Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Kebebasan

merupakan

problem

yang

terus-menerus

digeluti

dan

diperjuangkan oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan


keinginan yang sangat mendasar. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau
dalam sejarah perkembangan pemikiran muncul berbagai pendapat yang berusaha
menjawab problem tersebut. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa
persoalan kebebasan manusia merupakan suatu persoalan yang masih tetap
terbuka sampai dewasa ini. Hal tersebut ada, karena titik tolak yang digunakan
untuk menjawab persoalan itu bukan hanya sering kali berbeda, namun juga
sering kali bertentangan. Salah satu sebab munculnya kontroversial dalam hal
penjelasan dan pemberian jawaban itu adalah perbedaan latar belakang dan
pengalaman hidup para pemikir. J.P Sartre yang lahir dan dibesarkan serta
bergumul dalam lingkungan industri jelas memiliki pola pemikiran yang berbeda
dengan Albert Camus yang hidup dalam masa revolusi Aljazair yang berusaha
menuntut kebebasan dari Perancis. Pengalaman Camus berhadapan langsung
dengan teror-teror dan kemiskinan membuahkan pola pemecahan yang berbeda
dengan pemikiran Sartre yang lebih bersifat teoretis dan abstrak. Dalam konteks
ini dapat diambil contoh pemikiran Louis Leah y tentang kebebasan manusia.
Louis Leahy berpendapat bahwa kebebasan merupakan salah satu karakter
dasar manusia. Manusia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak.
Dalam perbuatan berkehendaknya kelakuan manusia hadir dalam dirinya dan
menguasainya. Karena itu pada dasarnya manusia tidak dapat tidak
berkehendak.
Begitu esensial dan konkrit unsur kebebasan bagi eksistensi atau adanya
manusia di dunia, sehingga kebebasan dalam peziarahan hidup manusia menjadi
suatu yang secara terus-menerus diperjuangkan. Di antara masalah yang menjadi
bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah
kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Dalam ini
kebebasan tekait erat dengan aspek moralitas, banyak kalangan berpendapat
1

bahwa manusia memiliki kebebasan yang akan dilakukannya sendiri, sementara


golongan yang lain menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasannya
secara proporsianal. Saat ini, banyak suara-suara miring yang diperdengarkan
oleh para ahli dan masyarakat pada umumnya tentang persoalan moralitas anak
bangsa yang diduga telah berjalan dan mengalir ke luar dari garis-garis humanitas
yang sejati. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan akan dan atau bahkan
mungkin telah adanya dekadensi moral berkepanjangan yang tentu akan
meniscayakan penurunan harkat dan martabat kemanusiaan. Kondisi kemanusiaan
semacam ini dipertegas lagi dengan derasnya arus informasi dan komunikasi di
era globalisasi saat ini yang mana setiap saat orang berhadapan dengan berbagai
macam pandangan, ideologi dan gaya hidup yang sedemikian rupa yang dapat saja
menggoncangkan kestabilan moralitas yang telah terbangun rapi selama ini.
Bahkan kondisi ini tidak jarang pula akan menerpa sendi-sendi kehidupan
keberagamaan sebagai bangunan dasar moralitas itu sendiri.
Kondisi kehidupan manusia yang semakin plural seiring dengan
konsekuensi logis arus komunikasi dan globalisasi yang mengubah cara pandang
dan gaya hidup yang tentu berdampak pada akulturasi budaya, dapat pula
terimplikasi dalam menentukan dan memilih nilai-nilai moral.

Berbagai

kebebasan dan kesempatan yang modernitas saat ini berikan menempatkan suatu
rangkaian pilihan yang membingungkan dihadapan banyak masyarakat. Mobilitas
modern telah mengoyak nilai-nilai moral yang telah ditanamkan dalam
masyarakat. Aroma kebebasan pribadi merebak dan merasuk di udara. Mobilitas
dan nilai-nilai modern yang dikomunikasikan melalui media massa memberikan
tantangan-tantangan yang tidak terduga terhadap komunitas di mana-mana.
Komunitas-komunitas ini harus berusaha memelihara pemahaman akan tanggung
jawab pribadi ketika berhadapan dengan kebebasan yang luar biasa dan nilai-nilai
moral yang berbeda. Sehingga salah satu tantangan yang penting dalam
menghadapi global saat ini adalah bagaimana menanamkan tanggung jawab
dalam diri individu di tengah-tengah kebebasan-kebebasan yang luar biasa yang
diberikan modernitas.

1.2. Dasar Berpikir.


Kebebasan memang seperti bola panas yang digelindingkan. Barang siapa
yang tidak siap menerimanya akan merasakan panas, mungkin bisa melukai, dan
membahayakan. Butuh tangan dingin yang mampu mengolah bola panas,
sehingga bisa menimbulkan decak kagum banyak orang. Disatu sisi kebebasan
dapat menimbulkan decak kagum. Tetapi disisi lain kebebasan juga bisa
menimbulkan cemooh dan hinaan jika tidak bisa menanganinya. Kemampuan
menangani kebebasan membutuhkan kesadaran atas sikap dan perilaku tanggung
jawab.

Seseorang perlu sikap dan perilaku tanggung jawab seketika dirinya

menerima hak istimewa berupa kebebasan, karena tidak ada kebebasan tanpa
ada sikap tanggung jawab.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Kebebasan.
a. Definisi/Pengertian
Menurut

Kamus

Bahasa

Indonesia

arti

dari

kebebasan

adalah

kemerdekaan atau keadaan bebas. Dalam hal ini kebebasan berarti lepas sama
sekali (tidak terhalang, terganggu dan sebagainya, sehingga boleh bergerak
berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa.
Menurut teori filsafat pengertian kebebasan adalah Kemampuan manusia
untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif, dan ia ada
sebagai konsekuensi dari adanya potensi manusia untuk dapat berpikir dan
berkehendak. Sudah menjadi kodrat manusia untuk menjadi mahluk yang
memiliki kebebasan, bebas untuk berpikir, berkehandak, dan berbuat.
Aristotoles sendiri mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
berakal budi (homo rationale) yang memiliki tig a jiwa (anima), yakni:
1) Anima avegatitiva atau disebut roh vegetatif. Anima ini juga dimiliki tumbuhtumbuhan, dengan fungsi untuk makan, tumbuh dan berkembang biak.
2) Anima sensitiva, yakni jiwa untuk merasa, sehingga manusia punya naluri,
nafsu, mampu mengamati, bergerak dan bertindak.
3) Anima intelektiva, yakni jiwa intelek. Jiwa ini tidak ada pada binatang dan
tumbuh-tumbuhaan. Anima intelektiva memungkinkan manusia untuk
berpikir, berkehendak dan punya kesadaran.
Sedangkan pengertian kebebasan dalam Islam dapatlah dilihat dari dua
perspektif yaitu perspektif teologi dan perspektif ushul figh, yaitu;
Pengertian kebebasan dalam perspektif teologi berarti bahwa manusia
bebas menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengelola
sumberdaya alam. Kebebasan untuk menentukan pilihan itu melekat pada diri
manusia, karena manusia telah dianugerahi akal untuk memikirkan mana yang
baik dan yang buruk, mana yang maslahah dan mafsadah mana yang manfaat dan
mudharat. Karena kebebasan itu, maka adalah logis (wajar) bila manusia harus
4

bertanggung jawab atas segala perilakunya di muka bumi ini atas pilihannya
sendiri. Manusia dengan potensi akalnya mengetahi bahwa penebangan hutan
secara liar akan menimbulkan dampak banjir dan longsor. Manusia juga tahu
bahwa membuang limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan masyarakat untuk
mencuci dan mandi adalah suatu perbuatan salah yang mengandung mafsadah dan
mudharat. Melakukan suatu dosa adalah suatu kezaliman besar. Namun ia
melakukannya juga, karena ia harus mempertangung jawabkan perbuatannya itu
di hadapan Allah, karena perbuatan itu dilakukannya atas pilihan bebasnya.
Seandainya manusia berkeyakinan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena
dikehendaki Allah secara jabari, maka tidak logis ia diminta pertanggung jawaban
atas penyimpangan perilakunya.

Dengan demikian, makna kebebasan dalam

kacamata teologi Islam ialah manusia memiliki kebebasan dalam memilih.


Adanya pemberikan reward and punisment

merupakan suatu indikasi bahwa

manusia itu bebas melakukan pilihan-pilihan. Semua keputusannya dalam


melakukan pilihan-pilihan tersebut akan ditunjukkan kepadanya pada hari kiamat
nanti untuk dipertanggung jawabakan di mahkamah (pengadilan) ilahi.
Allah berfirman :
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat
zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (QS. 99 : 7-8)
Hal ini berarti bahwa dalam pandangan Islam, manusia bebas untuk memilih,
bebas untuk menentukan, karena pada akhirnya dia yang harus bertanggungjawab
terhadap semua perbuatannya ; karena itulah maka ada reward atau punishment
dari Allah SWT. Dengan demikian, makna kebebasan dalam konteks ini bukanlah
kebebasan sebagaimana dalam faham liberalisme yang tidak dikaitkan dengan
masuliyah di akhirat. Kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak, karena
kekebasan seperti itu hanya akan mengarah kepada paradigma kapitalis mengenai
laisssez faire dan kebebasan nilai (value free). Kebebasan dalam pengertian Islam
adalah kekebasan yang terkendali (Al-Hurriyah Al-Muqayyadah).

Pengertian kebebasan dalam perspektif ushul fiqh berarti bahwa dalam


muamalah, Islam membuka pintu seluas-luasnya di mana manusia bebas
melakukan apa saja sepanjang tidak ada nash yang melarangnya. Aksioma ini
didasarkan pada kaedah populer, Pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu
dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya. Jika kita terjemahkan
arti kebebasan bertanggung jawab ini ke dalam dunia bisnis, khususnya
perusahaan, maka kita akan mendapatkan bahwa Islam benar benar memacu
umatnya untuk melakukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan teknologi
dan diversifikasi produk.
Disamping itu, apabila merujuk kepada pengertian kebebasan sebagaimana
dikemukakan

oleh Achmad

Charis

Zubair

adalah

terjadinya

apabila

kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak di batasi oleh suatu paksaan


dari atau keterikatan kepada orang lain.

