PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Kebebasan
merupakan
problem
yang
terus-menerus
digeluti
dan
Berbagai
kebebasan dan kesempatan yang modernitas saat ini berikan menempatkan suatu
rangkaian pilihan yang membingungkan dihadapan banyak masyarakat. Mobilitas
modern telah mengoyak nilai-nilai moral yang telah ditanamkan dalam
masyarakat. Aroma kebebasan pribadi merebak dan merasuk di udara. Mobilitas
dan nilai-nilai modern yang dikomunikasikan melalui media massa memberikan
tantangan-tantangan yang tidak terduga terhadap komunitas di mana-mana.
Komunitas-komunitas ini harus berusaha memelihara pemahaman akan tanggung
jawab pribadi ketika berhadapan dengan kebebasan yang luar biasa dan nilai-nilai
moral yang berbeda. Sehingga salah satu tantangan yang penting dalam
menghadapi global saat ini adalah bagaimana menanamkan tanggung jawab
dalam diri individu di tengah-tengah kebebasan-kebebasan yang luar biasa yang
diberikan modernitas.
menerima hak istimewa berupa kebebasan, karena tidak ada kebebasan tanpa
ada sikap tanggung jawab.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Kebebasan.
a. Definisi/Pengertian
Menurut
Kamus
Bahasa
Indonesia
arti
dari
kebebasan
adalah
kemerdekaan atau keadaan bebas. Dalam hal ini kebebasan berarti lepas sama
sekali (tidak terhalang, terganggu dan sebagainya, sehingga boleh bergerak
berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa.
Menurut teori filsafat pengertian kebebasan adalah Kemampuan manusia
untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif, dan ia ada
sebagai konsekuensi dari adanya potensi manusia untuk dapat berpikir dan
berkehendak. Sudah menjadi kodrat manusia untuk menjadi mahluk yang
memiliki kebebasan, bebas untuk berpikir, berkehandak, dan berbuat.
Aristotoles sendiri mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
berakal budi (homo rationale) yang memiliki tig a jiwa (anima), yakni:
1) Anima avegatitiva atau disebut roh vegetatif. Anima ini juga dimiliki tumbuhtumbuhan, dengan fungsi untuk makan, tumbuh dan berkembang biak.
2) Anima sensitiva, yakni jiwa untuk merasa, sehingga manusia punya naluri,
nafsu, mampu mengamati, bergerak dan bertindak.
3) Anima intelektiva, yakni jiwa intelek. Jiwa ini tidak ada pada binatang dan
tumbuh-tumbuhaan. Anima intelektiva memungkinkan manusia untuk
berpikir, berkehendak dan punya kesadaran.
Sedangkan pengertian kebebasan dalam Islam dapatlah dilihat dari dua
perspektif yaitu perspektif teologi dan perspektif ushul figh, yaitu;
Pengertian kebebasan dalam perspektif teologi berarti bahwa manusia
bebas menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengelola
sumberdaya alam. Kebebasan untuk menentukan pilihan itu melekat pada diri
manusia, karena manusia telah dianugerahi akal untuk memikirkan mana yang
baik dan yang buruk, mana yang maslahah dan mafsadah mana yang manfaat dan
mudharat. Karena kebebasan itu, maka adalah logis (wajar) bila manusia harus
4
bertanggung jawab atas segala perilakunya di muka bumi ini atas pilihannya
sendiri. Manusia dengan potensi akalnya mengetahi bahwa penebangan hutan
secara liar akan menimbulkan dampak banjir dan longsor. Manusia juga tahu
bahwa membuang limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan masyarakat untuk
mencuci dan mandi adalah suatu perbuatan salah yang mengandung mafsadah dan
mudharat. Melakukan suatu dosa adalah suatu kezaliman besar. Namun ia
melakukannya juga, karena ia harus mempertangung jawabkan perbuatannya itu
di hadapan Allah, karena perbuatan itu dilakukannya atas pilihan bebasnya.
Seandainya manusia berkeyakinan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena
dikehendaki Allah secara jabari, maka tidak logis ia diminta pertanggung jawaban
atas penyimpangan perilakunya.
oleh Achmad
Charis
Zubair
adalah
terjadinya
apabila
negative, karena hanya dinyatakan bebas dari apa, tetapi tidak di tentukan bebas
untuk apa. Seseorang di sebut bebas apabila :
1) Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuan dan apa yang di lakukannya.
2) Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang ada baginya.
3) Tidak di paksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang akan di pilihnya
sendiri ataupun di cegah dari berbuat apa yang di pilih sendiri, oleh kehendak
orang lain, negara atau kekuasaan apapun.
yang dicapai oleh negara-negara muda terhadap negara negara penjajah. Dalam
sejarah modern, kebebasan sosial politik dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu
menjadi sejarah dunia, yaitu di negara Inggris dan Prancis. Salah satu langkah
pertama adalah Magna Charta (1215), piagam yang terpaksa oleh keadaan
dikeluarkan Raja John untuk menganugerahkan kebebasan-kebebasan tertentu
kepada para baron dan uskup inggris yang berisikan perumusan hak-hak parlemen
terhadap monarki. Setelah itu proses pembatasan kuasa absolut monarki berjalan
terus dan dapat dianggap selesai dengan yang disebut The Glorious Revolution
(1688).
Dengan demikian, dalam sejarah tersebut terbentuklah demokrasi modern dimana
perwakilan rakyat membatasi dan mengontrol kekuasaan raja, yang sebelumnya
yang memegang kekuasaan tertinggi adalah raja namun kenyataanya kesadaran itu
tumbuh karena kesusahan serta penderitaan rakyat akibat penindasan oleh rajaraja absolut (upeti, rodi, perlakuan sewenang-wenang, dan sebagainya). Maka
timbul kesadaran bahwa yang berdaulat itu bukanlah raja, melainkan rakyat.
Adapun semboyan yang mengungkapkan tujuan revolusi ini adalah Kebebasan,
Persamaan, Persaudaraan (Liberte, Egalite, Franternite).
2. Kebebasan Individual
1.
Kesewenang-Wenangan
Di sini bebas dimengerti sebagai terlepas dari segala kewajiban dan
keterikatan, atau dilihat sebagai izin atau kesempatan untuk berbuat semau gue.
Dengan demikian seorang pelajar adalah bebas, kalau tidak perlu masuk
sekolah, karena hari itu kebetulan libur atau karena ia mengambil keputusan
untuk bolos. Ia bebas dalam arti: lepas dari kewajiban belajar dan dapat
2.
