Anda di halaman 1dari 18

BERBAUR BERSAMA

ALAM GUNUNGSLAMET

Ardyan Satya LS

R asanya tidak salah jika saya mengutip kalimat old habits die
harddalam bukuSoe Hok Gie: Sekali Lagi. Sosok Gie memang
banyak menginspirasi pemuda khususnya yang berkegiatan ak-
tivis dan naik gunung. Siapa yang tidak kenal dengan Soe Hok Gie?
Tapi kali ini saya bukan sedang ingin menulis sosok pemuda ketu-
runan Tionghoa itu melainkan mendaki untuk yang kesekian kali. Ya,
mendaki, mendaki, dan mendaki, kebiasaan lama yang kelihatan-
nya sulit untuk hilang. Gunung yang saya kunjungi pada 2011 lalu ini
adalahGunung Slametdi Jawa Tengah.
Gunung Slamet (3432 mdpl) adalah gunung berapi di Jawa Ten-
gah yang sudah lama tertidur. Secara administratif, gunung ini terle-
tak di perbatasan Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Tegal,
dan Pemalang. Di puncaknya terdapat 4 kawah. Ada beberapa jalur
pendakian untuk sampai ke puncaknya. Yang standard dilalui para
pendaki adalah melalui jalur Bambangan di desa Kutabawa Keca-
matan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, karena treknya yang rela-
tif mudah. Jika kawan-kawan ingin jalur yang lebih menantang, pen-
daki bisa mencoba melalui jalur Baturaden, Purwokerto. Jalur lainnya
seperti Guci dan Kaliwadas.

PRA PERJALANAN
Awalnya tak terpikirkan untuk mendaki lagi, setelah sial yang men-
impa saya dan teman-teman saat mendaki Gunung Salak 2010 silam,
Gunung Slamet adalah yang tertinggi
kedua di Pulau Jawa setelah pun-
cak Mahameru. Karena itu ada lon-
jakan semangat tersendiri saat saya
mendakinya, hitung-hitung latihan
sebelum bisa ke Semeru pikir saya.
Akibat letak geografisnya yang di
tengah-tengah itu, Gunung Slamet
dipercaya masyarakat setempat sebagai
pusatnya pulau Jawa yang banyak men-
gandung mistis. Dalam cerita dahulu,
jika gunung ini sampai meletus maka ia
akan membelah Pulau Jawa menjadi dua.
Oleh sebab itu gunung ini dinamakan
Slamet. Alhasil gunung Slamet memang
jarang sekali terbatuk-batuk.
membuat kami agak kapok (nanti akan saya ceritakan tentang Salak
di posting selanjutnya).Lama sudah saya dan teman-teman sispala
sibuk dengan urusan masing-masing setelah kami lulus SMA. Ada
yang kuliah, ada yang kerja, ada juga yang nganggur menunggu
SNMPTN tahun depan. Saya termasuk yang memilih untuk beker-
ja dulu sempai SNMPTN 2011 tiba. Untuk mengatasi bosannya
menjadi pengangguran sehabis masa kontrak kerja, saya mencoba
mengumpulkan teman-teman yang dulu pernah mendaki bersama
ke Gunung Sumbing. Susah payah lobi-lobi lewat sms, gembar-
gembor di facebook, akhirnya terkumpul juga tim untuk mendaki
Gunung Slamet. Mereka adalah Adam, Adun (@adehamidarip),
Verry (@verylyuz) yang dulu bersama saya mendaki Sumbing dan
satu orang lagi, Bibir (@Ryanardii), teman kami yang bukan sispala
sewaktu SMA.
Terhitung kira-kira sebulan penuh kami mempersiapkan penda-
kian ini agar berjalan sesuai rencana dan supaya tidak sial lagi sep-
erti di Salak. Sejak pendakian ke Salak itu rumah si Adun selalu jadi
tempat yang nyaman kalau bukan disebutbase camp. Semua per-
lengkapan kami kumpulkan di sana. Briefing dankolekanpatungan
juga dilakukan di sana, sampai makan pun di sana. Sungguhbase
campyang menyenangkan, makasih mamahnya Adun hehehe.

