Anda di halaman 1dari 14

Nilai Religius tokoh Ken Endok: tinjauan Filologis

naskah Serat Pararaton

Mohamad Nizar Rahmanto – A02219031

Latar Belakang:

Bicara tentang sejarah di Indonesia tidak akan lepas dari berbagai sumber yang
ada. Baik sumber tertulis, lisan, maupun benda atau artefak.1 Sumber-sumber tersebut

memegang peranan penting dalam memperkuat fakta-fakta sejarah sekaligus menjadi


bukti bahwa sebuah peristiwa atau peradaban itu memang ada. Salah satu sumber

yang sangat penting dalam sejarah adalah sumber tulisan. Sumber tulisan berfungsi
sebagai alat rekam jejak peristiwa sejarah dalam wahana tulis atau dokumen. Salah

satu sumber tulisan primer dalam sejarah adalah manuskrip atau naskah-naskah kuno.
Manuskrip atau naskah kuno menjadi salah satu sumber primer paling otentik.

Naskah kuno juga sering dianggap sebagai sumber yang paling kredibel dan
menjanjikan oleh peneliti atau sejarawan. Naskah kuno atau manuskrip bisa disebut

sebagai jalan pintas menuju masa lampau guna memahami situasi peradaban yang
ada pada masa tersebut, baik dalam ranah intelektual, sosial, atau kehidupan

masyarakat di masa lalu.2


Manuskrip atau naskah kuno juga menjadi koleksi langka yang dimiliki hampir

semua bangsa di dunia, termasuk di Indonesia. Manuskrip menjadi alat perekam


perjalanan hidup suatu bangsa itu sendiri untuk kemudian bisa dilihat, ditinjau ulang,

guna memperbaiki diri. Isi manuskrip sendiri juga sangat beragam, mulai dari bidang

sastra, agama, hukum, sejarah, adat istiadan, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut
tentu menjadi informasi yang kuat bagi para peneliti untuk membaca situasi yang ada

di masa tertentu, dalam sebuah peradaban.3

1
Nina Herlina, Metode Sejarah Edisi Revisi 2020 (Bandung: Satya Historika, 2008), 7.
2
Oman Faturahman, Filologi dan Islam Indonesia (Jakarta: Badan Litbang, 2010), 3-4.
3
Hirma Susilawati, Preservasi Naskah Budaya di Museum Sonobudoyo, Jurnal Al Maktabah: UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Volume 1 tahun 2016, 62.
Naskah kuno di Indonesia memiliki bentuk yang beragam, mulai dari Babad,

hikayat, serat, suluk, dan lain sebagainya. Di Jawa sendiri, karya sastra tulis atau naskah
kuno kemudian dikenal sebagai serat. Istilah serat dapat dimaknai sebagai karya sastra

berbentuk tulisan tangan yang dihasilkan oleh pujangga keraton. Kata serat sendiri
merujuk pada proses pembuatannya dengan cara diserat (bahasa jawa: ditulis) dengan

tangan baik berupa gubahan atau karangan asli.4


Salah satu serat yang telah banyak dikenal oleh masyarakat adalah Serat

Pararaton. Pararaton merupakan karya sastra Sejarah berisi kisah raja-raja tanah Jawa
sejak zaman Singosari sampai Majapahit. 5 Sebagai sebuah naskah kuno, Serat

Pararaton memiliki banyak sekali informasi didalamnya, berkenaan dengan silsilah


raja-raja tanah Jawa masa lampau serta berbagai persitiwa penting dan menarik di

sekelilingnya. Termasuk kisah Ken Angrok, sang penguasa tumapel yang kemudian
berhasil mendirikan kerajaan Singosari.

Serat Pararaton merupakan kitab naskah Jawa masa pertengahan yang digubah
dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah Pararaton berjumlah 32 halaman seukuran folio

dengan total 1126 baris. Naskah Pararaton ditulis oleh Raden Mas Mangkudimeja dan
dihasilkan sebanyak 3 jilid. Jilid pertama berkisah tentang para raja di Daha, Tumapel,

dan Majapahit. Jilid kedua berisi tentang para raja di Tumapel sejak masa Ken Angrok
serta Majapahit sejak masa Raden Wijaya Kertarejasa. Dan Jilid ketiga berisi tentang

berdirinya kerajaan Majapahit.


