Anda di halaman 1dari 24

ETIKA KRISTIAN

PENGANTAR ETIKA KRISTIAN

BAB SATU
FILOSOFIS SPEKULATIF DAN PROBLEM MORAL

 FILSAFAT NATURALISME
 Pernyataan “benar” atau “salah” adalah masalah yang tidak asing bagi
manusia di manapun mereka berada, dalam konteks apapun dan kurun
waktu manapun. Tidak ada satu jawapan yang sesuai untuk semua
situasi dan kondisi.

Semua orang pada hakekatnya mempunyai standard khusus untuk


menentukan “benar” atau “salah”.
Secara natur, manusia tidak menghindarkan diri untuk merefleksikan,
menganalisa dan menilai atau mengevaluasi sesuatu adalah benar atau salah.
Hanya Binatang yang hidup secara insting yang tidak mempunyai
pertimbangan moral.
Tiap-tiap kelompok masyarakat mempunyai nilai-nilai moral yang dipelihara
dan dikembangkan dalam konteksnya.

Menurut sejarah, filsafat sekular didirikan diatas dua dasar tafsiran etika
antagonistis, iaitu NATURALISME dan IDEALISME.

Etika spekluatif didasarkan di atas dua konsep tersebut di atas, bahwa secara
natur atau naturalisme membawa kita kepada pengertian metafisik dan
idealisme dalam pengertian epistemology.

Epistemologi adalah bahagian filsafat yang mempunyai tugas untuk


menemukan asal usul standard kebenaran secara filosofis dan tentang idea-
idea ( yang objektif ).

Idealisme menekankan prioritas akal dan nilai-nilai, kenyataan dunia Rohani


dan tanpa menyangkalinya hingga zaman moden ini dan yang tetap diterima
dalam filsafat.

Naturalisme, secara kontras menampakkan pengaruh dalam perkembangan


kebudayaan. Jika idealisme tekanannya pada thought dan mengacu
epistemology, maka naturalisme tekanannya pada metafisik.
Dalam naturalisme, natur, alam dan kosmos adalah puncak atau akhir realitas.
Manusia secara esensial adalah Binatang. Kebenran bersifat relative dan
akan berubah setiap waktu

1. Naturalisme Elemental

Disebut juga naive naturalisme, yang di dasarkan dengan kepercayaan alami,

1
natur, yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa secara terperinci
menghuraikan pandangan hidup dan juga tanpa penafsiran data pengalaman
hidup.

Sebagai contoh, jika seorang pedagang yang pada satu segi mempunyai
prinsip moral bahawa kejujuran harus menjadi sistem bisnes, namun
memaafkan diri untuk sedikit berlaku curang, dengan dalih diplomasi supaya
mendapatkan keuntungan dan menjadi kaya. Hal ini kerana didukung oleh
pahaman bahawa orang boleh berbohong asalkan bohong yang memadai.

Sudah tentu kondisi seperti ini tidak lagi melihat ironinya relasi antara “jujur”
dengan “main akal” atau “bohong kecil”. Dengan demikian benar dan salah
menjadi relative dan tidak jelas.
Dalam naturalisme yang naif ini, tidak dikenal sifat mutlak dalam segala
sesuatu. Nilai-nilai absolut tidak dikenal. Sikap dan tingkah laku tidak
ditentukan oleh sesuatu yang sungguh-sungguh dipikirkan secara nalar.

Yang dikenal adalah fluktuasi dalam hubungannya antara yang “tidak terus
menerus” dengan “keyakinan adanya sanksi” terhadap tingkah laku moral,
kelemahan. Dengan demikian akibatnya adalah mempertahankan nilai-nilai
moral dengan setengah hati. Termasuk dalam kelompok ini adalah filsafat
kuno dengan segala reduksi dan refleksinya masa kini.

Protagoras (490SM) menyimpulkan bahawa manusia sedemikian terbatas


dalam mengetahui dan menyimpulkan sensasi-sensasinya sendiri. Eksistensi
ilah-ilah tidak dikenal dan semua kebenaran adalah relative, tentunya
termasuk kebenaran moral.

Critias, mengatakan bahawa letak jiwa manusia adalah pada darah dan
manusia secara fizik adalah sama seperti Binatang. Dalam pandangan
sofisme ini pada dasarnya segala sesuatu adalah relative. Demikian juga
pengertian “benar” dan “salah” tidak ada “ benar yang mutlak” dan tidak ada
“ salah yang mutlak”. Semua serba relatif. Selama ada perubahan-perubahan,
maka kebenaran juga berubah.

Yang sekarang benar belum tentu benar untuk masa yang akan datang tetap
benar. Demikian juga yang “salah” belum tentu yang sekarang salah, pada
masa yang akan datang tetap akan salah.

Cyrenaicisme, di pelopori oleh Aristipus (435M) dari Cyrene, sebuah kota


koloni Yunani di Afrika Utara. Gerakan ini adalah perkembanga sofisme.

Dalam ajarannya dinyatakan antara lain bahawa menjadi sensasi objek


pengetahuan adalah hal-hal yang bersifat subjektif dan dijadikan patokan
hidup.

Dalam perkembangan puncaknya paham ini menyimpulkan bahawa yang


disebut good life, iaitu pemenuhan kehidupan yang paling menyenangkan iaitu
kehidupan seperti angin sepoi-sepoi, yang berbeza dengan angin laut yang
bergelora, atau taufan.

2
Yang hidupnya tidak membawa apa-apa justru merupakan hidup yang paling
membahagiakan. Cynisme membawa orang-orang kepada frustasi oleh
kerana tidak mampu memberikan petunjuk jelas untuk apa hidup ini. Hidup ini
tidak bertujuan. Credo hidup Cirene sebenarnya membuat orang sentiasa
menghadapi jalan buntu. Credo itu berbunyi, “eat, drink dan be merry, for
tomorrow we die”.

Filsafat ini banyak berspekulasi dengan kenikmatan, kesukaan masa depan


yang bisa dinikmati pada masa kini. Dalam perkembangan selanjutnya
Cyrenaicisme ini pecah menjadi dua aliran yang pertama berkembang di
bawah tokoh Epicurus ( Epicurianisme ) dan yang lain dibawah pengaruh
Aristippus dan Cyrene ( Cynisme ). Keduanya menempatkan interpretasi
naturalisme sebagai pengaturan hidup yang membahagiakan.

Paham ini tidak mengakui realitas dan eksistensi supernatural. Apakah


pandangan ini terefleksi pada zaman moden? Perkembangan dalam dunia
moden ialah, penempatan rasio atau intelektual menjadi penting, sehingga
naturalisme menjadi penting. Hal ini yang mengacu kepada perkembangan
Systematic Naturalism.

2. Naturalisme Sistematik
Bentuk perkembangan naturalisme bahawa natur bukan hanya dipandang
sekadar sensasi, melainkan berhubung dengan organisasi, jaringan kerja
konfigurasi. Termasuk kelompok ini antara lain:

Hendonistic Naturalisme, yang memiliki dua landasan filsafat. A. Orientasi


kepada kosmos untuk seluruh aspek moralitas.

B. Pengakuan terhadap sikap moral relativisme dan pesimisme.


Termasuk dalam golongan ini adalah Epicuranisme dan Utilisme. Perlu di
catat bahawa Utilisme ini amat popular di zaman moden ini. Menekankan
segala sesuatu dari segi manfaat, kegunaan atau asas manfaat. Mengukur
segala sesuatu benar atau salah, baik atau buruk diukur dari segi manfaat”.
Manusia pun dilihat dari segi manfaat atau tidak bermanfaat.

Nilai manusia tinggi, jika sungguh bermanfaat.


Pengaruh utilisme ini sangat jelas dalam kehidupan moden ini, baik bagi
peribadi keluarga atau persekutuan-persekutuan Kristen. Yang menilai
sesuatu atau seseorang, tingkah laku dan sebagainya diukur dengan berguna
atau tidaknya. Sudah barang tentu seseorang akan “Bahagia” jika ia berguna
dan itu adalah puncak kebahagiaan manusia.

Political Naturalisme, mengingatkan bahawa natur adalah pusat, maka


kehidupan manusia harus berorientasikan kepada natur. Natur dipandang
lebih penting daripada manusia. Natur adalah kuasa, oleh kerana itu barang
siapa mampu mengendalikan natur untuk dirinya, maka ia akan berinkarnasi
dalam eksistensi kekuatan yang luar biasa.

Refleksi political naturalisme ini, dalam dunia moden Nampak dalam

3
pandangan Thrasymachus, Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, Freiderich
Feuerbach, Nietzsche dan Karl Marx.
Thrasymachus menulis buku yang berjudul “ Republik “ ia mengemukakan
bahawa di dunia ini kekuasaan adalah the rule of life oleh kerana itu ia
berbicara tentang keadilan yang harus kuat, kekuasaan harus adil.