Kebebasan Fisik
Bebas berarti tiada paksaan atau rintangan dari luar. Bebas dalam artian fisik
adalah tiada paksaan atau rintangan dari luar. Orang dalam artian bebas fisik jika
ia bisa bergerak kemana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Namun bukan
berarti orang yang bergerak secara bebas dapat menjamin ia bebas secara
sungguh-sungguh. Terkadang orang mensalah artikan kebebasan untuk pergi
ketempat perjudian setiap hari.
Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah ketiadaan paksaan fisik.
Artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang
bersifat fisik atau material. Dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas
jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia
dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai
dengan apa yang ia kehendaki. Seorang tahanan di sebuah sel tidak mempunyai
kebebasan dalam arti ini karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa
tahanannya sudah lewat. Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik
manusia diperalat oleh faktor eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan yang tidak ia kehendaki atau yang ia kehendaki. Jangkaun kebebasan
fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia sendiri. Jangkauan itu
terbatas. Namun demikian hal itu tidak mengurangi melainkan justru mencirikan
kebebasan manusia. Contohnya: bahwa manusia tidak bisa terbang itu bukan
merupakan pengekangan terhadap kebebasannya. Hal itu semata-mata disebabkan
oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi sekali lagi yang dimaksud
paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan atau paksaan yang
datang dari luar diri manusia. Misalnya dari lembaga atau orang lain.
Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang,
bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa. Yang membedakan manusia
dengan binatang dan benda-benda itu adalah aspek kehendak akal budi manusia.
Binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah
dorongan instingtualnya. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan
kehendaknya.
Kebebasan fisik adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau
dangkal. Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa
sungguh-sungguh bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah
ditahan atau bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya
kebebasan fisik bisa disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam.
Kebebasan fisik sebenarnya bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya
merupakan bentuk kebebasan dalam pengertian yang sangat sederhana.Namun
demikian kebebasan ini mempunyai makna yang esensial dan nilai yang positif.
Kebebasan fisik dapat menjadi sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati.
3.
Kebebasan Yuridis
Yang dimaksud dengan kebebasan dalam arti ini adalah syarat-syarat fisis dan
sosial yang perlu di penuhi agar kita dapat menjalankan kebebasan kita secara
konkret. Atau dapat di katakan juga sebagai syarat-syarat yang harus di penuhi
agar manusia dapat mengembangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan
semestinya. Kebebasan yuridis ini berdasarkan pada hukum kodrat dan hukum
positif.
4.
Kebebasan Psikologis
Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis. Orang
dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk
mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia
mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif.
Yang mencirikhaskan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena
itulah Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan
untuk memilih atau kebebasan berkehendak. Kebebasan memilih atau kebebasan
berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil
keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara
begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah
kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau
menolak
kemungkinan-kemungkinan
dan
nilai-nilai
yang
terus-menerus
10
yang penting. Konsekuensinya adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada
kemungkinan untuk memilih. Orang dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia
mempunyai kemungkinan untuk melakukan tindakan A dan bukan B.
Kemungkinan untuk memilih adalah aspek yang penting, namun demikian aspek
ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan psikologis. Mengapa?
Karena pemilihan bukan merupakan hakekat kebebasan psikologis. Hakekat
kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya
sendiri.
Berbeda dari kebebasan fisik, kebebasan psikologis tidak bisa secara
langsung dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksa untuk menghendaki sesuatu.
Misalnya dalam peristiwa perampokan. Seandainya saya terpaksa menyerahkan
semua uang dan harta yang saya punyai, penyerahan itu saya lakukan atas
kehendak saya. Dalam arti itu saya masih bebas secara psikologis, karena saya
masih mempunyai kemungkinan untuk memilih. Dan (mungkin) saya tidak bebas
secara fisik, karena dalam perampokan itu saya diancam untuk dibunuh. Secara
tidak langsung bentuk paksaan psikologis adalah pembatasan-pembatasan psikis
yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
Kebebasan psikologis juga dapat dihalangi dengan mengkondisikan orang
sehingga tidak mungkin melakukan beberapa kegiatan tertentu. Misalnya seorang
ibu yang mengharuskan anaknya untuk langsung pulang setelah jam sekolah
selesai. Ibu itu membatasi kebebasan psikologis anaknya karena dia tidak
memberi kemungkinan pada anaknya untuk melakukan tindakan lain selain
langsung pulang setelah sekolah.
5.
Kebebasan Moral
Louis Leahy mendefinisikan kebebasan moral sebagai ketiadaan paksaan
moral hukum atau kewajiban. Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan
psikologis. Meskipun demikian antara keduanya mempunyai hubungan yang
sangat erat. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya
jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral.
Contohnya :
Suatu ketika saya berjalan dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir
jalan tanpa pemilik. Pikiran yang muncul saat itu adalah saya mengambil
11
dompet itu. Dan memang kemudian saya mengambil dompet itu. Namun
setelah mengambil dompet itu saya masih menimbang lagi: atau dompet ini
saya kembalikan pada pemiliknya, atau saya mengambil dan tidak memberikan
pada pemiliknya. Dalam hal ini saya mempunyai kemungkinan atau
kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai kebebasan psikologis. Di lain
pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan moral. Alasannya adalah
tindakan saya secara moral tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Saya telah
mengambil barang orang lain yang bukan hak saya.
Contoh lain:
Seorang wanita yang disandera yang harus memilih di antara dua pilihan, yaitu
atau menyerahkan semua perhiasannya atau diperkosa. Pada akhirnya
perempuan itu memilih untuk menyerahkan semua perhiasannya. Dalam
pengertian kebebasan psikologis perbuatan perempuan itu adalah bebas karena
perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Dalam pilihannya itu ia menjadi
penentu atas dirinya sendiri. Meskipun perempuan itu bebas secara psikologis,
namun ia tidak bebas secara moral. Alasannya ialah karena perempuan itu
memilih secara terpaksa. Ia dipaksa secara moral. Ia berhadapan dengan dua
pilihan dilematis yang sama-sama mempunyai konsekuensi negatif. Perempuan
itu menjadi tidak berdaya. Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral
mengandaikan kebebasan psikologis. Dan sebaliknya jika ada kebebasan
psikologis belum tentu ada kebebasan moral.
Dan karena itulah kebebasan moral harus dibedakan dengan kebebasan psikologis
dan kebebasan fisik. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan
atau pewajiban secara moral. Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah
larangan atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.
6.
Kebebasan Eksistensial
Kebebasan ekstensial adalah kebebasan tertinggi. Kebebasan ekstensial adalah
kebebasan etis. Kebebasan ini terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang
bisa memberi arah dan makna kepada kehidupan manusia. Kebebasan eksistensial
pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya
sendiri. Sifatnya positif. Artinya, kebebasan itu tidak menekan segi bebas dari apa,
melainkan bebas untuk apa.
sendiri. Kebebasan itu mendapat wujudnya yang positif dalam tindakan kita yang
disengaja.