Ken Angrok sebagai penguasa Tumapel dan pendiri kerajaan Singosari bukan

satu-satunya hal menarik dalam Serat Pararaton. Pada bagian awal naskah ini tepatnya
pada pupuh Sinom, kita bisa menemukan tokoh wanita bernama Ken Endok yakni ibu

kandung dari Ken Angrok. Ken Endok merupakan istri dari Gajahpara, seorang petani
yang hidup di sebelah timur Gunung Kawi. Melalui Ken Endok inilah nantinya Ken Arok

akan lahir lalu menjadi penguasa di tanah Jawa.6

4
Muhammad Habib Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur. Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa
Peralihan (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001), 85.
5
I Ketut Riana, Serat Pararaton: Kisah raja-raja Singosari sampai Masa Majapahit Akhir (Bali: Yayasan Tan
Mukti Palapa, 2015), 2.
6
R Pitono Hardjowardo, Serat Pararaton (Malang: Penerbit Bhratara, 1965), 13.
Dalam prosesi kelahiran Ken Arok, ada campur tangan dari para Dewa, yakni

Dewa Brahma. Diceritakan saat itu bahwa Dewa Brahma mencari teman untuk
menitiskan Ken Arok agar bisa lahir ke dunia. hingga akhirnya terpilihlah Ken Endok

sebagai inang. Singkat cerita, setelah peristiwa itu terjadi, Dewa Brahma menitipkan
pesan kepada Ken Endok agar berpisah dengan suaminya, Gajahpara. Dalam momen

inilah nilai religius dalam diri Ken Endok mulai terlihat.


Setelah mendapat pesan dari Dewa Brahma, Ken Endok menjalani hidupnya

dengan penuh kehati-hatian. Banyak hal yang dilakukannya sesuai dengan kata batin
yang didapat, termasuk membuang bayi Ken Angrok di kuburan, yang kemudian

ditemukan oleh Lembong dan dibesarkan olehnya. Pada pupuh sinom ini, nilai religius
dalam diri Ken Endok terasa cukup kental, padahal ia baru bertemu dengan Dewa

Brahma beberapa kali.


Permasalahan inilah yang kemudian terasa cukup menarik untuk dikaji lebih

lanjut. Tentang betapa kuatnya nilai religius dalam diri Ken Endok terhadap pesan-
pesan dari Dewa Brahma, kendati mereka berdua tidak pernah bertemu sebelumnya.

Berdasarkan paparan masalah di atas, selanjutnya penulis memfokuskan penelitian


berjudul “Nilai Religius tokoh Ken Endok: Tinjauan Filologis naskah Serat Pararaton”.
Transkripsi Teks & Transliterasi Serat Pararaton

2. Sinom

1. rinênggèng sêkar srinata | purwakanirèng kang tulis | mêdharkên lampahanira |


Kèn Angrok ingkang winarni | nalikanira lair | ana warăndha ing Jiput | darbyatma
priya juga | kang lampahe tan prayogi | rêmên bandrèk jina mursal ambêlasar ||

Terjemahan:
Semoga terhindar dari malapetaka dan tercapai tujuan | asal mulanya | menceritakan
perjalanan | Ken Angrok yang agung | Dahulu kala pada awal diciptakannya manusia |
adalah anak seorang janda di Jiput | ruhnya seorang lelaki | bertingkah laku baik |
memutus tali kekang kesusilaan ||

2. tan maèlu awisannya | ingkang sipat datan kèksi | nujwèng satunggiling dina | pun
mursal atilar panti | sing Jiput wus lumaris | mentar ngungsi sanès dhusun | yèku
bawah Bulalak | de kang măngka pangagênging | i[2] Bulalak Êmpu Tapawangkêng
rannya ||

Terjemahan:
patuh terhadap larangan | tampak dalam sifatnya | pada suatu hari | diutus
meninggalkan rumah | berjalan meninggalkan Juput | untuk mengungsi ke Desa lain |
yaitu Bulalak | di sana ada seorang tuan(pemimpin) (di Bulalak) | namanya Empu
Tapawangkeng.

3. ingkang ing kala punika | yun damêl gapura siki | tumrap ing patapanira | kranèku
dewaning kori | nêdha tumbal menda brit | satunggal dhatêng Sang Êmpu |
Tapawangkêng gya mojar | sanadyana datan olih | tan ngapaa pasthi ngong têmah
sangsara ||

Terjemahan:
ketika itu | ia sedang membuat Gapura/pintu gerbang | untuk asrama/pertapaannya |
dewa-dewi/roh penjaga gerbag | (dalam prosesnya) meminta tumbal kambing merah
| satu ekor dari sang Empu | atau guru Tapawangkeng | ia berkata: “Meskipun aku
mendapatkannya | pasti tetap jatuh kedalam dosa/sengsara.

