hal ini membantu menjelaskan mengapa
teori-teori biologi politik semakin populer di abad ke-20.

Tidak diragukan lagi, teori biologi yang memiliki dampak terbesar pada
pemikiran politik dan sosial adalah teori seleksi alam, yang dikembangkan oleh
Charles Darwin (1809-82) dalam On the Origin of Species ([1859] 1986). Tujuan
Darwin adalah untuk menjelaskan variasi spesies yang hampir tak terbatas yang
telah ada di bumi. Dia menyarankan bahwa setiap spesies berkembang melalui
serangkaian mutasi genetik acak, beberapa spesies di antaranya cocok untuk
bertahan hidup dan berkembang, sementara spesies lain yang kurang beruntung
dan punah. Meskipun Darwin tampaknya telah mengakui bahwa teorinya
memiliki implikasi politik yang radikal, dia memilih untuk tidak
mengembangkannya sendiri. Upaya pertama untuk memajukan teori
Darwinisme sosial dilakukan oleh Herbert Spencer (1820-1903) dalam The Man

3
Versus the State ([1884] 1940). Spencer menciptakan istilah ‘the survival of the
fittest’ untuk menggambarkan apa yang dia yakini sebagai perjuangan tanpa
akhir di antara manusia, di mana mereka yang paling cocok secara alami untuk
bertahan hidup naik ke atas, dan mereka yang kurang disukai oleh alam
tenggelam ke bawah. Keberhasilan dan kegagalan, kekayaan dan kemiskinan,
dalam pengertian ini, ditentukan secara biologis; dan merusak proses seleksi
alam ini hanya akan melemahkan spesies. Gagasan-gagasan seperti itu sangat
memengaruhi liberalisme klasik, yaitu memberikannya alasan biologis untuk
menentang intervensi negara dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Darwinisme
sosial juga membantu membentuk keyakinan fasis dalam perjuangan tanpa
akhir di antara berbagai bangsa atau ras di dunia.

Pada abad ke-20, teori-teori politik semakin dipengaruhi oleh ide-ide


biologis. Misalnya, ahli etologi seperti Konrad Lorenz dan Niko Timbergen
mengemukakan teori-teori tentang perilaku manusia berdasarkan studi rinci
tentang perilaku hewan. Dalam On Aggression (1966), Lorenz mengemukakan
bahwa agresi adalah dorongan alami yang ditemukan pada semua spesies,
termasuk spesies manusia. Dipopulerkan oleh penulis seperti Robert Ardrey,
gagasan semacam itu memiliki dampak yang cukup besar pada penjelasan
tentang perang dan kekerasan sosial dengan menghadirkan perilaku seperti itu
sebagai naluri dan teritorial. Munculnya sosiobiologi pada tahun 1970-an dan
perkembangan psikologi evolusioner berikutnya, yang memperoleh dorongan
dari apa yang disebut ‘revolusi biotek’ dan penguraian DNA manusia, telah
membuatnya semakin modis untuk menjelaskan perilaku sosial dalam hal
pemrograman biologis yang terkait dengan warisan evolusi yang seharusnya kita
miliki. Salah satu karya sosiobiologi yang paling berpengaruh adalah The Selfish
Gene (1989) karya Richard Dawkins, yang menjelaskan manusia sebagai ‘mesin
gen’. Dawkins menyarankan bahwa baik keegoisan maupun altruisme memiliki
asal-usulnya dalam biologi.