Tidak setiap kegiatan manusia merupakan tindakan. Dentuman jantung dan
pernafasan bukanlah tindakan karena berjalan tanpa disengaja. Tindakan adalah
kegiatan yang disengaja. Tindakan dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu,
12
dengan kesadaran bahwa tergantung pada kitalah apakah kegiatan itu kita lakukan
atau tidak.
Hewan dapat saja berbuat ini dan itu, tetapi selalu didorong dan berdasarkan
naluri, perangsang, kebiasaan-kebiasaan yang telah berdarah daging padanya.
Berhadapan dengan sepotong tulang ayah anjing tidak akan berfikir dulu apa mau
dimakan langsung atau lebih baik kalau ia mencari dua potong lagi supaya
nantinya mempunyai tiga. Lain halnya manusia. Meskipun ia lapar akan daging
ayam di meja, tetapi selalu berfikir dulu apakah tepat kalau daging itu dimakannya
sekarang. Ia juga dapat menundanya atau malah berpuasa. Terhadap nalurinya
sendiri manusia masih dapat mengambil sikapnya sendiri. Itu yang dimaksud
dengan mengatakan bahwa manusia mampu untuk menentukan sikap dan
tindakannya sendiri.
Makna Kebebasan Eksistensial
Jadi kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk menentukan
tindakannya sendiri. Kemampuan itu bersumber pada kemampuan manusia untuk
berfikir dan berkehendak dan terwujud dalam tindakan. Tetapi apa itu tindakan!.
Tindakan itu bukan sesuatu diluar manusia. Tindakan bukan bagaikan sebatang
tongkat yang dapat dipegang, tetapi sesudah dipakai terus diletakkan di pojok
kamar. Tindakan adalah satu dengan dirinya sendiri.
Maka kebebasan eksistensial tidak hanya berarti bahwa kita dapat menentukan
tindakan kita, melainkan melalui tindakan kita dapat menentukan diri kita sendiri.
Arti yang paling mendalam kebebasan yang kita rasakan ialah bahwa kita
adalah mahkluk yang menentukan dirinya sendiri. Manusia bukan sekedar simpul
reaksi-reaksi terhadap macam-macam perangsang, ia tidak ditentukan oleh segala
kecondongan. Melainkan terhadap dan berhadapan dengan kecondongan dan
perangsang itu manusia mengambil sikap dalam tindakan yang bebas, ia
menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar di
satu fihak dan dorongan-dorongannya dari dalam di lain fihak, melainkan ia
membangun dirinya sendiri berhadapan baik dengan tantangan-tantangan dari luar
maupun dari dalam.
13
Karena
14
bebas, karena aku berhak mengurus kepentinganku sendiri. Kebebasan itu adalah
ketaatan, tapi ketaatan terhadap hukum yang kita tentukan sendiri dan tak ada
orang yang dapat memperbudak dirinya sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Tak ada yang bisa memaksaku untuk bahagia dengan caranya sendiri.
Tokoh lain yang juga cukup besar pengaruhnya dalam mengemukakan
kebebasan negatif ini adalah John Stuart Mill. Gagasan yang terkenalnya adalah
individualitas, yang berarti pengembangan diri pribadi, dan hal ini lebih
merupakan usaha untuk mengintegrasikan semua daya di dalam diri seseorang
secara harmonis. Ia mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk mengembangkan
daya-dayanya sesuai dengan kehendak dan keputusan atau penilaiannya sendiri.
Namun dilain pihak Mill juga mengungkapkan ada beberapa ketentuan agar
kebebasan individu itu tidak mengganggu kestabilan masyarakat yaitu pentingnya
memberlakukan paksaan terhadap seseorang karena paksaan ini berguna untuk
mencegah dia merusakkan atau merugikan orang-orang lain. Dengan demikian
Mill juga merasa yakin bahwa kebahagiaan umum akan bertambah apabila setiap
orang mengembangkan dirinya dengan cara seperti itu. Atau dengan kata lain jika
individu merasa bebas maka masyarakat secara umum pun bebas pula.
Dari uraian tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwasannya Kebebasan
negatif adalah suatu wilayah yang didalamnya terdapat seseorang dapat
melakukan perbuatan yang hendak ia perbuat, dan orang lain tidak dapat
melarang ataupun mencegah perbuatannya itu.
Contoh :
Jika pada suatu perkara seseorang tidak dapat melakukan pekerjaan yang
diinginkannya dikarenakan ada orang lain yang ikut campur dan
mencegahnya, maka sebatas itulah orang tersebut kehilangan kebebasan. Dan
kiranya campur tangan orang lain sebegitu luas, dan menjadikan kebebasan
nya lebih kecil dari batasan minimal dapat dikatakan bahwa dari sisi
individual, orang tersebut berada di bawah tekanan dan bahkan menjadi
budak orang lain. Dengan demikian kebebasan dalam pengertian tersebut
adalah; dia harus terhindar dari campur tangan orang lain. Karena itu tatkala
semakin luas lingkup tidak adanya campur tangan orang lain, maka
kebebasan pun semakin luas dan tidak terbatas.
Para filsuf dan tokoh politik klasik inggris, tatkala mereka menggunakan kata
kebebasan, yang mereka maksudkan adalah kebebasan sebagaimana contoh
15
Selain itu
kebebasan orang yang lemah akan menjadi hilang dan musnah dirampas oleh
mereka yang kuat. Para filsuf tersebut menyadari bahwa berbagai tujuan dan
aktifitas manusia tidaklah sama dan serupa. Dan mereka siap untuk
mengesampingkan berbagai pandangan filsafati mereka yang saling berbeda, demi
mempertahankan nilai-nilai yang lain selain kebebasan seperti keadilan,
kebahagian, keamanan dan keseteraan. Mereka mengakui bahwa kesemuanya itu
memiliki nilai yang amat tinggi dan bahkan mereka siap untuk membatasi
kebebasan mereka demi menjaga dan mempertahankan nilai-nilai tersebut.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka dalam upaya mewujudkan suatu kebebasan
harus dilakukan pembatasan terhadap kebebasan itu sendiri. Dan jika tidak, maka
manusia tidak mungkin dapat menciptakan suatu masayrakat yang benar-benar
harmonis.
