Human Nature
Hubungan antara sifat alamiah manusia dan ideologi
politik modern
2022
[verba volant, scripta manent]
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa seseorang begitu saja percaya
bahwa perilaku manusia lebih banyak dibentuk oleh masyarakat daripada oleh
karakteristik bawaan yang tetap. Memang, pernyataan ini didasarkan pada
asumsi yang jelas tentang kualitas bawaan manusia. Namun demikian, terdapat
filsuf yang telah secara terbuka menolak gagasan tentang sifat alamiah manusia.
Misalnya, filsuf eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre (1905-80), berpendapat
bahwa tidak ada yang namanya ‘sifat alamiah manusia’, yang menentukan
bagaimana orang bertindak atau berperilaku. Dalam pandangan Sartre,
1
eksistensi mendahului esensi, yang berarti bahwa manusia menikmati
kebebasan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri melalui tindakan dan
perbuatan mereka sendiri, dalam hal ini, pernyataan konsep apa pun tentang
sifat manusia adalah penghinaan terhadap kebebasan itu.
Diskusi yang tak ada habisnya telah terjadi tentang hakikat manusia.
Namun demikian, perdebatan-perdebatan tertentu sangat relevan dengan teori
politik. Yang paling utama di antaranya adalah apa yang biasanya disebut
perdebatan ‘nature/nurture’. Apakah manusia merupakan produk dari faktor
bawaan atau biologis, atau apakah mereka dibentuk oleh pendidikan dan
pengalaman sosial? Jelas, pertanyaan semacam itu memiliki implikasi yang
mendalam bagi hubungan antara individu dan ideologi politik. Pertanyaan-
pertanyaan penting juga telah ditanyakan tentang sejauh mana perilaku manusia
ditentukan oleh akal, pertanyaan-pertanyaan yang sangat berpengaruh pada isu-
isu seperti kebebasan individu dan otonomi pribadi. Apakah manusia adalah
makhluk rasional, yang dipandu oleh akal, argumen dan perhitungan, atau
2
apakah mereka dalam beberapa hal merupakan tawanan dari dorongan-
dorongan dan hasrat-hasrat non-rasional? Akhirnya, ada pertanyaan-
pertanyaan tentang dorongan-dorongan atau motivasi-motivasi yang
mendominasi perilaku manusia. Khususnya, apakah manusia secara alamiah
rakus dan egois, atau apakah mereka pada dasarnya kooperatif, altruistik dan
mudah bergaul? Pertimbangan-pertimbangan semacam itu sangat penting
dalam menentukan organisasi kehidupan ekonomi dan sosial yang tepat,
termasuk distribusi kekayaan dan sumber daya lainnya.
Tidak diragukan lagi, teori biologi yang memiliki dampak terbesar pada
pemikiran politik dan sosial adalah teori seleksi alam, yang dikembangkan oleh
Charles Darwin (1809-82) dalam On the Origin of Species ([1859] 1986). Tujuan
Darwin adalah untuk menjelaskan variasi spesies yang hampir tak terbatas yang
telah ada di bumi. Dia menyarankan bahwa setiap spesies berkembang melalui
serangkaian mutasi genetik acak, beberapa spesies di antaranya cocok untuk
bertahan hidup dan berkembang, sementara spesies lain yang kurang beruntung
dan punah. Meskipun Darwin tampaknya telah mengakui bahwa teorinya
memiliki implikasi politik yang radikal, dia memilih untuk tidak
mengembangkannya sendiri. Upaya pertama untuk memajukan teori
Darwinisme sosial dilakukan oleh Herbert Spencer (1820-1903) dalam The Man
3
Versus the State ([1884] 1940). Spencer menciptakan istilah ‘the survival of the
fittest’ untuk menggambarkan apa yang dia yakini sebagai perjuangan tanpa
akhir di antara manusia, di mana mereka yang paling cocok secara alami untuk
bertahan hidup naik ke atas, dan mereka yang kurang disukai oleh alam
tenggelam ke bawah. Keberhasilan dan kegagalan, kekayaan dan kemiskinan,
dalam pengertian ini, ditentukan secara biologis; dan merusak proses seleksi
alam ini hanya akan melemahkan spesies. Gagasan-gagasan seperti itu sangat
memengaruhi liberalisme klasik, yaitu memberikannya alasan biologis untuk
menentang intervensi negara dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Darwinisme
sosial juga membantu membentuk keyakinan fasis dalam perjuangan tanpa
akhir di antara berbagai bangsa atau ras di dunia.