Dalam kebanyakan kasus, teori-teori biologis ini menganut


universalisme; mereka berpendapat bahwa manusia memiliki karakter yang
sama atau universal, berdasarkan warisan genetik mereka. Akan tetapi, teori-
teori lain berpendapat bahwa ada perbedaan biologis yang mendasar di antara
manusia, dan bahwa perbedaan-perbedaan ini memiliki signifikansi politis. Ini
berlaku dalam kasus teori rasialis yang memperlakukan berbagai ras seolah-olah
mereka adalah spesies yang berbeda. Kaum rasialis berpendapat bahwa ada
perbedaan genetik dasar di antara ras-ras di dunia, yang tercermin dalam
warisan fisik, psikologis, dan intelektual mereka yang tidak setara. Dalam versi

4
yang paling ekstrem, rasialisme diekspresikan dalam doktrin Nazi tentang
Aryanisme, keyakinan bahwa bangsa Jermanik adalah ‘ras utama’. Salah satu
aliran feminisme radikal, kadang-kadang disebut feminisme separatis, juga
percaya bahwa ada perbedaan biologis dan tidak dapat diubah di antara
manusia, dalam hal ini antara pria dan wanita. Teori ini disebut ‘esensialisme’
karena menegaskan bahwa perbedaan antara perempuan dan laki-laki berakar
pada kodrat ‘esensial’ mereka. Oleh karena itu, ketidaksetaraan seksual tidak
didasarkan pada pengkondisian sosial melainkan pada disposisi biologis jenis
kelamin laki-laki untuk mendominasi, mengeksploitasi, dan menindas jenis
kelamin perempuan. Misalnya, dalam Against Our Will (1975), Susan
Brownmiller menyatakan bahwa ‘semua laki-laki’ secara biologis diprogram
untuk mendominasi ‘semua perempuan’, dan bahwa mereka melakukannya
melalui pemerkosaan atau ketakutan akan pemerkosaan, sebuah kesimpulan
yang dijadikan pembenaran aliran feminis tersebut.

Sebaliknya, teori-teori lain tentang sifat alamiah manusia lebih


menekankan pada nurture yang berarti ‘pembinaan’ atau ‘pengasuhan’, yang
berkaitan dengan pengaruh lingkungan sosial atau pengalaman terhadap
karakter manusia. Jelas bahwa pandangan-pandangan seperti itu mengecilkan
pentingnya faktor-faktor biologis yang tetap dan tidak berubah, sebaliknya
menekankan kualitas sifat manusia yang dapat dibentuk, atau apa yang disebut
‘plastisitas’. Signifikansi teori-teori semacam itu adalah menggeser pemahaman
politik dari biologi menuju sosiologi. Perilaku politik tidak banyak memberi tahu
kita tentang esensi manusia yang tidak dapat diubah daripada tentang struktur
masyarakat. Selain itu, dengan melepaskan manusia dari rantai biologisnya,
teori-teori semacam itu sering kali memiliki implikasi yang optimis, jika tidak
secara terbuka utopis. Ketika sifat manusia ‘given’ (ditentukan atau diberikan)
kemungkinan progres dan kemajuan sosial jelas terbatas; namun, jika sifat
manusia adalah ‘plastik’, peluang yang dihadapi manusia segera meluas dan
mungkin menjadi tak terbatas. Kejahatan seperti kemiskinan, konflik sosial,
penindasan politik, dan ketidaksetaraan gender dapat diatasi justru karena asal-
usulnya bersifat sosial dan bukan biologis.

Gagasan bahwa sifat manusia itu ‘plastis’, dibentuk oleh kekuatan-


kekuatan eksternal, merupakan pusat dari banyak teori sosialis. Misalnya, dalam
A New View of Society ([1816] 1972), sosialis Inggris Robert Owen
mengemukakan prinsip sederhana bahwa ‘karakter umum apa pun dari yang
terbaik hingga yang terburuk, dari yang bodoh hingga yang paling tercerahkan,
dapat ditentukan oleh setiap komunitas’. Dalam tulisan-tulisan Karl Marx ide ini

5
dikembangkan melalui upaya untuk menguraikan mengapa dan bagaimana
lingkungan sosial mengkondisikan perilaku manusia. Marx menyatakan bahwa,
‘Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi,
sebaliknya, keberadaan sosial mereka menentukan kesadaran mereka’. Marx,
dan para Marxis berikutnya, percaya bahwa kehidupan sosial, politik, dan
intelektual dikondisikan oleh ‘mode produksi kehidupan material’, sistem
ekonomi yang ada. Namun, Marx tidak percaya bahwa sifat manusia adalah
refleksi pasif dari lingkungan materialnya. Sebaliknya, manusia adalah pekerja,
homo faber, yang secara konstan terlibat dalam membentuk dan membentuk
kembali dunia tempat mereka tinggal.