Oleh karena itu para cendekiawan berpendirian bahwa undang-undang
diperlukan dan harus diberlakukan demi membatasi ruang gerak dan kebebasan
seseorang. Para cendekiawan, khususnya para penuntut kebebasan, seperti Locke
dan Mill, berpendirian bahwa pada akhirnya minimal masih terdapat kebebasan
yang sama sekali tidak dapat diganggu dan dicampuri orang lain. Karena jika
manusia tidak diberi kebebasan yang minim itu, maka ia akan merasa terjepit dan
tidak akan mampu mengembangkan berbagai potensi alamiahnya secara baik dan
sempurna.
Sekalipun mereka mendukung kebebasan individual, namun demi menjaga
agar seseorang tidak sampai menguasai dan melakukan penekanan terhadap orang
lain, mereka memaparkan suatu prinsip, Kita harus menjaga cakupan dan
wilayah kebebasan individual walaupun amat minim. Jika tidak, maka kita akan
16
17
Contoh :
Apabila seseorang, misalnya, berusaha menetapkan dan memastikan kadar
suatu kesenangan atau rasa sakit, haruslah ia memperhatikan faktor-faktor
berikut : intensitasnya, lamanya, pasti atau tidak pastinya, jauh atau dekatnya
kesenangan atau rasa sakit itu untuk seseorang. Selain itu masih ada faktor
subur dan murninya kesenangan untuk orang yang bersangkutan. Tindakan
tertentu itu subur apabila cenderung menghasilkan rasa senang yang lebih
lanjut. Murni, apabila tidak tercampur dengan perasaan atau rasa yang
berlawanan dengannya. Bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kita sebagai
individu harus dengan sukarela menyerahkan sebagian kebebasan kita untuk
mencapai suatu keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.
Dengan demikian, maka Kebebasan positif adalah kebebasan yang bersifat
partisipatif.
Contoh :
Keyakinan kita terhadap belajar akan dapat meningkatkan kemampuan kita
untuk lebih independen, tapi dalam prakteknya kita lebih suka menghabiskan
waktu dengan ngobrol di warung. Singkatnya kebebasan positif kita akan
meningkat ketika belajar.
Bila dikatakan dalam kebebasan positik yang menjadi isu utama adalah
kemampun untuk mengambil kesempatan yang pada gilirannya menjadikannya
mampu untuk mengontrol hidupnya sendiri. Atau dengan kata lain kebebasan ini
tidak hanya menuntut sikap diam tapi juga menuntut adanya kebebasan tindakan
nyata yang pada gilirannya mendorong peningkatan idealita. Sehingga dalam
keadaan tertentu kebebasan positif ini dapat berakibat pada pembatasan kebebasan
negatif.
18
Contoh :
Saya lebih berhak untuk mengambil suatu keputusan bagi diri saya sendiri,
dan saya bukanlah alat untuk menjalankan keinginan orang lain. Saya ingin
menjadi subyek bukan obyek dari suatu perbuatan. Saya sendiri yang
menentukan berbagai dalih dan argumen atas berbagai perbuatan serta
kepemilikan saya, dan berbagai faktor asing tidak berpengaruh pada diri saya.
Saya menginginkan sesuatu yang berarti, bukan yang sia-sia dan tidak berarti.
Saya ingin dapat mengambil keputusan bagi diri saya sendiri dan bukan orang
lain yang menentukan keputusan bagi diri saya. Saya tidak ingin sama seperti
benda mati tidak bernyawa, ataupun budak. Saya adalah makhluk yang
berpikir dan memiliki kehendak, saya juga bertanggung jawab atas semua
tindakan dan perbuatan saya. Sebatas apapun saya mampu meraih harapan
dan cita-cita ini, maka sebatas itu pula saya merasa bebas dan medeka dan
terlepas dari perbudakan.
Akan tetapi apakah tidak mungkin pada saat yang sama saya adalah budak dari
alam? Apakah tidak mungkin saya menjadi budak dan tawanan sebagai hawa
nafsu saya sendiri? Apakah semua itu tidak dapat dianggap sebagai jenis dari
perbudakan; sebagian adalah perbudakan politik dan undang-undang dan sebagian
yang lain adalah perbudakan diri sisi moral dan maknawi? Apakah manusia,
dalam rangka pembebasan dirinya dari perbudakan maknawiah (internal) atau
alamiah (eksternal), mengenal dua jenis dirinya; diri yang menang dan
mengalahkan serta diri yang kalah dan dikalahkan.
Dan diri jiwa ini mengadakan perlawanan terhadap dirinya sendiri (nafsu) yang
merupakan sumber munculnya berbagai reaksi yang tidak rasional, dan yang
hanya mengejar kenikmatan yang hanya sesaat saja. Diri itulah yang dalam
praktiknya menjadi komandan saja, yang dalam setiap detik senantiasa mengejar
berbagai keinginan dan angan-angan. Dan diri itu harus berada di bawah aturan
yang keras dan ketat, sehingga mampu mencapai derajat yang tinggi.
Kita mengetahui bahwa memaksa dan mengharuskan manusia untuk berjalan
pada suatu tujuan (misalnya saja menciptakan keadilan atau menjaga keselamatan
umum) merupakan suatu perkara yang dapat dibenarkan.
Jika manusia
mengetahui dengan jelas berbagai tujuan tersebut, maka mereka pun akan memilih
dan berusaha untuk meraihnya. Akan tetapi dikarenakan mereka buta, bodoh,
ataupun amoral, maka mereka lalai akan semua itu.
19
Dari sini, dengan mudah dapat diketahui bahwa seseorang yang memaksa dan
mengharuskan orang lain untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya
sendiri, itu artinya ia mengklaim bahwa ia lebih mengetahui kebutuhan sejati
mereka melebihi orang yang ia paksa. Yakni dia menyatakan bahwa jika mereka
menggunakan akal mereka sebagaimana dia, maka pasti mereka akan mengetahui
berbagai kepentingan mereka dan mereka tidak akan mengadakan perlawanan dan
penentangan kepadanya.
Pengertian kebebasan positif dimana pribadi seseorang merupakan majikan
dan penguasa bagi dirinya sendiri, terbagi menjadi dua bagian, bagian diri yang
tinggi dan penguasa di mana tali kendali, pilihan dan kehendak ada padanya serta
bagian diri yang rendah yang terdiri dari berbagai kenikmatan dan nafsu indrawi
yang harus ditentang dan tunduk di bawah perintah (bagian diri yang tinngi).
Kenyataan ini membuktikan bahwa pengertian dan pendefinisian kebebasan
secara langsung merupakan hasil dari berbagai pandangan berkenaan dengan
esensi jiwa, pribadi dan manusia.
pendefinisian negatif (yakni kebebasan bagi manusia untuk melakukan apa saja
yang ia inginkan) yang didukung oleh Mill, merupakan sebuah pendefinisian yang
tidak tepat.