Implikasinya, masyarakat akan mengalami kehancuran. Sebab keadilan tanpa


kekuasaan itu ibarat pedang terbuat dari pelepah pisang, yang tidak
mempunyai wibawa. Kekuasaan tanpa keadilan, yang terjadi adalah
anarkisme, kesewenang-wenangan. Yang berkuasa selalu menang atau
dimenangkan, bukan yang benar.

Tirani seperti juga Hitler dan yang lainnya berangkat dari political naturalisme.
Machiavelli adalah bapa tujuan menghalalkan cara. Yang nantinya diwarisi
dalam Etika Situasi.
Ucapan Machiavelli yang terkenal yang menjadi acuan banyak orang “ dalam
keadaan yang bagaimana, seorang pangeran/raja masih menjaga imannya?

Ertinya, ialah bahawa iman itu berlaku temporer, situasional, kondisional dan
dalam peristiwa tertentu tidak berlaku. Perlu juga di tanyakan, apakah orang
Kristian ( pelayan Rohani ) mempraktekkan hal serupa?
Karl Marx, Nietzsche dan Ludwig Feuerbach adalah tokoh-tokoh naturalis
yang sangat berpengaruh di dunia moden ini. Bersama Engel, Karl Marx
memformasikan kelompok komunis yang radikal.

Meskipun Marx melihat bahawa masyarakat ekonomis terdiri dari dua kelas,
iaitu mayarakat kapitalis dan proletariat.
Pengaruh Karl Marx sangat luas hampir ada di semua usaha dan Gerakan
politik di seluruh dunia pada zaman ini; baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Yang di kelompokkan dalam naturalisme religious antara lain: Filsafat Stoa,
Spinoza dan Humanisme Stoa.

Filsafat ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam zaman para rasul
Perjanjian Baru. Paulus juga mengenali dan mempelajari filsafat Stoa. Dalam
filsafat stoa, demarkasi atau pembatasan antara Pantheisme dan
Naturalisme adalah sangat kecil. Kerana keduanya mempunyai pandangan
yang sama tentang tidak adanya realitas eksistensi transcendental di dalam
system natur.

Pantheisme menghargai alam “ dalam “ ( inner ) sebagai yang tidak terlihat


yang terdiri dari akal ( mind ) dan kehendak ( will ) sebagai order iahi bagi
gejala-gejala dunia yang kelihatan. Naturalisme pada segi lain menempatkan
dimensi ruang, waktu sebagai esensi non mental atau nonspiritual. Di dalam
pandangan Stoa misalnya, natur dilihat secara rasional dan teleleogis dan
yang kemudian antara matematis dan nonteleleogis.

Perlu di bezakan ilah-ilah dalam agama Stoa atau filsafat Stoa dengan Allah
orang Kristian. Ilah-ilah menurut filsafat Stoa bukanlah bersifat personal
melainkan impersonal. Nasib atau takdir adalah impersonal power. Demikian

4
juga dengan pemeliharaan atau providentia bukan personal. Stoa menyangkal
adanya relasi antara jiwa dan Allah dalam relasi apapun.

Kematian bagi mereka adalah merupakan penghentian personalitas manusia


( cessation of human personality ). Jiwa-jiwa individu bereksestensi hanya
sampai absorpsi ( penghisapan, penyerapan ) ke dalam Divine reason. Paham
ini juga terdapat dalam filasafat Spinoza seorang Yahudi. Paham teleleogis
juga ada dalam ajaran Aristoteles tentang metafizik.

Apakah yang di maksud dengan ajaran metafisik Aristoteles? Dalam Bahasa


Yunani meta, adalah awalan yang bererti “ Bersama-sama”, “ sesudah”, atau
“ berubah menjadi”. Dengan demikian erti hurufiah metafisika adalah
“ sesudah dunia fisika “. Dalam filsafat “ metafisika “ adalah ajaran tentang
dasar-dasar “ kasunyataan “ ( keberadaan/ being ).

Pada mulanya untuk menemukan tulisan-tulisan Aristoteles yang secara


didaktik mempelajari benda-benda. Karya Aristoteles di kategorikan dalam
empat golongan iaitu:
a. Logika atau organon ( alat ) membentangkan tentang pengertian, putusan,
silogisme, bukti, dll.
b. Fizik: Tentang alam. Langit dan bintang,dan haiwan, jiwa dll.

c. Metafizika buku-buku tentang filsafat. Pada waktu ditempatkan di


belakang ( sesudah/ meta ) buku-buku fizika dan kemudian kata metafizika
berarti filsafat.
d. Pengetahuan praktik seperti Etika Eudomia, Etika Nichiomachea keduanya
tentang tingkah laku, Republikca Atheniensium ( Tata Negara Athena ),
Rhetorica ( yenyang pidato ), dan Poetica.

Dengan demikian jelaslah apa yang mula-mula di maksud dengan Metafizika.


Tentunya pemahaman tentang metafizika tidak hanya behenti di zaman
Hellenisme Yunani, kerana kemudian akan ditentang oleh Immanuel Kant
yang menganggap metafizika itu bersifat spekulatif. Bahkan dalam aliran
Neokantianisme di abad XIX menolak semua ajaran metafizika.

Namun di abad XX pemikiran metafizika muncul Kembali dengan corak yang


subjektif eksistensialisme Heideger, yang memberi peluang kepada seluruh
keperibadian manusia bukan hanya akal. Hal ini sangat berpengaruh dalam
kehidupan orang Kristian moden.
Secara esensial, Stoicism ( paham Stoa ) adalah naturalisme. Pengajaran
metafizikanya pada dasarnya berpusat pada natur adalah hukum atau pikiran.

Natur adalah sebagai sebab bukan sebagai akibat. Segala tingkah laku
manusia disebabkan oleh alam, kerana itu segala sesuatu harus ditetapkan
oleh alam. Segala sesuatu harus disesuaikan dengan alam (according to
nature ). Ajaran Stoa juga mengajarkan bahawa semua manusia dipanggil
kepada major ethical dan spiritual decision. Keputusan Rohani yang juga
disebutnya sebagai pertobatan.

Peraturan atau hukum bagi ajaran stoa adalah persetujuan dengan tanpa

5
disertai protes terhadap segala hukum alam. Untuk itu ajaran stoa meminta
pertobatan yang serta merta. Suatu perubahan tingkah laku atau sikap secara
total. Perasaan dan emosi hanya akan memberikan penilaian yang salah
terhadap sesuatu. Oleh karena itu sikap dan tingkah laku haruslah sesuai
dengan “a mind of natur” .

Para pemikir moral, baik Yunani maupun romawi sangat banyak yang
dipengaruhi oleh filsafat stoa ini kendatipun moralitas stoa tidak dipopularkan
secara cosmopolitan dan masal.
Elemen-elemen Kristen pada pengajaran gerja yang mual-mula sering kali
dibandingkan atau berinteraksi dengan pandangan stoa. Misalnya di dalam
Kisah Para Rasul 17:28 disebut “puisi-puisi pujangga-pujanggamu” yang
dimaksud adalah punjangga-pujangga stoa yang tentunya tidak asing bagi
orang orang Athena.

Paulus juga menggunakan istilah-istilah yang biasa dipakai oleh filsafat stoa,,
seperti [antarkes antarkes], yang dapat ditemukan di dalam Filipi 4:11, 1
Timotius 6:8, yang diterjemah dengan kata cukup dan kecukupan. Kata
eusubia [eusebia] yang diterjemahkan dengan kesalehan seperti yang kita
temukan di dalam 1Timotius 2:2, 4:7, dan lain-lain.

Meskipun istilah-istilah tersebut bukanlah monopoli filsafat stoa, kerana


dengan kata yang sama mempunyai makna dan muatan yang berbeda. Bagi
doktrin-doktrin tentang kebapaan Allah, persaudaraan sesama manusia juga
merupakan doktrin yang yang cukup popular di kekaisaran Romawi. Demikian
juga dengan panggilan pertobatan total.

Sebagaimana persetujuan tanpa kompromi dengan melakukan kehendak


Allah, dibandingkan dengan apatheia [apaqeia] menyetujui dengan tanpa
protes terhadap hukum alam. Bagaimana hal ini dikaji secara soteriologis
Teologis? Tentu harus dibedakan secara tajam pengertian fatherhood of God
dengan fatherhood of universe stoa. Demikian juga dengan universal
brotherhood dengan persaudaraan di dalam kristus.