BAWA SANTAI SAJA SEBUAH PERJALANAN


Lantaran Verry masih harus menyelesaikan tugas kuliahnya di kam-
pus UGM tercintanya itu. Kami bersepakat menemani dia ke Jogja,
menunggu ia menyelesaikan urusan dengan sang dosen lalu tancap
ke Purwokerto. Lumayanlah, bisa sekalian menikmati suasana Jogja.
Hari yang dinanti tiba. Kami berangkat dari rumah Adun, naik an-
gkot dengan ransel besar di punggung menuju stasiun Bekasi. Kere-
ta api lagi-lagi menjadi primadona dalam sebuah perjalanan, meski
seringnya tak seindah yang dibayangkan. Tidak seperti Sumbing, pen-
galaman berdiri di kereta dari Bekasi sampai Semarang, membuat
kami mampu
beradaptasi
dengan ke-
adaan terse-
but. Tiket tu-
juan Kutoarjo
sudah di beli
jauh-jauh hari,
jadilah kita me-
nikmati per-
jalanan dengan
kursi nyaman
di kereta.
Bisa mendapat tempat duduk di kereta bukan jaminan per-
jalanan menjadi menyenangkan. Toh kami termakan bosan juga
setelah habis bahan untuk ngobrol ngalor-ngidul. Tapi ada satu
kejadian saat kereta beberapa stasiun lagi sampai di Kutoarjo,
seorang wadam, banci atau apalah namanya, masuk ke gerbong
yang kami tumpangi. Kami sempat melihatnya di luar gerbong, tapi
tidak menyangka dia akan masuk ke dalam. Jelas saja, saya yang
duduk di bagian sisi bangku terluar berpikir harus menyelamatkan
diri. Dengan susah payah membujuk Adun yang duduk nyaman
di sisi jendela agar mau bertukar tempat dengan saya, tapi gagal.
Adam yang duduk di samping saya malah sibuk dengan hapenya
untuk mengabadikan peristiwa yang mudah diprediksi itu. Saya
pasrah, si wadam langsung menuju ke bangku kami. Memang di
antara banyak penumpang wajah-wajah kami lebih kinclong dan
aduhai jadilah sasaran waria ini. Dengan kecrekan di tangan sambil
menyanyikan tembang Jawa, waria itu mulai melancarkan manu-
ver. Seketika kami menjadi korban pelecehan. janji sehidup
sematiiii..suaranya jelek banget.
Istighfar ane dari makhluk seten-
gah halus ini. Adam juga tidak luput dari sasaran colekan kasar si
banci, tidak tahan mungkin, Adam langsung memberi logaman
500 perak, makhluk setengah halus itu kemudian pergi dengan
harga yang murah. Huff.. habis saya jadi bahan tertawaan teman-
teman, bahkan satu gerbong juga tertawa melihat saya ketakutan
geli. Nasib, setidaknya ini jadi hiburan sekaligus penghilang bosan
masyarakat segerbong. Sudah puas saudara-saudara?!
Sore hari sekitar pukul 4 kereta kami tiba di Kutoarjo, kami
rileks sebentar dengan salat Ashar. Dari Kutoarjo, kami harus me-
nyambung dengan kereta lagi menuju Yogyakarta, kata Verry nama
keretanya Pramex (Prambanan Express). Pramex ini mirip KRL di
Jakarta. Baru lewat tengah malam kami sampai di rumah Verry,
rumah leluhurnya lebih tepatnya. Semalam habis kita singgah di
suasana Jogja, rumah Verry, angkringan, rumah Verry lagi, alun-
alun, rumah Verry lagi. Kira-kira seperti itu rute jalan-jalannya.

