Anda di halaman 1dari 5

TUGAS REVIEW BAB 1 DAN 2

NAMA : PRADANA PUTRA HERIARTO

KELAS : ILKOM C (MALAM)

 BAB 1

Pada bab 1, kita mempelajari tentang sejarah perkembangan sosiologi.


Yang mana didalamnya terdapat: sebab munculnya sosiologi, para perintis
sosiologi, ringkasan, dan konsep penting.

Point pertama dalam bab ini adalah sebab munculnya sosiologi. Pada
point ini, kita membahas tentang kenapa sosiologi bisa muncul. Menurut
Berger dan Berger, sosiologi bisa berkembang apabila masyarakat
mendapakatkan masalah atau ancaman dari apa yang selama ini mereka
anggap benar. Apabila mereka mengalami krisis atau merasa dirugikan atas
apa yang mereka anggap benar, mereka akan melakukan renungan sosiologi.

Contoh dalam buku yang disebutkan adalah disentgrasi kesatuan


masyarakat abads pertengahan, khususnya dalam agama Kristen. Contoh yang
yang sekarang terjadi adalah penggunaan barang-barang dari luar negeri, atau
yang biasa di sebut barang impor. Hampir seluruh masyarakat di Indonesia
mengkonsumsi barang impor dan sangat menggemarinya. Namun, kita tidak
menyadari bahwa kegiatan konsumsi yang kita lakukan menyebabkan
lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Memang tidak ada larangan untuk
mengonsumsi barang impor, namun ada dampak dari kegiatan itu yang
menjadi salah satu factor krisis yang kita alami.

L. Laeyendecker pun mengaitkan kelahiran sosiologi dengan masalah-


masalah dan perubahan-perubahan yang terjadi pada abad pertengahan di
Eropa Barat. Perubahan yang di identifikasi dan dikaitkan pada masa itu
adalah: 1. Tumbuhnya kapitalisme, 2. Perubahan di bidang politik dan social,
3. Perubahan yang berkenaan dengan revolusi Martin Luther, 4. Meningkatnya
individualism, 5. Lahirnya ilmu pengetahuan modern, 6. Berkembangnya
kepercayaan diri, 7. Revolusi Industri, 8. Revolusi Prancis. Dalam buku ini
disebutkan bahwa kekuatan social juga mendorong pertumbuhan sosiologi
sebagaimana yang telah disebutkan dalam buku Ritzer. Berkat mereka,
sosiologi berkembang serentak di Negara Eropa, Inggris, dan Prancis.
Point Kedua adalah para perintis sosiologi. Yang mana ini adalah
sebuah pengetahuan dasar dari sebuah ilmu pengetahuan, tentunya sebelum
kita mempelajari sebuah ilmu, kita harus menguasai mengapa ilmu itu ada dan
berkembang dan siapa yang merumuskan aatu merintis ilmu tersebut. Pada
point ini, kita disuguhkan dengan beragam nama dari perintis ilmu sosiologi
yang telah terbagi menjadi beberapa bagian. Lewis Coser menganggap Saint-
simon, Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Marx, Sorokin, Mead, Cooley.
Sedangkan Doyle Paul Johnson menyebutkan Comte, Marx, Durkheim, Weber
dan Simmel sebagai tokoh sosiologi klasik dan menganggap beberapa orang
sebagai penganut perspektif masa kini yaitu Mead, Goffman, Homans, Thibaut
dan Kelly, Blau, Parsons, Merton, Mills, Dahrendof, Coser dan Collins. Dari
banyaknya nama perintis diatas, Auguste Comte dianggap sebagai bapak
sosiologi karena beliau yang mencetuskan nama sosiologi. Namun, tokoh
perintis ilmu sosiologi itu ada 4, yaitu: Comte, Marx, Weber, dan Durkheim.
Pada point ini juga tertulis biografi tokoh-tokoh sosiologi, dan mengapa
mereka menciptakan menrumuskan sosiologi sehingga sampai saat ini mereka
disebut dengan tokoh pembesar sosiologi.

 BAB 2

Dalam bab 2, kita akan mempelajari tentang pokok-pokok bahasan


sosiologi. Yang mana didalamnya terdapat beberapa point, yaitu: pandangan
para perintis, pandangan ahli sosiologi masa kini, pembagian sosiologi yang
akan dibagi menjadi 3 bagian, ringkasan, dan konsep penting. Namun, dalam
bab ini kita akan lebih banyak membaca pendapat dari 2 sosiolog yang
dianggap lebih menguasai jika dibandingkan dengan sosiolog –sosiolog yang
lain. Tapi bukan berarti yang lainnya tidak menguasai, hanya saja pada bab ini
kita lebih banyak membahas materi yang 2 sosiolog tadi kuasai. Sosiolog yang
akan membahas adalah Mills dan Berger. Yang mana mereka adalah sosiolog
modern.