Pada zaman modern stoicsm ini muncul dengan pengajaran spioza atau
Spinozism [1632-1677]. Ibadah yang merupakan kebutuhan inner natur adalah
sebagai eseni atau hakikat kebajikan, yang akan menghasilkan kemerdekaan
dan secara kompleks dikemukakan oleh spinoza.

Bahwa bagaimanapun tidak dapat menahan agama dan moralitasi di dalam


pandangan realitas ilmu pengetahuan. Ajaran stoa mengemukakan
pandangan yang bersifat teleologis terhadap alam natur. Tetapi Spinoza
berpandangan bahwa segala sesuatu yang teleologis harus dijelaskan secara
metamatis. Alam ini dijelaskan dengan istilah-istilah seperti: sebab-sebab
akhir, segala seseatu yang akhir,meninggalkan.

Ada interaksi antara Etika Kristen dengan Spinoza, yang dilanjutkan dengan
penggunaan istilah-istilah; Theology, Anthropology, Soteriology. Namun
menurut spinoza Allah bukanlah person etis melainkan total natur. Dalam
karya utama Etika Spinoza nyata-nyata merupakan “natur philosophy” filsafat

6
naturalisme, bahawa manusia harus menghilangkan diri sendiri secara Rohani
ke dalam natur.

Allah atau mathematical system of natur tidak memerintah segala sesuatu


untuk menjadi lebih baik atau terhormat atas penciptaan manusia. Nihil
adalah keharusan alami. Kebahagiaan datang hanya apabila sungguh
menyerahkan diri untuk menjadi milik alam.

Humanisme adalah penekanan empiris yang muncul dalam natur modern dan
dimodifikasi dalam agama Naturalisme. Secara modern pertama-tama tidak
menekankan kekekalan natur sebagai system melainkan sebagai kontrol
masa depan.Pengetahuan berdasarkan science sifatnya adalah sementara.

Sebenarnya sejak munculnya humanisme maka munculah filsafat etis. Sikap


toleransi terhadap pendirian orang lain, merupakan kebajikan, sebab tidak ada
kebenaran yang mutlak itulah, maka konsekuensinya kita harus menghargai
penderitaan orang lain.

Terbuka terhadap orang lain, yang notabene adalah sesame manusia dalam
konteks universe brotherhood. Dalam hal ini adanya perbedaan penderitaan
yang harus dikompromikan ini adalah merupakan hasil manusia, bukan
perbedaan antara kebenarn kekal yang telah pasti dengan kesalahan. Moral
yang ideal bersifat tentative [sementara].

Tidak ada peraturan atau hukum yang pasti untuk suatu kehidupan, melainkan
berlaku pada dimensi tempat atau lokasi, waktu, dan zaman.Secara historis
filsafat Humanisme tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Protestanisme
dan Renaissance.Ingat bahawa Renaissance pada abad XV yang berasas
pada kebebasan kebudayaan, Kembali kepada filsafat Yunani, sedangkan
Reformasi berasas kebebasan agama.

Anggapan ahli filsafat tujuan Renaissance dan Reformasi dianggap sama


.Tujuan kebebasannya sama hanya yang satu kebebasan seni budaya dan
yang lain kebebasan seni agama.Kedua-duanya dianggap berjuang untuk
membebaskan manusia dari kekangan-kekangan pada abad pertengahan
kekristenan .Tentunya hal tersebut tidak dapat disimpulkan begitu saja secara
naif.

Karena masih banyak hal yang harus diperhatikan lebih rinci,sejauh mana
hubungan antara Renaissance [abad XV] dengan Reformasi [abad XVI].Karena
kendatipun mereka berjuang untuk bebas dari otoritas namun juga Kembali
kepada otoritas baru .Bahkan Erasmus tokoh humanis itu sangat dibenci oleh
Martin Luther .

Humanisme sebenarnya merupakan suatu sikap terhadap hidup secara


fundamental tidak selaras dengan demokrasi atau kesejahteraan orang
banyak.Misalnya Renaissance tetap mempunyai kepercayaan dan penilaian
kelas-kelas dalam masyarakat kendatipun bukan lagi kelas feodal melainkan
kelas-kelas intelektual yang mempunyi hak-hak istimewa dalam masyarakat .

7
Pada satu sisi Protestanisme atau Reformasi dan Renaissance disebut kaum
humanis dalam sejarah intelektual .Namun,faktanya seorang humanis,yang
meniadakan persoalan Allah adalah sebagai konsekuensi seorang
naturalis.Jadi humanisme pada dasarnya adalah sikap memberontak
terhadap kekangan-kekangan karena sadar akan dirinya sebagai manusia
yang dapat mengemukakan atau menyatakan pikiran-pikirannya.

Kesedaran baru akan keindahan dunia [natur], yang akhirnya mempunyai


dampak di bidang politik, agama, ilmu pengetahuan, dan sastra.Dalam
perkembangan modern, aspirasi sosial menjadi pusat agama,dalam hal ini
agama Kristen.Teologi yang berorientasi kepada “manusia” [theology from
below] secara natur berorientasi kepada gejala sosiologis.

Puncak humanisme akhirnya adalah “Kembali” kepada alam [natur], termasuk


teologi yang berorientasi kepada humanisme, akhirnya Kembali kepada natur,
kepada kodrat.

3.Naturalisme Relatif
Naturalisme Relatif atau relativistic naturalism, mempunyai pandangan bahwa
semua nilai-nilai pada dasarnya adalah relatif.Segala sesuatu ditentukan pada
relasi dengan waktu, tempat, generasi, dan kebudayaan. Di dalam pandangan
humanisme yang sepintas sudah di bahas di bahagian sebelumnya. Orang
juga disadarkan bahawa pengalaman masa lalu dapat di jadikan ukuran masa
akan datang.

Namun, jikan seorang humanis berbicara tentang “ kebenaran” atau “nilai-nilai


zaman” atau “nilai-nilai generasi” maka akan mengidentifikasikan generasi itu
dengan rapi dalam menggunakan waktu dibandingkan dengan pribadi lain.
Yang termasuk dalam kelompok natrualisme relatif adalah Pragmatisme dan
Logical Positivisme.

a. Pragmatisme
Natural pragmatis mempunyai tendensi untuk memperhitungkan factor-factor
yang relatif. Salah satu tokoh pragmatis John Dewey ( 1859-1952 )
mempertanyakan relasi antara nilai-nilai dengan ilmu pengetahuan. Apakah
ada relasi yang jelas antara yang kita ketahui secara kognitif dengan
perbuatan kita secara praktis. Bagaimana mengintegrasikan kemampuan
intelektual atau nilai intelektual dengan kemampuan praktis?
Pragmatisme memberikan ukuran pragma ( perbuatan, keaktifan, Tindakan )
untuk mengevaluasi atau mengukur segala sesuatu. Maka suatu perbuatan
haruslah ditentukan oleh “tujuan-tujuan”. Maka cara kerja yang menormalkan
efficiency atau efektivitas sebenarnya dilatar belakangi oleh filsafat
pragmatism.

b. Positivisme Logis
Logical positivisme juga mempunyai pengertian yang dekat dengan
pragmatism. Menurut pandangan positivisme logis, ini, etika hanya bersifat
deskriptif ( menguraikan ) dan bukan bersifat normative. Bersikap deskriptif
hanya untuk sikap-sikap atau felling dan “normative” hanyalah emosi.

8
Menurut Comte, ilmu pengetahuan haruslah bertanggungjawab untuk
menyelidiki dan menjelaskan fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara
fakta-fakta.
Apakah dalam Etika Kristian sama sekali bebas dari “logical positivisme” ini?
Suatu pertanyaan yang serius untuk dijawab. Sebenarnya Etika Kristian tidak
lepas dari filsafat ini. Banyak sikap-sikap yang nampaknya Rohani, namun
justru tidak alkitabiah.

Sebagai contoh berfikir positif untuk segala hal. Sebab berfikir positif untuk
segala hal tidaklah realistis, sebab yang negative pun merupakan fakta yang
nyata yang harus diterima realitasnya. Alkitab pun menyatakan tentang dosa
secara terus terang dan tidak secara positif. Dosa juga harus dihukum dan
upah dosa ialah maut, bukan positif.

II. Filsafat Idealisme


Setelah kita mempelajari Etika Naturalisme, maka dalam mempelajari Etika
Idealisme, kita harus memperhatikan paham-paham yang termasuk dalam
induk filsafat ini, iaitu:
1. Idealisme Elemental
Di dalam Idealisme elemental atau elemental idealism yang menjadi tekanan
utama adalah “kelebihan”.