JULI 2011
Sekitar jam 8 pagi kami sudah di pinggir jalan menunggu angkutan
yang akan membawa kami ke Purwokerto. Saatnya petualangan
dimulai, butuh sekitar 4 jam perjalanan sampai di terminal Pur-
wokerto. Sambung lagi dengan angkutan ukuran yang sama keBo-
botsaricukup Rp. 3000 saja. Kami turun di pertigaanSerayudari
sini harus naik angkot kecil ke pintu masuk pendakianBambangan.
Tarifnya sekitar Rp. 10.000 per orang lalu mobil pun segera berang-
kat.
Sore itu pukul 16.30 kami sampai di gerbang pandakian, kami
sempatkan mengisi perut sebentar di warung makan dan salat
Ashar. Kemudian Adun dan saya mengurus perizinan. Setelah hu-
jan mereda kami mulai pendakian. Hari sudah hampir gelap, jadi
setidaknya kami harus sampai di pos I untuk bermalam. Bukan gaya
kami berjalan di malam hari, itu waktunya untuk santai.
Pendakian menuju puncak Slamet bukannya hal yang mudah,
treknya memang dikenal sulit dan masih alami. Yang pertama kali
harus kami pastikan adalah sumber air. Menurut beberapa pendaki
yang berpapasan dengan kami di bawah, sumber air ada di pos V
berupa mata air. Informasi ini penting, agar kita tau berapa banyak
air yang akan kita bawa sehingga tidak perlu buang banyak tenaga
karena membawa banyak air yang di luar prediksi.
Pendakian dimulai dengan melewati ladang warga. Ladang yang
ditanami wor-
tel dan sayuran
ini dibuat ber-
cabang-cabang,
jadi ikuti saja
sekiranya trek
yang menanjak
menuju puncak.
Setelah mele-
wati ladang,
kami sampai di
lapangan, persis
seperti lapangan
bola. Tapi jangan
salah, ini bukan
Pos I meski lumayan nyaman juga kelihatannya mendirikan camp di
tempat itu
Jarum jam di tangan menunjuk angka 7 malam itu. Belum sam-
pai di pos I kami sudah kelelahan terpaksa harus mendirikan tenda
di pinggir jalur yang tempatnya agak luas. Maklum perjalan panjang
dan hasil begadang di Jogja. Malam itu, tanpa banyak bicara kami
habiskan dengan tidur karena esok hari kami harus melanjutkan
pendakian.

JALUR TERJAL MENDAKI


Pukul 07.15, kami mulai trekking hari kedua. Baru beberapa langkah
kami sudah menemuipos I. Harusnya semalam kami sedikit bers-
abar pikir saya. Pos I adalah berupa rumah kayu atapnya seng dan
lantainya sudah di semen. Kondisinya masih baik untuk ditempati
2 sampai 3 tenda di dalamnya. Di pos ini kami bertemu pendaki
sedaerah dengan kami, mereka dari Cikarang. Hal yang paling me-
nyenangkan bertemu rekan sehobi di gunung.
Berjalan perlahan, trek curam hampir 45 derajat, jalur masih
dipenuhi hutan rimba, pohon tinggi menjulang lengkap dengan
tanaman setinggi badan yang daun-daunnya kerap menghalangi
jalur. Sesekali berhenti untuk mengambil napas panjang, lalu berja-
lan perlahan lagi, merunduk saat menemui pohon tumbang, ambil
napas lagi, betul-betul sangat melelahkan.
Target kami hari itu sampai di Pos VIII, pos terkahir untuk
memulai Summit Attack. Rute Puncak Slamet via bambangan :

Pohon tumbang yang menghalangi jalur


POS I POS II Pondok Walang POS III Pondok Cemara POS IV
Pondok Samaranthu POS V Pondok Mata Air POS VI POS VII
POS VIII Plawangan Trek Batu Puncak.
Pukul 12.30 kami sampai juga diPos V. Kami beristirahat un-
tuk mengisi perut yang dari tadi sudah keroncongan sedangkan
Adun dan Bibir turun ke mata air untuk mengisi persediaan air.
Pos V ini sama seperti Pos I yang berupa rumah kayu besarnya pun
sama hanya sayangnya banyak sampah di pos ini. Seusai memuli-
hkan tenaga kami bersiap mengangkat keril kembali menuju pos
VIII. Pokoknya sebelum magrib harus sampai Plawangan, gak
sampai juga kita ngecamp..kata Adun menutup briefing. Malam
hari waktunya santai kan hahaha.