Point Pertama adalah pandangan para perintis. Dalam pembahasan ini,


kita akan menyimak penjelasan dari perintis sosiologi, yaitu: Emile Durkheim,
dan Max Weber. Penjelasan pertama, kita akan membahas tentang apa yang
dikatakan oleh Emile Durkheim. Menurut beliau, sosiologi adalah suatu ilmu
yang mempelajari apa yang dinamakan fakta social. Dan menurut Durkheim,
fakta social merupakan cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada
diluar individu, dan memiliki kekuatan memaksa yang mengendalikannya.
Untuk menjelaskannya, Durkheim menyajikan beberapa contoh yang
menyangkut soal pendidikan anak. Sejak bayi, seorang anak diwajibkan
makan, minum, tidur pada waktu tertentu, diwajibkan taat, dan menjaga
kebersihan dan ketenangan, diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain,
menghormati adat dan kebiasaan. Dari contoh diatas, kita melihat ada cara
bertindak, berfikir, dan berperasaan yang mana kekuatan 3 hal tersebut bukan
berasal dari diri sendiri, melainkan dibentuk oleh orang lain. Dan secara tidak
langsung, anak di paksa untuk melakukan itu dengan memberikan sanksi bagi
siapa yang tidak melakukan. Disini terlihat jelas sifat memaksa dari sebuah
fakta social.

Contoh lain dari fakta social bias diambil dari 2 karya Durkheim: The
Division of Labor in Society (1968) dan Suicide (1968). Dalam buku yang
pertama, Durkheim mengemukakan bahwa pembagian kerja dalam
masyarakat. Penggunaan istilah lain seperti spesialisasi dan differensiasi
adalah bentuk dari fakta social. Spesialisasi dan diffrenesiasi pada semua
aspek kehidupan masyarakat seperti bidang ekonomi, pendidikan,
administrasi, politik, hokum, ilmu pengetahuan, dan kesenian ini merupakan
hal umum yang dianut oleh manusia, dan bersifat memaksa, karena berada di
luar kehendak individu yang mana tidak semua individu memiliki 2 hal
tersebut. Namun, mereka dapat menjalankan paksaan yang berasal dari
individu mereka sendiri.

Nah, dalam buku yang kedua, dijelaskan bahwa angka bunuh diri
(suicide rate) dalam tiap masyarakat yang dari tahun ketahun relatif konstan
adalah fakta social. Mengapa? Karena bunuh diri disebabkan oleh kekuatan
yang berada di luar individu. Dalam bunuh diri, ada istilah altruistic suicide
artinya bunuh diri yang disebabkan oleh integrasi social yang begitu kuat.
Dalam hal ini, Durkheim mencontohkan seorang tentara. Tentara yang rela
mati demi melindungi rekannya dan membela negaranya adalah bentuk
integrasi dari seseorang. Maka dia mati karena integritasnya yang sangat
tinggi. Ada juga egoistic suicide yang berarti orang yang melakukan bunuh
diri karena rendahnya integrasi masyarakat. Misalnya, manakala agamanya
kurang mengikatnya, bila dilanda krisis politik, atau jika keluarganya kurang
mengikatnya. Dan, pada bunuh diri anomic orang biasanya bunuh diri karena
masyarakat yang sudah tidak berpegangan lagi kepada warganya. Menurut
Durkheim, bunuh diri bukan disebabkan karena factor pribadi, melainkan
karena adanya tekanan atau paksaan dari lingkungan masyarakatnya. Oleh
karena itu, bunuh diri merupakan suatu fakta sosial.

Sekarang, mari perhatikan pemahaman Max Weber yang juga


merupakan salah satu perintis sosiologi. Jika Durkheim mendeklarasikan
tentang fakta sosial, Weber mendeklarasikan tindakan sosial. Apa itu tindakan
sosial menurut Weber? Tidak semua tindakan manusia dikatakan sebagai
tindakan sosial. Tindakan sosial adalah jika tindakan tersebut dilakukan
dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, dan berorientasi pada perilaku
orang lain. Apabila kita bernyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri
sendiri, tindakan tersebut tidak bias dikatakan tindakan sosial. Namun, apabila
kita bernyanyi dikamar mandi untuk menarik perhatian orang lain merupakan
tindakan sosial. Bunuh diri karena tidak kuat menahan sakit yang sudah lama
itu bukan tindakan sosial, apabila anda bunuh diri karena malu atas kesalahan
adalah tindakan sosial. Menurut Weber, tindakan tergantung kepada yang
melakukannya. Apabila tujuan tindakan tersebut berorientasi pada orang lain,
maka itu disebut tindakan sosial. Namun, apabila suatu tindakan didasari
dengan kepentinga pribadi, maka bukan tindakan sosial. Sebagai pengamat
sosial, kita harus bisa membayangkan, memprediksi, dan memahami tujuan
dari tindakan tersebut.