Dengan demikian, dalam pandangan Marx, sifat manusia terbentuk


melalui hubungan dinamis atau ‘dialektis’ antara manusia dan dunia material.
Mayoritas feminis juga menganut pandangan bahwa perilaku manusia dalam
banyak kasus dikondisikan oleh faktor sosial. Misalnya, dalam karya yang
kemudian sangat berpengaruh terhadap perkembangan atau penelitian
berikutnya, The Second Sex ([1949] 1968), Simone de Beauvoir menyatakan
bahwa, ‘Seseorang tidak terlahir sebagai seorang wanita: seseorang menjadi
seorang wanita’. Dalam menolak gagasan perbedaan ‘esensial’ antara wanita dan
pria, para feminis telah menerima citra sifat manusia yang pada dasarnya
androgini atau tanpa jenis kelamin. Karena seksisme telah ‘dibesarkan’ melalui
proses pengkondisian sosial, khususnya dalam keluarga, maka seksisme dapat
ditantang dan akhirnya ditumbangkan.

Gambaran sifat manusia pada dasarnya dapat dibentuk, dibentuk oleh


faktor-faktor sosial, juga telah didukung oleh para psikolog behavioris, seperti
I.V. Pavlov, John Watson dan B.F. Skinner. Mereka berpendapat bahwa perilaku
manusia dapat dijelaskan secara sederhana dalam hal reaksi atau refleks yang
terkondisi, yang karenanya sifat alamiah manusia memiliki jejak dari
lingkungannya. Pavlov, misalnya, mendemonstrasikan bagaimana hewan dapat
belajar melalui proses pengkondisian yang ketat, dengan diberi hadiah karena
menunjukkan perilaku yang ‘benar’. Ide-ide seperti itu menjadi dasar psikologi
di Uni Soviet, di mana behaviorisme dianggap memberikan bukti ilmiah untuk
teori-teori sosial Marx. Psikolog AS B.F. Skinner mengabaikan proses internal
sama sekali, menggambarkan organisme manusia sebagai ‘kotak hitam’. Dalam
Beyond Freedom and Dignity (1971), Skinner menyajikan gambaran yang sangat
deterministik tentang sifat manusia, menolak segala bentuk kehendak bebas,
dan berhak, Skinner menngemukakan, untuk tidak lebih bermartabat atau
menghargai diri sendiri daripada anjing Pavlov. Ide-ide seperti itu telah banyak

6
digunakan untuk mendukung gagasan rekayasa sosial, gagasan bahwa kita dapat
‘membuat’ manusia yang kita inginkan hanya dengan membangun lingkungan
sosial yang sesuai.

Nalar versus Naluri

Perdebatan kedua berpusat pada peran rasionalitas dalam kehidupan


manusia. Namun, ini tidak sampai pada pilihan antara rasionalisme dan
irasionalisme. Isu yang sebenarnya adalah sejauh mana pikiran yang bernalar
mempengaruhi perilaku manusia, menunjukkan perbedaan antara mereka yang
menekankan pemikiran, analisis, dan kalkulasi rasional, dan mereka yang
menyoroti peran dorongan hati, naluri, atau dorongan non-rasional lainnya.
Mengakui pentingnya sisi non-rasional tidak berarti memalingkan seseorang
dari akal secara keseluruhan. Memang, banyak teori-teori seperti itu
dikemukakan dalam istilah-istilah yang sangat rasionalis, bahkan ilmiah.