Bahwa manusia mempunyai kelebihan dari Binatang yang kompleks dan juga
realistas yang melebihi kurun ruang-waktu. Terhadap naturalis, idealisme
memberikan jawapan melalui “suasana hati dan perasaan” ( mood and felling
), lebih dari huraian eksposisi yang meyakinkan sebagai pilihan.

Pengertian iman melebihi natur dalam konteks pengertian “super animality”


manusia, dalam membedakan kebenaran dan mempertahankan nama baik.
Pada satu segi idealisme juga dapat berhasil memelihara teori naturalisme
dalam generasi-generasi pengganti. Bahwa idealisme elemental adalah
usaha untuk memegang dan mempertahankan pandangan yang tinggi, dari
pemaksaan kekuatan, efek salah pengertian.

Termasuk kelompok ini adalah Polemarchus, Glaucon. Wujud idealisme akar


padi iaitu harus bersedia menerima pandangan umum tentang manusia dan
alam, untuk membuat suatu sikap moral yang objektif atau hanya merupakan
level sekunder.
Moral tidak diturunkan nilainya oleh hal-hal yang bersifat natur, kerana moral
tertuju pada realitas daripada kepada natur.

Sebagaimana Polemarchus menyatakan setiap individu mempunyai “hak”


maka dalam refleksi moden muncul pemikiran bahawa “yang baik” tidaklah
dapat ditentukan secara relative, kesenangan, kekuatan atau situasi dan
kondisi. Kerana di dalam idealisme elemental sudah muncul pengertian atau
idea, nilai-nilai yang bersifat mutlak.

1. Idealisme Sistematis
Untuk membuat idealisme menjadi pandangan yang lebih bersifat praktis

9
dalam penerapan, maka haruslah diwujudkan penekanan-penekanan yang
bersifat metafisik, sebagai contoh:

a. Idealisme Rasional
Tokoh pemikir kelompok ini adalah Plato, Aristoteles, dan Hegel. Plato
mendirikan sekolah yang diberi nama AKADEMIA.

Nama itu berasal dari nama kuil yang dipersembahkan oleh pahlawan yang
sudah dimitoskan, yang Bernama AKADEMOS. Sekolah ini di rencanakan
untuk menjadi pusat studi penyelidikan ilmiah, meskipun pada waktu
mendirikan sekolah, bukan lagi menjadi sesuatu yang asing. Namun sekolah
AKADEMIA yang didirikan oleh Plato inilah yang memberikan banyak
sumbangsih dalam dunia “ilmiah” hingga zaman moden ini.

Sehingga boleh dikatakan Plato adalah pelopor pendiri Perguruan Tinggi, yang
kemudian hari pada abad pertengahan dan abad moden berdiri university-
university yang di pelopori oleh gereja atau Teologi.

Dalam filsafat Plato ada tendensi yang juga terlihat dalam filsafat Yunani,
yakni mengutamakan rasio sambal menolak mitologi kuno. Namun demikian
menurut Plato, mite tidak bertentangan mutlak dengan rasio.

Kerana ada juga mite yang mempunyai unsur-unsur kebenaran. Kerana itu
dapat digunakan untuk menuraikan huraian filosofis. Acap kali yang terjadi
adalah rasio menemui jalan buntu, kerana menemukan batas wilayah yang
tidak terjangkau rasio. Khususnya mite dipakai untuk mengemukakan dugaan
-dugaan mengenai hal-hal “adikodrati” atau “aduniawi”, dan Nasib jiwa.

Ajaran tentang ide-ide adalah inti pengajaran Plato. Berbeza dengan orang
moden pengertian tentang idea bagi Plato bukannya bersifat subjektif
melainkan objektif mutlak. Idea-idea ada terlepas dari subjek yang berfikir.
Idea-idea tidak diciptakan oleh pikiran kita melainkan pemikiran kita
bergantung kepada idea-idea tersebut. Justru kerana idea-idea itu berdiri
sendiri, pemikiran kita dimungkinkan untuk berfikir tentang idea.

Dengan perkataan lain, bagi Plato pemikiran adalah menaruh perhatian


terhadap idea-idea. Dengan demikian untuk mengerti idea-idea, kita harus
melepaskannya dari pengertian yang subjektif-empiris.

Socrates mempunyai pengaruh yang kuat dalam filsafat Plato. Sebagaimana


Socrates tidak puas menyebut satu per satu perbuatan adil atau Tindakan-
Tindakan berani,

Melainkan ingin menyatakan apa itu keadilan dan kebenaran. Oleh sebab itu
Plato meneruskannya lebih jauh dari usaha Socrates tersebut.

Selain itu idea Plato juga di kenal di dalam ilmu pasti tentang garis, segitiga,
dan bulatan. Semuanya itu merupakan idea-idea yang diwujudkan. “ Yang
bagus” merupakan wujud dari “idea yang bagus”.

10
Bagi Plato dunia ada dua, iaitu “ Dunia indrawi” dan “dunia idea”. Di dalam
dunia idea tersebut sama sekali tidak ada perubahan, baik dalam bentuk
perkembangan maupun keruntuhan.

Paham Naturalisme dibandingkan dengan idealisme terlihat sempit, meskipun


natur itu nyata, namun bukan hanya realitas dan puncak segala-galanya.

Tradisi Socratis- Platonis-Aristotelian merupakan pandangan dan pendirian


dasar (basic conviction) yang sering disebut YUNANI KLASIK. Namun
disamping itu di dalam filsafat moden, yang juga sangat berpengaruh adalah
Rene Descartes, Leibniz, Hegel, Lotze, Roys, Hocking, dan Flewelling.

Menurut rasionalisme idealistis, human natur dengan prasangka paling baik di


Analisa oleh refleksi kritis di atas pengertian masyarakat secara menyeluruh,
dan pengertian manusia yang lebih luas dan itulah yang merupakan
pengertian utama idealisme.

Dalam hubungan dengan ilmu, kaum rasionalis mulai dengan suatu


pertanyaan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun
system pemikiran yang diturunkan dari idea yang menurut anggapannya
sudah jelas, tegas dan pasti, di dalam pemikiran manusia.
Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk “mengetahui” idea tersebut,
namun manusia tidak menciptakannya maupun mempelajari melalui
pengalaman.

Kerana “idea” sudah ada “di sana” sebagai bahagian dari kenyataan dasar. Ia
yang terlibat dalam kenyataan tersebut pun yang akan mengandung idea pula.
Jadi dalam pengertian inilah, maka pikiran tersebut di sebut pikiran itu
menalar.
Kaum rasionalis mempunyai prinsip bahawa kerana pikiran dapat memahami
prinsip, maka prinsip itu harus ada. Artinya, prinsip harus benar dan nyata.
Jika prinsip itu “tidak ada”, orang tidak mungkin akan menggambarkannya.

Prinsip itu di anggap apriori bukan pengalaman dan kerana itu tidak
dikembangkan berdasarkan pengalaman.
Kita juga harus ingat doktrin Kristian tidak di dasarkan pada pengalaman.
Bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari
prinsip tersebut. Menurut Plato, jika seseorang ingin mempelajari sesuatu,
seseorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum diketahui.

Tetapi jika ia belum mengetahui kebenaran tersebut, bagaimana ia dapat


mengenalinya? Plato berkata, bahawa seseorang tidak mungkin mengatakan
bahawa sesuatu itu benar jika ia sendiri belum mengetahui kebenaran
tersebut. Pernyataan tentang kebenaran harus didasari pengetahuan tentang
kebenaran tersebut. Kesimpulannya ialah bahawa manusia tidak mempelajari
apapun selain teringat apa yang telah ia ketahui (apriori).

Sebagai catatan tambahan, bahawa bagi rasionalisme, pikiran tidak sinonim


dengan otak. Jika Socrates melihat pengetahuan adalah kebajikan, maka

11
Plato melihatnya sebagai power “knowledge is power”.
Hegel juga merupakan tokoh idealis dengan rumusan thesis-antithesis-
synthesis. Maka system etika pun sebenarnya baginya adalah dalam garis
tersebut, yang tentunya juga sangat popular dalam konteks dunia moden ini
yang semakin permisif dalam semua aspek.

Tokoh-tokoh paham ini antara lain Immanuel Kant yang mendasarkan


pemahamannya pada hukum moral ( postulate = hukum, peraturan, dalil dll ),
bahawa hukum moral atau hukum Susila memberi perintah kepada manusia
sebagai perintah yang mutlak untuk berbuat baik. Kerana manusia dapat
berbuat baik, maka manusia harus berbuat baik. Di dalam buku Critique of
Pure Reason ia berusaha mendamaikan rasionalisme dan empirisime dalam
pengenalan.