4. kalêbèng gêni naraka | mungguh anaa kang janmi | ingkang yogya pinatenan |
nanging reka lyane maning | tan bisa anuruti | ing paminta murih antuk | wêdhus
abang sajuga |[3] nahênta ingkang winarni | lare mursal anyaguhi dadya kurban ||

Terjemahan:
masuk ke dalam api neraka | dibakar oleh api | walau tubuh mati | tetapi akal tetap
berfungsi | sehingga bisa menuruti | permintaan tetap | kambing merah juga.” |
kemudian orang yang suci tersebut (Ken Angrok) | ia (sungguh) bersedia dijadikan
korban.

5. kinarya tumbal gapura | Êmpu Tapawangkêng tampi | lare mursal datan cidra | ing
janji anglêksanani | mungguh karêpirèki | kang kaya mangkana iku | pinrih ing
wangsulira | mring Wisnu Buwana malih | sagêdira manukma mring wran wibawa ||

Terjemahan:
menjadi tumbal Gapura | milik Empu Tapawangkeng | anak yang nakal itu | berjanji
untuk melaksanakan | sungguh memiliki keinginan | yang seperti itu | untuk dapat
kembali | menuju Dewa Wisnu | dan menjelma lagi dalam kelahiran mulia.

6. nênggih ing manuswa pada | sang êmpu wus anuruti | sapanêdhanirèng bocah |
sagêda manukma malih | kaya ingkang wus pinrih | ing nalika pêjahipun | ngalami
pitung jaman | dupi lare wus ngêmasi | sigra-sigra ginawe tumbal gapura ||

Terjemahan:
memberi tugas kepada para manusia | sang Empu telah menuruti | . . . . . . | bisa hidup
kembali | seperti kehidupan sebelumnya? | ketika menghadapi kematian | akan
mengalami tujuh zaman | setelah kematiannya | (mungkin) akan dijadikan tumbal
Gapura milk Empu.

7. nahên riwusnya mangkana | lare mursal musnèng pati | bali mring Wisnu Buwana |
kaya ingkang wus kinapti | panuwunira malih | sagêd manukma dumunung |
wetaning Kawiarga | ya ta kawuwusa malih | purwakane kang dadi bakuning
kăndha ||

Terjemahan:
lalu ia menjadi gila? | saat anak itu menjemput kematian | ia kembali kepada surga
Dewa Wisnu | seperti yang telah (ditunggu?) | permintaannya yang lain/lagi | bisa
menjelam kembali | di sebelah timur gunung Kawi | bisa tumbuh kembali | dan
melihat siapa yang akan dijadikan teman sepasang.

8. Bathara Brama anganglang | midêr-midêr miling-miling | ngupados pawèstri


ingkang | sagêd kadhawahan wiji | patutan lan dewa di | katuju ana kadulu | nênggih
pangantèn mudha | nêdhêngnya pasihan sami | namanira ingkang jalêr Gajah Pura ||

Terjemahan:
Dewa Brahma melihat | (sambil) terbang berkeliling | siapakah sepasang | yang bisa
dijadikan wadah? | sebuah jiwa dewa | . . . . . . | adalah mempelai baru | sedang saling
mencintai | dengan yang laki-laki bernama Gajah Pura

9. Kèn Êndhok raning wanudya | wran karo gawene tani | anggarap kang pasawahan |
nuju satunggiling ari | Kèn Êndhok sawêg ngirim | dhumatêng ing lakinipun | kang
nêmbe nggarap sawah | ing Ayuga raning sabin | saking Pangkur yèku raning
dunungira ||

Terjemahan:
Yang perempuan bernama Ken Endok | mereka ini (pekerjaannya) bercocok tanam |
menggarap sawah | di setiap harinya (sehari-hari) | Ken Endok selalu (pergi) mengirim
| untuk suaminya | yang sedang menggarap sawah | sawah itu bernama Ayuga | dan
desa (tempat tinggal Ken Endok & Gajah Para) bernama Pangkur |

10. praptèng ênu kawurcita | Bathara Brama umèksi | wanudya maksih taruna | yèku
Kèn Êndhok kawarti | lumampah mung pribadi | datan wontên rowangipun |
praptèng sasana sunya | Bathara Brama wus yakin | datan samar yèku èstri kang
kuwawa ||

Terjemahan:
suatu hari diceritakan | Dewa Brahma bergerak? | ia hendak turun | untuk menemui
Ken Endhok | datang seorang diri | tanpa ada teman satupun | dalam kesunyian |
Dewa Brahma semakin yakin | bahwa ia adalah seorang istri (dari Gajah Para) yang
sedang dicari.

11. kanggonan wiji minulya | măngka sarananing dadi | pamêncaring tuwuhira |


Bathara Brama tumuli | tumurun anyêlaki | sarwi nilakramèng têmbung | ingkang
mêmalad driya | Kèn Êndhok dipun cakêti | Sang Bathara saya ngangsêg lênggahira ||

Terjemahan:
Seseorang yang mulia | Yang nantinya akan menjadi | cahaya/sinar yang tumbuh |
Kata Dewa Brahma | Keturunannya itulah | Yang nantinya pada suatu hari | Akan
menjadi pemimpin | Ken Endhok dingatkan kembali | Lalu Sang Dewa kembali ke
tempat asalnya.