Paham tersebut di sebut bebas

negative, karena hanya dinyatakan bebas dari apa, tetapi tidak di tentukan bebas
untuk apa. Seseorang di sebut bebas apabila :
1) Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuan dan apa yang di lakukannya.
2) Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang ada baginya.
3) Tidak di paksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang akan di pilihnya
sendiri ataupun di cegah dari berbuat apa yang di pilih sendiri, oleh kehendak
orang lain, negara atau kekuasaan apapun.

b. Beberapa Arti Kebebasan


1. Kebebasan Sosial-Politik
Kebebasan sosial politik dapat di bedakan menjadi kebebasan individual.
Kebebasan sosial politik artinya yang dimaksud bebas disini adalah suatu bangsa
atau rakyat. Sedangkan kebebasan individual adalah manusia perorangan.
Kebebasan sosial-politik bukannya sesuatu yang selalu uda ada, melainkan
sebagian besar merupakan produk perkembangan sejarah atau lebih cepat lagi,
produk perjuangan sepanjang sejarah. Dalam sejarah modern dapat dibedakan dua
bentuk. Bentuk pertama adalah tercapainya kebebasan politik rakyat dengan
membatasi kekuasaan absolut para raja. Bentuk kedua terdiri dari kemerdekaan

yang dicapai oleh negara-negara muda terhadap negara negara penjajah. Dalam
sejarah modern, kebebasan sosial politik dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu

Kebebasan Rakyat Versus Kekuasaan Absolut


Kebebasan sosial politik pertama kali terjadi di benua eropa dan sekaligus

menjadi sejarah dunia, yaitu di negara Inggris dan Prancis. Salah satu langkah
pertama adalah Magna Charta (1215), piagam yang terpaksa oleh keadaan
dikeluarkan Raja John untuk menganugerahkan kebebasan-kebebasan tertentu
kepada para baron dan uskup inggris yang berisikan perumusan hak-hak parlemen
terhadap monarki. Setelah itu proses pembatasan kuasa absolut monarki berjalan
terus dan dapat dianggap selesai dengan yang disebut The Glorious Revolution
(1688).
Dengan demikian, dalam sejarah tersebut terbentuklah demokrasi modern dimana
perwakilan rakyat membatasi dan mengontrol kekuasaan raja, yang sebelumnya
yang memegang kekuasaan tertinggi adalah raja namun kenyataanya kesadaran itu
tumbuh karena kesusahan serta penderitaan rakyat akibat penindasan oleh rajaraja absolut (upeti, rodi, perlakuan sewenang-wenang, dan sebagainya). Maka
timbul kesadaran bahwa yang berdaulat itu bukanlah raja, melainkan rakyat.
Adapun semboyan yang mengungkapkan tujuan revolusi ini adalah Kebebasan,
Persamaan, Persaudaraan (Liberte, Egalite, Franternite).

Kemerdekaan Versus Kolonialisme

Kebebasan sosial politik menurut bentuk kedua di realisasikan dalam proses


dekolonisasi yang dizaman kita sekarang kira-kira sudah rampung. Kebebasan
dalam bentuk ini biasanya kita sebut kemerdekaan. Ini didasari pada timbulnya
keyakinan bahwa tidaklah pantas suatu bangsa dijajah oleh bangsa lain, dan
karena itu situasi kolonialisme tidak pernah boleh terjadi lagi dan di anggap tidak
etis. Aspek etis itu dirumuskan dengan tepat dalam kalimat pertama dari
Pembukaan UUD 1945, Dan pada tahun 1960 negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati sebuah deklarasi yang pada pokoknya
mempunyai isi yang sama: Hak semua negara dan bangsa yang dijajah untuk
menentukan nasibnya sendiri.

2. Kebebasan Individual
1.

Kesewenang-Wenangan
Di sini bebas dimengerti sebagai terlepas dari segala kewajiban dan
keterikatan, atau dilihat sebagai izin atau kesempatan untuk berbuat semau gue.

Dengan demikian seorang pelajar adalah bebas, kalau tidak perlu masuk
sekolah, karena hari itu kebetulan libur atau karena ia mengambil keputusan
untuk bolos. Ia bebas dalam arti: lepas dari kewajiban belajar dan dapat

mengisi waktu sekehendak hatinya.


Seorang manejer dapat mengatakan bahwa jam sekian ia masih bebas,

maksudnya, tidak terikat oleh janji atau komitmen lain.


Kata bebas di pakai juga dalam arti ini, bila orang berbicara tentang
pergaulan bebas, cinta bebas, atau seks bebas (free love, free sex). bebas
disini berarti terlepas dari segala peraturan atau kaidah. Kebebasan dalam

konteks ini sama dengan suasana permisif.


Pengertian kebebasan ini melatarbelakangi juga liberalisme abad ke-19, bila
mereka mendewa-dewakan free enterprise. Menurut mereka bisnis adalah
usaha bebas, jika tidak ada regulasi, peraturan, atau campur tangan dari luar,
khususnya pemerintah.

2.

Kebebasan Fisik
Bebas berarti tiada paksaan atau rintangan dari luar. Bebas dalam artian fisik
adalah tiada paksaan atau rintangan dari luar. Orang dalam artian bebas fisik jika
ia bisa bergerak kemana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Namun bukan
berarti orang yang bergerak secara bebas dapat menjamin ia bebas secara
sungguh-sungguh. Terkadang orang mensalah artikan kebebasan untuk pergi
ketempat perjudian setiap hari.
Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah ketiadaan paksaan fisik.
Artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang
bersifat fisik atau material. Dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas
jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia
dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai
dengan apa yang ia kehendaki. Seorang tahanan di sebuah sel tidak mempunyai
kebebasan dalam arti ini karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa

tahanannya sudah lewat. Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik
manusia diperalat oleh faktor eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan yang tidak ia kehendaki atau yang ia kehendaki. Jangkaun kebebasan
fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia sendiri. Jangkauan itu
terbatas. Namun demikian hal itu tidak mengurangi melainkan justru mencirikan
kebebasan manusia. Contohnya: bahwa manusia tidak bisa terbang itu bukan
merupakan pengekangan terhadap kebebasannya. Hal itu semata-mata disebabkan
oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi sekali lagi yang dimaksud
paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan atau paksaan yang
datang dari luar diri manusia. Misalnya dari lembaga atau orang lain.
Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang,
bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa. Yang membedakan manusia
dengan binatang dan benda-benda itu adalah aspek kehendak akal budi manusia.
Binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah
dorongan instingtualnya. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan
kehendaknya.
Kebebasan fisik adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau
dangkal. Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa
sungguh-sungguh bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah
ditahan atau bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya
kebebasan fisik bisa disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam.
Kebebasan fisik sebenarnya bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya
merupakan bentuk kebebasan dalam pengertian yang sangat sederhana.Namun
demikian kebebasan ini mempunyai makna yang esensial dan nilai yang positif.
Kebebasan fisik dapat menjadi sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati.
3.

Kebebasan Yuridis
Yang dimaksud dengan kebebasan dalam arti ini adalah syarat-syarat fisis dan
sosial yang perlu di penuhi agar kita dapat menjalankan kebebasan kita secara
konkret. Atau dapat di katakan juga sebagai syarat-syarat yang harus di penuhi
agar manusia dapat mengembangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan

semestinya. Kebebasan yuridis ini berdasarkan pada hukum kodrat dan hukum
positif.

Kebebasan yang di dasarkan pada hukum kodrat artinya, semua kemungkinan


manusia untuk bertindak bebas yang terikat begitu erat dengan kodrat

manusia, sehingga tidak pernah boleh diambil dari anggota masyarakat.


Kebebasan yang berdasarkan pada hukum positif ini diciptakan oleh negara.
Kebebasan-kebebasan ini merupakan buah hasil perundang-undangan, jika
tidak dirumuskan maka sampai saat ini kebebasan tersebut tidak akan pernah
ada.

4.

Kebebasan Psikologis
Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis. Orang
dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk
mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia
mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif.
Yang mencirikhaskan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena
itulah Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan
untuk memilih atau kebebasan berkehendak. Kebebasan memilih atau kebebasan
berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil
keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara
begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah
kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau
menolak

kemungkinan-kemungkinan

dan

nilai-nilai

yang

terus-menerus

ditawarkan kepada manusia.


Kebebasan psikologis berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai
makhluk yang berakal budi. Manusia bisa berpikir sebelum bertindak. Ia
menyadari dan mempertimbangkan tindakan-tindakannya. Karena itu jika orang
bertindak secara bebas maka itu berarti ia tahu apa yang dilakukan dan tahu
mengapa melakukannya. Jadi kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran
dan kemampuan berpikir maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan
arti dan bobot perbuatan sebelum manusia membuat suatu keputusan untuk
bertindak. Dalam kebebasan psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek

10

yang penting. Konsekuensinya adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada
kemungkinan untuk memilih. Orang dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia
mempunyai kemungkinan untuk melakukan tindakan A dan bukan B.
Kemungkinan untuk memilih adalah aspek yang penting, namun demikian aspek
ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan psikologis. Mengapa?
Karena pemilihan bukan merupakan hakekat kebebasan psikologis. Hakekat
kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya
sendiri.
Berbeda dari kebebasan fisik, kebebasan psikologis tidak bisa secara
langsung dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksa untuk menghendaki sesuatu.
Misalnya dalam peristiwa perampokan. Seandainya saya terpaksa menyerahkan
semua uang dan harta yang saya punyai, penyerahan itu saya lakukan atas
kehendak saya. Dalam arti itu saya masih bebas secara psikologis, karena saya
masih mempunyai kemungkinan untuk memilih. Dan (mungkin) saya tidak bebas
secara fisik, karena dalam perampokan itu saya diancam untuk dibunuh. Secara
tidak langsung bentuk paksaan psikologis adalah pembatasan-pembatasan psikis
yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
Kebebasan psikologis juga dapat dihalangi dengan mengkondisikan orang
sehingga tidak mungkin melakukan beberapa kegiatan tertentu. Misalnya seorang
ibu yang mengharuskan anaknya untuk langsung pulang setelah jam sekolah
selesai. Ibu itu membatasi kebebasan psikologis anaknya karena dia tidak
memberi kemungkinan pada anaknya untuk melakukan tindakan lain selain
langsung pulang setelah sekolah.
5.