4
yang paling ekstrem, rasialisme diekspresikan dalam doktrin Nazi tentang
Aryanisme, keyakinan bahwa bangsa Jermanik adalah ‘ras utama’. Salah satu
aliran feminisme radikal, kadang-kadang disebut feminisme separatis, juga
percaya bahwa ada perbedaan biologis dan tidak dapat diubah di antara
manusia, dalam hal ini antara pria dan wanita. Teori ini disebut ‘esensialisme’
karena menegaskan bahwa perbedaan antara perempuan dan laki-laki berakar
pada kodrat ‘esensial’ mereka. Oleh karena itu, ketidaksetaraan seksual tidak
didasarkan pada pengkondisian sosial melainkan pada disposisi biologis jenis
kelamin laki-laki untuk mendominasi, mengeksploitasi, dan menindas jenis
kelamin perempuan. Misalnya, dalam Against Our Will (1975), Susan
Brownmiller menyatakan bahwa ‘semua laki-laki’ secara biologis diprogram
untuk mendominasi ‘semua perempuan’, dan bahwa mereka melakukannya
melalui pemerkosaan atau ketakutan akan pemerkosaan, sebuah kesimpulan
yang dijadikan pembenaran aliran feminis tersebut.
5
dikembangkan melalui upaya untuk menguraikan mengapa dan bagaimana
lingkungan sosial mengkondisikan perilaku manusia. Marx menyatakan bahwa,
‘Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi,
sebaliknya, keberadaan sosial mereka menentukan kesadaran mereka’. Marx,
dan para Marxis berikutnya, percaya bahwa kehidupan sosial, politik, dan
intelektual dikondisikan oleh ‘mode produksi kehidupan material’, sistem
ekonomi yang ada. Namun, Marx tidak percaya bahwa sifat manusia adalah
refleksi pasif dari lingkungan materialnya. Sebaliknya, manusia adalah pekerja,
homo faber, yang secara konstan terlibat dalam membentuk dan membentuk
kembali dunia tempat mereka tinggal.
6
digunakan untuk mendukung gagasan rekayasa sosial, gagasan bahwa kita dapat
‘membuat’ manusia yang kita inginkan hanya dengan membangun lingkungan
sosial yang sesuai.
7
Ide-ide rasionalis paling awal dikembangkan oleh para filsuf Yunani
Kuno. Plato, misalnya, berpendapat bahwa bentuk pemerintahan terbaik yang
mungkin adalah despotisme yang tercerahkan, yang diperintah oleh elit
intelektual, raja-raja filsuf. Gagasan rasionalis juga menonjol dalam kemunculan
doktrin liberal dan sosialis pada abad kesembilan belas. Para pemikir liberal,
seperti J.S. Mill, sebagian besar mendasarkan teori mereka pada gagasan bahwa
manusia itu rasional. Hal ini, misalnya, menjelaskan mengapa Mill sendiri
menaruh begitu banyak kepercayaan pada kebebasan individu: dipandu oleh
akal, individu akan dapat mencari kebahagiaan dan realisasi diri. Dengan cara
yang sama, ia berargumen mendukung hak pilih perempuan, dengan alasan
bahwa, seperti halnya laki-laki, perempuan itu rasional dan karenanya berhak
untuk menggunakan pengaruh politik. Pada gilirannya, teori-teori sosialis juga
dibangun di atas fondasi rasionalis. Hal ini paling jelas terlihat dalam tulisan-
tulisan Marx dan Engels, yang mengembangkan apa yang disebut oleh Marx dan
Engels sebagai ‘sosialisme ilmiah’. Alih-alih memanjakan diri dalam analisis etis
dan pernyataan moral, yang disebut sebagai ‘sosialisme utopis’, Marx dan Engels
berusaha keras untuk mengungkap dinamika sejarah dan masyarakat melalui
proses analisis ilmiah. Misalnya ketika mereka meramalkan kehancuran akhir
kapitalisme, ini bukan karena mereka percaya bahwa kapitalisme secara moral
‘buruk’, dalam arti bahwa kapitalisme layak untuk digulingkan, tetapi sebaliknya
karena analisis mereka menunjukkan bahwa inilah yang ditakdirkan untuk
terjadi, ini adalah arah di mana sejarah bergerak.
Visi manusia sebagai mesin berpikir ini telah menarik kritik yang
berkembang sejak akhir abad kesembilan belas. Impian Pencerahan tentang
dunia yang teratur, rasional dan toleran telah rusak parah oleh persistensi
konflik dan perampasan sosial dan munculnya kekuatan yang kuat dan
tampaknya non-rasional seperti nasionalisme dan rasialisme. Hal ini
menyebabkan tumbuhnya minat dalam pengaruh yang diberikan oleh emosi,
naluri, dan dorongan psikologis lainnya terhadap politik. Namun, dalam
beberapa hal, perkembangan ini dibangun di atas tradisi yang sudah
berlangsung lama, yang ditemukan terutama di kalangan pemikir konservatif,
yang selalu meremehkan ide rasionalisme. Misalnya Edmund Burke, yang telah
menekankan ketidaksempurnaan intelektual manusia, terutama ketika mereka
dihadapkan pada kompleksitas kehidupan sosial yang hampir tak terbatas.
Singkatnya, dunia ini tak terduga, terlalu rumit dan terlalu membingungkan bagi
pikiran manusia untuk diurai sepenuhnya. Pandangan seperti itu memiliki
implikasi yang sangat konservatif. Jika teori-teori rasionalis yang diimpikan oleh
8
kaum liberal dan sosialis tidak meyakinkan, manusia akan secara bijaksana
menempatkan keyakinan mereka pada tradisi dan kebiasaan.