12. Kèn Êndhok kang datan mojar | rinungrum ing têmbung manis | Kèn Êndhok lir
mawurcita | mengo tumungkul ing siti | sakêcap tanpa angling | nulya arsa kinalulut |
anèng lêlatêng Têgal | Kèn Êndhok gya mojar bêngis | dhuh-dhuh adhuh Sang Maha
Bathara cidra ||

Terjemahan:
Ken Endhok lalu berangkat ke Sawah | dengan kata-kata manis | Ken Endhok
bercerita | sambil menundukkan kepala dan menghadap ke belakang | ada seorang
yang berkata | . . . . . . . | di ladang Lelateng | Ken Endhok mematuhi ucapan guru
tersebut | karena akan membawa celaka

13. dene têka asêmbrana | tan wêdi dhêndhaning Widhi | Bathara Brama wacana |
mêdharkên ênyêting galih | Kèn Êndhok duk miyarsi | tan suwala tansah manut |
rinurah ing asmara | enggaling carita mangkin | samya nutug gyannya andatêngkên
karsa ||

Terjemahan:
Maka mereka pun tidak berani sembarangan (sembrono) | takut akan hukuman dari
yang maha kuasa | Apa yang dikatakan Dewa Brahma | menjelaskan segalanya | Ken
Endhok merasa segan | walau berusaha untuk menuruti | namun ia msih merasakan
asmara | (mungkin) salah satunya | akan mendatangkan kebahagiaan?

14. Bathara Brama pêpoyan | Kèn Êndhok dipun walêri | pan mangkana têmbungira |
dhuh titahing bathara di | kang tuhu sun trêsnani | poma kita aywa purun | winoran
laki kita | sinanggama lambang rêsmi | kang mangkana iku nyambori kang rahsa ||

Terjemahan:
Dewa Brahma memberi contoh | Ken Endhok diperlihatkan | apa yang dikatakan
olehnya | adalah perintah Dewa | yang agung dan dicintai | maka kita pun bisa |
meminta laki-laki (suami) kita | untuk berhubungan badan terakhir kali | sekaligus
untuk menumpahkan/mencampurkan segala rasa

15. rahsèngong kang wus cumithak | ing baga kita ing wuri | bakale pan dadi suta |
mijil priya sun namani | Kèn Angrok ranirèki | yèn kongsia lambang santun | kita lan
laki kita | tan tulèn wijiling siwi | yèn katêrak wêling kita katêmahan ||

Terjemahan:
. . . . yang telah tertancap | (di dalam) rahim bagian belakang | yang nantinya akan
menjadi anak | lahir (dengan kelamin) laki-laki yang diberi nama | Ken Angrok |
menjadi lambang santun | perkasa | dengan perangai (laki-laki) tulen | saat mendapat
mandat maka pasti terlaksana.

16. laki kita pasthi lena | wêling ulun aywa lali | Kèn Angrok ing têmbe bakal | kang
ambangun kaananing | jagad rat pulo Jawi | amung iku wêling ulun | sang bathara
gya mukswa | Kèn Êndhok kari pribadi | datan dangu Kèn Êndhok nutukkên lampah ||

Terjemahan:
(namun) anak laki-laki itu pasti lalai | mandat tidak dilaksanakan | Ken Angrok
nantinya akan | membangun keadaan/peradaban | di wilayah tanah Jawa | namun itu
hanyalan Mandat | Sang Dewa lalu pergi | Meninggalkan Ken Endhok seorang diri |
lama ken Endhok berjalan|

17. marang sawah ing Ayuga | têgal lêlatêng kawuri | Gajah Pura duk tumingal |
ingkang èstri andhatêngi | dahat sukaning ati | măngka durung lami pangguh |
mantèn nêdhêng pasihan | anèng dalan dèn icipi | kawimbuhan sêlak ngêlih
wêtêngira ||
Terjemahan:
menuju sawah di Ayuga | meninggalkan ladang Lelateng di belakang | Gajah Pura
lalu meninggal | membuat sang wanita kembali | (dengan) perasaan yang sangat
senang | walau belum lama bercerai | kedua mempelai sudah dijatuhi | kesulitan serta
cobaan | yang membuat lapar perut mereka.