Kebebasan Moral
Louis Leahy mendefinisikan kebebasan moral sebagai ketiadaan paksaan
moral hukum atau kewajiban. Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan
psikologis. Meskipun demikian antara keduanya mempunyai hubungan yang
sangat erat. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya
jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral.
Contohnya :
Suatu ketika saya berjalan dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir
jalan tanpa pemilik. Pikiran yang muncul saat itu adalah saya mengambil
11

dompet itu. Dan memang kemudian saya mengambil dompet itu. Namun
setelah mengambil dompet itu saya masih menimbang lagi: atau dompet ini
saya kembalikan pada pemiliknya, atau saya mengambil dan tidak memberikan
pada pemiliknya. Dalam hal ini saya mempunyai kemungkinan atau
kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai kebebasan psikologis. Di lain
pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan moral. Alasannya adalah
tindakan saya secara moral tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Saya telah
mengambil barang orang lain yang bukan hak saya.
Contoh lain:
Seorang wanita yang disandera yang harus memilih di antara dua pilihan, yaitu
atau menyerahkan semua perhiasannya atau diperkosa. Pada akhirnya
perempuan itu memilih untuk menyerahkan semua perhiasannya. Dalam
pengertian kebebasan psikologis perbuatan perempuan itu adalah bebas karena
perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Dalam pilihannya itu ia menjadi
penentu atas dirinya sendiri. Meskipun perempuan itu bebas secara psikologis,
namun ia tidak bebas secara moral. Alasannya ialah karena perempuan itu
memilih secara terpaksa. Ia dipaksa secara moral. Ia berhadapan dengan dua
pilihan dilematis yang sama-sama mempunyai konsekuensi negatif. Perempuan
itu menjadi tidak berdaya. Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral
mengandaikan kebebasan psikologis. Dan sebaliknya jika ada kebebasan
psikologis belum tentu ada kebebasan moral.
Dan karena itulah kebebasan moral harus dibedakan dengan kebebasan psikologis
dan kebebasan fisik. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan
atau pewajiban secara moral. Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah
larangan atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.
6.

Kebebasan Eksistensial
Kebebasan ekstensial adalah kebebasan tertinggi. Kebebasan ekstensial adalah
kebebasan etis. Kebebasan ini terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang
bisa memberi arah dan makna kepada kehidupan manusia. Kebebasan eksistensial
pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya
sendiri. Sifatnya positif. Artinya, kebebasan itu tidak menekan segi bebas dari apa,
melainkan bebas untuk apa.

Kita sanggup untuk menentukan tindakan kita

sendiri. Kebebasan itu mendapat wujudnya yang positif dalam tindakan kita yang
disengaja.
Tidak setiap kegiatan manusia merupakan tindakan. Dentuman jantung dan
pernafasan bukanlah tindakan karena berjalan tanpa disengaja. Tindakan adalah
kegiatan yang disengaja. Tindakan dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu,

12

dengan kesadaran bahwa tergantung pada kitalah apakah kegiatan itu kita lakukan
atau tidak.
Hewan dapat saja berbuat ini dan itu, tetapi selalu didorong dan berdasarkan
naluri, perangsang, kebiasaan-kebiasaan yang telah berdarah daging padanya.
Berhadapan dengan sepotong tulang ayah anjing tidak akan berfikir dulu apa mau
dimakan langsung atau lebih baik kalau ia mencari dua potong lagi supaya
nantinya mempunyai tiga. Lain halnya manusia. Meskipun ia lapar akan daging
ayam di meja, tetapi selalu berfikir dulu apakah tepat kalau daging itu dimakannya
sekarang. Ia juga dapat menundanya atau malah berpuasa. Terhadap nalurinya
sendiri manusia masih dapat mengambil sikapnya sendiri. Itu yang dimaksud
dengan mengatakan bahwa manusia mampu untuk menentukan sikap dan
tindakannya sendiri.
Makna Kebebasan Eksistensial
Jadi kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk menentukan
tindakannya sendiri. Kemampuan itu bersumber pada kemampuan manusia untuk
berfikir dan berkehendak dan terwujud dalam tindakan. Tetapi apa itu tindakan!.
Tindakan itu bukan sesuatu diluar manusia. Tindakan bukan bagaikan sebatang
tongkat yang dapat dipegang, tetapi sesudah dipakai terus diletakkan di pojok
kamar. Tindakan adalah satu dengan dirinya sendiri.
Maka kebebasan eksistensial tidak hanya berarti bahwa kita dapat menentukan
tindakan kita, melainkan melalui tindakan kita dapat menentukan diri kita sendiri.
Arti yang paling mendalam kebebasan yang kita rasakan ialah bahwa kita
adalah mahkluk yang menentukan dirinya sendiri. Manusia bukan sekedar simpul
reaksi-reaksi terhadap macam-macam perangsang, ia tidak ditentukan oleh segala
kecondongan. Melainkan terhadap dan berhadapan dengan kecondongan dan
perangsang itu manusia mengambil sikap dalam tindakan yang bebas, ia
menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar di
satu fihak dan dorongan-dorongannya dari dalam di lain fihak, melainkan ia
membangun dirinya sendiri berhadapan baik dengan tantangan-tantangan dari luar
maupun dari dalam.

13

Makna kebebasan adalah tanda dan ungkapan martabat manusia.

Karena

kebebasannya manusia adalah mahkluk yang otonom, yang menentukan diri


sendiri, yang dapat mengambil sikapnya sendiri. Itulah sebabnya kebebasan
berarti banyak bagi kita. Setiap pemaksaan kita rasakan sebagai sesuatu yang
tidak hanya buruk dan menyakitkan, melainkan juga menghina. Dan memang
demikian, memaksakan sesuatu pada orang lain berarti mengabaikan martabatnya
sebagai manusia yang sanggup untuk mengambil sikapnya sendiri. Maka kita
merasa paling terhina kalau sesuatu dipaksanakan kepada kita dengan ancaman
atau bujukan. Kalau diminta artinya kalau kebebasan kita dihormati, kita sering
bersedia untuk memberikan dengan hati yang lapang tetapi kalau kita terpaksa kita
merasa terhina dan tidak mau. Kebebasan adalah mahkota martabat kita sebagai
manusia.

c. Beberapa Masalah Mengenai Kebebasan


1) Kebebasan Negatif.
Kebebasan negatif lebih ditekankan pada kebebasan dari segala tekanan
(menekankan pada state of nature dan individu). Kata kuncinya adalah Freedom
from lebih menekankan pada pentingnya keberadaan individu jadi sifatnya
subjektifisme.
Kebebasan ini terpusat pada tindakan yang lahir dari motif-motif internal dan
bukan eksternal. Alternatif ini menuntut suatu doktrin tentang manusia sedemikian
sehingga manusia mempunyai hakekat dasariah, atau diri, yang memungkinkan
bertindak, dan bukan bertindak sesuai dengan dunia luar.
Tokoh yang perlu dipehatikan dalam pendekatan kebebasan negatif adalah
Immanuel Kant. Ia mengatakan bahwa ada kebebasan yang ia sebut sebagai
kebebasan intelijibel yang tercapai karena fakta bahwa kehendak, yang tidak
tergantung pada pengaruh semua dorongan indera, ditentukan oleh akal budi
murni belaka. Sehingga tidak mengherankan apabila Kant mengatakan bahwa
dalam mengidentifikasikan kebebasan bukanlah penghapusan keinginan namun
daya tahan terhadapnya dan menguasainya. Kant mengatakan bahwa Aku ini

14

bebas, karena aku berhak mengurus kepentinganku sendiri. Kebebasan itu adalah
ketaatan, tapi ketaatan terhadap hukum yang kita tentukan sendiri dan tak ada
orang yang dapat memperbudak dirinya sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Tak ada yang bisa memaksaku untuk bahagia dengan caranya sendiri.
Tokoh lain yang juga cukup besar pengaruhnya dalam mengemukakan
kebebasan negatif ini adalah John Stuart Mill. Gagasan yang terkenalnya adalah
individualitas, yang berarti pengembangan diri pribadi, dan hal ini lebih
merupakan usaha untuk mengintegrasikan semua daya di dalam diri seseorang
secara harmonis. Ia mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk mengembangkan
daya-dayanya sesuai dengan kehendak dan keputusan atau penilaiannya sendiri.
Namun dilain pihak Mill juga mengungkapkan ada beberapa ketentuan agar
kebebasan individu itu tidak mengganggu kestabilan masyarakat yaitu pentingnya
memberlakukan paksaan terhadap seseorang karena paksaan ini berguna untuk
mencegah dia merusakkan atau merugikan orang-orang lain. Dengan demikian
Mill juga merasa yakin bahwa kebahagiaan umum akan bertambah apabila setiap
orang mengembangkan dirinya dengan cara seperti itu. Atau dengan kata lain jika
individu merasa bebas maka masyarakat secara umum pun bebas pula.
Dari uraian tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwasannya Kebebasan
negatif adalah suatu wilayah yang didalamnya terdapat seseorang dapat
melakukan perbuatan yang hendak ia perbuat, dan orang lain tidak dapat
melarang ataupun mencegah perbuatannya itu.
Contoh :
Jika pada suatu perkara seseorang tidak dapat melakukan pekerjaan yang
diinginkannya dikarenakan ada orang lain yang ikut campur dan
mencegahnya, maka sebatas itulah orang tersebut kehilangan kebebasan. Dan
kiranya campur tangan orang lain sebegitu luas, dan menjadikan kebebasan
nya lebih kecil dari batasan minimal dapat dikatakan bahwa dari sisi
individual, orang tersebut berada di bawah tekanan dan bahkan menjadi
budak orang lain. Dengan demikian kebebasan dalam pengertian tersebut
adalah; dia harus terhindar dari campur tangan orang lain. Karena itu tatkala
semakin luas lingkup tidak adanya campur tangan orang lain, maka
kebebasan pun semakin luas dan tidak terbatas.
Para filsuf dan tokoh politik klasik inggris, tatkala mereka menggunakan kata
kebebasan, yang mereka maksudkan adalah kebebasan sebagaimana contoh

15

diatas. Sekalipun berbeda pendapat tentang luas lingkup kebebasan, namun


mereka sepakat bahwa tidak mungkin kebebasan itu tidak terbatas, karena dalam
bentuk semacam ini akan muncul suatu kondisi dimana setiap orang akan
mencampuri dan mengganggu kehidupan orang lain.
Kebebasan semacam ini juga akan menyebakan munculnya kekacauan dan
keributan di tengah masyarakat. Sehingga pada akhirnya manusia tidak mampu
memenuhi kebutuhannya, bahkan yang paling minim sekalipun.