Sesuai pendefinisian tersebut, jika ada seorang pemimpin dan penguasa yang
zalim, yang dapat membuat masyarakat melupakan keinginan sejatinya, sehingga
mereka menerima dan mematuhi bentuk kehidupan yang ditetapkan dan
dipaksakan atas mereka, dan batin mereka mampu menyesuaikan diri dengan
bentuk kehidupan tersebut, maka harus dikatakan bahwa pemimpin dan penguasa
yang zalim itu telah berhasil membebaskan masyarakat ini.
Tetapi situasi dan kondisi yang diciptakan oleh sang penguasa ini bertentangan
dengan kebebasan politik. Montesquieu (seorang penulis dan ahli hukum asal
Pranscis dengan ide dan gagasannya berupa The Spirit of the Laws, 1784,
mengeksplorasi ide pemisahan kekuasaan dan menciptakan teori tentang skema
pengawasan dan penyeimbangan dalam politik kekuasaan) dalam membahas
kebebasan politik dan berbagai sikap liberal, mengatakan, Kebebasan bukan
berarti bahwa kita bebas berbuat sesuka hati, atapun kita melakukan perbuatan
20
apa saja dengan dalih bahwa perbuatan tersebut dibenarkan oleh undangundang. Dan kebebasan politik berarti kita memiliki kehendak dan pilihan untuk
melakukan apa yang selayaknya kita lakukan.
Pernyataan semacam ini kurang lebih juga diungkapkan oleh Kant (filsuf
jerman yang dipandang sebagai pemikir yang paling berpengaruh di era 17241804) yang berpendapat,Hak individu harus dibatasi demi kemashlahatan dan
kepentingan individu itu sendiri, karena setiap makhluk yang berakal pasti akan
setuju dengan sistem yang diterapkan atas berbagai perkara.
Semua para tokoh tersebut dan juga para tokho mazhab pemikiran yang lain,
serta para tokoh komunisme akhir-akhir ini memiliki kesamaan pendapat pada
poin : berbagai tujuan manusia yang alamiah, rasional dan sejati adalah sama,
atapun harus disamakan. Kebebasan bukan berarti manusia bebas untuk
melakukan berbagai perbuatan yang tidak rasional, sia-sia dan keliru.
Dan
pemaksaaan terhadap nafsu amminah agar berjalan di jalan yang benar, bukan
merupakan suatu bentuk penekanan dan perbudakan, tetapi merupakan suatu
kebebasan.
Berlin meyakini kebebasan positif dan juga meyakini kekuasaan serta
kepemimpinan orang yang berakal. Ia juga menyatakan pandangannya sebagai
berikut :
Seluruh masyarakat harus patuh pada kepemimpinan dan kekuasaan orang yang
berakal (kaum intelektual). Dan tatkala masyarakat menerima mereka sebagai
pemimpin, hal itu tidak bertentangan dengan kebebasan, tetapi justru merupakan
syarat bagi kebebasan. Jika masyarakat bersedia tunduk dan menyerahkan diri
kepada para cendekiawan, pada dasarnya mereka menyerah dan tunduk kepada
akalnya, dan ini adalah kebebasan yang sejati; kebebasan yang diartikan dengan
kebebasan dalam menentukan dan memilih sesuatu yang menyebabkan
perkembangan dan kesempurnaan, dan bukan kebebasan yang diartikan sebagai
kebebasan dalam menuruti berbagai tuntutan hawa nafsu.
Sampai disini bentuk pandangan berlin sama dengan bentuk pandangan
dan pemikiran para cendekiawan muslim. Perbedaannya ada pada bagian
berikutnya; Kaum cendekiawan muslim mengatakan bahwa perbandingan antara
cendekiawan dengan wahyu adalah semacam perbandingan antara masyarakat
awam dengan kaum cendekiawan, masyarakat awam tidak mengetahui hakikat
berbagai perkara, namun para cendekiawan mampu mengetahui dengan jelas dan
21
dibuktikan bahwa para utusan Sang Pencipta menjelaskan kepada manusia tentang
masalah penciptaan asal mula dan tempat kembali manusia, serta jalan yang harus
ditempuh oleh manusia dalam upaya meraih kebahagiaan sejati tidak diragukan
lagi bahwa mereka yang memiliki bentuk pandangan semacam berlin harus
mengakui bahwa kebebasan itu harus ditafsirkan dan dijelaskan dengan
perantaraan wahyu.
d. Pembatasan Kebebasan
Manusia itu sebagai mahkluk sosial. Itu berarti bahwa manusia harus hidup
bersama dengan manusia-manusia lain dalam ruang dan waktu yang sama, dan
dengan mempergunakan alam yang terbatas sebagai dasar untuk memenuhi
kebutuhannya. Hal itu berarti bahwa kita disatu fihak saling membutuhkan dan
dilain fihak bersaing satu sama lain. Dan oleh karena itu kelakuan harus kita
sesuaikan dengan adanya orang lain. Bagaimanapun juga, kepentingan semua
orang lain yang hidup dalam jangkauan tindakan kita perlu kita perhatikan.
Kalaupun kita tidak mau menghiraukan mereka, kita terpaksa akan melakukannya
kalau tidak mau terus menerus bertabrakan. Jadi pertanyaannya bukan apakah
kebebsan sosial kita memang boleh dibatasi atau tidak.
Sebagai mahluk sosial yang hidup bersama dalam dunia yang terbatas,
sudah
jelas
manusia
kesewenangannya.
harus
menerima
bahwa
masyarakat
membatasi
dengan cara mana, kebebasan kita boleh dibatasi? Jadi bahwa kebebasan sosial
22
kita terbatas, sudah jelas dengan sendirinya yang perlu ialah agar pembatasan itu
dapat dipertanggung jawabkan. Karena kalaupun kebebasan kita harus dibatasi,
hal itu tidak berarti bahwa segala macam pembatasan dapat dibenarkan. Pada
dasarnya ada dua alasan untuk membatasi kebebasan manusia.
Alasan pertama ialah hak setiap manusia atas kebebasan yang sama.
Keadilan menutut agar apa yang kita tuntut bagi kita sendiri, pada prinsipnya juga
kita akui sebagai hak orang lain. Oleh karena itu hak seseorang atas kebebasannya
menemukan batasnya pada hak sesama saya yang sama luasnya. Tidak masuk akal
kalau di ruang kuliah seseorang mau menggunakan dua kuris, selama masih ada
mahasiswa yang belum dapat duduk.
seseorang tidak boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain yang sama
luasnya.
Alasan yang kedua bagi pembatasan kebebasan adalah bahwa setiap orang
bersama semua orang lain merupakan anggota masyarakat.