18. mulane mangarsa-arsa | dhatêngira ingkang èstri | bakda mangan Gajah Pura |
ingkang èstri nyariyosi | mangkana lingira ris | wong lanang dadèkna pawruh | nalika
sun tumêka | nèng têgal lêlatêng nênggih | sinanggama ingsun ring Bathara Brama ||

Terjemahan:
awalnya merasa senang | datanglah sang istri | setelah Gajah Pura makan | Sang Istri
bercita | berharap agar | sang suami memaklumi | ketika ia datang | tepatnya di
ladang Lelateng | bertemulah aku dengan Dewa Brahma

19. sang bathara apêpoyan | ingsun dipun wanti-wanti | tan awèh asarêsmia | manèh
kalawan sirèki | yèn ta sira tan arsi | anggugu pituturipun | wêcane sang bathara | sira
bakal nêmu pati | krana sira momori rahsa minulya ||

Terjemahan:
Sang Dewa berkata | aku pun telah diwanti-wanti/diingatkan | jangan berhubungan
badan | dengan lelakimu lagi | jika kita tidak menuruti (ucapan itu) | kata sang Dewa |
kau (suamiku) akan mati | karena kau . . . . rasa mulya |

20. kang wus rumêmbês cumithak | anèng guwa garba mami | bakal wijiling atapa |
têdhaking andanawarih | kusuma rêrêmbêsing | madu pinusthika nulus | Gajah Pura
duk myarsa | pituture ingkang èstri | Êkèn Êndhok ingajak mantuk saksana ||

Terjemahan:
yang telah tertancap | dalam dinding rahim | akan menjadi (mewujud) | turun sebagai
laki-laki | keturunan seorang | yang mulya | Gajah Pura menyimak | perkataan sang
Istri | lalu Ken Endhok mengajaknya pulang|

21. sadumuginirèng wisma | Kèn Êndhok ingarih-arih | ingajak tilêm sadhela | Kèn
Êndhok tinari rêsmi | nanging kukuh tan arsi | dahat lênggana ing kalbu | lumuh
anurutana | Kèn Êndhok wicantên bêngis | hèh wong lanang wit saiki sun pêgatan ||

Terjemahan:
setibanya di rumah | Ken Endhok menawarkan diri | untuk tidur bersama sebentar |
Ken Endhok merasa senang | namun ia juga merasa ragu | serta merasa sangat tidak
tenang di dalam hati | (ia juga) enggan menuruti | (lalu) Ken Endhok berbicara
dengan kasar | “Wahai suamiku (Gajah Para) putuslah perkawinanku denganmu|
22. wit aku wêdi kaliwat | wêlinge Bathara Agni | Gajah Pura lon manêbda | yèn
mangkana datanapi | iya ingsun nuruti | pêgatan lawan sirèku | dene sabarang
gadhah- | anmu bali mring sirèki | darbèkingsun iya bali jênêng ingwang ||

Terjemahan:
aku (Ken Endhok) takut jika kualat/pamali | terhadap perkataan Dewa Agni | Gajah
Para lantas menjawab | “jika memang itu yang harus terjadi | maka aku akan
menuruti | (untuk) berpisah/bercerai denganmu | adapun harta benda
pembawaanmu | (akan) kembali kepadamu | begitupun denganku akan kembali
kepadaku lagi.

23. riwusira pêpêgatan | Kèn Êndhok kang dèn dunungi | ing Pangkur ing
sêsabrangan | ingkang êlorirèng kali | dene Gajah Purèki | ing Campara dunungipun |
sabrang ingkang narmada | ingkang kidul dèn goni | kawuwusa durung nganti
limang dina ||

Terjemahan:
Setelah itu (bercerai) | Ken Endhok pulang | menuju desa Pangkur | yang berada di
seberang utara | sedangkan Gajah Pura | tetap tinggal di Campara | seberang
bengawan/sungai | sebelah selatan | belum genap lima hari. . . .

24. antarane pêpêgatan | Gajah Pura têmah lalis | têtiyang kang samya myarsa |
gumune kêpati-pati | ngungun sajroning ati | mangkana rêrasanipun | anggumunake
dahat | bayi ingkang durung lahir | isih ana ngêtêngan tumuse panas ||

Terjemahan:
. . . . mereka berdua bercerai | Gajah Para meninggal | orang-orang yang melihat
(kematian itu) | saling kebingungan | sembari bergumam di dalam hati | kemudian
saling menggunjing | (dengan) sangat heran | “bayi yang belum lahir itu | luar biasa
panas dalam kandungan.

25. mêntas bae pêpêgatan | ramakne gya banjur mati | nahên Kèn Êndhok samana |
wus lèkira babar bayi | mêtu priya apêkik | pun jabang binucal laju | marang ing
Pabayangan | nahênta ingkang kawarni | ing dalunya ana dursila kasasar ||

Terjemahan:
belum seberapa lama (terjadi) perceraian itu | orang tuanya sudah meninggal saja |
setelah genap bulannya Ken Endhok | melahirkan seorang bayi | anak laki-laki |
(kemudian) bayi itu dibuang | di kuburan anak-anak | kemudian . . . | di malam
harinya ada (orang) jahat yang tersesat . . .