Selain itu

kebebasan orang yang lemah akan menjadi hilang dan musnah dirampas oleh
mereka yang kuat. Para filsuf tersebut menyadari bahwa berbagai tujuan dan
aktifitas manusia tidaklah sama dan serupa. Dan mereka siap untuk
mengesampingkan berbagai pandangan filsafati mereka yang saling berbeda, demi
mempertahankan nilai-nilai yang lain selain kebebasan seperti keadilan,
kebahagian, keamanan dan keseteraan. Mereka mengakui bahwa kesemuanya itu
memiliki nilai yang amat tinggi dan bahkan mereka siap untuk membatasi
kebebasan mereka demi menjaga dan mempertahankan nilai-nilai tersebut.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka dalam upaya mewujudkan suatu kebebasan
harus dilakukan pembatasan terhadap kebebasan itu sendiri. Dan jika tidak, maka
manusia tidak mungkin dapat menciptakan suatu masayrakat yang benar-benar
harmonis.
Oleh karena itu para cendekiawan berpendirian bahwa undang-undang
diperlukan dan harus diberlakukan demi membatasi ruang gerak dan kebebasan
seseorang. Para cendekiawan, khususnya para penuntut kebebasan, seperti Locke
dan Mill, berpendirian bahwa pada akhirnya minimal masih terdapat kebebasan
yang sama sekali tidak dapat diganggu dan dicampuri orang lain. Karena jika
manusia tidak diberi kebebasan yang minim itu, maka ia akan merasa terjepit dan
tidak akan mampu mengembangkan berbagai potensi alamiahnya secara baik dan
sempurna.
Sekalipun mereka mendukung kebebasan individual, namun demi menjaga
agar seseorang tidak sampai menguasai dan melakukan penekanan terhadap orang
lain, mereka memaparkan suatu prinsip, Kita harus menjaga cakupan dan
wilayah kebebasan individual walaupun amat minim. Jika tidak, maka kita akan

16

melecehkan kemanusiaan dan kita akan mengingkari substansi kemanusiaan itu


sendiri.
2) Kebebasan Positif.
Kebebasan positif secara garis besar adalah lebih mengarah pada apa yang
bisa saya perbuat untuk orang lain atau orang banyak. Kata kuncinya adalah
Freedom to dan lebih ditekankan pada masyarakat banyak yang tentunya relasi
yang ada dalam masyarakat itu diatur melalui hukum. Menurut Thomas Aquinas
dan St. Agustinus yang merupakan filsusuf dari abad pertengahan mengatakan
bahwa perbuatan yang bebas menuntut suatu konotasi normatif, sehingga
kebebasan berarti berbuat apa yang harus diperbuat. Hal senada juga diungkapkan
oleh Boutrouxyang mengatakan bahwa kebebasan yang sebesar-besarnya harus
ditemukan dalam kehidupan moral (Lorens Bagus,1996,411).
Penekanan dari kebebasan positif ini adalah diri pribadi saya bukan sesuatu
yang saya dapat lepaskan dari hubungan saya dengan orang lain. Karenanya,
ketika saya menginginkan untuk bebas dari ketergantungan status politik atau
sosial, apa yang saya ingin adalah perubahan perlakuan terhadap saya dari mereka
yang beropini dan bersifat mambantu menentukan gambaran tentang diri saya
sendiri.
Ada banyak tokoh yang mengungkapkan pemikirannya tentang kebebasan
positif, namun tokoh yang perlu mendapat perhatian kita adalah Jeremy Bentham.
Ia mengungkapkan bahwa alam menempatkan manusia dibawah dua kekausaan
yang berdaulat, yakni rasa sakit dan kesenangan. Ia tidak hanya sibuk dengan
ajaran bahwa semua orang digerakkan untuk bertindak karena ditarik oleh
kesenangan dan karena mau menjauhi rasa sakit, namun juga berusaha
menetapkan tolok ukur objektif untuk moralitas, untuk sifat moral tindak tanduk
manusia.Ajaran yang terkenal dari Bentham adalah kesenangan yang paling besar
adalah yang jumlahnya paling banyak (The greatest happiness of the geratest
number). Hal lain yang ditekankan oleh Bentham adalah orang tidak boleh
melakukan hal-hal atau tindakan yang melawannya, atau yang tidak membawanya
ke tujuan tersebut (JS. Mill,1996,xii).

17

Contoh :
Apabila seseorang, misalnya, berusaha menetapkan dan memastikan kadar
suatu kesenangan atau rasa sakit, haruslah ia memperhatikan faktor-faktor
berikut : intensitasnya, lamanya, pasti atau tidak pastinya, jauh atau dekatnya
kesenangan atau rasa sakit itu untuk seseorang. Selain itu masih ada faktor
subur dan murninya kesenangan untuk orang yang bersangkutan. Tindakan
tertentu itu subur apabila cenderung menghasilkan rasa senang yang lebih
lanjut. Murni, apabila tidak tercampur dengan perasaan atau rasa yang
berlawanan dengannya. Bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kita sebagai
individu harus dengan sukarela menyerahkan sebagian kebebasan kita untuk
mencapai suatu keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.
Dengan demikian, maka Kebebasan positif adalah kebebasan yang bersifat
partisipatif.
Contoh :
Keyakinan kita terhadap belajar akan dapat meningkatkan kemampuan kita
untuk lebih independen, tapi dalam prakteknya kita lebih suka menghabiskan
waktu dengan ngobrol di warung. Singkatnya kebebasan positif kita akan
meningkat ketika belajar.
Bila dikatakan dalam kebebasan positik yang menjadi isu utama adalah
kemampun untuk mengambil kesempatan yang pada gilirannya menjadikannya
mampu untuk mengontrol hidupnya sendiri. Atau dengan kata lain kebebasan ini
tidak hanya menuntut sikap diam tapi juga menuntut adanya kebebasan tindakan
nyata yang pada gilirannya mendorong peningkatan idealita. Sehingga dalam
keadaan tertentu kebebasan positif ini dapat berakibat pada pembatasan kebebasan
negatif.

Misal, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, yang pada

ujungnya dapat mengakibatkan pembatasan kebebasan negatif.


Menurut Berlin dengan berkaca pada sejarah, kebebasan positif merupakan
kebebasan yang paling sering disalahgunakan. Kejadian ini tidak terlepas dari
hakikat kebebasan positif itu sendiri yang bisa multi tafsir. Penyalagunaan
dilakukan atas nama kebebasan itu sendiri dengan dalih diperlukan sebagai upaya
merealisasikan kebebasan yang lebih nyata. Dengan demikian menurut Isaah
Berlin kebebasan positif adalah kecendrungan seseorang untuk bebas
mengambil dan menentukan suatu keputusan dan pilihan bagi dirinya sendiri.

18

Contoh :
Saya lebih berhak untuk mengambil suatu keputusan bagi diri saya sendiri,
dan saya bukanlah alat untuk menjalankan keinginan orang lain. Saya ingin
menjadi subyek bukan obyek dari suatu perbuatan. Saya sendiri yang
menentukan berbagai dalih dan argumen atas berbagai perbuatan serta
kepemilikan saya, dan berbagai faktor asing tidak berpengaruh pada diri saya.
Saya menginginkan sesuatu yang berarti, bukan yang sia-sia dan tidak berarti.
Saya ingin dapat mengambil keputusan bagi diri saya sendiri dan bukan orang
lain yang menentukan keputusan bagi diri saya. Saya tidak ingin sama seperti
benda mati tidak bernyawa, ataupun budak. Saya adalah makhluk yang
berpikir dan memiliki kehendak, saya juga bertanggung jawab atas semua
tindakan dan perbuatan saya. Sebatas apapun saya mampu meraih harapan
dan cita-cita ini, maka sebatas itu pula saya merasa bebas dan medeka dan
terlepas dari perbudakan.
Akan tetapi apakah tidak mungkin pada saat yang sama saya adalah budak dari
alam? Apakah tidak mungkin saya menjadi budak dan tawanan sebagai hawa
nafsu saya sendiri? Apakah semua itu tidak dapat dianggap sebagai jenis dari
perbudakan; sebagian adalah perbudakan politik dan undang-undang dan sebagian
yang lain adalah perbudakan diri sisi moral dan maknawi? Apakah manusia,
dalam rangka pembebasan dirinya dari perbudakan maknawiah (internal) atau
alamiah (eksternal), mengenal dua jenis dirinya; diri yang menang dan
mengalahkan serta diri yang kalah dan dikalahkan.
Dan diri jiwa ini mengadakan perlawanan terhadap dirinya sendiri (nafsu) yang
merupakan sumber munculnya berbagai reaksi yang tidak rasional, dan yang
hanya mengejar kenikmatan yang hanya sesaat saja. Diri itulah yang dalam
praktiknya menjadi komandan saja, yang dalam setiap detik senantiasa mengejar
berbagai keinginan dan angan-angan. Dan diri itu harus berada di bawah aturan
yang keras dan ketat, sehingga mampu mencapai derajat yang tinggi.
Kita mengetahui bahwa memaksa dan mengharuskan manusia untuk berjalan
pada suatu tujuan (misalnya saja menciptakan keadilan atau menjaga keselamatan
umum) merupakan suatu perkara yang dapat dibenarkan.

Jika manusia

mengetahui dengan jelas berbagai tujuan tersebut, maka mereka pun akan memilih
dan berusaha untuk meraihnya. Akan tetapi dikarenakan mereka buta, bodoh,
ataupun amoral, maka mereka lalai akan semua itu.

19

Dari sini, dengan mudah dapat diketahui bahwa seseorang yang memaksa dan
mengharuskan orang lain untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya
sendiri, itu artinya ia mengklaim bahwa ia lebih mengetahui kebutuhan sejati
mereka melebihi orang yang ia paksa. Yakni dia menyatakan bahwa jika mereka
menggunakan akal mereka sebagaimana dia, maka pasti mereka akan mengetahui
berbagai kepentingan mereka dan mereka tidak akan mengadakan perlawanan dan
penentangan kepadanya.
Pengertian kebebasan positif dimana pribadi seseorang merupakan majikan
dan penguasa bagi dirinya sendiri, terbagi menjadi dua bagian, bagian diri yang
tinggi dan penguasa di mana tali kendali, pilihan dan kehendak ada padanya serta
bagian diri yang rendah yang terdiri dari berbagai kenikmatan dan nafsu indrawi
yang harus ditentang dan tunduk di bawah perintah (bagian diri yang tinngi).
Kenyataan ini membuktikan bahwa pengertian dan pendefinisian kebebasan
secara langsung merupakan hasil dari berbagai pandangan berkenaan dengan
esensi jiwa, pribadi dan manusia.