Dapat di gambarkan bahawa:


1. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori
2. Empirisme mementingkan unsur-unsur posteriori.
Yang dimaksud dengan apriori adalah unsur-unsur bawaan, sedangkan unsur-
unsur posteriori adalah unsur-unsur pengalaman. Kedua hal tersebut di
analogikan dengan system induktif-deduktif.

Yang di maksud dengan proses pengenalan sebagai sintesis unsur apriori dan
posteriori dengan taraf:
- Indera
- akal – verstand
- rasio – Vernunft
menarik kesimpulan dari 4 kategori asas dan 12 kategori bentuk apriori dalam
taraf akal:

KATEGORI ASAS KATEGORI


KUANTITAS 1.Kesatuan
2. Kejamakan
3. Keutuhan
KUALITAS  Realitas, negasi
 Ketiadaan
 Pembatasan
HUBUNGAN  Substansi
 Kasualitas
 Resiprositas ( timbal balik )
MODALITAS  Kemungkinan
 Peneguhan
 Keniscayaan

Bagi Immanuel Kant, selain rasio murni ada juga rasio praktis. Rasio dapat
menjalankan ilmu pengetahuan. Kalau begitu rasio disebut rasio teoritis atau
rasio murni. Disamping rasio murni ada juga rasio praktis, iaitu rasio yang
mengatakan apa yang harus kita lakukan. Dengan perkataan lain rasio yang
memberi perintah kepada kehendak.” Barang kepunyaan orang lain harus di
kembalikan “.

12
b. Irrational Reaction
Sesudah masa Hegel yang terkenal dengan thesis-synthesis-antithesis reaksi
terhadap idealisme yang mutlak muncul suatu reaksi yang didasarkan spirit
anti intelektual.
Jika dalam era akal yang mutlak dengan pengakuan “without the world, there
is no God” maka dalam irrational reaction muncul dua versi, iaitu:

. Super Naturalistic religious


. Naturalistic and anti relegius

3. Exsistentialisme Idealism
a. Elemental Idealism
Karakteristik kehidupan kontemporer iaitu problem kemnanusiaan di atas
segala solusi rasional sebagai pelarian individu dari kehidupan yang tanpa
harapan, frustasi, subjektivitas yang kosong tidak ada lagi prinsip-prinsip
untuk memilih.

Hal khusus sebagai akibat Perang Dunia I dan II dan perang-perang local,
regional sebagai kelanjutannya. Sehingga sangat berpengaruh terhadap sikap
mental dan moral manusia.

b. Philosophical Exsistentialism
Pada aliran ada juga sub aliran yang bersifat theistis, seperti Karl Jaspers dan
juga bersifat atheistis seperti Sartre, Heiddeger.

Yang menjadi pusat renungan filosofical exsistensialism atau


exsistensialisme filosofis adalah manusia konkrit bukan manusia abstrak,
konseptual, dan universal. Sebagaimana di fahami filsafat-filsafat pada abad-
abad silam. Berbeza dengan Rene Descartes yang berkata. “ Saya berfikir,
maka saya ada”. Exsistentialism akan berkata “ saya ada, maka saya berfikir”
Pusat perhatian kepada subjek, sungguh serius.

Jean Paul Sartre menaruh perhatian kepada “kebebasan manusia”. Bertitik


tolak pada kebebasan manusia yang diciptakan dengan memiliki kebebasan
menentukan dan mengatur hidupnya sendiri. Implikasinya sesame manusia
dianggap sebagai ancaman bagi dirinya.
Tokoh eksistensialisme yang lain adalah Soren Kierkegaard yang mengajukan
keberatan terhadap filsafat Hegel, kerana dianggapnya abstrak.

Di dalam hidup kita ini menghadapi berbagai kesulitan. Oleh kerana itu hal-hal
tersebut hanya dapat diselesaikan dengan keputusan-keputusan yang konkrit.

Dengan mempelajari garis besar filsafat yang mempengaruhi system


pengambilan keputusan etis ini, kita dapat mempelajari seberapa jauh
pengaruh tersebut dalam Etika Kristian.

BAB 2

13
SISTEM ANALISA ETIKA

Langkah berikut adalah mengerti system Analisa etis, sebagai latar belakang
pengambilan keputusan etis; termasuk Etika Kristian atau Etika Teologis.

I. Latar Belakang

Hal ini sangat penting dalam menganalisa pandangan seseorang, sehingga


sedikit sebanyak kita mengetahui latar belakang yang mempengaruhi
seseorang terhadap segala sesuatu; baik yang konkrit ataupun yang abstrak.
Misalnya tentang Thomas Aquinas, Marthin Luther dan yang lain. Selain latar
belakang biografi seseorang perlu juga dipelajari konteks zaman, kebudayaan
yang berhubungan.

II. Pokok Permasalahan

Apa yang menjadi isu utama dalam persoalan yang sedang menuntut
pengambilan keputusan etis tersebut. Dengan demikian kita tidak
mencampuradukkan permasalahan. Terutama jika ada masalah yang bersifat
spesifik dan harus didekati secara spesifik juga dengan tanpa meninggalkan
prinsip umum.

III. Argumentasi Etis


ada beberapa tipe argumentasi dalam system pengambilan keputusan etis
Kristian. Pada garis besar rgumentasi tersebut adalah:

1. Argumentasi Deontologi Etis


Pengertian deontology bererti “penting”, “harus”, atau “perintah”, yang secara
natur penganut argumentasi ini adalah bersifat absolutis. Tidak seorangpun
dapat membantah apa yang mereka katakan.

Tentu saja dalam menanggapi kasus-kasus yang semakin terkait penganut


paham ini akan mengalami banyak konflik. Demikian juga dalam menghadapi
situasi yang khusus, yang harus didekati secara khusus, argumentasi ini akan
mengalami banyak kesulitan. Misalnya, bagaimana menjawab perbezaan,
membunuh dalam peperangan dan membunuh dalam perkara criminal.
Bagaimana seorang petugas keamanan yang terpaksa menembak?

2. Argumentasi Konsekuensi Etis

Istilah yang lain digunakan untuk maksud ini adalah argumentasi teleologis.
Meskipun kedua istilah ini dapat dibezakan dalam hal-hal tertentu. Seseorang
melakukan kebajikan, kerana dengan demikian ia akan menerima pahala.
Pahala menjadi tujuan perbuatan baiknya, atau sebagai akibat atau
konsekuensi, perbuatan baik.

Perbuatan membunuh tidak dilihat sebagai kesalahan, melainkan


kesalahannya hanya dilihat pada akibatnya atau konsekuensinya. Hal ini juga
sama dengan pragmatism atau Utilitarianisme yang pada dasarnya memakai

14
argumentasi konsekuensi perbuatan atau Tindakan. Demikian juga dalam
Hendonisme yang menghadirkan rasa sakit dan kesulitan dengan cara
mengizinkan segala cara yang penting membahagiakan atau menyenangkan.

3. Argumentasi Personal Etis


Argumentasi ini sebenarnya bukan mentaati hukum, tidak juga prinsip yang
absolut, melainkan sebagai ekspresi perasaan pribadi atau feeling peribadi,
hati Nurani atau kasih. Sudah tentu penyelesaian yang bersifat umum sulit
diselesaikan dengan argumentasi seperti ini. Membunuh menjadi salah jika
“ saya merasa membunuh itu salah “ atau “ hati nuraniku mengatakan bahawa
itu salah”.

BAB 3
ETIKA TEOLOGIS

Kita sudah mencoba mempelajari hal-hal berkaitan dengan Etika, secara


umum. Namun sebelum masuk lebih jauh ke dalam Etika Teologis, atau Etika
Biblika kita perlu memperhatikan bagaimana Gereja ( dalam pengertian
pemikir Kristian ) melihat relasi antara Etika Falsafi dengan Etika Biblika-
Teologis.

Pada dasarnya ada tiga tokoh yang dapat dikatakan mewakili sikap Kristian
terhadap Etika Filosofis dalam sejarah Gereja, iaitu:
1. Agustinus (354-430) yang mengusulkan pengertian revisionism. Bahawa
Etika Kristian bertugas merevisi, mengoreksi, dan membaiki Etika Falsafi.
2. Thomas Aquinas (1225-1275) dengan usulan sintesis yang
menggabungkan Etika Falsafi dengan Etika Kristian sedemikian

Rupa sehingga keduanya mempertahankan identitas masing-masing menjadi


suatu keseluruhan yang baru, yakni Etika Falsafi menjadi bahagian bawah
yang bersifat khusus.
3. F. E. D Schleiermacher (1768-1834) dengan usulan diaparalelisme. Ertinya,
bahawa Etika Filosofis dan Etika Teologis sebagai gejala-gejala yang sejajar
(paralel).