Point Kedua adalah pandangan ahli masa kini. Kali ini, 2 ahli yang
akan berpendapat, Wright Mills dan Peter Berger.
Menurut Mills, untuk dapat mengetahui apa yang terjadi di dunia maupun didalam
diri seseorang diperlukan imajinasi sosiologi (sociological imagination). Menurut
Mills, dengan berimajinasi kita dapat memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup
pribadi, dan hubungan antar keduanya. Untuk melakukan imajinasi tersebut, kita
memerlukan 2 alat, yaitu: trouble, dan issue. Trouble adalah masalah yang biasanya
berasal dari diri sendiri dan Issue, adalah masalah bagi khalayak banyak. Contoh dari
trouble dan issue ini adalah pengangguran. Bagi penganggur, menganggur adalah
masalahnya sendiri atau personal trouble. Namun, bagi masyarakat sekitar
pengangguran mempengaruhi kemajuan suatu daerah, yang mana masalahnya bukan
menjadi miliknya seorang, tapi milik semua penduduk.

Peter Berger dalam bukunya mengajak kita untuk menjawab pertanyaan-


pertanyaan sosiologi. Berger sendiri menyinggung tentang citra yang melekat pada
ahli sosiologi. Sosiolog memiliki citra bahwa mereka adalah teoritikus pekerja sosial,
pengumpul data statistic perilaku manusia yang mana mereka melakukan
pengembangan metode ilmiah untuk mempelajari fenomena manusia. Menurut
Berger, hal tersebut tidaklah benar. Kegemaran menolong orang lain bukan cirri khas
ahli sosiologi, karena sosiolog bukan pekerja sosial yang mana pekerjaan sosial
merupakan praktek, sedangkan sosiologi adalah suatu usaha untuk memahami
dengan berpegang pada integritas ilmiah. Lalu, bagaimana ahli sosiologi menurut
Berger? Seorang ahli sosiologi bertujuan untuk memahami masyarakat. Tujuannya
bersifat teoritis, yaitu memahami semata-mata. Dalam hal ini, sosiolog harus
mengikuti aturan ilmiah, mengikuti aturan pembuktian ilmiah, objektif,
mengendalikan prasangka dan pilihan pribadi, dan mengamati secara betul betul
dengan cara menghindari penilaian normative.
Dalam mengungkap realitas sosial, ahli sosiologi menyingkapkan berbagai lapisan
tabir, dan pada prosesnya akan menampilkan hasil yang tidak terduga. Menurut
berger, seorang sosiolog harus mampu melihat di balik tembok, maksudnya adalah
kita harus menilai dan memperhatikan seseorang secara detil dan harus bisa
mendeteksi tabir-tabir dari seseorang tersebut.

Seperti contohnya orang yang korupsi. Seorang calon politisi pasti dan harus
memiliki track record yang jelas serta bersih dari pelanggaran hokum yang berat.
Namun, nyatanya setelah menjadi politisi mereka melakukan korupsi dan beberapa
tindak criminal yang lainnya. Sebagai masyarakat biasa, kita hanya melihat bahwa itu
adalah hal yang sudah wajar dan sangat sering terjadi di kalangan politisi. Tapi,
seorang sosiolog tidak bisa hanya menggunakan pandangannya sebagai masyarakat,
harus ada variable lain yang diambil serta beberapa research yang dilakukan terhadap
politisi tersebut. Atau sebenrnya kebaikan dan ”kebersihan” yang mereka miliki
hanya sebagai formalitas untuk nyaleg? Sosiolog harus bisa membongkar kedok dan
mengungkap kepalsuan dari hal-hal diatas.

Point Ketiga adalah pembagian sosiologi. Sosiologi dibagi menjadi 3, yaitu:


Makrososiologi, mesososiologi, dan mikrososiologi.
Ahli sosiologi membagi ilmu sosiolgi menjadi dua bagian, dan ada juga yang
membagi ilmu sosiologi menjadi tiga bagian. Broom dan Selznick membedakan
antara tatanan makrososiologi dan tatanan mikrososiologi. Douglas membadakan
perspektif makrososial dan mikrososial. Johnson membedakan antara jenjang
makrososial dan mikrososial. Collins membedalam antara makrososiologi dan
mikrososiologi.
Lenski yang menemukan tiga jenjang analisis; makro, mikro dan meso. Dan yang
terakhir, inkeles yang melihat bahwa sosiologi memiliki 3 pokok bahasan yang khas,
yaitu: hubungan sosial, institusi, dan msyarakat

Anda mungkin juga menyukai