Dan sekarang menjadi jelas mengapa

pendefinisian negatif (yakni kebebasan bagi manusia untuk melakukan apa saja
yang ia inginkan) yang didukung oleh Mill, merupakan sebuah pendefinisian yang
tidak tepat.
Sesuai pendefinisian tersebut, jika ada seorang pemimpin dan penguasa yang
zalim, yang dapat membuat masyarakat melupakan keinginan sejatinya, sehingga
mereka menerima dan mematuhi bentuk kehidupan yang ditetapkan dan
dipaksakan atas mereka, dan batin mereka mampu menyesuaikan diri dengan
bentuk kehidupan tersebut, maka harus dikatakan bahwa pemimpin dan penguasa
yang zalim itu telah berhasil membebaskan masyarakat ini.
Tetapi situasi dan kondisi yang diciptakan oleh sang penguasa ini bertentangan
dengan kebebasan politik. Montesquieu (seorang penulis dan ahli hukum asal
Pranscis dengan ide dan gagasannya berupa The Spirit of the Laws, 1784,
mengeksplorasi ide pemisahan kekuasaan dan menciptakan teori tentang skema
pengawasan dan penyeimbangan dalam politik kekuasaan) dalam membahas
kebebasan politik dan berbagai sikap liberal, mengatakan, Kebebasan bukan
berarti bahwa kita bebas berbuat sesuka hati, atapun kita melakukan perbuatan

20

apa saja dengan dalih bahwa perbuatan tersebut dibenarkan oleh undangundang. Dan kebebasan politik berarti kita memiliki kehendak dan pilihan untuk
melakukan apa yang selayaknya kita lakukan.
Pernyataan semacam ini kurang lebih juga diungkapkan oleh Kant (filsuf
jerman yang dipandang sebagai pemikir yang paling berpengaruh di era 17241804) yang berpendapat,Hak individu harus dibatasi demi kemashlahatan dan
kepentingan individu itu sendiri, karena setiap makhluk yang berakal pasti akan
setuju dengan sistem yang diterapkan atas berbagai perkara.
Semua para tokoh tersebut dan juga para tokho mazhab pemikiran yang lain,
serta para tokoh komunisme akhir-akhir ini memiliki kesamaan pendapat pada
poin : berbagai tujuan manusia yang alamiah, rasional dan sejati adalah sama,
atapun harus disamakan. Kebebasan bukan berarti manusia bebas untuk
melakukan berbagai perbuatan yang tidak rasional, sia-sia dan keliru.

Dan

pemaksaaan terhadap nafsu amminah agar berjalan di jalan yang benar, bukan
merupakan suatu bentuk penekanan dan perbudakan, tetapi merupakan suatu
kebebasan.
Berlin meyakini kebebasan positif dan juga meyakini kekuasaan serta
kepemimpinan orang yang berakal. Ia juga menyatakan pandangannya sebagai
berikut :
Seluruh masyarakat harus patuh pada kepemimpinan dan kekuasaan orang yang
berakal (kaum intelektual). Dan tatkala masyarakat menerima mereka sebagai
pemimpin, hal itu tidak bertentangan dengan kebebasan, tetapi justru merupakan
syarat bagi kebebasan. Jika masyarakat bersedia tunduk dan menyerahkan diri
kepada para cendekiawan, pada dasarnya mereka menyerah dan tunduk kepada
akalnya, dan ini adalah kebebasan yang sejati; kebebasan yang diartikan dengan
kebebasan dalam menentukan dan memilih sesuatu yang menyebabkan
perkembangan dan kesempurnaan, dan bukan kebebasan yang diartikan sebagai
kebebasan dalam menuruti berbagai tuntutan hawa nafsu.
Sampai disini bentuk pandangan berlin sama dengan bentuk pandangan
dan pemikiran para cendekiawan muslim. Perbedaannya ada pada bagian
berikutnya; Kaum cendekiawan muslim mengatakan bahwa perbandingan antara
cendekiawan dengan wahyu adalah semacam perbandingan antara masyarakat
awam dengan kaum cendekiawan, masyarakat awam tidak mengetahui hakikat
berbagai perkara, namun para cendekiawan mampu mengetahui dengan jelas dan
21

nyata hakikat berbagai perkara tersebut. Dalam beberapa perkara, masyarakat


awam mengira bahwa pandangannya itu benar, namun ternyata mereka keliru.
Demikian pula, banyak hakikat yang tersembunyi dan tidak jelas bagi para
cendekiawan namun bagi wahyu itu adalah perkara yang jelas dan nyata. Begitu
juga jika dipandangan para cendekiawan dibandingkan dengan pandangan
masyarakat awam, maka tampaknya pandangan mereka (para cendekiawan) benar,
namun tatkala dibandingkan dengan wahyu ada kemungkinan mereka (para
cendekiawan) keliru dalam menentukan.
Dengan demikian, jika dalam filsafat dan kalam (teologi) berhasil dibuktikan
bahwa ada Sang Pencipta yang menciptakan

manusia, dan juga berhasil

dibuktikan bahwa para utusan Sang Pencipta menjelaskan kepada manusia tentang
masalah penciptaan asal mula dan tempat kembali manusia, serta jalan yang harus
ditempuh oleh manusia dalam upaya meraih kebahagiaan sejati tidak diragukan
lagi bahwa mereka yang memiliki bentuk pandangan semacam berlin harus
mengakui bahwa kebebasan itu harus ditafsirkan dan dijelaskan dengan
perantaraan wahyu.
d. Pembatasan Kebebasan
Manusia itu sebagai mahkluk sosial. Itu berarti bahwa manusia harus hidup
bersama dengan manusia-manusia lain dalam ruang dan waktu yang sama, dan
dengan mempergunakan alam yang terbatas sebagai dasar untuk memenuhi
kebutuhannya. Hal itu berarti bahwa kita disatu fihak saling membutuhkan dan
dilain fihak bersaing satu sama lain. Dan oleh karena itu kelakuan harus kita
sesuaikan dengan adanya orang lain. Bagaimanapun juga, kepentingan semua
orang lain yang hidup dalam jangkauan tindakan kita perlu kita perhatikan.
Kalaupun kita tidak mau menghiraukan mereka, kita terpaksa akan melakukannya
kalau tidak mau terus menerus bertabrakan. Jadi pertanyaannya bukan apakah
kebebsan sosial kita memang boleh dibatasi atau tidak.
Sebagai mahluk sosial yang hidup bersama dalam dunia yang terbatas,
sudah

jelas

manusia

kesewenangannya.

harus

menerima

bahwa

masyarakat

membatasi

Pertanyaan yang sebenarnya berbunyi sejauh mana, dan

dengan cara mana, kebebasan kita boleh dibatasi? Jadi bahwa kebebasan sosial

22

kita terbatas, sudah jelas dengan sendirinya yang perlu ialah agar pembatasan itu
dapat dipertanggung jawabkan. Karena kalaupun kebebasan kita harus dibatasi,
hal itu tidak berarti bahwa segala macam pembatasan dapat dibenarkan. Pada
dasarnya ada dua alasan untuk membatasi kebebasan manusia.
Alasan pertama ialah hak setiap manusia atas kebebasan yang sama.
Keadilan menutut agar apa yang kita tuntut bagi kita sendiri, pada prinsipnya juga
kita akui sebagai hak orang lain. Oleh karena itu hak seseorang atas kebebasannya
menemukan batasnya pada hak sesama saya yang sama luasnya. Tidak masuk akal
kalau di ruang kuliah seseorang mau menggunakan dua kuris, selama masih ada
mahasiswa yang belum dapat duduk.

Dengan demikian maka kebebasan

seseorang tidak boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain yang sama
luasnya.
Alasan yang kedua bagi pembatasan kebebasan adalah bahwa setiap orang
bersama semua orang lain merupakan anggota masyarakat.

Setiap individu

mempunyai eksistensi, hidup dan berkembang hanya karena pelayanan dan


bantuan banyak orang lain, jadi berkat dukungan masyarakat. Maka masyarakat
berhak untuk membatasi kesewenangan kita demi kepentingan bersama, baik
dengan melarang kita mengambil tindakan-tindakan yang dinilai merugikan
masyarakat, maupun dengan meletakkan kewajiban-kewajiban tertentu pada kita
yang harus kita penuhi. Dengan demikian masyarakat berhak untuk membatasi
kebebasan kita sejauh itu perlu untuk menjamin hak-hak semua anggota dan demi
kepentingan dan kemajuan masyarakat sebagai keseluruhan, menurut batas
wewenang masing-masing. Pembatasan itu tidak boleh melebihi apa yang perlu
untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Maka lembaga-lembaga masyarakat itu harus
mempertanggung

jawabkan

pembatasan

kebebasan

anggota

masyarakat.

Masyarakat tidak boleh mengadakan pembatasan yang sewenang-wenang. Suatu


pembatasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Justru agar pertanggung jawaban selalu dapat dituntut pembatasan
kebebasan harus dilakukan secara terbuka dan terus terang, tak perlu ditutup
tutupi. Masyarakat dan berbagai lembaga di dalamnya dalam batas wewenang
masing-masing memang berhak untuk membatasi kebebasan manusia dan oleh

23

karena itu tidak perlu malu malu melakukannya. Mereka hendaknya dengan
terbuka mengemukakan peraturan-peraturan dan larangan-larangan yang memang
meraka anggap perlu. Dengan demikian masyarakat yang bersangkutan
seperlunya dapat menuntut pertanggung jawaban. Kalau aturan-aturan dan
larangan-larangan itu perlu, hendaknya hal itu diperhatikan. Kalau perlunya itu
tidak dapat dipertanggungjawabkan, peraturan-peraturan itu bersifat sewenangwenang dan harus dicabut.