Setiap individu
jawabkan
pembatasan
kebebasan
anggota
masyarakat.
23
karena itu tidak perlu malu malu melakukannya. Mereka hendaknya dengan
terbuka mengemukakan peraturan-peraturan dan larangan-larangan yang memang
meraka anggap perlu. Dengan demikian masyarakat yang bersangkutan
seperlunya dapat menuntut pertanggung jawaban. Kalau aturan-aturan dan
larangan-larangan itu perlu, hendaknya hal itu diperhatikan. Kalau perlunya itu
tidak dapat dipertanggungjawabkan, peraturan-peraturan itu bersifat sewenangwenang dan harus dicabut.
yang sebenarnya. Yang buruk pada cara pembatasan kebebasan ini ialah bahwa
tidak dipertanggung jawabkan. Dengan argumen bahwa kebebasan yang
sebenarnya tidak dibatasi, mereka yang membatasinya menghindar dari
pertanggung jawaban. Jadi hendaknya dia memilih; membiarkan bebas atau tidak.
Kalau tidak, katakan dengan terus terang dan berikan pertanggung jawabab. Kalau
pertanggung jawaban itu masuk akal pembatasan akan kita terima. Tetapi kalau
kita memang bebas, hendaknya bebas sungguhan, artinya kita bebas sekehendak
kita. Bahwa kita harus mempertanggung jawabkan kebebasan kita secara moral
terhadap kita sendiri adalah lain masalah. Tetapi dari fihak masyarakat kebebasan
sosial kita berarti kita boleh menentukan sendiri apa yang kita kehendaki.
Pembenaran pembatasan kebebasan dengan alasan kebebasan bertanggung
jawab sebenarnya tidak lebih daripada pengakuan bahwa pembatasan yang
dikehendaki tidak diberanikan dikemukakan dengan terus terang karena rupa
rupanya tidak dapat dipertanggung jawabkan didepan umum. Jadi yang tidak
bertanggung jawab adalah fihak yang mau membatasi kebebasan atas nama
kebebasan yang bertanggung jawab itu. Dengan demikian maka dapat dipahami
bahwasannya kebebasan manusia memang jelas boleh dan bahkan harus dibatasi
tetapi pembatasan itu harus dikemukakan dengan terus terang dan dapat
dipertanggung jawabkan. Adapun pembatasan-pembatasan yang dimaksud
diantaranya adalah sebagai berikut:.
1. Faktor-faktor dari dalam artinya, Kebebasan pertama-tama di batasi oleh
faktor-faktor dari dalam, baik fisik maupun psikis.
2. Faktor Lingkungan artinya, Kebebasan yang di batasi oleh lingkungan, baik
ilmiah maupun sosial. Lingkungan ini sangat menentukan pandangan kita
24
2.2.
Tanggung Jawab
a. Definisi/ Pengertian.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia arti dari tanggung jawab adalah
keadaan wajib dan menanggung segala sesuatunya.
jawab berarti keadaan yang mewajibkan seseorang yang apabila kalau terjadi
sesuatu apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya.
Dalam filsafat pengertian tanggung jawab adalah kemampuan manusia
yang menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi.
Perbuatan tidak bertanggung jawab, adalah perbuatan yang didasarkan pada
pengetahuan dan kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan juga.
Menurut Anton Adi Wiyoto dijelaskan bahwa arti tanggung jawab adalah
mengambil keputusan yang patut dan efektif. Patut berarti menetapkan pilihan
ynag terbaik dalam batas-batas normal sosial dan harapan yang umum diberikan,
untuk meningkatkan hubungan antar manusia yang positif, keselamatan,
keberhasilan, dan kesejahteraan mereka sendiri, misalnya : menanggapi sapaan
dengan senyuman. Sedangkan tanggapan yang efektif berarti tanggapan yang
memampukan anak mencapai tujuan-tujuan yang hasil akhirnya adalah makin
kuatnya harga diri mereka, misalnya : bila akan belajar kelompok harus mendapat
izin dari orang tua.
25
26
mendukung calon presiden dan mempengaruhi pemilu dan penerapan undangundang. Pada saat yang sama, kekuatan pemerintahan federal meingkat secara
drastis. Program New Deal Franklin D. Roosevelt membentuk program-program
baru yang memperluas pengaruh pemerintahan federal dan merubah sikap publik
terhadap hubungan pemerintah dengan sektor swasta. Kebijakan anggaran yang
liberal membuatnya dibenci oleh para tokoh media. Roosevelt mampu
menggunakan oposisi mereka untuk mengarahkan simpati publik terhadap
pemerintahannya.
Teori tanggung jawab sosial dikembangkan setelah kematian Roosevelt,
ketika para penerbit berpengaruh tidak populer di kalangan publik. Publik selalu
curiga terhadap pers, bahkan ketika para pemimpin industri ini diganti dengan
yang baru. Pers telah merumuskan kode etika selama berdekade (Masyarakat
Editor Surat Kabar Amerika (ASNE) menerapkan aturan jurnalisme (The
Canons of Journalism) di tahun 1923) dan televisi menjadi media paling populer
pada saat itu.
Untuk bisa memahami nilai penting teori tanggung jawab sosial, kita harus
melihat pada konsep dasar yang membentuknya. Pada essay di tahun 1958, Sir
Isaiah Berlin membedakan kebebasan negatif dan positif sebagai dua aliran dalam
filosofi politik demokratis ua model yang membedakan John Locke dari JeanJacques Rousseau. Berlin menyatakan bahwa politik liberal menjalankan
kompomi dalam hubungan keseharian, menempatkan kebebasan positif sebagai
penyeimbang kebebasan negatif; nilai-nilai utama dari politik liberal positif hakhak, untuk berpartisipasi dalam pemerintahan adalah sarana untuk menjaga nilainilai utama mereka, yaitu individualisme negatif kebebasan.
Kebebasan positif adalah poros konseptual tempat berkembangnya
tanggung jawab sosial. Implikasi hukum dari kebebasan positif dikembangkan
oleh Zechariah Chafee dalam karya dua jilid nya Government and Mass
Communciation
(1947).
Dalam
penekenannya
terhadap
hak-hak
dan
27
berbeda dengan wilayah hak-hak hukum. Teori ini secara filosofi radikal dan
konservatis secara programnya.
pribadi.
Dengan
demikian
bisa
memecahkan
masalah-masalah
Contoh :
Rudi membaca sambil berjalan. Meskipun sebentar-sebentar ia melihat
jalan, tetapi juga ia lengah, dan terperosk kesebuah lubang, kakinya terkilir.
