Anda di halaman 1dari 5

[DE TENTANG KEBEBASAN

Kebebasan merupakan masalah khusus dalam sejarah. Hans Meyerhoff 959; 21) dalam pengantar buku
The Philosophy of History in Our Time, engmakan bahwa:

Freedom is a special problem for historyThere may not be any historical necessity, but, no doubt, there is
a necessity of nature, environment, heredity, conditioned reflex, social pressure, legal restrictions, and
perhaps even unconscious motivations. Yet there must be a sense of freedom; otherwise the behavior of
human beings transcending these objective limits does not make

any sense.

Kebebasan merupakan masalah pokok dalam sejarah. Kebebasan tidak hanya sesuatu yang diperlukan
dalam sejarah, tetapi juga sesuatu yang bersifat alamiah yang berhubungan dengan lingkungan,
keturunan, kondisi refleks, tekanan sosial, pembatasan-pembatasan dalam hukum, dan motivasimotivasi
yang tidak sadar. Meskipun kebebasan bersifat alamiah, di dalamnya terkandung unsur kesadaran akan
kebebasan.

Manusia dalam menjalani hidup kesejarahannya memiliki suatu modal yang utama, yaitu kebebasan.
Kebebasan menurut para filsuf filsafat sejarah tidak berarti kebebasan politik, ekonomi, atau fisik, tetapi
kemampuan untuk memilih secara merdeka (Titus, 1984: 97). Manusia dengan kebebasannya
menciptakan dirinya secara terus-menerus. Manusia bukanlah hewan

yang menerima begitu saja “nasibnya”, melainkan adalah “pencipta” yang dapat mengubah diri dan
lingkungannya. Maksudnya adalah manusia tidak pernah puas dengan keadaan alamiahnya. Manusia
selalu ingin melampaui keadaan yang disajikan oleh alam kepadanya. Manusia menjalankan berbagai
kemungkinan terus-menerus. Eksistensi manusia tidak pernah selesai dan manusia sangat menyadari hal
itu. Manusia selalu mempunyai aspirasi untuk maju. Manusia, menurut Merlau-Ponty, adalah un
mouvement de transncendance, gerak yang senantiasa mengatasi dirinya sendiri (Bertens,

2005: 243).
(1 m

Kebebasan manusia tidak hanya terdiri dari kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkannya'
Beberapa binatang dapat berbuat menurut kemauan mereka, tetapi bukan karena _kemampuan mereka
untuk memutuskan “Pa yang ingin mereka perbuat, melainkan watak dan lingkungan merekalah yang
memutuskan atau menentukan Perbuatan mereka. Sebaliknya, manusia tidak hanya berbuat menurut
apa yang diinginkannya, tetapi juga memutuskan ilpa yang ingin diperbuatnya: im atau itu. Apa yang
ingin diperbuat oleh lhanusia tergantung pada dirinya, dan manusia tidak dikendalikan oleh suatu
Paksaan intern (Leahy, 2001: 194)

_ Manusia dalam hidupnya akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan… pilihan. Akan tetapi, pilihan
yang Pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk, kemudian
manusia harus mampu menempatkan diri di salah satu pihak, yakni yang baik atau yang buruk. Apabila
kemudian manusia memilih tempat di antara keduanya, maka setelah lmlah putusan yang diambilnya
menjadi bermakna. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasar ini, maka sebenarnya manusia
menjalani suatu eksistensi yang tidak bermakna. Hal ini karena manusia bebas untuk memilih dan
membuat keputusan, artinya ia harus mampu mempertanggungiawabkan _Segala akibat dari pilihan
yang diambilnya itu. Dengan kesediaan bertanggung Jawab terhadap keputusan yang diambilnya itu,
maka kebebasan manusia untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna. Setiap orang harus
terlebih dahulu menetapkan bagi dirinya sendiri “siapa dia”, lalu memutuskan ingin jadi “apa dia”,
barulah kemudian ia bertindak sesuai dengan pilihannya Yang telah diungkapkan sebagai keputusannya
baginya (Hasan, 1973: 24).