Jadi kebebasan dibatasi atas nama kebebasan

yang sebenarnya. Yang buruk pada cara pembatasan kebebasan ini ialah bahwa
tidak dipertanggung jawabkan. Dengan argumen bahwa kebebasan yang
sebenarnya tidak dibatasi, mereka yang membatasinya menghindar dari
pertanggung jawaban. Jadi hendaknya dia memilih; membiarkan bebas atau tidak.
Kalau tidak, katakan dengan terus terang dan berikan pertanggung jawabab. Kalau
pertanggung jawaban itu masuk akal pembatasan akan kita terima. Tetapi kalau
kita memang bebas, hendaknya bebas sungguhan, artinya kita bebas sekehendak
kita. Bahwa kita harus mempertanggung jawabkan kebebasan kita secara moral
terhadap kita sendiri adalah lain masalah. Tetapi dari fihak masyarakat kebebasan
sosial kita berarti kita boleh menentukan sendiri apa yang kita kehendaki.
Pembenaran pembatasan kebebasan dengan alasan kebebasan bertanggung
jawab sebenarnya tidak lebih daripada pengakuan bahwa pembatasan yang
dikehendaki tidak diberanikan dikemukakan dengan terus terang karena rupa
rupanya tidak dapat dipertanggung jawabkan didepan umum. Jadi yang tidak
bertanggung jawab adalah fihak yang mau membatasi kebebasan atas nama
kebebasan yang bertanggung jawab itu. Dengan demikian maka dapat dipahami
bahwasannya kebebasan manusia memang jelas boleh dan bahkan harus dibatasi
tetapi pembatasan itu harus dikemukakan dengan terus terang dan dapat
dipertanggung jawabkan. Adapun pembatasan-pembatasan yang dimaksud
diantaranya adalah sebagai berikut:.
1. Faktor-faktor dari dalam artinya, Kebebasan pertama-tama di batasi oleh
faktor-faktor dari dalam, baik fisik maupun psikis.
2. Faktor Lingkungan artinya, Kebebasan yang di batasi oleh lingkungan, baik
ilmiah maupun sosial. Lingkungan ini sangat menentukan pandangan kita

24

mengenai kebebasan. Karena di setiap lingkungan yang berbeda maka


mereka mempunyai pandangan yang berbeda pula.
3. Kebebasan orang lain artinya, Dalam budaya Barat, undang-undanglah yang
menentukan batasan kebebasan dan undang-undang ini hanya menyoroti
masalah sosial yang ada. Atau undang-undang mengatakan bahwa kebebasan
seseorang tidak boleh menodai kebebasan orang lain dan membahayakan
kepentingan mereka. Setiap manusia memiliki kebebasannya masing-masing
dan hal tersebut menjadi pembatas bagi kebebasan manusia yang lainnya.
4. Generasi-generasi mendatang artinya, kebebasan juga di batasi oleh masa
depan manusia, atau generasi mendatang. Kebebasan kita dalam
menggunakan sumber daya sampai poin tertentu, sehingga generasi kedepan
juga bisa menggunakan alam sebagai dasar kebutuhan hidupnya, atau
istilahnya adalah sustainable development (pembangunan berkelanjutan).

2.2.
Tanggung Jawab
a. Definisi/ Pengertian.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia arti dari tanggung jawab adalah
keadaan wajib dan menanggung segala sesuatunya.

Dalam hal ini tanggung

jawab berarti keadaan yang mewajibkan seseorang yang apabila kalau terjadi
sesuatu apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya.
Dalam filsafat pengertian tanggung jawab adalah kemampuan manusia
yang menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi.
Perbuatan tidak bertanggung jawab, adalah perbuatan yang didasarkan pada
pengetahuan dan kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan juga.
Menurut Anton Adi Wiyoto dijelaskan bahwa arti tanggung jawab adalah
mengambil keputusan yang patut dan efektif. Patut berarti menetapkan pilihan
ynag terbaik dalam batas-batas normal sosial dan harapan yang umum diberikan,
untuk meningkatkan hubungan antar manusia yang positif, keselamatan,
keberhasilan, dan kesejahteraan mereka sendiri, misalnya : menanggapi sapaan
dengan senyuman. Sedangkan tanggapan yang efektif berarti tanggapan yang
memampukan anak mencapai tujuan-tujuan yang hasil akhirnya adalah makin
kuatnya harga diri mereka, misalnya : bila akan belajar kelompok harus mendapat
izin dari orang tua.

25

Sedangkan menurut Pam Schiller dan Tamera Bryan pengertian tanggung


jawab adalah perilaku yang menentukan bagaimana kita bereaksi terhadap situasi
setiap hari, yang memerlukan beberapa jenis keputusan yang bersifat moral.
Menurut Prof. Burhan Bungin (2006: 43), tanggung jawab merupakan
restriksi (pembatasan) dari kebebasan yang dimilik oleh manusia, tanpa
mengurangi kebebasan itu sendiri. Tidak ada yang membatasi kebebasan
seseorang, kecuali kebebasan orang lain. Jika kita bebas berbuat, maka orang lain
juga memiliki hak untuk bebas dari konsekuensi pelaksanaan kebebasan kita.
Dengan demikian kebebasan manusia harus dikelola agar tidak terjadi kekacauan.
Dan norma untuk mengelola kebebasan itu adalah tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab sendiri merupakan implementasi kodrat manusia sebagai
makhluk sosial. Maka demi kebaikn bersama, maka pelaksanaan kebebasan
manusia harus memperhatikan kelompok sosial di mana ia berada.
Teori tanggung jawab sosial adalah respons terhadap kebuntuan
liberalisme klasik di abad ke-20. Dalam laporan Hutchins Commision di tahun
1947, teori tanggung jawab sosialmenerima banyak kritik dari sistem mdia
laissez-faire. Keritik ini menyatakan adanya kecenderungan monopoli pada
media, bahwa masyarakat atau publik tidak kurang memperhatikan dan tidak
berkepentingan dengan hak-hak atau kepentingan golongan di luar mereka, dan
bahwa komersialisasi menghasilkan budaya rendah dan politik yang serakah.
Teori tanggung jawab sosial menyatakan bahwa media harus meningkatkan
standar secara mandiri, menyediakan materi mentah dan pedoman netral bagi
warga negara untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini sangat penting bagi media,
karena kemarahan publik akan memaksa pemerintah untuk menetapkan peraturan
untuk mengatur media.
Teori tanggung jawab sosial dirumuskan pada saat Amerika mengalami
masa kapitalisme akhir. Sebleum PD II, organisasi-organisasi berita ternama di
Amerika berada dalam dominasi media tycoon, seperti William Randolph Hearst,
Robert R. McCormick dan Henry Luce. Para pemilik media yang sangat sukses
ini mengatur surat kabar, layanan via kabel, stasiun radio, studio film, dan
majalah. Mereka aktif secara politik dan menggunakan posisinya untuk

26

mendukung calon presiden dan mempengaruhi pemilu dan penerapan undangundang. Pada saat yang sama, kekuatan pemerintahan federal meingkat secara
drastis. Program New Deal Franklin D. Roosevelt membentuk program-program
baru yang memperluas pengaruh pemerintahan federal dan merubah sikap publik
terhadap hubungan pemerintah dengan sektor swasta. Kebijakan anggaran yang
liberal membuatnya dibenci oleh para tokoh media. Roosevelt mampu
menggunakan oposisi mereka untuk mengarahkan simpati publik terhadap
pemerintahannya.
Teori tanggung jawab sosial dikembangkan setelah kematian Roosevelt,
ketika para penerbit berpengaruh tidak populer di kalangan publik. Publik selalu
curiga terhadap pers, bahkan ketika para pemimpin industri ini diganti dengan
yang baru. Pers telah merumuskan kode etika selama berdekade (Masyarakat
Editor Surat Kabar Amerika (ASNE) menerapkan aturan jurnalisme (The
Canons of Journalism) di tahun 1923) dan televisi menjadi media paling populer
pada saat itu.
Untuk bisa memahami nilai penting teori tanggung jawab sosial, kita harus
melihat pada konsep dasar yang membentuknya. Pada essay di tahun 1958, Sir
Isaiah Berlin membedakan kebebasan negatif dan positif sebagai dua aliran dalam
filosofi politik demokratis ua model yang membedakan John Locke dari JeanJacques Rousseau. Berlin menyatakan bahwa politik liberal menjalankan
kompomi dalam hubungan keseharian, menempatkan kebebasan positif sebagai
penyeimbang kebebasan negatif; nilai-nilai utama dari politik liberal positif hakhak, untuk berpartisipasi dalam pemerintahan adalah sarana untuk menjaga nilainilai utama mereka, yaitu individualisme negatif kebebasan.
Kebebasan positif adalah poros konseptual tempat berkembangnya
tanggung jawab sosial. Implikasi hukum dari kebebasan positif dikembangkan
oleh Zechariah Chafee dalam karya dua jilid nya Government and Mass
Communciation

(1947).

Dalam

penekenannya

terhadap

hak-hak

dan

kecurigaannya terhadap tindakan pemerintah, terlihat jelas hubungan antara


Chafee dengan tradisi liberal. Teori tanggung jawab sosial tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku. Ia menjelaskan bahwa wilayah hak-hak moral

27

berbeda dengan wilayah hak-hak hukum. Teori ini secara filosofi radikal dan
konservatis secara programnya.

b. Macam-Macam tanggung jawab.


Manusia itu berjuang memenuhi keperluannya sendiri atau untuk
keperluan pihak lain. Untuk itu ia menghadapi manusia lain dalam masyarakat
atau menghadapi lingkungan alam. Dalam usahanya itu manusia juga menyadari
bahwa ada kekuatan lain yang ikut menentukan yaitu kekuasaan Tuhan. Dengan
demikian tanggung jawab itu dapat dibedakan menurut keadaan manusia atau
hubungan yang dibuatnya. Atas dasar ini, lalu dikenal beberapa jenis tanggung
jawab, yaitu :
1) Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri.
Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang untuk
memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai
manusia

pribadi.

Dengan

demikian

bisa

memecahkan

masalah-masalah

kemanusiaan mengenai dirinya sendiri. Menurut sifat dasarnya manusia adalah


mahluk bermoral, tetapi manusia juga seorang pribadi. Karena merupakan seorang
pribadi, maka manusia juga mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, anganangan sendiri. Sebagai perwujudan dari pendapat, perasaan dan angan-angan itu
manusia berbuat dan bertindak.

Dalam hal ini manusia tidak luput dari

kesalahan, kekeliruan, baik yang disengaja maupun tidak.

