Anda di halaman 1dari 9

KEBUDAYAAN MALU DAN

KEBUDAYAAN KEBERSALAHAN
Antropologi budaya membedakan dua macam kebudayaan:
kebudayaan malu (shame culture) dan kebudayaan
kebersalahan (guilt culture). Kebudayaan malu seluruhnya
ditandai oleh rasa malu dan di situ tidak dikenal rasa besalah.
Kebudayaan kebersalahan terdapat rasa bersalah. Shame
culture adalah kebudayaan di mana pengertian-penggertian
seperti “hormat”, “reputasi”, “nama baik”, “status”, dan
“gengsi” sangat ditekankan.
Bila orang melakukan suatu kejahatan, hal itu tidak
dianggap sesuatu yang buruk begitu saja, melainkan
sesuatu yang harus disembunyikan dari orang lain.
Bukan perbuatan jahat itu sendiri yang dianggap
penting; tetapi yang penting adalah bahwa perbuatan
jahat tidak diketahui. Jika perbuatan jahat diketahui,
pelakunya menjadi “malu”. Dalam shame culture
sanksinya datang dari luar, yaitu apa yang dipikirkan
atau dikatakan oleh orang lain. Dalam shame culture
tidak ada hati nurani.
Guilt culture adalah kebudayaan di mana pengertian-
pengertian seperti “dosa” (sin), “kebersalahan” (guilt), dan
sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kesalahan
tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, namun si pelaku
merasa bersalah juga. Ia menyesal dan merasa tidak tenang
karena perbuatan itu sendiri, bukan karena dicela atau dikutuk
orang lain. Jadi bukan karena tanggapan pihak luar. Dalam
guilt culture, sanksinya tidak datang dari luar, melainkan dari
dalam, dari batin orang bersangkutan. Dapat dimengerti
bahwa dalam guilt culture semacam itu hati nurani memegang
peranan sangat penting.
 KEBEBASAN DAN TANGGUNG
JAWAB
• Terdapat hubungan timbal-balik antara kebebasan dan tanggung jawab, sehingga
jika dikatakan “manusia itu bebas” berarti “manusia itu bertanggung jawab”.
Tidak mungkin kebebasan tanpa tanggung jawab dan tidak mungkin tanggung
jawab tanpa kebebasan.

• Beberapa arti kebebasan:


a. Kebebasan sosial-politik;
Subjek kebebasan sosial-politik adalah suatu bangsa atau rakyat. Subjek
kebebasan individual adalah manusia perorangan.
•1) Kebebasan rakyat v.s. kekuasaan absolut
•2) Kemerdekaan v.s. kolonialisme
b. Kebebasan individual:
1) Kesewenang-wenangan
Kadang-kadang kebebasan dipahami sebagai kesewenang-wenangan (arbitrariness).
Dengan demikian, orang disebut bebas bila ia dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka
hatinya. Di sini “bebas” dipahami sebagai “terlepas dari segala kewajiban dan
keterikatan.” Bebas dalam arti kesewenang-wenangan individu dalam praktiknya
mewujud dalam beberapa bentuk, yaitu:
(1)Lepas dari kewajiban dan dapat mengisi waktu sekehendak hatinya.
(2)Tidak terikat oleh janji atau komitmen lain.
(3)Bebas, jika tidak ada regulasi, peraturan, atau campur tangan dari luar, khususnya
pemerintah.
2) Kebebasan fisik
Kebebasar fisik berarti tiada paksaan atau rintangan dari luar; bisa bergerak ke mana
saja ia mau tanpa hambatan apa pun. Orang yang dipenjara atau dibelenggu tidak
punya kebebasan fisik.
3) Kebebasan yuridis
Kebebasan yuridis berkaitan erat dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum. Dengan kebebasan
yuridis dimaksudkan semua syarat hidup di bidang ekonomi, sosial, dan politik yang diperlukan untuk
menjalankan kebebasan manusia secara konkret dan mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang
terpendam dalam setiap manusia. Kebebasan ini diperoleh dari negara.
4) Kebebasan psikologis
Kebebasan psikologis adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengembangkan serta
mengarahkan hidupnya. Kemampuan ini menyangkut kehendak, bahkan merupakan ciri khasnya. Nama
lain untuk kebebasan psikologis adalah “kehendak bebas” (free will). Kebebasan ini berkaitan erat dengan
kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berasio. Ia bisa berpikir sebelum bertindak. Contoh orang
yang tidak memiliki kebebasan psikologis adalah kleptoman.
5) Kebebasan moral
Kebebasan moral berkaitan erat dengan kebebasan psikologis. Kebebasan moral mengandaikan
kebebasan psikologis, sehingga tanpa kebebasan psikologis tidak mungkin terdapat kebebasan moral.
Akan tetapi kalau terdapat kebebasan psikologis belum tentu terdapat kebebasan moral, juga walaupun
dalam keadaan normal kebebasan psikologis akan disertai kebebasan moral.
Orang yang tidak memiiki kebebasan moral misalnya orang yang disandera yang dipaksa untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu di bawah ancaman; orang yang dihipnotis.
6) Kebebasan eksistensial
Kebebasan eksistensial adalah kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh pribadi manusia dan
tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan ini mencakup seluruh eksistensi manusia. Orang
yang memiliki kebebasan eksistensial seakan ia memiliki dirinya sendiri. Ia mencapai taraf otonomi,
kedewasaan, otentisitas, kematangan ruhani. Orang tersebut bebas mewujudkan eksistensinya secara
kreatif. Hidup orang yang bebas dalam arti ini tidak merupakan salinan hidup orang lain. Ia tidak
mengekor saja.
Seorang seniman dapat dianggap bebas dalam arti ini bila ia menciptakan karya secara otonom,
kreatif, dan bebas. Cendikiawan yang sudah mencapai taraf berpikir sendiri, tidak membeo saja; ia
memiliki pendapat sendiri yang didasarkan pada pengertian sendiri. Ia hanya terikat pada kebenaran
yang diyakininya. Ia sungguh-sungguh berpikir bebas dan mandiri. Cendekiawan seperti ini memiliki
kebebasan eksistensial. Kebebasan eksistensial yang paling tepat adalah dalam konteks etis. Ia
berbuat atau tidak berbuat sebagai ekspresi sebuah keyakinan dari dalam bahwa itu baik, bukan
karena dorongan dari luar.
Dalam situasi kita sekarang ini kebebasan eksistensial lebih sulit dicapai daripada masa-masa
sebelumnya. Kebudayaan yang sedang berkembang dan yang lambat laun merembes ke seluruh
dunia merupakan suatu mass culture. Media massa memainkan peranan besar dalam hal ini. Banyak
manusia mengikuti apa saja yang trendy atau yang sedang in. Konsumsi, busana, musik, dan
sebagainya banyak dipengaruhi oleh mass culture itu.
BEBERAPA MASALAH KEBEBASAN
a. Kebebasan negatif dan kebebasan positif
b. Batas-batas kebebasan
1) Faktor-faktor dari dalam (fisik dan non-fisik)
2) Lingkungan (alamiah dan sosial)
3) Kebebasan orang lain
4) Generasi mendatang
c. Kebebasan dan determinisme
Hukum-hukum yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu manusia dimungkinkan karena tiga alasan.
Pertama, kebebasan manusia itu terbatas. Ada faktor dari luar yang membatasi kebebasan
(lingkungna , pendidikan) dan faktor-faktor lain membatasi dari dalam (bakat, watak, sikap). Ini
mengakibatkan bahwa banyak perbuatan manusia tidak bebas atau setengah bebas.
Kedua, sering kali manusia tidak menggunakan kebebasannya. Ia merasa lebih senang untuk
berprilaku menurut rutin, kebiasaan, atau adat. Ini mengakibatkan bahwa suatu masyarakat
tertentu sering memperlihatkan pola kelakuan yang sama.
Ketiga, kebebasan tidak berarti bahwa perbuatan manusia tidak ditentukan. Kebebasan adalah
autodeterminasi, kehendak yang menentukan dirinya sendiri. Kala manusia menentukan dirinya
sendiri, tentu ia memiliki suatu maksud atau tujuan. Dengan kata lain, manusia mempunyai
motif-motif. Perlu dibedakan antara motif dan penyebab. Dalam alam hanya ada penyebab-
penyebab, tapi dalam tingkah laku manusia, di samping penyebab terdapat juga motif.
Penyebab tidak tergantung pada kemauan, sedangkan motif bergantung pada kemauan.
Penyebab berperan dalam konteks determinisme, sedangkan motif berperan dalam konteks
kebebasan. Motif adalah alasan yang diterima manusia untuk menentukan dirinya. Penyebab
adalah alasan terjadinya sesuatu di luar kemauan manusia.

Anda mungkin juga menyukai