Berdyaev, filsuf eksistensialis berkebangsaan Rusia, membagi kebebasan manusia menjadi tiga kategori,
yaitu (1) kebebasan penentuan… diri, (2) kebebasan penyempumaan-diri, dan (3) kebebasan realisasi-diri
(Nucho, 1966: 153). Kebebasan penentuan-diri adalah kebebasan awal, asli, tidak diciptakan, tidak
terduga, dan tidak terduga. Kebebasan penentuan-diri tidak rasional karena merupakan sesuatu yang
sudah melekat pada manusia yang dibawa sejak lahir bersamaan dengan kehadiran manusia itu sendiri.
Di dalam kategori kebebasan penentuan-diri timbullah perbudakan dan pengertian tentang kebaikan dan
kejahatan. Kebebasan penyempurnaan-diri termasuk kategori yang rasional, cerdas, dan final, artinya di
dalam kebebasan penyempumaan-diri yang rasional manusia tunduk pada hukum-hukum moral.
Ketaatan pada hukum moral menggiring manusia pada kebaikan terpaksa. Kebebasan penyempumaan-
diri melahirkan perbudakan terselubung, karena lembaga-lembaga memaksa manusia untuk tunduk
pada hukum-hukum moral. Kebebasan realisasi-diri merupakan sintesis dari kebebasan penentuan-diri
(tesis) dan kebebasan-penyempumaan-diri (antitesis). Kebebasan realisasi
diri dilandasi oleh kekuatan teologi dengan ciri ketaatan pada agama. Ketaatan

D. IDE TENTANG MAKNA MASA DEPAN

. 'arkan filsafat sejarah di Berlin, telah banyak pe……fzikngHgifn-umgeggh Meman g bukan Hggcl pemikir
pertama kali yang memperkenalkan bahasan tentang makna 'sejarah. Namun, sejak Hegel
memperkenalkan tentang ramalan sejarah, pemlklran tentang filsafat sejarah spekulatif mendapat
tempat tersendiri, yang kemudian dilanjutkan oleh Marx sampai ke Spengler, Wells, Croce, dan Toynbee
(Bullock, 1959: 292).

Di antara para pemikir tersebut, mereka memiliki interpretasi yang berbeda dan bertentangan, namun
memiliki tujuan yang sama untuk mengungkapkan

01a=p0|a, hal-hal yang tetap, dan kesamaan-kesamaan dalam sejarah yang berulang-ulang dibangunnya
penjelasan filsufis tentang eksistensi manusia, atau sekurang-kurangnya suatu pandangan yang bersifat
panoramik tahaptahap pembangunan.

Para ahli filsafat sejarah spekulatif berpendapat bahwa makna sejarah terdapat dalam kemampuan
manusia untuk meramalkan masa depan. Hal ini berarti perbuatan manusia yang saling kait-mengait
antara masa lampau dan masa kini ditujukan untuk menuju ke masa depan yang dicita-citakan
(Ankersmit, 1987: 372). Makna sejarah lalu berarti bahwa proses sejarah merupakan jalan agar pada
akhirnya tujuan luhur yang dicita-citakan terwuj ud. para filsuf filsafat sejarah berpendapat bahwa
makna sejarah terdapat dalam kemampuan manusia untuk mempersiapkan masa depan.

Keunikan realitas sosial, realitas masyarakat, baik masyarakat dalam bentuk hari kini maupun dalam
penjelmaan pada hari yang sudah lampau, ialah bahwa realitas mempunyai sifat, yaitu faktisitas objektif
dari kenyataan sosial dan sekaligus makna subjektif dari masyarakat itu. Oleh karena itu, kalau manusia
bicara tentang sejarah, tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa semua yang ada pada masyarakat
berakar pada masa lampau. Soedjatmoko (1983: 64), dalam buku Dimensi Manusia dalam
Pembangunan, menegaskan

bahwa: Kita harus mengatakan bahwa kenyataan hari kini itu hanya dapat diartikan, kalau kita mampu
menangkap arti keaktifan yang menjelmakan kenyataan sosial itu, dan kita hanya dapat menangkap arti
itu jikalau kita juga melihat sekaligus pandangan dan harapan mengenai hari depan yang menggerakkan
keaktifan itu.