Contoh :
Rudi membaca sambil berjalan. Meskipun sebentar-sebentar ia melihat
jalan, tetapi juga ia lengah, dan terperosk kesebuah lubang, kakinya terkilir.
Ia menyesali dirinya sendiri akan kejadian itu. Ia harus beristirahat dirumah
beberapa hari. Konsekuensi tinggal di rumah beberapa hari merupakan
tanggung jawab sendiri akan kelengahannya.
2) Tanggung Jawab Terhadap Keluarga.
Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari suami istri, ayah
ibu dan anak-anak dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap
anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab

28

ini menyangkut nama baik keluarga. Tetapi tanggung jawab juga merupakan
kesejahteraan, keselamatan, pendidikan dan kehidupan.
Contoh :
Seorang ibu telah dikarunia tiga anak, kemudian oleh sesuatu sebab
suaminya meninggal dunia, karena ia tidak mempunyai pekerjaan/ tidak
bekerja pada waktu suaminya masih hidup, maka demi rasa tanggung
jawabnya terhadap keluarga ia melacurkan diri.
Ditinjau dari segi moral hal ini tidak bisa diterima karena melacurkan diri
termasuk tindakan di kutuk, tetapi dari segi tanggung jawab ia termasuk
orang yang dipuji, karena demi rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga
ia rela berkorban menjadi manusia yang hina dan dikutuk.
3) Tanggung Jawab Terhadap Masyarakat.
Pada hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain, sesuai
dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain
maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan
demikian manusia di sini merupakan anggota masyarakat yang tentunya
mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat
melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah apabila segala
tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
Contoh :
Hanafi terlalu congkak dan sombong, ia mengejek dan menghina pakaian
pengantin adat minangkabau. Ia tidak memakai pakaian itu, bahkan
penutup kepala yang dikeramatkan pun semula ditolak. Tetapi setelah ada
ancaman dari pihak pengiring, terpaksa Hanafi mau memakainya juga.
Didalam peralatan itu hampir pernikahan dibatalkan, karena timbul
perselisihan antara pihak kaum perempuan dengan pihak kaum laki-laki.
Pangkalnya dari Hanafi juga. Ia berkata pakaian mempelai yang masih
sekarang dilazimkan dinegerinya, yaitu pakaian secara zaman dahulu,
disebutkannya cara anak komedi istambul. Jika ia dipaksa memakai secara
itu sukalah urung sahaja, demikian katanya dengan pendek. Setelah timbul
pertengkaran didalam keluarga pihaknya sendiri akhirnya diterimalah
bahwa ia memakai smoking, yaitu jas hitam, celana hita, dengan berompi
dan berdasi putih. Tetapi waktu hendak menutup kepalanya sudah
berselisih pula. Dengan kekerasan ia menolak pakaian daster suluk, yaitu
pakaian orang Minangkabau. Bertangisan sekalipun perempuan meminta
supaya ia jangan menolak tanda keminangkabauan yang satu, yaitu selama
beralat saja. Jika peralatan seudah selesai bolehlah ia nanti memakai
sekehendak hatinya nanti, karena lebih gila pula dari pada anak komidi,

29

bila memakai daster saluk dengan baju smocking dan dasi. Setelah ibunya
sendiri hilang sabarnya dan memukul mukul dada di muka anak yang
terpelajar itulah baru Hanafi menurut kehendak orang banyak, sambil
mengeluh dan keringat akan badannya yang sudah tergadai. Untunglah ia
menurutkan hal menutup kepala itu, karena sekalian pengantar dan
pasuimandan (pengiring perumpuan) sudah berkata bahwa mereka tak sudi
menggiringkan mempelai didong. Akhirnya Hanafi tunduk pula dengan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Meskipun harus
bersitegang dahulu. Sebagai pertanggung jawaban kecongkakan dan
kesombongannya itu, Hanafi harus menerima rasa antipati dari masyarakat
Minangkabau yang sangat ketat terhadap adat itu.
4) Tanggung Jawab Terhadap Bangsa.
Suatu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga negara
suatu negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat
oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak
dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus
bertanggung jawab kepada negara.
Contoh :
Seorang guru yang terkenal sebagai seorang guru yang baik, terpaksa mencuri
barang-barang milik sekolah demi rumah tangganya. Perbuatan guru tersebut
harus pula dipertanggung jawabkan kepada pemerintah, kalau perbuatan itu
diketahui ia harus berurusan dengan pihak kepolisian dan pengadilan.
5) Tanggung Jawab Terhadap Tuhan.
Tuhan menciptakan dengan manusia di bumi bukanlah tanpa tanggung jawab,
melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggung jawab
langsung terhadap Tuhan, sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari
hukuman-hukuman tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui
berbagai macam agam. Pelanggaran-pelanggaran dari hukuman tersebut akan
segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika dengan peringatan yang keras pun
manusia masih juga tidak menghiraukan maka Tuhan akan melakukan kutukan,
sebab dengan mengabaikan perintah Tuhan berarti mereka meninggalkan
tanggung jawa yang seharusnya dilakukan manusia terhadap Tuhan sebagai
penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya manusia perlu
pengorbanan.
Contoh :

30

Seorang biarawati dengan ikhlas tidak menikah selama hidupnya karena


dituntut tanggung jawabnya terhadap Tuhan sesuai dengan hukum-hukum
yang ada pada agamanya. Hal ini dilakukan agar ia dapat sepenuhnya
mengabdikan diri kepada Tuhan demi rasa tanggung jawabnya. Dalam
rangka memenuhi tanggung jawab ini ia rela berkorban tidak memenuhi
kodrat manusia pada umumnya yang seharusnya meneruskan keturunannya,
yang sebetulnya juga merupakan sebagian tanggung jawabnya sebagai
mahluk Tuhan.
2.3. Hubungan Kebebasan Dan Tanggung Jawab
Bertanggung jawab merupakan sikap moral yang dewasa. Dan tak mungkin
ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan, maka disinilah letak hubungan antara
kebebasan dan tanggung jawab. Sejalan dengan adanya kebebasan atau
kesengajaan, orang akan bertanggung jawab atas tindakannya yang di sengaja dan
berarti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur bahwa tindakannya itu
sesuai dengan penerangan. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan
tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat di katakan sebagai perbuatan yang
dapat di pertanggung jawabkan karena perbuatan tersebut tidak dilakukan
berdasarkan akal sehatnya.
Pembahasan mengenai hubungan kebebasan dan tanggung jawab sama
halnya dengan uraian tersebut diatas. Namun kebebasan dari paksaan, tekanan dan
larangan pada artinya sendiri belum bernilai positif, melainkan hanya merupakan
kesempatan atau ruang bagi kita. Ruang itu perlu diisi, yang mengisinya adalah
kita, dan pengisian itu disebut kebebasan eksistensial. Adanya kebebasan berarti
bahwa masyarakat menyediakan ruang bagi kebebasan eksistensial kita. Jadi
sekarang kitalah yang bertanggung jawab bagaimana mempergunakannya.
Apakah ruang kebebasan itu bernilai atau tidak tergantung pada bagaimana kita
menentukan diri kita didalamnya. Kebebasan berarti bahwa kitalah yang
bertanggung jawab atas sikap dan tindakan kita dan bukan masyarakat. Kita tidak
dapat lari dari tanggung jawab itu, kalaupun kita ikut-ikutan saja dan tidak berani
untuk mengambil sikap sendiri, hal itu pun tanggung jawab kita.
Dari hal tersebut, maka hubungan kebebasan dan tanggung jawab adalah
a. Ruang Kebebasan harus diisi dengan sikap dan tindakan
b. Kebebasan memungkinkan kita sendiri yang menentukan tindakan
31

c. Tindakan yang diambil dalam kebebasan menjadi tanggungjawab kita


Mempetanggung Jawabkan Kebebasan
Kekebasan bukan tanggung jawab kita dalam arti bahwa apa yang kita
putuskan tidak dapat kita lemparkan pada orang lain, melainkan keputusan itu
sendiri harus dipertanggung jawabkan. Bukan sembarang keputusan dapat disebut
bertanggung jawab. sikap dan tindakan-tindakan yang harus kita ambil tidak
berdiri diruang kosong, melainkan harus kita pertanggung jawabkan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya, terhadap tugas yang menjadi kewajiban
kita dan terhadap orang lain. Sikap yang kita ambil secara bebas hanya memadai
apabila sesuai dengan tanggung jawab obyektif itu.
Jadi adanya kebebasan itu tidak berarti bahwa kita boleh memutuskan apa
saja dengan seenaknya. Bahwa kita diberi kebebasan sosial oleh masyarakat
berarti, bahwa kita dibebani tanggung jawab untuk mengisi ruang kebebasan itu
secara bermakna. Kita dapat juga memutskan sesuatu secara tidak bertanggung
jawab. Prinsip-prinsip moral dasar merupakan tolak ukur apakah kebebasan telah
kita gunakan secara bertanggung jawab. Jadi kita berada di bawah kewajiban berat
untuk mempergunakan kebebasan kita secara bertanggung jawab.
Makin bertanggung Jawab Makin Bebas.
Kadang-kadang orang menolak untuk bertanggung jawab dengan
argumen, bahwa kalau ia harus menyesuaikan diri dengan suatu tanggung jawab
atau kewajiban obyektif, maka ia tidak bebas lagi. Misalnya orang dihimbau agar
ia dalam mempergunakan perpustakaan juga memperhatikan kepentingan
mahasiswa-mahasiswa lain, misalnya dengan tidak memotong halaman-halaman
tertentu dari buku ensiklopedi, lalu ia menjawab bahwa kewajiban itu ditolaknya
karena kalau ia menerimanya, ia tidak lagi seratus persen bebas. Seakan-akan
kebebasan eksistensial hanya terjamin dalam sikap sewenang-wenang. Apakah
yang dapat dikatakan terhadap anggapan ini ?
Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus menganalisis apa yang
sebenarnya terjadi apabila seseorang menolak untuk bertanggung jawab dengan
argumen bahwa dengan demikian ia akan kehilangan kebebasannya.

Perlu

diperhatikan bahwa yang dipersoalkan disini bukan suatu pandangan yang

32

berbeda mengenai kewajiban. Dapat saja terjadi bahwa dua orang yang berbeda
pendapat tentang apa yang wajib dilakukan. Misalnya kakak yang hidup diluar
negeri berpendapat bahwa adiknya yang telah berkeluarga, wajib untuk
menampung ibunya dalam rumah tangganya supaya ibunya itu tidak merasa
sendirian (meskipun secara ekonomis ibu itu terjamin). Tetapi adiknya menolak
dengan argumen bahwa kehadiran ibunya akan membahayakan ketentraman
dalam keluarganya dan bahwa ia berkewajiban untuk mendahulukan kepentingan
keluarganya. Dalam kasus ini adik itu tidak menolak untuk bertanggung jawab,
melainkan hanya mempunyai pandangan lain tentang apa yang merupakan
kewajibannya.

Yang perlu dibahas disini adalah apabila orang memang tidak

mau bertanggung jawab dengan argumen kebebasan. Untuk menganalisis


argumentasi ini kita harus bertanya; apa artinya kebebasan kalau orang menolak
untuk bertanggung jawab ? apa ia lantas lebih bebas ?
Menolak untuk bertanggung jawab berarti; Tahu dan sadar tentang apa
seharusnya dilakukannya, tetapi tidak melakukannya juga. Mengapa ia tidak mau,
padahal ia menyadari tanggung jawabnya? Tentu karena melakukan tanggung
jawab dirasakan sebagai terlalu berat. Ada banyak kemungkinan mengapa orang
tidak mau bertanggung jawab; ia suka malas dan tidak bertanggung jawab adalah
lebih ringan. Ada urusan lain yang lebih menarik, jadi ia acuh tak acuh. Ia takut
suatu bahaya. Ada yang tidak setuju untuk melawan. Atau ia sedang sentimen, ia
lagi tersinggung. Atau ia tidak dapat mengatasi hawa nafsu atau emosi.
Orang yang tidak mau bertanggung jawab berada dalam situasi itu; disatu
fihak, ia sadar akan tanggung jawabnya. Jadi ia sebenarnya tahu perbuatan apa
yang paling bernilai baginya, yang paling pantas dan paling wajar. Tetapi karena
ia malas, tak suka susah, takut, lemas, emosi, sentimen atau dikuasai hawa nafsu
maka ia tidak kuat untuk melakukannya. Ia terlalu lemah untuk melakukan apa
yang dilihatnya sendiri sebagai paling luhur dan penting. Ia bagaikan orang yang
sebenarnya senang berdiri di puncak gunung, tetapi karena tak mau bangun pagi,
tak tahan haus dan dignin dan terlalu loyo untuk memaksa diri, maka ia tidak jadi
naik.