Adun tengah menikmati sebatang rokok di Pos V.


Sesaat setelah meninggalkan pos V, perjalanan semakin be-
rat, hutan di sini benar-benar masih alami, liar dan nyaris brutal.
Saya mulai kehabisan nafas, Adam juga mulai drop, beban yang ia
bawa memang lebih berat di antara yang lain. Hanya Bibir, Verry
dan Adun yang masih fit. Berharap bisa membantu pergerakan,
saya mengambil sepotong kayu di atas rerumputan. Makin sulit
menyemangati diri sendiri dengan jalur hutan rimba yang seakan
tidak ada habisnya. Adam makin kepayahan di belakang. Berulang
kali Adun menempatkannya di posisi depan, selang beberapa me-
nit ia sudah tertinggal lagi di belakang, dengan kondisi kepayahan
begitu dia tetap kekeh menggendong keril yang lebih lebar dari
punggungnya itu. Antara gengsi dan tidak mau merepotkan me-
mang beda-beda tipis jika sudah seperti ini. Semoga engkau kuat
kawan ucapku dalam hati.
Dalam kesunyian rimba, suara guntur menyelinap di sela-sela
pepohonan, langit seketika meredup. Rasa takut mulai menghing-
gap di raut wajah keempat teman saya. Sepertinya mereka hendak
berkata jangan sampai kejadian di Salak itu terulang. Bibir yang
sedari pendakian pertamanya banyak diam kali ini mulai berkata
kata, mencoba mencabuk Adam untuk berjalan lebih cepat. Tapi
Adam tetap masih mengeluh kepayahan. Verry, dia yang paling
kuat dan selalu di depan terlihat menahan emosinya biasanya dia
yang paling banyak memberi semangat. Saya pun mencoba untuk
tidak berucap satu katapun saat seperti ini saya lebih menunggu
Adun yang selalu berpikir lebih tenang dari yang lain untuk menge-
luarkan kata-katanya.
Adun, Verry dan saya berjalan lebih dulu untuk mendirikan
tenda sebelum hujan turun. Bibir membackup Adam berjalan ke-
mudian. Kami mencoba membunuh waktu di tengah-tengah na-
fas yang memburu, di depan sudah ada trek curam serupa ceruk,
kanan kirinya dinding tanah yang lembap dan di atasnya tertutup
semak persis seperti terowongan yang hanya muat dilalui satu
orang. Selepas dari trek curam tersebut perjalanan masih jauh ru-
panya, pohon paku yang sudah mulai banyak sedikit menjadi peny-
emangat di dalam kabut yang semakin tebal. Tiba-tiba saja jalurnya
menjadi semakin terbuka, banyak pohon-pohon kecil di sekitar kaki
yang terinjak-injak. Sayup-sayup suara Verry terdengar; POS LA-
PAN WOOY..!!!

Pos VIII Plawangan, di belakangku berdiri sebuah shelter dan juga tenda kami.