Pada saat yang sama, para teoretikus konservatif termasuk yang pertama
mengakui kekuatan non-rasional. Thomas Hobbes, misalnya, percaya pada
kekuatan akal manusia, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Dalam pandangannya, manusia digerakkan oleh nafsu non-rasional: kebencian,
ketakutan, harapan dan keinginan, yang terkuat di antaranya adalah keinginan
untuk menjalankan kekuasaan atas orang lain. Pandangan yang pada dasarnya
pesimis tentang sifat manusia ini membuat Hobbes menyimpulkan bahwa hanya
pemerintah yang kuat dan otokratis yang dapat mencegah masyarakat turun ke
dalam kekacauan dan ketidakteraturan. Burke juga menekankan sejauh mana
sentimen yang tidak beralasan dan bahkan prasangka memainkan peran dalam
penataan kehidupan sosial.
9
belas, berusaha memberikan penjelasan objektif, bahkan ilmiah, tentang
keegoisan manusia. Jeremy Bentham melukiskan gambaran manusia pada
dasarnya sebagai makhluk hedonis dan pencari kesenangan. Dalam pandangan
Bentham, kesenangan atau kebahagiaan dengan sendirinya ‘baik’, dan rasa sakit
atau ketidakbahagiaan dengan sendirinya ‘buruk’. Oleh karena itu, individu-
individu bertindak untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa
sakit, masing-masing menghitung dari segi ‘utilitas’ – dalam arti yang paling
sederhana, nilai guna. Pandangan tentang sifat manusia ini memiliki dampak
yang cukup besar pada teori ekonomi dan politik. Ekonomi didasarkan sangat
sebagian besar pada model ‘manusia ekonomi’, ‘pemaksimal utilitas’ yang
mementingkan diri sendiri secara material. Asumsi filosofis seperti itu
digunakan, misalnya, untuk menjelaskan kekuatan dan efisiensi kapitalisme
pasar. Asumsi-asumsi ini juga mendasari teori-teori politik mulai dari teori-teori
kontrak sosial abad ketujuh belas hingga ‘rational choice’ (pilihan rasional) dan
aliran ‘public choice’ (pilihan publik) dalam ilmu politik modern.
10
Kristen, Islam, dan Yahudi menawarkan gambaran manusia sebagai produk
ciptaan ilahi. Oleh karena itu, esensi manusia dipahami sebagai spiritual
daripada mental atau fisik, dan diwakili dalam agama Kristen oleh gagasan
tentang ‘jiwa’. Gagasan bahwa manusia adalah makhluk bermoral, terikat
bersama oleh pemeliharaan ilahi, telah memiliki pengaruh yang cukup besar
utamanya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan simpati, dan kemanusiaan.
Agama-agama Timur seperti Hinduisme dan Buddhisme memberikan
penekanan yang cukup besar pada kesatuan semua bentuk kehidupan, yang
memberikan kontribusi pada gagasan kemanusiaan kolektif, serta filosofi anti-
kekerasan. Akan tetapi, akan menjadi sebuah kesalahan untuk mengasumsikan
bahwa semua teori agama memiliki implikasi altruistik. Misalnya, kepercayaan
Protestan pada keselamatan individu dan tekanannya pada nilai moral dari
perjuangan pribadi dan kerja keras, yang sering disebut ‘etika Protestan’, yang
jelas lebih terkait dengan ide-ide swadaya dan pasar bebas daripada belas kasih
altruistik yang cenderung sosialis. Selain itu, doktrin Kristen tentang dosa asal
telah menghasilkan pandangan pesimis tentang kemanusiaan yang pada
gilirannya, memiliki dampak yang cukup besar pada pemikiran sosial dan
politik.
11
dijadikan bagian penting dari sifat manusia. Atas dasar ini, Kropotkin
mendukung masyarakat komunis, di mana kekayaan akan dimiliki bersama oleh
semua orang, dan suatu bentuk anarkisme di mana manusia dapat mengelola
urusan mereka sendiri secara kolektif.
Bibliografi
Beauvoir, Simone de. (2015). The Second Sex. London, England: Vintage
Classics.
Brownmiller, Susan. (1975). Against our will : men, women, and rape. New
York: Fawcett Books.
Dawkins, Richard, 1941-. (1989). The selfish gene. Oxford ; New York : Oxford
University Press.
Owen, Robert. “A New View of Society.” In Sources for Western Society, Volume
2: From the Age of Exploration to the Present, 3 rd ed., edited by John
McKay, Clare Haru Crowston, Merry Wiesner-Hanks, and Joe Perry, 326-
330. Boston: Bedford/St. Martin’s, 2013.
Spencer, H. (1884). The Man versus the State, with Six Essays on Government,
Society and Freedom (LF ed.). Liberty Classics.
https://wa.wizard.id/1b0d0a
12