33

Jadi menolak untuk bertanggung jawab tidak membuat kita menjadi lebih
bebas, melainkan sebaliknya. Orang yang tidak bertanggung jawab adalah orang
yang tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya sendiri sebagai paling baik.
Jadi ia kurang bebas untuk menentukan dirinya sendiri dan kebebasan
eksistensialnya justru memudar.
Secara lebih terperinci, penolakan untuk bertanggung jawab mempunyai
dua akibat, Pertama persepsi atau wawasan semakin menyemput. Semuanya
hanya dilihat dari kepentingan dan perasaan sendiri. Yang penting ialah agar ia tak
perlu susah, tak terganggu, aman. Orang yang iri hati, tersinggung atau dendam
memang tertutup, mereka tidak dapat memperhatikan sesuatu di luar perasaan
mereka sendiri. Mereka berputar sekeliling mereka sendiri yang menyebabkan diri
mereka semakin sempit.
Kedua, orang yang tak mau bertanggung jawab semakin lemah, semakin
tidak bebas lagi untuk menentukan diri sendiri, sebagaimana kita lihat pada
remaja akhir akhir ini. Ia semakin membiarkan diri ditentukan oleh dorongan
irasional yang tidak dikuasainya, oleh perasaannya, emosinya, oleh sentimennya,
oleh kemalasannya, oleh perasaan takut. Ia tidak lagi sanggup untuk
merealisasikan sesuatu yang dilihatnya sebagai bernilai, karena mengalah
terhadap perasaan-perasaan subrasionalnya. Ia semakin tidak kuat untuk melawan
arus. Jadi ia semakin tidak bebas untuk menentukan dirinya sendiri.
Sebaliknya orang yang bersedia bertanggung jawab semakin kuat dan
bebas dan semakin meluas wawasannya. Ia tidak terhalang oleh segala macam
perasaan dalam mengejar apa yang dinilainya sebagai penting. Ia kuat dan terlatih
untuk mengatasi segala halangan dan kelemahan. Ia bagaikan pendaki gunung
yang tangguh. Kesulitan dan pengorbanan apa pun tidak akan menghalanginya
dari mencapai puncak gunung yang dicita-citakan. Memang, kemampuan utnuk
berkorban demi suatu tujuan luhur membuat kita menjadi tangguh dan bebas.
Orang yang bertanggung jawab dengan demikian adalah orang yang
menguasai diri, yang tidak ditaklukan oleh perasaan-perasaan dan emosiemosinya, yang sanggup untuk menuju tujuan yang disadarinya sebagai penting,
meskipun hal itu berat. Jadi semakin kita bertekad untuk bertanggung jawabm

34

semakin kita juga bebas. Orang yang tidak menjadi dirinya sendiri dengan
mengelak dari tanggung jawabnya melainkan dengan mengakuinya dan dengan
berusaha untuk melaksanakannya.
2.4. Makna Kebebasan dan Tanggung Jawab
Orang sering berkata Kebebasan harus disertai tanggung jawab.
Seringkali orang itu berkata walaupun kita bebas, kita tidak boleh bebas-bebas
semena-mena. Semacam ucapan-ucapan retorika yang keluar untuk para kaum
muda yang dianggap terlalu bebas. Untuk sementara marilah kita tinggalkan dulu
pendapat yang demikian karena itu dapat membuat diri kita tidak akan maju-maju.
Kita harus sadar bahwa kebebasan selalu disertai dengan batasan. Ada
kebebasan pasti ada juga batasan. Ini terjadi karena kalau tidak ada batasan, tidak
ada kebebasan, karena kita sama sekali tidak mengerti apa itu kebebasan kalau
tidak pernah ada batasan. Seperti prinsip Yin dan Yang. Kita tidak akan mengenal
gelap kalau tidak ada terang. Kita memerlukan batasan untuk bisa memandang
kebebasan itu.
Sebenarnya sebebas apapun bebasnya manusia, dia pasti memiliki batasan.
Sejenak kita lupakan hukum aturan masyarakat, sejak dasar kebebasan kita telah
diikat oleh yang namanya hukum alam. Hukum alam ini mengikat kebebasan kita,
seperti halnya grafitasi. Grafitasi mengikat kita sehingga kita tak bebas terbang.
Jika kita meloncat maka kita akan jatuh dan sakit. Ini adalah hukum mutlak. Alam
membatasi pergerakan kita.
Sama seperti alam, kebebasan kita akhirnya dibatasi oleh masyarakat juga.
Ada hal yang bisa kita lakukan dan ada hal yang tidak bisa kita lakukan. Misalnya
kita tidak bisa bernafas di dalam air, kita tidak bisa menumbuhkan tangan. Semua
hal itu mustahil. Ini adalah batas dari kebebasan pertama kita. Pembatasan ini
natural, karena mengatakan apa yang bisa kita lakukan dan apa yang tidak bisa
kita lakukan.
Pembatasan kedua dari kebebasan kita adalah etik. Artinya apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh. Misal, kita bisa saja membunuh teman kita. Kita tidak
35

dihalangi secara alamiah untuk melakukan itu atau tidak melakukan itu. Kita
punya kemampuan untuk melakukannya.
Namun demikian kita tidak boleh melakukannya. Ini karena adanya
pembatasan etis. Pembatasan ini bersifat tidak senatural pembatasan secara
alamiah. Karena kita memilih perbuatan kita, maka ini menjadi subjek etika.
Pembatasan ini berkaitan dengan konsekuensi, baik secara natural maupun
artificial.
Ketika

melakukan

perbuatan

kita,

maka

kita

akan

mendapat

konsekuensinya, misalnya membunuh. Secara natural kita memiliki kebebasan


untuk itu. Namun demikian kita bisa mendapat akibat buruk dari hal itu. Akan
mengakibatkan kita mendapat konsekuensinya, baik secara langsung seperti rasa
bersalah. Ataupun secara artificial, seperti hukuman dari masyarakat.
Dalam arti inilah kebebasan harus memiliki tanggung jawab. Ini karena
kebebasan orang lain dibatasi oleh kebebasan orang yang lainnya. Jika satu orang
memanfaatkan kebebasannya maka dia akan mengurangi kadar kebebasan orang
lain. Dan jika demikian orang lain juga berhak mengurangi kebebasannya
sehingga kita saling mengatur kebebasan satu sama lain. Karena itulah ada aturan
dalam kehidupan masyarakat agar kehidupan terkendali dengan baik.

36

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
a. Kebebasan merupakan sebuah pengertian negatif jika diartikan sebagai tidak
adanya suatu larangan, rintangan dan pencegahan apapun.

Pengertian

kebebasan adalah bersifat umum, dan tatkala belum disandarkan pada


pengertian yang lain, maka tidak akan menunjukkan tujuan dan hasil yang
jelas. Dengan demikian, maka logika kebebasan memberikan keterangan,
kebebasan berbicara, kebebasan berpikir, kebebasan seksual, kebebasan
untuk menentap dan berhijrah, kebebasan untuk bekerja dan lain
sebagainya.

Tidak ada filsuf pun didunia ini yang meyakini bahwa

kebebasan itu adalah berarti lepas kendali, tanpa aturan dan undang-undang.
b. Dalam filsafat pengertian tanggung jawab adalah kemampuan manusia yang
menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi.
Perbuatan tidak bertanggung jawab, adalah perbuatan yang didasarkan pada
pengetahuan dan kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan
juga. Tanggung jawab menutut seseorang untuk berfikir sebelum melakukan
hal-hal yang sedang di hadapi nya, karena seseorang dapat dituntut, di
persalahkan, diperkarakan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
c. Kebebasan yang di dasarkan dengan tanggung jawab maka akan menjadi
sesorang menjadi di terima di masyarakat. Sama seperti alam, kebebasan
kita akhirnya dibatasi oleh masyarakat juga. Ada hal yang bisa kita lakukan
dan ada hal yang tidak bisa kita lakukan. Misalnya kita tidak bisa bernafas
di dalam air, kita tidak bisa menumbuhkan tangan. Semua hal itu mustahil.
Ini adalah batas dari kebebasan pertama kita. Pembatasan ini natural, karena
mengatakan apa yang bisa kita lakukan dan apa yang tidak bisa kita
lakukan.

37

DAFTAR PUSTAKA

Bdk.

DR.

Nico

Syukur

Dister

OFM

(1993),

Filsafat

Kebebasan.

Kanisius.Yogyakarta.
Bdk. Nusa Putra (1994), Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Bdk. Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk
Paradoksal.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta.
Dpchanurabone, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani, Melalui
<http://dpchanurabone.blogspot.com/2011/04/kebebasan-tanggung-jawabdan-hati.html> [01/08/2011]
Rafael Edy Bosko dan M. Rifai Abduh (2010),

Kebebasan Beragama atau

berkeyakinan, Seberapa Jauh, Kanisius, Yogyakarta,


Ibnu Harun, Memaknai Kebebasan, Melalui <http://herman1976.wordpress.com /
2008/10/15/memaknai-kebebasan/> [01/08/2011]
Abdullah Haidar (2003), Kebebasan Seksual Dalam Islam, Jakarta; Pustaka
Jahra,.
Setyono, Agus (2009), Kebebasan dalam filsafat Louis Leahy Dan Dalam
Pemikiran

Manusia

Jawa,

Telaah

Filsafat

Perbandingan.

Melalui

<http://agussetyonocm. multiply.com/journal/item/76> [02/08/2011]


Adiwiyato, Anton. 2001. Melatih Anak Bertanggung Jawab. Jakarta. Mitra Utama.
Tamara Bryant. Pam Schiller. 2002. 6 Modal Dasar Bagi Anak. Jakarta. PT. Elex
Media Komputindo.

38

39

Anda mungkin juga menyukai