Makna sejarah bukan mengenai kemampuan manusia menggali dan memahami masa lampaunya, tetapi
mengenai kemampuan manusia merencanakan dan mewujudkan masa depan.

Para filsuf filsafat sejarah yang berkeyakinan bahwa makna sejarah terdapat dalam kemampuan meramal
masa depan, disebut oleh Karl Popper sebagai kaum historisisme. Ramalan sejarah dan interpretasi
sejarah menurut kaum historisisme harus dijadikan basis bagi tindakan sosial yang realistis dan yang
dipikirkan secara matang. Konsekuensinya ialah interpretasi sejarah harus merupakan tugas inti
pemikiran historisisme, dan nyatanya juga demikian. Seluruh pemikiran dan tindakan penganut
historisisme ditujukan pada usaha untuk menginterpretasikan masa lampau agar dapat meramalkan
masa depan (POpper, 1985: 64). Para penganut historisisme selalu memandang perkembangan
masyarakat secara Optimis. Mereka percaya bahwa pada

BAB III MESSIANISME DALAM FILSAFAT SEJARAH

Perjalanan sej arah kemanusiaan berdasarkan penanggalan masehi pada tahun 2001 telah memasuki
abad ke-21 dan milenium ke-3. Selama 20 abad, berbagai peristiwa kemanusiaan telah terj adi silih
berganti. J ika dirunut jauh, sebelum dimulainya tarikh masehi, peristiwa-peristiwa dahsyat juga pernah
berlangsung. Peristiwa-peristiwa itu, antara lain, eksodus bangsa Israel dari Mesir ke Palestina di bawah
pimpinan nabi Musa a.s., kelahiran Isa Almasih yang dijuluki juru selamat, dan sekaligus dij adikan awal
tarikh masehi.

Semua peristiwa itu menunjukkan pada suatu pengertian bahwa manusia adalah pembuat sej arah. Oleh
karena itu, dapatlah dikatakan manusia adalah makhluk historis. Hakikat manusia adalah suatu sejarah
yang dipenuhi oleh berbagai peristiwa yang telah terj adi pada masa lampau, dan yang sedang
berlangsung sekarang, serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada masa depan. Manusia
sebagai makhluk historis menyadari bahwa dunia yang dihuninya terus bergerak.

Pemikiran tentang messianisme sering dikaitkan dengan akan munculnya seorang “Juru Selamat” atau
lebih sering disebut dengan kedatangan “Ratu Adil” yang akan membebaskan manusia dari penderitaan,
kesengsaraan, dan penindasan yang sedang dialaminya. “Sang penyelamat” itu, dalam dunia Islam,
dikenal dengan nama Imam Mahdi. Pengharapan akan datangnya Imam Mahdi dalam dunia Islam tidak
hanya mempunyai arti religius, tetapi juga politik dan kekuatan fanatik. Seorang pimpinan yang
memegang peranan sebagai Imam Mahdi atau utusan, dipandang oleh para pengikutnya sebagai
personifikasi dari harapan messianistik yang populer di kalangan penganut Islam (Sartono, 1986: 94).
Kedatangan juru selamat, yaitu Ratu Adil atau Imam Mahdi, sering juga dikaitkan dengan pergantian
abad atau milenium.

Hans Kohn (1959: 356) mengatakan bahwa messianisme adalah suatu kepercayaan pokok dalam agama
tentang akan datangnya seorang penebus yang akan mengakhiri tatanan masa sekarang, baik bagi
kelompok besar atau kecil, dan suatu lembaga dengan tatanan baru yang adil dan bahagia. Sebagai suatu
gerakan sosial yang dikendalikan, messianisme sebagai paham terdapat dalam agama Zoroaster Persia,
Yahudi, Kristen, dan Islam. Messianisme

Anda mungkin juga menyukai