26. dhumatêng ing Pabayangan | Lêmbong aranira maling | ing kono Lêmbong
tumingal | wontên pêpadhang nêlahi | Lêmbong sigra murugi | mring sangkanirèng
kêkuwung | dahat dènira jingkat | Lêmbong anrênjuhi bayi | cêngèr-cêngèr nangis
anèng Pabayangan ||

Terjemahan:
. . . di kuburan anak-anak | orang jahat (maling) itu bernama Lembong | di sana
Lembong melihat | ada benda yang menyala | (kemudian) Lembong mendatangi
benda itu | untuk melihat benda tersebut | (lantas) ia sangat terkejut | saat Lembong
melihat bayu itu | (ia sedang) menangis kencang di perkuburan anak-anak.

27. dupi wus pêrak têtela | bayi ngujwala nêlahi | mawa praba lêng-ulêngan |
kumêdhap wangkawa wingit | nyata dudu bangsaning | sabarang bayi puniku |
Lêmbong datan sarănta | bêbayi jinunjung aglis | dipun othong binêkta mantuk
mring wisma ||

Terjemahan:
setelah melihat penampakannya/wujudnya | bayi itu bersinar terang | kemudian
sinar/cahaya itu berkumpul | (lalu) berkilauan dengan sangat menakjubkan di
angkasa | semakin yakin dalam hatinya (Lembong) bahwa bukan manusia |
sembarangan bayi itu | Lembong berpikir sejenak | (memutuskan) untuk mengangkat
bayi tersebut | lalu dibawa pulang ke rumah

28. rinêksa lan ingopenan | dening Lêmbong lawan rabi | rinêngkuh lir sutanira |
pribadi dera sêsiwi | samana ana warti | sumêbar sangkaning tutuk | salah sijining
rowang | ngira Lêmbong kang pawarti | yèn pun Lêmbong darbyatma pupon
panggihan ||

Terjemahan:
. . . untuk diakui sebagai anak | walau Lembong tidak menikah | dipakaikan pakaian
| . . . . . . . . | baik tuturnya | terkenal akan (kepiawaian) mulutnya | salah satunya banyak | yang
mengira jika Lembong itu baik? | jika lembong Memiliki anak angkat . . .

29. wanci dalu dera angsal | anèng Pabayangan sêpi | nalika pinanggih ana | ing
Pabayangan umawi | ngujwala anêlahi | saking kadohan umancur | tan dangu
antaranya | pawarta kamirêng dening | Êkèn Êndhok gupuh-gupuh mring wismanya ||

Terjemahan:
yang didapat saat malam hari | di perkuburan anak-anak yang sepi | ketika
menemukannya | di perkuburan itu | (bayi itu) bersinar | dari kejauhan terpancar | serta
sangat lama (bersinarnya) | membuat siapapun bisa melihatnya | (lantas) dengan tergesa Ken
Endok datang ke rumah. . .

30. Lêmbong kagyat duk katêkan | Kèn Êndhok alon dera angling | dupi sumêrêp
sutanya | wus tan kasamaran yêkti | ki sanak Lêmbong bayi | iki têmêne sutèngsun |
kang sun sèlèhkên ana | Pabayangan wanci bêngi | de mangkene larahe ingkang
sanyata ||
Terjemahan:
. . . Lembong terkejut (saat) kedatangan | Ken Endhok yang tiba-tiba | ia (ken Endhok)
mengenali anak itu | sungguhlah itu anaknya sendiri | “Wahai Lembong, bayi itu |
adalah anak saya | yang saya letakkan | di Perkuburan anak-anak saat malam hari |

31. Kèn Êndhok saksana mojar | hèh Lêmbong sira pa tan wrin | yèn bayi kang sira
panggya | anèng Pabayangan yèki | sutaningsun sayêkti | yèn sira kapengin wêruh |
purwakanirèng wêka | Bathara Brama kang siwi | unggyanira patutan lan jênêng
ingwang ||

Terjemahan:
Ken Endhok lantas berkata | “wahai Lembong, apakah engkau tau | jika bayi yang kau
ambil | dari Perkuburan itu | adalah anak yang sakti? | jika kau ingin tau | asal-usulnya
| ia (adalah) anak dari Dewa Brahma | jangan kau muliakan (menjadikan panutan)

32. sayogya sira rêksaa | dèn bêcik lan ngati-ati | sun gawe upama kaya | lare ki awibi
kalih | ramanira satunggil | yèku Lêmbong sira ingsun | anggêp lir yayahira | Lêmbong
lan rabinirèki | tan lênggana nyaguhi pangrêksanira ||

Terjemahan:
sebaiknya kau berjuang | dengan baik dan senantiasa berhati-hati | aku
mengumpamakan dengan | seorang anak beribu dua | berayah satu | itulah
persamaan (yang kujelaskan) kepada Lembong | entah dianggap angin lalu |
Lembong mengiyakan | serta menganggap benar penjelasan Ken Endhok.