Ia menyesali dirinya sendiri akan kejadian itu. Ia harus beristirahat dirumah
beberapa hari. Konsekuensi tinggal di rumah beberapa hari merupakan
tanggung jawab sendiri akan kelengahannya.
2) Tanggung Jawab Terhadap Keluarga.
Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari suami istri, ayah
ibu dan anak-anak dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap
anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab
28
ini menyangkut nama baik keluarga. Tetapi tanggung jawab juga merupakan
kesejahteraan, keselamatan, pendidikan dan kehidupan.
Contoh :
Seorang ibu telah dikarunia tiga anak, kemudian oleh sesuatu sebab
suaminya meninggal dunia, karena ia tidak mempunyai pekerjaan/ tidak
bekerja pada waktu suaminya masih hidup, maka demi rasa tanggung
jawabnya terhadap keluarga ia melacurkan diri.
Ditinjau dari segi moral hal ini tidak bisa diterima karena melacurkan diri
termasuk tindakan di kutuk, tetapi dari segi tanggung jawab ia termasuk
orang yang dipuji, karena demi rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga
ia rela berkorban menjadi manusia yang hina dan dikutuk.
3) Tanggung Jawab Terhadap Masyarakat.
Pada hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain, sesuai
dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain
maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan
demikian manusia di sini merupakan anggota masyarakat yang tentunya
mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat
melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah apabila segala
tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
Contoh :
Hanafi terlalu congkak dan sombong, ia mengejek dan menghina pakaian
pengantin adat minangkabau. Ia tidak memakai pakaian itu, bahkan
penutup kepala yang dikeramatkan pun semula ditolak. Tetapi setelah ada
ancaman dari pihak pengiring, terpaksa Hanafi mau memakainya juga.
Didalam peralatan itu hampir pernikahan dibatalkan, karena timbul
perselisihan antara pihak kaum perempuan dengan pihak kaum laki-laki.
Pangkalnya dari Hanafi juga. Ia berkata pakaian mempelai yang masih
sekarang dilazimkan dinegerinya, yaitu pakaian secara zaman dahulu,
disebutkannya cara anak komedi istambul. Jika ia dipaksa memakai secara
itu sukalah urung sahaja, demikian katanya dengan pendek. Setelah timbul
pertengkaran didalam keluarga pihaknya sendiri akhirnya diterimalah
bahwa ia memakai smoking, yaitu jas hitam, celana hita, dengan berompi
dan berdasi putih. Tetapi waktu hendak menutup kepalanya sudah
berselisih pula. Dengan kekerasan ia menolak pakaian daster suluk, yaitu
pakaian orang Minangkabau. Bertangisan sekalipun perempuan meminta
supaya ia jangan menolak tanda keminangkabauan yang satu, yaitu selama
beralat saja. Jika peralatan seudah selesai bolehlah ia nanti memakai
sekehendak hatinya nanti, karena lebih gila pula dari pada anak komidi,
29
bila memakai daster saluk dengan baju smocking dan dasi. Setelah ibunya
sendiri hilang sabarnya dan memukul mukul dada di muka anak yang
terpelajar itulah baru Hanafi menurut kehendak orang banyak, sambil
mengeluh dan keringat akan badannya yang sudah tergadai. Untunglah ia
menurutkan hal menutup kepala itu, karena sekalian pengantar dan
pasuimandan (pengiring perumpuan) sudah berkata bahwa mereka tak sudi
menggiringkan mempelai didong. Akhirnya Hanafi tunduk pula dengan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Meskipun harus
bersitegang dahulu. Sebagai pertanggung jawaban kecongkakan dan
kesombongannya itu, Hanafi harus menerima rasa antipati dari masyarakat
Minangkabau yang sangat ketat terhadap adat itu.
4) Tanggung Jawab Terhadap Bangsa.
Suatu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga negara
suatu negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat
oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak
dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus
bertanggung jawab kepada negara.
Contoh :
Seorang guru yang terkenal sebagai seorang guru yang baik, terpaksa mencuri
barang-barang milik sekolah demi rumah tangganya. Perbuatan guru tersebut
harus pula dipertanggung jawabkan kepada pemerintah, kalau perbuatan itu
diketahui ia harus berurusan dengan pihak kepolisian dan pengadilan.
5) Tanggung Jawab Terhadap Tuhan.
Tuhan menciptakan dengan manusia di bumi bukanlah tanpa tanggung jawab,
melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggung jawab
langsung terhadap Tuhan, sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari
hukuman-hukuman tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui
berbagai macam agam. Pelanggaran-pelanggaran dari hukuman tersebut akan
segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika dengan peringatan yang keras pun
manusia masih juga tidak menghiraukan maka Tuhan akan melakukan kutukan,
sebab dengan mengabaikan perintah Tuhan berarti mereka meninggalkan
tanggung jawa yang seharusnya dilakukan manusia terhadap Tuhan sebagai
penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya manusia perlu
pengorbanan.
Contoh :
30
Perlu
32
berbeda mengenai kewajiban. Dapat saja terjadi bahwa dua orang yang berbeda
pendapat tentang apa yang wajib dilakukan. Misalnya kakak yang hidup diluar
negeri berpendapat bahwa adiknya yang telah berkeluarga, wajib untuk
menampung ibunya dalam rumah tangganya supaya ibunya itu tidak merasa
sendirian (meskipun secara ekonomis ibu itu terjamin). Tetapi adiknya menolak
dengan argumen bahwa kehadiran ibunya akan membahayakan ketentraman
dalam keluarganya dan bahwa ia berkewajiban untuk mendahulukan kepentingan
keluarganya. Dalam kasus ini adik itu tidak menolak untuk bertanggung jawab,
melainkan hanya mempunyai pandangan lain tentang apa yang merupakan
kewajibannya.
33
Jadi menolak untuk bertanggung jawab tidak membuat kita menjadi lebih
bebas, melainkan sebaliknya. Orang yang tidak bertanggung jawab adalah orang
yang tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya sendiri sebagai paling baik.
Jadi ia kurang bebas untuk menentukan dirinya sendiri dan kebebasan
eksistensialnya justru memudar.
Secara lebih terperinci, penolakan untuk bertanggung jawab mempunyai
dua akibat, Pertama persepsi atau wawasan semakin menyemput. Semuanya
hanya dilihat dari kepentingan dan perasaan sendiri. Yang penting ialah agar ia tak
perlu susah, tak terganggu, aman. Orang yang iri hati, tersinggung atau dendam
memang tertutup, mereka tidak dapat memperhatikan sesuatu di luar perasaan
mereka sendiri. Mereka berputar sekeliling mereka sendiri yang menyebabkan diri
mereka semakin sempit.