Kepercayaan pada kekuatan akal manusia mencapai titik tertingginya


selama Abad Pencerahan, yang disebut Zaman Akal, pada abad ketujuh belas dan
kedelapan belas. Selama periode itu, para filsuf dan pemikir politik berpaling
dari dogma-dogma agama dan iman, dan sebaliknya mendasarkan ide-ide
mereka pada rasionalisme, keyakinan bahwa cara kerja dunia fisik dan sosial
dapat dijelaskan dengan latihan akal semata. Dalam pandangan ini, manusia
pada dasarnya adalah makhluk rasional, yang dibimbing oleh akal budi dan
proses argumen, analisis, serta debat. Gagasan seperti itu diungkapkan dengan
kejelasan khusus dalam dualisme yang dikemukakan oleh filsuf Prancis,
Rene´Descartes (1596-1650). Dalam mendeklarasikan 'Cogito ergo sum [saya
berpikir, karena itu saya ada]', Descartes pada dasarnya menggambarkan
manusia sebagai mesin yang berpikir, yang menyiratkan bahwa pikiran sangat
berbeda dari tubuh. Rasionalisme menyiratkan bahwa manusia memiliki
kapasitas untuk membentuk kehidupan mereka sendiri dan dunia mereka
sendiri. Jika manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh akal, mereka jelas
menikmati kehendak bebas dan penentuan nasib sendiri: manusia adalah apa
yang mereka pilih untuk membuat diri mereka sendiri. Oleh karena itu, teori-
teori rasionalis tentang sifat manusia cenderung menggarisbawahi pentingnya
kebebasan dan otonomi individu. Selain itu, rasionalisme sering mendukung
doktrin-doktrin politik yang radikal atau revolusioner. Sejauh manusia memiliki
kapasitas untuk memahami dunianya, mereka juga memiliki kemampuan untuk
memperbaiki atau mereformasinya.

7
Ide-ide rasionalis paling awal dikembangkan oleh para filsuf Yunani
Kuno. Plato, misalnya, berpendapat bahwa bentuk pemerintahan terbaik yang
mungkin adalah despotisme yang tercerahkan, yang diperintah oleh elit
intelektual, raja-raja filsuf. Gagasan rasionalis juga menonjol dalam kemunculan
doktrin liberal dan sosialis pada abad kesembilan belas. Para pemikir liberal,
seperti J.S. Mill, sebagian besar mendasarkan teori mereka pada gagasan bahwa
manusia itu rasional. Hal ini, misalnya, menjelaskan mengapa Mill sendiri
menaruh begitu banyak kepercayaan pada kebebasan individu: dipandu oleh
akal, individu akan dapat mencari kebahagiaan dan realisasi diri. Dengan cara
yang sama, ia berargumen mendukung hak pilih perempuan, dengan alasan
bahwa, seperti halnya laki-laki, perempuan itu rasional dan karenanya berhak
untuk menggunakan pengaruh politik. Pada gilirannya, teori-teori sosialis juga
dibangun di atas fondasi rasionalis. Hal ini paling jelas terlihat dalam tulisan-
tulisan Marx dan Engels, yang mengembangkan apa yang disebut oleh Marx dan
Engels sebagai ‘sosialisme ilmiah’. Alih-alih memanjakan diri dalam analisis etis
dan pernyataan moral, yang disebut sebagai ‘sosialisme utopis’, Marx dan Engels
berusaha keras untuk mengungkap dinamika sejarah dan masyarakat melalui
proses analisis ilmiah. Misalnya ketika mereka meramalkan kehancuran akhir
kapitalisme, ini bukan karena mereka percaya bahwa kapitalisme secara moral
‘buruk’, dalam arti bahwa kapitalisme layak untuk digulingkan, tetapi sebaliknya
karena analisis mereka menunjukkan bahwa inilah yang ditakdirkan untuk
terjadi, ini adalah arah di mana sejarah bergerak.