33. wran karonya dahat trêsna | mring lare dènira manggih | wus sinung aran mring
rena | Kèn Angrok namanirèki | mangkana saya lami | saya wuwuh asihipun |
Lêmbong lan rabinira | Kèn Angrok samantên ugi | datan pae trêsnanira mring
karonya ||

Terjemahan:
keduanya (Lembong dan Ken Endhok) semakin cinta | terhadap anak itu | sekaligus
merasa senang | anak itu diberi nama Ken Angrok | lambat laun | anak itu tumbuh
besar | Lembong dan Ken Endhok menikah | Sekian waktu berlalu Ken Angrok | juga
merasa cinta terhadap kedua orang tuanya.

34. wus kaya wong tuwanira | pribadi ingkang sêsiwi | nahên ta kala samana | Kèn
Angrok wus dungkap wanci- | nira angon kang mundhing | Kèn Angrok gyannya
dêdunung | samana anèng desa | ing Pangkur Kèn Angrok asring | kinèn tumut
winulang ing laku samar ||

Terjemahan:
Ken Arok menganggap (mereka berdua) selayaknya orang tuanya sendiri | dengan
sifat yang baik | lalu pada suatu waktu | Sudah tiba masanya bagi Ken Angrok | untuk
menjadi penggembala | Ken Angrok akhirnya paham | ia lantas kembali ke desa | di
Pangkur | untuk ikut menggembala.

35. dening Lêmbong sring ingajak | mêmandung ambêdhah kori | sakêdhap kewala
lêbda | pratingkahe pandung julig | borosira kapati | Kèn Angrok brèh budinipun |
gawene mung royalan | sakèhing darbèking wibi | Êkèn Êndhok lan darbèking bapa
angkat ||

Terjemahan:
Lembong juga sering mengajak | Ken Angrok untuk mencuri | dan ia tampak ahli
(mencuri) | tingkahnya sebagai pencuri di waktu malam hari sangat licik | hampir
tidak pernah tertangkap | selain itu Ken Angrok juga gemar | melakukan judi &
taruhan | hingga menghabiskan harta | Ken Endhok dan bapak angkatnya (Lembong)

36. apan wus têlas-têlasan | Kèn Angrok ingkang ngambili | tinotohkên pramainan |
nahên kawuwusa malih | Angrok kinèn ngon mundhing | kêkalih pan cacahipun |
darbèking Amandhala | ing Lêbak datan antawis | lami ingkang maesa sapasang
ilang ||

Terjemahan:
sampai semuanya habis | Ken Angrok juga gemar | bermain-main | . . . . . | walau
begitu Ken Angrok tetap mencuri | bersama dengan teman-temannya | kemudian ia
menjadi anak gembala kerbau | di desa Lebak | lama kelamaan sepasang kerbau
yang digembala itu hilang

37. kinarta aji arganya | dening Amandhala nênggih | kêbo sapasang murwatnya |
wolung èwu kèpèng nguni | Kèn Angrok dèn srêngêni | inguman-uman wran têlu |
yayah rena katrinya | dahat dènnya nguring-uring | tan kayaa sira bocah ambêlasar ||

Terjemahan:
(sepasang kerbau itu) ada harganya | oleh yang dipertuan itu | sepasang kerbau itu
dihargai | delapan ribu | Ken Angrok lantas dimarahi | ia diomeli oleh ayahnya |
sangat parah amarah itu | hingga membuat ken Angrok seperti anak yang bingung?

38. tan manut rèhing budyarja | candhala silib dèn goni | ora kaya-kaya sira | gawene
mung nyênyêdhihi | mring sudarmanirèki | ingkang tan wurung kêcêmplung | ingsun
dadi wong mujang | tan lyan mung saka sirèki | mrêbês mili Kèn Êndhok atêbah jaja ||

Terjemahan:
ia masih menuruti sifat jahatnya | buruk sifatnya gemar mencuri goni | namun tidak
kunjung merasa cukup | sehari-hari (kegiatannya) hanya bersedih | serta . . . . | karena
sudah terlanjur jatuh/terjerumus | aku bersiap menjadi seorang hamba | dari seorang
yang dipertuan di Lebak | Ken Endhok dibuat menangis
39. sanadyan sira tan mentar | lunga saka kene ugi | sun mêsthi dadi wong mujang- |
ira Amandhala yêkti | Angrok tan bisa uning | saksana pan nuli mamprung | atilar
yayah rena | ingkang dêdunung ing dèsi | ing Campara lan ing Pangkur kanang
desa ||

Terjemahan:
Kemudian ia pun pergi | menghilang dari sini | karena ia yakin akan menjadi budak |
dari Yang Dipertuan itu | Ken Angrok pun tahu | dan bisa melarikan diri dari sana |
meninggalkan ayahnya | yang sedang berpikir/dipusingkan | di desa Campara dan
desa Pangkur.