Terhadap masing-masing sikap ini kita harus mengajukan keberatan-


keberatan tertentu. Oleh Calvin sebenarnya sikap etis teologis terhadap etika
filosofis bukan ketiga-tiganya, melainkan keselamatan manusia dengan
semua aspek-aspeknya. Dengan demikian bukan merevisi, bukan
mensintesiskan keduanya dan juga bukan memparalelkan melainkan
menyelamatkan.

I. Sumber-Sumber Etika Kristian

Agama Kristian adalah agama Penyataan. Ertinya adanya agama Kristian


adalah merupakan respon terhadap penyataan Allah. Allah yang menyatakan
diriNya ( self discloses ) kepada manusia sehingga manusia mengenal Dia.
Dengan mengenal Allah, manusia mengenal dirinya sendiri, yang diciptakan
seturut gambar dan rupa Allah.

15
Kej 2:16,17 kita menemukan bahwa setelah Allah menciptakan manusia dan
menempatkannya di Taman Eden, Allah memberikan “satu perintah” dan “satu
peraturan” iaitu supaya manusia tidak memakan buah pengetahuan yang baik
dan yang jahat. Peraturan tersebut diberikan dalam bentuk immperatif
(perintah). Itu bererti bahawa peraturan tersebut bersifat mutlak dan
normative.

Etika Kristian bersifat normative. Ertinya, bahawa norma-norma etis tersebut


bersifat mutlak, yang bersifat conditio sin quanon. Harus diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun yang menjadi sumber Etika Kristian adalah
Allah sendiri. Namun Allah telah menyatakan kehendakNya, yang dapat kita
kenal di dalam Alkitab. Dengan demikian, Alkitab adalah sumber Etika
Kristian atau Etika Teologis.

Puncak penyataan Allah, sebagaimana telah diajarkan di dalam Alkitab adalah


Tuhan Yesus Kristus. Dengan demikian dapat dikatakan bahawa yang
menjadi sumber Etika Kristian adalah:

1. Allah
2. Alkitab
3. Tuhan Yesus Kristus

Ketiga sumber Etika Kristian ini merupakan sumber mutlak, dari mana kita
tahu norma-norma etis Teologis, untuk mengambil keputusan etis dalam
kelakuan hidup sehari-hari.
Selain itu adalah pertimbangan-pertimbangan yang perlu di perhatikan dalam
melaksanakan kehidupan etis praktis, iaitu:
a. Sumber dari luar ( kosmis,natur,kultur)
b.Sumber dari dalam (hati Nurani)

1. Allah
Allah mencipta langit dan bumi dengan segala isinya. Alkitab pertama-tama
memperkenalkan Allah dengan Allah sebagai pencipta langit dan bumi dan
semua yang diciptakan oleh Allah sungguh sangat baik. Di dalam Alkitab juga
ditemukan sifat-sifat Allah yang menyatakan diriNya kepada manusia, baik
sifat-sifat yang dapat digapai, difahami oleh manusia mahupun tidak tergapai
oleh manusia.

a. Allah adalah Esa


Ulangan 6:4,5 atau Mrk 12:29 dan ayat-ayat yang lain menjelaskan bahawa
keesaan Allah adalah di dalam Perjanjian Lama ditekankan sekeras mungkin
oleh kerana selain YHWH tidak ada Allah lain. Umat Tuhan hanya mempunyai
satu Allah, iaitu Allah YHWH.
Singularitas Dei juga menunjukkan simplicitas Dei bahawa didalam Tuhan
Allah ada sifat-sifat yang berdampingan.

Tidak ada kejamakan dan tidak ada sifat-sifat yang berlawanan di dalam
diriNya. Keesaan Allah ini menunjukkan kesempurnaanNya. Sedangkan
implikasi etisnya bagi orang percaya adalah tidak mendua hati untuk
menyembah ilah lain, selain Allah atau yang lain yang diperilah. Hal ini sangat

16
tegas dikemukankan di dalam Taurat seperti di dalam Kel 20:3. Di dalam 10
hukum kita juga menemukan akibat penyembahan kepada berhala atau yang
ditujukan kepada ilah-ilah.

Selain itu Allah YHWH adalah Allah pembebas, yang membebaskan umatNya
dari penjajahan dan penindasan. Dengan demikian pengenalan akan Allah
YHWH juga merupakan kemerdekaan yang sejati. Adapun sifat-sifat yang
termuat di dalam keesaanNya adalah:
- Kebebasan Allah: Kebebasan mutlak.
- Allah tidak berubah (kekal): sempurna, tidak mengalami perubahan atau
pertumbuhan.

Hal ini juga menyangkut doa-doa orang percaya. Doa merupakan suatu sikap
dan keputusan etis orang percaya, oleh kerana Allah adalah orientasi iman.
Doa memang bukan usaha untuk mempengaruhi kekekalan Allah supaya
menjadi relative. Kerana Allah yang kekal juga sebagai pencipta waktu maka
Ia juga tidak dipengaruhi oleh waktu, situasi atau kondisi. John Calvin
mengatakan bahawa pada dasarnya doa adalah:

- Sebagai penyataan iman (kepercayaan)


- Kita dihindarkan dari bahaya-bahaya, keinginan yang memalukan.
- Akan lebih berterima kasih kepada Allah.
- Memuliakan Allah.
- Menguatkan keyakinan.

Menyadari bahawa Allah adalah Esa maka orang Kristian haruslah berdoa
hanya kepada Allah Yang Esa. Dengan kata lain, doa haruslah bersifat vertical
bukan horizontal.

Bukan berorientasi kepada lingkungan (sesame,masyarakat,organisasi atau


pemerintah) namun berorientasi kepada Allah Yang Esa Pencipta dan juga
Pemelihara.
Kerana Allah juga sumber Etis, maka manusia tidak boleh menyebut nama
Allah dengan sembarangan atau sia-sia, sebagaimana tertulis didalam Kel
20:7. Tuhan memandang salah, orang yang menyebut nama Allah dengan sia-
sia atau sembarangan.

Konsekuensi atau implikasi etis terhadap Allah yang Esa itu juga dihubungkan
dengan pengudusan hari Sabat. Beribadat pada hari yang teah Ia khususkan,
bukan kerana tradisi kulturis, namun berdasarkan penetapan dan penyataan
Allah sendiri kepada umatNya. Bagi orang Kristian beribadah kegereja
bukanlah suatu Tindakan etis yang relative, melainkan normative. Tidak ada
alasan apapun bagi seorang Kristian untuk beribadah pada hari minggu.

Bagi orang Israel beribadah di Bait Allah atau sinagoge merupakan aktivitas
umat Allah yang bersifat normative.
Dalam hubungan yang horizontal umat Tuhan haruslah: Menghormati orang
tua, tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak menjadi saksi dusta
bagi sesame, dan tidak tamak terhadap milik orang lain.

17
b. Allah adalah Suci

Di dalam PL dalam hubungan dengan soteriology, maka kesucian Allah


ditonjolkan, oleh kerana dalam konfrontasi dengan dosa dan menyelamatkan
manusia dari dosa. Allah membebaskan, menyelamatkan umatNya adalah
Allah yang kudus. Yang tidak mahu dan tidak boleh dicemari dengan apa pun
yang tidak kudus. Bangsa Israel adalah bangsa yang kudus untuk misi yang
kudus dari Allah bagi dunia.

Implikasi etis bagi sifat Allah yang kudus ini adalah bahawa bangsa yang
melayani Allah haruslah bangsa yang kudus, sebagaimana kita baca dalam Im
11:44. Di dalam sejarah PL, kita bertemu dengan adanya suatu pergumulan
sepanjang sejarah antara karya YHWH yang menyucikan umatNya dan kuasa-
kuasa yang menentang YHWH dan yang ingin mencemarkan bangsa Israel.

Dengan karya Tuhan Yesus Kristus di dalam PB maka undangan bagi sekalian
bangsa untuk menjadi bangsa yang kudus terbuka lebar-lebar. 1Pet 1:15 juga
ditemukan panggilan untuk menjadi kudus. Kita juga temukan bahawa dalam
konteks PB setelah penggenapan karya penebusan Kristus pengudusan
bersifat objektif dan subjektif. Dikatakan pengudusan bersifat objektif adalah
dalam pengertian soteriologis-Kristologis, ertinya pengudusan yang secara
total merupakan karya Allah.

Sedangkan pengudusan yang bersifat subjektif adalah bersifat etis. Ertinya


dengan modal pengudusan yang bersifat objektif itu, kita hidup kudus dengan
sikap “tidak” terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kekudusan
Allah. Orang Kristian haruslah kudus dan memang mendapat sebutuan orang
kudus.

c. Allah Adil dan Benar

Kata tsadik dalam PL dan dikaios dalam PB mempunyai erti:


- berbuat sesuai dengan norma-norma (benar)
- Memelihara norma-norma (adil)
Oleh kerana Allah yang tsadik memberi pahala kepada orang yang taat dan
memberi hukuman kepada orang yang melanggar hukum.