MENGUBAH SEPI MENJADI RAMAI


Duduk lepas bersandar keril, wajah Adam tampak pucat. Dia sudah
sampai tak lama kemudian setelah kami melepas keril dari pung-
gung kami. Tak menyangka, kami sudah sampai sejauh ini. Pos
VIII ini adalah pos terakhir menuju puncak, sebenarnya dahulu
letaknya persis di perbatasan vegetasi namun karena sering badai
dan berbahaya di atas sana, pos VIII di pindah sedikit ke bawah.
Ada sebuah shelter yang cukup untuk mendirikan setidaknya 1 sampai
2 tenda di dalamnya. Dari sini puncak Slamet nampak seperti bebatuan
vulkanik berwarna merah tua tanpa vegetasi. Sore itu kami nikmati lan-
git senja yang perlahan menjadi gelap, hujan rintik tak menyurutkan
kami untuk menikmati alam liar gunung Slamet. Senyum lebar tersim-
pul di wajah kami berlima karena puncak telah di depan mata.
Kami bermalam bersama pendaki dari Cikarang yang kami temui
di pos I pagi tadi. Berbagi beras kami dengan mereka lalu mereka me-
masaknya untuk kami juga. Mung-
kin bisa disebut semacam simbiosis
mutualisme. Di dalam tenda hijau
dengan empat frame yang meno-
pangnya, sepinya malam berubah
menjadi riuh tawa seketika Adun
mengajak kami bermain sebuah per-
mainan. Sekali waktu bersama saha-
bat yang mungkin kami pikir tak akan
terulang lagi. Merubah sepi menjadi
ramainya tawa.

PUNCAK 3432 METER DI ATAS


PERMUKAAN LAUT
Pagi sekali sekitar jam 04.00, kami
dibangunkan abang-abang dari Ci-
karang itu, mereka berangkat lebih
dulu karena melihat kami masih ter-
tidur pulas. Saya bangun tak lama ke-
mudian, tapi efek bercanda semalam
membuat yang lainnya susah sekali
dibangunkan. Terpaksa saya menung-
gu mereka bangun sambil menikmati
matahari terbit dari camp ini. Jam
07.00 kami siap lakukan summit at-
tack. Dengan perbekalan secukupnya
di daypack, kami tempuh jalur yang
bertebaran dengan Edelweiss. Indah sekali pemandangan gunung ini,
hijaunya rimbun daun, birunya luas langit, putihnya lembut awan,
serta merah keras batuan vulkanik itu nampak menjadi satu kesatuan
yang sempurna dari ciptaan-Nya.
Kemudian kami sampai di perbatasan vegetasi, kabut tipis mulai
naik, dari sini pendaki harus sedikit waspada karena jalurnya beru-
pa batuan lepas yang sangat labil, salah injak bebatuan bisa runtuh
Puncak Slamet pukul 08.50. pandangan
kami dihalangi oleh kabut yang semakin
tebal. Ada jalan menurun di sisi utara sana,
dan dari balik kabut tampak samar sebuah
tugu. Sepertinya itu penanda puncak.
ke bawah. Curamnya trek ini membuat kami harus pandai-pandai
mengatur nafas. Seperti biasa Adam tertinggal di belakang padahal
semua alat sudah kami tinggal di pos. Verry, Bibir dan Adun sudah
jauh di depan. Kali ini giliran saya menemani Adam yang kepayahan.
Mereka sudah sampai tapi menunggu kami supaya bisa menginjak
puncak Slamet bersama.So sweet abiss!Rombongan dari Cikarang
terlihat dari kejauhan, rupanya mereka sudah sampai puncak dan
hendak turun. Semangat Tink..!! bentar lagi puncak kok.kata
salah seorang dari mereka. Entah sejak kapan mereka menandai
nama saya. Tapi kalimat itu menjadi suatu penyemangat tersendiri.
Setelah susah payah kami pun akhirnya tiba di puncak yang luas itu.
Puncak Slamet pukul 08.50. pandangan kami dihalangi oleh ka-
but yang semakin tebal. Ada jalan menurun di sisi utara sana, dan
dari balik kabut tampak samar sebuah tugu. Sepertinya itu penanda
puncak. Tapi karena kabut tebal yang menyulitkan jarak pandang
saat itu. kami mengurungkan niat untuk ke sana.
Kecewa juga dengan kabut yang menutupi itu, andai berangkat
lebih pagi pasti sudah dapat pemandangan yang bagus untuk ber-
foto-foto. Di puncak, cuma ada kami berlima saat itu. Merubah sepi
menjadi ramai.

Anda mungkin juga menyukai