Visi manusia sebagai mesin berpikir ini telah menarik kritik yang
berkembang sejak akhir abad kesembilan belas. Impian Pencerahan tentang
dunia yang teratur, rasional dan toleran telah rusak parah oleh persistensi
konflik dan perampasan sosial dan munculnya kekuatan yang kuat dan
tampaknya non-rasional seperti nasionalisme dan rasialisme. Hal ini
menyebabkan tumbuhnya minat dalam pengaruh yang diberikan oleh emosi,
naluri, dan dorongan psikologis lainnya terhadap politik. Namun, dalam
beberapa hal, perkembangan ini dibangun di atas tradisi yang sudah
berlangsung lama, yang ditemukan terutama di kalangan pemikir konservatif,
yang selalu meremehkan ide rasionalisme. Misalnya Edmund Burke, yang telah
menekankan ketidaksempurnaan intelektual manusia, terutama ketika mereka
dihadapkan pada kompleksitas kehidupan sosial yang hampir tak terbatas.
Singkatnya, dunia ini tak terduga, terlalu rumit dan terlalu membingungkan bagi
pikiran manusia untuk diurai sepenuhnya. Pandangan seperti itu memiliki
implikasi yang sangat konservatif. Jika teori-teori rasionalis yang diimpikan oleh

8
kaum liberal dan sosialis tidak meyakinkan, manusia akan secara bijaksana
menempatkan keyakinan mereka pada tradisi dan kebiasaan.

Pada saat yang sama, para teoretikus konservatif termasuk yang pertama
mengakui kekuatan non-rasional. Thomas Hobbes, misalnya, percaya pada
kekuatan akal manusia, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Dalam pandangannya, manusia digerakkan oleh nafsu non-rasional: kebencian,
ketakutan, harapan dan keinginan, yang terkuat di antaranya adalah keinginan
untuk menjalankan kekuasaan atas orang lain. Pandangan yang pada dasarnya
pesimis tentang sifat manusia ini membuat Hobbes menyimpulkan bahwa hanya
pemerintah yang kuat dan otokratis yang dapat mencegah masyarakat turun ke
dalam kekacauan dan ketidakteraturan. Burke juga menekankan sejauh mana
sentimen yang tidak beralasan dan bahkan prasangka memainkan peran dalam
penataan kehidupan sosial.

Egois versus Altruis

Area ketiga dari ketidaksepakatan berpusat pada apakah manusia pada


dasarnya mementingkan diri sendiri dan egois, atau secara alamiah
bersosialisasi dan kooperatif. Perdebatan ini sangat penting secara politis karena
teori-teori yang kontras tentang sifat alamiah manusia ini mendukung bentuk-
bentuk organisasi ekonomi dan sosial yang sangat berbeda. Jika manusia secara
alamiah mementingkan diri sendiri, persaingan di antara mereka merupakan ciri
yang tak terelakkan dari kehidupan sosial, dan dalam hal tertentu, merupakan
hal yang sehat. Teori sifat alami manusia seperti itu, terlebih lagi, terkait erat
dengan ide-ide individualis seperti hak-hak alami dan kepemilikan pribadi, dan
sering digunakan sebagai pembenaran untuk pasar atau tatanan ekonomi
kapitalis, di mana, individu memiliki kesempatan terbaik untuk mengejar
kepentingan mereka sendiri.

Teori-teori yang menggambarkan sifat manusia sebagai mementingkan


diri sendiri atau mencari keuntungan diri sendiri dapat ditemukan di antara
orang-orang Yunani Kuno, yang diungkapkan terutama oleh beberapa Sophis.
Namun, teori-teori ini dikembangkan paling sistematis pada periode modern
awal. Dalam pemikiran politik, hal ini tercermin dalam pertumbuhan teori-teori
hak-hak alamiah, yang menyatakan bahwa setiap individu telah ditanamkan
oleh Tuhan dengan seperangkat hak-hak yang tidak dapat dicabut. Hak-hak ini
adalah milik individu dan hanya milik individu itu sendiri. Utilitarianisme, yang
dikembangkan pada akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan

9
belas, berusaha memberikan penjelasan objektif, bahkan ilmiah, tentang
keegoisan manusia. Jeremy Bentham melukiskan gambaran manusia pada
dasarnya sebagai makhluk hedonis dan pencari kesenangan. Dalam pandangan
Bentham, kesenangan atau kebahagiaan dengan sendirinya ‘baik’, dan rasa sakit
atau ketidakbahagiaan dengan sendirinya ‘buruk’. Oleh karena itu, individu-
individu bertindak untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa
sakit, masing-masing menghitung dari segi ‘utilitas’ – dalam arti yang paling
sederhana, nilai guna. Pandangan tentang sifat manusia ini memiliki dampak
yang cukup besar pada teori ekonomi dan politik. Ekonomi didasarkan sangat
sebagian besar pada model ‘manusia ekonomi’, ‘pemaksimal utilitas’ yang
mementingkan diri sendiri secara material. Asumsi filosofis seperti itu
digunakan, misalnya, untuk menjelaskan kekuatan dan efisiensi kapitalisme
pasar. Asumsi-asumsi ini juga mendasari teori-teori politik mulai dari teori-teori
kontrak sosial abad ketujuh belas hingga ‘rational choice’ (pilihan rasional) dan
aliran ‘public choice’ (pilihan publik) dalam ilmu politik modern.

Dukungan ilmiah untuk kepentingan pribadi manusia biasanya


didasarkan pada Darwin dan gagasan semacam perjuangan untuk bertahan
hidup. Namun, gagasan Darwin dapat ditafsirkan dengan cara yang sangat
berbeda. Penulis seperti Lorenz dan Ardrey berpendapat bahwa setiap anggota
individu dari suatu spesies secara biologis diprogram untuk memastikan
kelangsungan hidup spesies itu sendiri. Pandangan seperti itu menunjukkan
bahwa hewan, termasuk manusia, pada akhirnya bertindak ‘demi kebaikan
spesies’, sebuah gagasan yang tercermin dalam kesediaan seorang ibu untuk
mengorbankan dirinya sendiri dengan harapan melindungi anak-anaknya.
Dengan kata lain, individu-individu akan menunjukkan perilaku kooperatif dan
bersosialisasi sejauh mereka menempatkan spesies di atas diri mereka sendiri.
Di sisi lain, penulis modern seperti Richard Dawkins (1989) berpendapat bahwa
setiap gen, termasuk gen-gen yang unik bagi individu yang terpisah, memiliki
sifat egois dan mengutamakan kelangsungan hidupnya sendiri. Teori semacam
itu menunjukkan bahwa keegoisan dan persaingan di antara individu pada
dasarnya merupakan bentuk perilaku yang diprogram secara biologis. Namun,
ini bukan berarti bahwa manusia itu egois secara membabi buta. Meskipun
Dawkins menerima bahwa individu-individu ‘terlahir egois’, dia menekankan
bahwa perilaku seperti itu dapat dimodifikasi jika kita ‘mengajarkan kemurahan
hati dan altruisme’.

Akan tetapi, gambaran yang sangat berbeda tentang sifat manusia


disajikan oleh agama-agama besar dunia. Agama-agama monoteistik seperti

10
Kristen, Islam, dan Yahudi menawarkan gambaran manusia sebagai produk
ciptaan ilahi. Oleh karena itu, esensi manusia dipahami sebagai spiritual
daripada mental atau fisik, dan diwakili dalam agama Kristen oleh gagasan
tentang ‘jiwa’. Gagasan bahwa manusia adalah makhluk bermoral, terikat
bersama oleh pemeliharaan ilahi, telah memiliki pengaruh yang cukup besar
utamanya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan simpati, dan kemanusiaan.
Agama-agama Timur seperti Hinduisme dan Buddhisme memberikan
penekanan yang cukup besar pada kesatuan semua bentuk kehidupan, yang
memberikan kontribusi pada gagasan kemanusiaan kolektif, serta filosofi anti-
kekerasan. Akan tetapi, akan menjadi sebuah kesalahan untuk mengasumsikan
bahwa semua teori agama memiliki implikasi altruistik. Misalnya, kepercayaan
Protestan pada keselamatan individu dan tekanannya pada nilai moral dari
perjuangan pribadi dan kerja keras, yang sering disebut ‘etika Protestan’, yang
jelas lebih terkait dengan ide-ide swadaya dan pasar bebas daripada belas kasih
altruistik yang cenderung sosialis. Selain itu, doktrin Kristen tentang dosa asal
telah menghasilkan pandangan pesimis tentang kemanusiaan yang pada
gilirannya, memiliki dampak yang cukup besar pada pemikiran sosial dan
politik.