Allah adalah adil dan benar. Kita dapat mengenal kebenaran (berbuat
sesuaidengan norma) dan adil (memelihara norma) adalah dari Allah sendiri.
Dengan segala karya dan penyataanNya kita mengenal di dalam dan melalui
Alkitab, baik PL mahupun PB.
Kebenaran yang sempurna dituntut oleh Allah terhadap umatNya
sebagaimana ditulis di dalam Mat 5:48 “Hendaklah kamu sempurna, kerana
Bapamu di surga sempurna”.

Maka jika diukur dengan ukuran keadilan dan kebenaran Allah, tepatlah apa
yang dikatakan oleh Paulus di dalam Rm 5:1, yang membuat hati Nurani dan
hidup orang percaya memperoleh damai dengan Allah. Dengan demikian
orang Kristian haruslah hidup adil dan benar, kerana percaya dan menjadi
umat Allah yang adil dan benar.

18
d. Allah Adalah Kasih

Kasih agape adalah sifat Allah dan hakikat Allah. Kerana kasihNyalah maka
keselamatan manusia berdosa dapat terealisasi. Di dalam PB kasih Allah itu
menjadi semakin terang dengan kedatangan dan penggenapan karya Tuhan
Yesus Kristus.

Yang dikasihi Allah adalah manusia berdosa, yang sebenarnya tidak


mempunyai sifat-sifat yang diinginkan Allah. Dengan perkataan lain
sebenarnya objek kasih Allah itu tidak sepatutnya dikasihi.
Allah yang mula-mula mengasihi manusia bukan sebaliknya. Kasih agape
bersifat aktif bukan pasif. Bukan dikasihi melainkan mengasihi. Bertindak
bergerak, bukan menunggu. Kasih bersifat normative, kerana merupakan
perintah. FT mengajarkan dan memerintahkan umat untuk mengasihi.

Seringkali kita mengalami kesulitan untuk membezakan sifat-sifat Allah yang


dalam keterbatasan pengertian kita, saling bertentangan. Namun, justru di
situlah kita melihat kebesaran dan kesempurnaan Allah; yang sifatNya tidak
saling kontradiksi atau paradoks. Kasih Allah adalah sempurna, yang
kesempurnaanNYa kita kenal di dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus.

Oleh kerana itu manusia yang mengenal Allah yang mengasihi haruslah
mewujudkan kasih itu di dalam kehidupan sehari-hari.
Pewujudan kasih tersebut diungkapkan dalam dimensi: vertical terhadap Allah,
horizontal terhadap sesama manusia atau dalam hubungan sosial dan
internal dengan diri sendiri.
Ketiga dimensi ini berjalan secara simultan. Dengan kata lain, orang yang
mengasihi Allah pasti dan harus mengasihi sesama dan diri sendiri. Tidak
mungkin ketiganya dipisahkan satu dari yang lain.

e. Allah Maha Kuasa

Berbicara tentang kekuasaan kita dibawa kepada pengertian:


- Wewenang (otoritas): hak untuk berbuat sesuatu, sebagaimana dimiliki oleh
Tuhan Yesus eks ousia.
- Kemampuan (ability and capability), power, dinamika: kemampuan untuk
membuat sesuatu. Dunamis yang Allah berikan kepada murid dalam KPR 1:8

Allah mempunyai wewenang untuk melakukan segala sesuatu dan juga


melakukan segala sesuatu. Dalam penciptaan terlihat jelas bahawa Allah
mewujudkan KemahakuasaanNya dalam menciptakan. Dia mencipta dari
yang tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilio), kerana Dia Yang Maha Ada.
Dia adalah Kurios mutlak. Tidak ada sesuatu yang dapat meniru
kekuasaanNya.

Kendatipun Dia Maha Kuasa sehingga Dia dapat dan berhak melakukan
segala sesuatu namun Dia tidak pernah menyangkali DiriNya sendiri. Dia juga
tidak akan berbuat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hakikatNya dan

19
Dia tidak dapat berbohong.
Dia juga tidak dapat berubah. Dengan kata lain sifat-sifat Allah tidak dapat
dibicarakan an sich atau per se melainkan dalam kaitan satu sifat dengan
sifat-sifat yang lain.

Orang Kristian harus melihat bahawa YHWH adalah Maha Kuasa. Oleh kerana
itu harus memperhadapkan segala kekuasaan yang ada, baik yang terlihat
maupun yang tidak terlihat dengan Allah Yang Maha Kuasa.
Tidak dapat dibenarkan jika orang Kristian menyamalan “kuasa gelap”
seimbang dengan “kuasa terang” atau kuasa Allah. Sebab Allah adalah Maha
Kuasa.

Dengan demikian mengenal Allah Yang Maha Kuasa mempunyai implikasi


etis bahawa orang Kristian yang mengenal Dia berkewajiban untuk
merendahkan diri di hadapanNya, menyembah Dia, mentaati, dan memuliakan
Dia.

f. Allah Maha Tahu


Allah Maha Tahu yang tidak terikat oleh dimensi ruang, tempat dan waktu dan
dimensi keterbatasan lainnya.

Demikian juga pengenalan Allah terhadap segala sesuatau adalah mutlak dan
sempurna, tanpa diinformasikan terlebih dahulu kepadaNya. Sehingga bagi
Allah tidak ada misteri.
Pengenalan Allah akan segala sesuatu yang akan terjadi (dimensi waktu)
tentu berbeza dengan pengertian-pengertian umum seperti yang dikenal oleh
bangsa-bangsa bukan Israel tentang dewa-dewanya.

Kerana Allah adalah pencipta, maka pengenalan dan pengetahuanNya tidak


tergantung kepada kejadian. Dalam hal ini, kita tidak akan banyak bicara
secara doktrin teologis. Akan tetapi, lebih terfokus pada pembahasan etis
atau dampak etis bagi orang percaya, yang percaya kepada Allah Yang Maha
Tahu, iaitu berhubungan dengan perbuatan atau tingkah laku kita sebagai
orang Kristian.

Allah Yang Maha Tahu adalah sumber etis orang Kristian, maka sebagai orang
Kristian kita harus sentiasa siuman bahawa segala sesuatu yang ada di dalam
hati (motivasi) dan perbuatan (manifestasi) baik yang dilihat oleh orang lain,
mahupun yang tidak terlihat oleh orang lain harus dilakukan dengan
tanggungjawab kepada Allah. Di sinilah sering kali orang beragama
(terutamanya Kristian) diuji kepercayaannya.

Apakah benar-benar ia seorang yang secara praktis maupun teoritis adalah


seorang theistis atau sebaliknya secara teoritis adalah theitis, namun secara
praktis adalah ateis.
Sikap terhadap kebutuhan peribadi (diri sendiri) baik secara fizik, psikis,
spiritual terbuka kepada Allah Yang Maha Tahu, dengan semakin mempererat
hubungan dengan Dia. Doa-doa juga harus dalam pengucapan kepada Allah
Yang Maha Tahu,

20
Dengan tidak “mendikte” Allah untuk “mengingatkan” pengetahuan Allah.
Allah Yang Maha Tahu juga sangat mengetahui dan mengenal siapa manusia
(kita), sehingga hal itu juga memungkinkan kita untuk bersikap bahawa kita
harus semakin terbuka kepada Dia dan tidak menutup diri atau berdiri di
dalam segala kelamahan dan kekurangan kita.
Allah yang mempunyai sifat-sifat serba unggul (supremasi), seperti Esa, Suci,
Adil dan Benar, Kasih, Maha Kuasa, Maha Tahu

Adalah sumber Etika Kristian. Dialah yang pertama-tama memberikan norma-


norma bertingkah laku kepada manusia ciptaanNya. Semua norma itu
bersifat normative, bukan relative. Untuk mengerti bagaimana kita harus
bertingkah laku dengan sumbernya Allah sendiri. Salomo dalam Ams 1:7
menulis bahawa takut kepada Allah adalah permulaan segala pengetahuan.
Konsekuensi etisnya, pertama-tama manusia harus mengenal Allah terlebih
dahulu supaya tingkah lakunya sungguh etis teologis.