Kedua, orang yang tak mau bertanggung jawab semakin lemah, semakin
tidak bebas lagi untuk menentukan diri sendiri, sebagaimana kita lihat pada
remaja akhir akhir ini. Ia semakin membiarkan diri ditentukan oleh dorongan
irasional yang tidak dikuasainya, oleh perasaannya, emosinya, oleh sentimennya,
oleh kemalasannya, oleh perasaan takut. Ia tidak lagi sanggup untuk
merealisasikan sesuatu yang dilihatnya sebagai bernilai, karena mengalah
terhadap perasaan-perasaan subrasionalnya. Ia semakin tidak kuat untuk melawan
arus. Jadi ia semakin tidak bebas untuk menentukan dirinya sendiri.
Sebaliknya orang yang bersedia bertanggung jawab semakin kuat dan
bebas dan semakin meluas wawasannya. Ia tidak terhalang oleh segala macam
perasaan dalam mengejar apa yang dinilainya sebagai penting. Ia kuat dan terlatih
untuk mengatasi segala halangan dan kelemahan. Ia bagaikan pendaki gunung
yang tangguh. Kesulitan dan pengorbanan apa pun tidak akan menghalanginya
dari mencapai puncak gunung yang dicita-citakan. Memang, kemampuan utnuk
berkorban demi suatu tujuan luhur membuat kita menjadi tangguh dan bebas.
Orang yang bertanggung jawab dengan demikian adalah orang yang
menguasai diri, yang tidak ditaklukan oleh perasaan-perasaan dan emosiemosinya, yang sanggup untuk menuju tujuan yang disadarinya sebagai penting,
meskipun hal itu berat. Jadi semakin kita bertekad untuk bertanggung jawabm
34
semakin kita juga bebas. Orang yang tidak menjadi dirinya sendiri dengan
mengelak dari tanggung jawabnya melainkan dengan mengakuinya dan dengan
berusaha untuk melaksanakannya.
2.4. Makna Kebebasan dan Tanggung Jawab
Orang sering berkata Kebebasan harus disertai tanggung jawab.
Seringkali orang itu berkata walaupun kita bebas, kita tidak boleh bebas-bebas
semena-mena. Semacam ucapan-ucapan retorika yang keluar untuk para kaum
muda yang dianggap terlalu bebas. Untuk sementara marilah kita tinggalkan dulu
pendapat yang demikian karena itu dapat membuat diri kita tidak akan maju-maju.
Kita harus sadar bahwa kebebasan selalu disertai dengan batasan. Ada
kebebasan pasti ada juga batasan. Ini terjadi karena kalau tidak ada batasan, tidak
ada kebebasan, karena kita sama sekali tidak mengerti apa itu kebebasan kalau
tidak pernah ada batasan. Seperti prinsip Yin dan Yang. Kita tidak akan mengenal
gelap kalau tidak ada terang. Kita memerlukan batasan untuk bisa memandang
kebebasan itu.
Sebenarnya sebebas apapun bebasnya manusia, dia pasti memiliki batasan.
Sejenak kita lupakan hukum aturan masyarakat, sejak dasar kebebasan kita telah
diikat oleh yang namanya hukum alam. Hukum alam ini mengikat kebebasan kita,
seperti halnya grafitasi. Grafitasi mengikat kita sehingga kita tak bebas terbang.
Jika kita meloncat maka kita akan jatuh dan sakit. Ini adalah hukum mutlak. Alam
membatasi pergerakan kita.
Sama seperti alam, kebebasan kita akhirnya dibatasi oleh masyarakat juga.
Ada hal yang bisa kita lakukan dan ada hal yang tidak bisa kita lakukan. Misalnya
kita tidak bisa bernafas di dalam air, kita tidak bisa menumbuhkan tangan. Semua
hal itu mustahil. Ini adalah batas dari kebebasan pertama kita. Pembatasan ini
natural, karena mengatakan apa yang bisa kita lakukan dan apa yang tidak bisa
kita lakukan.
Pembatasan kedua dari kebebasan kita adalah etik. Artinya apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh. Misal, kita bisa saja membunuh teman kita. Kita tidak
35
dihalangi secara alamiah untuk melakukan itu atau tidak melakukan itu. Kita
punya kemampuan untuk melakukannya.
Namun demikian kita tidak boleh melakukannya. Ini karena adanya
pembatasan etis. Pembatasan ini bersifat tidak senatural pembatasan secara
alamiah. Karena kita memilih perbuatan kita, maka ini menjadi subjek etika.
Pembatasan ini berkaitan dengan konsekuensi, baik secara natural maupun
artificial.
Ketika
melakukan
perbuatan
kita,
maka
kita
akan
mendapat
36
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
a. Kebebasan merupakan sebuah pengertian negatif jika diartikan sebagai tidak
adanya suatu larangan, rintangan dan pencegahan apapun.
Pengertian
kebebasan itu adalah berarti lepas kendali, tanpa aturan dan undang-undang.
b. Dalam filsafat pengertian tanggung jawab adalah kemampuan manusia yang
menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi.
Perbuatan tidak bertanggung jawab, adalah perbuatan yang didasarkan pada
pengetahuan dan kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan
juga. Tanggung jawab menutut seseorang untuk berfikir sebelum melakukan
hal-hal yang sedang di hadapi nya, karena seseorang dapat dituntut, di
persalahkan, diperkarakan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
c. Kebebasan yang di dasarkan dengan tanggung jawab maka akan menjadi
sesorang menjadi di terima di masyarakat. Sama seperti alam, kebebasan
kita akhirnya dibatasi oleh masyarakat juga. Ada hal yang bisa kita lakukan
dan ada hal yang tidak bisa kita lakukan. Misalnya kita tidak bisa bernafas
di dalam air, kita tidak bisa menumbuhkan tangan. Semua hal itu mustahil.
Ini adalah batas dari kebebasan pertama kita. Pembatasan ini natural, karena
mengatakan apa yang bisa kita lakukan dan apa yang tidak bisa kita
lakukan.
37
DAFTAR PUSTAKA
Bdk.
DR.
Nico
Syukur
Dister
OFM
(1993),
Filsafat
Kebebasan.
Kanisius.Yogyakarta.
Bdk. Nusa Putra (1994), Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Bdk. Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk
Paradoksal.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta.
Dpchanurabone, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani, Melalui
<http://dpchanurabone.blogspot.com/2011/04/kebebasan-tanggung-jawabdan-hati.html> [01/08/2011]
Rafael Edy Bosko dan M. Rifai Abduh (2010),
Manusia
Jawa,
Telaah
Filsafat
Perbandingan.
Melalui
38
39