Teori-teori ‘esensi sosial’ dari sifat manusia secara tradisional


menekankan pentingnya keberadaan sosial, yang dilihat berdasarkan fakta
bahwa individu-individu hidup dan bekerja secara kolektif, sebagai anggota
suatu komunitas. Keegoisan dan persaingan sama sekali tidak ‘alami’;
sebaliknya, mereka telah dibudidayakan oleh masyarakat kapitalis yang
memberi penghargaan dan mendorong perjuangan diri sendiri. Esensi manusia
adalah bersosialisasi, suka berteman, dan kooperatif, sebuah teori yang dengan
jelas cocok untuk tujuan komunis dari kepemilikan kolektif, atau cita-cita
sosialis yang lebih sederhana dari negara kesejahteraan (welfare state). Salah
satu dari beberapa upaya untuk mengembangkan teori ilmiah tentang sifat
alamiah manusia di sepanjang garis sosiabilitas dan kooperatif dilakukan oleh
Peter Kropotkin. Kropotkin menerima ide-ide evolusi yang telah mendominasi
biologi sejak Darwin, tetapi tidak bersimpati pada doktrin ‘the survival of the
fittest’. Dalam Mutual Aid ([1897] 1902), ia mengembangkan teori evolusi yang
secara fundamental menantang Darwinisme. Alih-alih menerima bahwa
kelangsungan hidup adalah hasil dari perjuangan atau kompetisi, Kropotkin
menyarankan bahwa apa yang membedakan spesies manusia dari spesies yang
kurang berhasil adalah kapasitasnya yang sangat berkembang untuk kerja sama
atau ‘saling membantu’. Oleh karena itu, kerja sama bukan sekadar ideal etis
atau religius, melainkan suatu kebutuhan praktis yang oleh proses evolusi telah

11
dijadikan bagian penting dari sifat manusia. Atas dasar ini, Kropotkin
mendukung masyarakat komunis, di mana kekayaan akan dimiliki bersama oleh
semua orang, dan suatu bentuk anarkisme di mana manusia dapat mengelola
urusan mereka sendiri secara kolektif.

Bibliografi

Beauvoir, Simone de. (2015). The Second Sex. London, England: Vintage
Classics.

Berry, C. (1986). Human Nature. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

Brownmiller, Susan. (1975). Against our will : men, women, and rape. New
York: Fawcett Books.

Darwin, Charles. 1809-1882. (1859). On the origin of species by means of


natural selection, or preservation of favoured races in the struggle for
life. London: John Murray.

Dawkins, Richard, 1941-. (1989). The selfish gene. Oxford ; New York : Oxford
University Press.

Kropotkin, P. (1902). Mutual aid: A factor of evolution. London: Heinemann.

Kymlicka, W. (1989). Liberalism, Community and Culture. Oxford University


Press.

Lorenz, K. (1966). On aggression. Harcourt, Brace and World: New York.

Owen, Robert. “A New View of Society.” In Sources for Western Society, Volume
2: From the Age of Exploration to the Present, 3 rd ed., edited by John
McKay, Clare Haru Crowston, Merry Wiesner-Hanks, and Joe Perry, 326-
330. Boston: Bedford/St. Martin’s, 2013.

Skinner, B. F. (2002). Beyond Freedom and Dignity. Cambridge, MA: Hackett


Publishing.

Spencer, H. (1884). The Man versus the State, with Six Essays on Government,
Society and Freedom (LF ed.). Liberty Classics.

https://wa.wizard.id/1b0d0a

12

Anda mungkin juga menyukai