2. Alkitab

Alkitab adalah sumber Etika Kristian, sebab Alkitab adalah firman Allah. Kita
mengenal Allah menyatakan yang menyatakan diriNya dan kehendakNya
adalah di dalam dan melalui Alkitab. 2 Tim 3:16 dijelaskan manfaat Alkitab
bagi orang percaya, iaitu:
a. Untuk mengajar (pros didaskalian)
b. Untuk menyatakan kesalahan (pros elegkhon)

c. Untuk memperbaiki kelakuan (pros epanorthosin)


d. Untuk mendidik orang dalam kebenaran (pros paidiean ten en dikaiosune)
Alkitab adalah sumber Etika Kristian, maka orang Kristian harus berorientasi
kepada Alkitab dalam pengertian: membaca, menafsirkan, menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Jika kita perhatikan khotbah Tuhan Yesus di bukit, nyata bahawa Dia datang
bukan

Untuk mengubah PL atau Taurat; bahkan satu “yod” pun tidak akan diubahNya,
sebagaimana kita baca dalam Mat 5:17-48. Justru Tuhan Yesus memberikan
tafsiran yang lebih tinggi terhadap Taurat, dibandingkan dengan penilaian
orang Yahudi selama ini.

Orang Kristian yang baik haruslah membaca Alkitab. Menerima Alkitab adalah
Firman Allah merupakan sikap etis yang mendasar bagi orang Kristian.
Sehingga system pengambilan keputusan etis Kristian didasarkan atas norma
-norma alkitabiah dan tidak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi konteks.
Memperhatikan 2Tim 3:16 kita dapat melihat bagaimana berdayagunanya
Alkitab.

a. Alkitab Berguna Untuk Mengajar

Kata yang di pakai adalah didaskalian di tulis dalam kasus akusatif singular
yang boleh diterjemahkan sebagai instruksi ( perintah, pelajaran ). Useful for
instruction yang bererti perintah, aturan, dan juga ajaran.

21
Dengan demikian Alkitab mempunyai nilai didaktis namun juga mempunyai
nilai normative, yang bersifat perintah mutlak (hanya untuk dilaksanakan
bukan untuk didiskusikan atau dipertanyakan apalagi diperdebatkan)

Sebagai sumber Etika Kristian, Alkitab merupakan sumber pengajaran,


pengertian tentang kehendak Allah bagi setiap segi kehidupan manusia yang
sudah dipulihkan relasinya dengan Allah. Memang orang Kristian
diselamatkan bukan keranan perbuatan baiknya atau kelakuannya, melainkan
kerana kasih karunia Allah berdasarkan karya pengorbanan Tuhan Yesus
Kristus.

Namun bagi orang yang telah mengalami pembaharuan relasi, sebagai orang
Kristian, Alkitab merupakan referensi pengajaran. Bagaimana harus bersikap
dan bertingkahlaku menormakan Alkitab. Pengajaran teologia praktis dan
praktikanya teologi harus bersumber pada pengajaran Alkitab. “Apa kata
Alkitab?” Dengan demikian Alkitab mempunyai otoritas dan orng Kristian
harus mengakui otoritas Alkitab.

Salah satu ciri khas teologi kontemporer adalah tidak menerima otoritas
Alkitab, bahkan melecehkannya. Kerana itu sikap terhadap Alkitab
menentukan sikap etis atau kelakuan sehari-hari.

b. Alkitab Bermanfaat Untuk Menyatakan Kesalahan


Kata Yunani yang di pakai adalah pros elekhon dari kasus akusatif singular
juga. Yang diterjemahkan sebagai penghukuman orang berdosa.

Dengan demikian ada indikasi bahawa Alkitab tidak menutupi kesalahan atau
dosa seseorang baik yang bersifat peribadi mahupun yang bersifat kolektif.
Semua tokoh yang di dalam Alkitab di yatakan kesalahan, kelemahan, dan
dosanya secara terus terang. Bahkan Raja Daud yang merupakan figure raja
yang dinanti-nantikan oleh bangsa Israel sekalipun, juga tidak ditutupi
kesalahannya terhadap Uria dan juga sekaligus pertobatannya, yang
menghasilkan Mazmur 51.

Salomo sebagai raja yang paling berhikmat pun tidak ditutupi kesalahannya
oleh Alkitab. Demikian juga dengan leluhur Israel, Abraham, Ishak, Yakub
kesalahan mereka tidak ditutupi melainkan dinyatakan. Maka jika manusia
ingin mengenal dirinya, bagaiman yang sebenarnya dapat belajar dari Alkitab.
Alkitab juga menyatakan bahawa semua orang berdosa dan seorangpun tidak
ada yang benar, Rm 3:10,23.
Segala Tindakan yang negative yang tidak berkenan kepada Allah atau yang
tidak sesuai dengan kehendak Allah, dinyatakan di dalam Alkitab. Oleh kerana
itu orang Kristian tetap terpanggil berdasarkan Alkitab, untuk menyatakan
kesalahan orang (dunia) supaya bertobat. Sebab jika tidak bertobat akan
menerima hukuman kekal.

c. Alkitab Bermanfaat Untuk Memperbaiki Kelakuan

Kata pros ephanorthison juga di tulis dalam kasus akusatif singular yang
diterjemahkan dalam Bahasa inggeris correcting, restoration dengan demikian

22
Alkitab mempunyai manfaat untuk mengoreksi dan memulihkan Kembali
kelakuan yang salah, yang menyeleweng dari kehendak Allah. Sebab
kelakuan manusia seharusnya suci,

Berkenan kepada Allah, penuh kasih, baik kepada diri sendiri mahpun kepada
sesama. Namun, kerana dosa kelakuan manusia menjadi tidak sesuai
dengan yang disebut tadi. Alkitab dapat memperbaiki, merestorasi setelah
mengoreksi kelakuan bengkok. Sebab di dalam Alkitab itulah orang tahu
mana yang bengkok dan mana yang lurus yang sesuai dengan kehendak Allah.
Roh Kudus akan memampukan orang percaya untuk hidup sesuai dengan
kehendak Allah yang telah tersurat dalam Alkitab.

d. Alkitab Bermanfaat untuk Mendidik dalam Kebenaran

Setelah orang dibenarkan di dalam iman, maka ia harus membaca, belajar dan
mengerti Alkitab, sehingga dapat dituntun dalam kebenaran. Sebagai pendidik,
Alkitab akan menuntun orang percaya untuk hidup benar, sesuai dengan
pembenaran yang telah diterima dari Allah berdasarkan karya penebusan
Tuhan Yesus Kristus. Dengan demikian pengetahuan tentang kebenaran
diperoleh dari Alkitab.

Selain itu secara sistematis Alkitab dinyatakan mempunyai sifat-sifat hakiki,


sebagai firman Allah, iaitu:
- Tidak mungkin salah (infallibilitas)
- Syarat mutlak (necessitas)
- Berkuasa (authoritas)
- Cukup (sufficientia)
- Terang (perspicuitas)
- Mencapai maksud (efficax)
- Merupakan kesatuan (unitas)

Kita tidak membicarakan doktrin Bibliologi namun untuk melengkapi


pengertian bahawa Alkitab sedemikian penting dan normatifnya dalam
kehidupan orang percaya, baik juga kita mengerti secara dogmatis.
Memperhatikan sifat-sifat Alkitab bahawa Alkitab tidak mungkin salah. Dari
pengertian inspirasi, maka menjadi alasan yang akurat untuk menyatakan
bahawa Alkitab adalah sumber etika Kristian.

Dengan demikian Etika Kristian melihat bahawa sumber inspirasi Alkitab


adalah Allah sendiri. Dengan kata lain, etika Kristian menerima bahawa Alkitab
adalah Firman Allah.
Jika Alkitab merupakan syarat mutlak, maka Alkitab adalah sumber
pengenalan kepada Allah dan kehendakNya. Orang Kristian yang ingin
mengerti kehendak Allah untuk mengambil keputusan etis Kristian haruslah
menggunakan Alkitab sebagai pendulum pengambilan keputusannya.

Bukan berorientasikan kepada dirinya sendiri, pendapat orang lain


(masyarakat umum), situasi sekitar; melainkan kepada Alkitab.
Alkitab berkuasa tidak bererti memaksakan kehendak untuk mendapat
perhatian, namun yang jelas barangsiapa tidak menaati kehendak Allah yang

23
telah dinyatakan di dalam Alkitab, pasti mendapat hukuman. Jadi Alkitab
bukan dipergunakan hanya sekadar proforma.
Alkitab mempunyai sifat cukup. Dilihait dari segi Etika Kristian jelas bahawa
Alkitab merupakan system pengambilan keputusan etis yang cukup memadai,
tanpa ditunjang oleh tambahan-tambahan tradisional dan semacamnya.
Reformasi menghasilkan paham “sola scriptura”, hanya Alkitab, maka norma
etis Kristian juga “sola scriptura”. Dengan perkataan lain Alkitab adalah norma
normans, norma segala norma.

24

Anda mungkin juga menyukai