40. Kèn Angrok apan wus mentar | tan tolèh bapa myang wibi | jujug desa
Kapundhungan | kabèh kang yun dèn ungsèni | prasamya datan apti | kanggonan
Angrok winuwus | ana sawijining wran | sing Karuman botoh saji | aranira ki botoh
Bango Samparan ||

Terjemahan:
Saat Ken Angrok pergi | ia menengok ke arah Ayah Ibunya | Kemudian ia mendatangi
desa Kapundhungan | untuk mencari perlindungan tetapi mereka yang diungsi dan
dimintai perlindungan | tidak menaruh belas kasihan | ada seorang penjudi | seorang
pemain (bandar) Saji dari Karuman | bernama Ki Bango Samparan.

41. ki botoh êntèk-êntèkan | denira totohan saji | lawan malandhang Karuman | dupi
ki botoh tinagih | tan bisa ambayari | Bango Samparan winuwus | gya mentar sing
Karuman | mring Rabutjalu têtèki | jro sêmadi ana swara kapiyarsa ||

Terjemahan:
Bango Samparan kalah telak | saat bertaruh Saji | dengan seorang bandar judi di Karuman
| saat ia (bango Samparan) ditagih | ia tak mampu membayarnya | Bango Samparan lalu
pergi | meninggalkan Karuman | menuju tempat RabutJalu | lalu ia mendengar suara dari
angkasa|

42. dumêling wêwarahira | hèh Bango Samparan aglis | kita ge-age balia | marang
Karuman saiki | ulun pan darbe siwi | Kèn Angrok ingkang rum-arum | saiki nèng
Karuman | iku kang bakal ngêsahi | utangira ring malandhang ing Karuman ||

Terjemahan:
terdengar suara dari langit itu | “Hei Bango Samparan | segeralah kembali | menuju
Karuman sekarang juga | kami mempunyai seorang anak | Ken Angrok namanya | (yang) saat
ini berada di Karuman | (ia) akan menyelesaikan | segala hutangmu yang ada di Karuman|

43. Bango Samparan gya mangkat | tan tolih ing dina wêngi | Rabutjalu wus kawuntat
| dumugyèng marga kapanggih | lan Kèn Angrok wus kadi | samayan kapanggyèng
ênu | Bango Samparan ngrasa | antuk pitulunging Widhi | sokur ing Hyang bungahe
marwata suta ||
Terjemahan:
Bango samparan segera berangkat | ia berjalan di Malam hari | RabutJalu . . . . . | Bango
Samparan menjumpai seorang anak | yang bernama Ken Angrok | . . . . | Bango Samparan
merasa | mendapat pertulungan Hyang | lantas mengucap syukur dengan bahagia.

44. Kèn Angrok nuli ingajak | kaya ge-age sinunggi | ingajak marang Karuman |
pinêndhêt suta ing mangkin | Bango Samparan nuli | dhumatêng patopan pangguh |
lan mêlandhang mêngsahnya | karone wus têmpuk main | Sang malandhang kalah
pan têlas-têlasan ||

Terjemahan:
Ken Angrok mengajak | untuk segera menunggu | di Karuman | mengambil seorang
anak | Bango Samparan lantas kembali | ke tempat perjudian itu | ia melawan bandar
judi itu | membalas kekalahannya | keduanya bermain dengan sengit | hingga
akhirnya sang bandar kalah telak.

45. kalahe Bango Samparan | wus bali sadaya mangkin | apan wus têtela nyata | Ki
Bango Samparan nênggih | antuk parmaning Widhi | dupi Ki Bango umantuk | saka
ing pamainan | Kèn Angrok tumut tan kari | kawuwusa Bango Samparan punika ||

Terjemahan:
Kekalahan bango samparan | telah kembali seperti semula | memang benar adanya |
kata bango Samparan dalam hati | petunjuk dari Hyang itu | lalu Bango Samparan
pulang | dari permainan judi itu | (lantas) Ken Angrok pun ikut | untuk dibawa pulang
oleh Bango Samparan

Anda mungkin juga menyukai