Anda di halaman 1dari 3

Parahita Janu Arundati

XI MIPA 3 / 20

Kala Kembali

Tanggal 31 Desember, pukul sebelas malam. Ingar-bingar Kota Shanghai masih terlalu sepi
bagiku. Entahlah, entah mereka yang tidak ingin aku ikut serta, atau aku yang tidak mau
menganggapnya ada. Satu–dua titik salju turun, dinginnya kala itu menambah rasa sepiku. Waktu
menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh lima menit. Aku masih harus menandatangani tujuh ratus
buku lagi. Ya, aku adalah seorang penulis terkenal. Buku terbaruku akan dipasarkan tiga minggu lagi,
dan kini aku sedang memberi tanda tangan di beberapa buku sebagai gift untuk pembacaku.

Pagi buta pukul dua, aku mendengar kabar kematian rekanku yang tinggal di London. Akhirnya
aku ikut penerbangan kedua hari itu menuju London. Kalut sudah pikiranku, bukankah pada pertemuan
terakhirku dengannya, dia terlihat baik-baik saja? Ah, tapi bukankah tidak ada manusia yang baik-baik
saja?

Pesawat yang ku tumpangi landing dengan sempurna. Segera ku pesan taksi menuju rumah
duka. Terlihat sedikit sepi, hanya ada beberapa orang menggunakan pakaian berwarna gelap melayat.
Tapi, tidak ada seorang pun yang menggunakan kain hitam tanda belasungkawa. Mana keluarganya? Ku
tanyakan itu pada salah satu teman dekanya. “Dia meninggalkan keluarganya sejak dia tinggal di
London. Aku tidak tau dimana keluarganya sekarang,” kata teman dekatnya.

Aku berpikir sejenak setelah mendengar hal itu. Bukankah aku juga meninggalkan keluargaku
sejak aku berkuliah sastra di Shanghai? Bagaimana nanti jika dalam upacara pemakamanku tidak ada
satupun keluargaku? Bagaimana nanti jika tidak ada yang mengurus mayatku? Bagaimana nanti jika
keluargaku bahkan tidak tau jika aku mati?

Aku adalah penulis terkenal yang kesepian. Aku adalah seseorang yang pandai menguatkan
orang lain lewat tulisanku, padahal aku sendiri hancur. Aku adalah seseorang yang pandai membuat
publik mencintaiku, padahal aku membenci diriku.

Segera ku pesan tiket pesawat menuju Taipei, ibu kota Taiwan, Kota kelahiranku. Aku senang
karena telah menemukan alasan kesepianku, namun di sisi lain aku juga merasa takut. Akankah
keluargaku menerimaku kembali? Akankah mereka memaafkanku? Masihkah mereka mengingatku?

Ah, tenangnya Taipei sangat berbeda dengan ingar-bingar Shanghai. Entah kapan terakhir kali
aku menginjakkan kakiku di Taipei, aku sudah lupa. Segera ku naiki subway menuju stasiun dekat
rumahku. Kemudian aku berjalan dari stasiun ke rumahku sambil mengingat-ingat jalan dan bernostalgia
di jalan yang ku lewati. Sudah banyak berubah tentunya, karena aku meninggalkan tempat ini sejak aku
delapan belas tahun.
Sudah tampak bangunan rumahku dari sudut gang kecil. Ku lihat ibuku. Terpaku. Beliau duduk
di kursi roda sambil melamun. Kemudian beliau menoleh kepadaku, tersenyum. Ah, Tuhan... hancur
hatiku melihatnya sakit. Tetesan air mata berhasil lolos dari mataku. Ku dekati ibuku,

Aku : “Bu, di luar dingin,”

Ibu : “Selamat tahun baru, xiao er! Apa kabar? Aku menunggumu,”

Xiao er adalah panggilanku ketika aku masih kecil. Bahkan ibuku mengingatnya.

Kami kemudian masuk ke dalam rumah. Terkejut kakak laki-laki ku ketika melihatku
mendorong kursi roda ibu memasuki rumah. Begitu juga ayahku dan adik perempuanku. Kakak laki-
lakiku kemudian menceritakan bahwa tiga tahun terakhir ibu sakit, beliau merindukanku. Beliau
menungguku di depan rumah setiap hari.

Tuhan, berdosakah aku selama ini? Bahkan ibuku menungguku pulang setiap hari ketika aku
melupakan dari siapa aku dilahirkan.

Segera ku peluk lagi ibuku. Beliau berkata,

Ibu : “Aku sangat merindukanmu nak, benar benar ibu merindukanmu. Ibu ingin mencarimu, tapi
ibu tidak tahu kau dimana,”

Aku mengangguk pelan, meyakinkannya bahwa kini aku kembali.

Malam harinya aku tidur dengan ibuku, bercerita banyak tentang hidupku, tentang petualanganku
yang sering terbang dari benua satu ke benua lain, hingga akhirnya aku kembali pulang. Aku berjanji
pada ibu, aku akan mengunjunginya setiap bulan.

Seminggu sudah aku di Taipei, aku harus kembali ke Shanghai untuk peluncuran buku terbaruku.
Ibuku menahanku untuk pergi, taku taku tidak kembali lagi. Tapi ku yakinkan kepadanya bahwa bulan
depan aku akan kembali. Ku berinya fotoku.

Aku : “Bu, aku pergi dulu. Ada pekerjaan yang harus ku lakukan, ini fotoku. Jika nanti ibu
merindukanku, lihatlah fotoku. Aku berjanji bulan depan aku akan kemari lagi,”

Ibuku menerima foto polaroid yang ku berikan. Aku kemudian segera berangkat menuju
bandara, lalu terbang lagi ke Shanghai.

Proses peluncuran buku terbaruku berjalan lancar. Hanya butuh dua hari buku itu habis dan
penerbit butuh menerbitkannya lagi untuk kedua kalinya.

Kini waktunya aku mengunjungi ibuku lagi. Ah, tidak sabar aku menceritakan hal
membahagiakan ini ke ibuku. Segera ku telfon ibuku, mengabarkan bahwa besok aku akan terbang ke
Taipei. Ibuku sangat senang mengetahui anaknya akan pulang, terdengar dari suaranya. Beliau bilang,
beliau akan membuatkanku pangsit. Ah, beliau masih mengingat makanan kesukaanku dulu.
Sehari kemudian, sesampainya aku di bandara, terlihat kakak laki-lakiku menungguku. Kami
kemudian pulang. Ku lihat ibuku di depan rumah dengan kursi rodanya, beliau membawa nampan berisi
pangsit sambil tersenyum.

Tuhan, terima kasih kau masih memberiku kesempatan untuk melihat senyuman ibuku.

Anda mungkin juga menyukai