Anda di halaman 1dari 10

Wulangreh PUPUH 1 Dhandhanggula 1 - 8

SERAT WULANGREH
Yasa Dalem : Sri Susuhunan Pakubuwana IV

PUPUH I
DHANDHANGGULA

(01)
Pamedare wasitaning ati,
cumantaka aniru Pujangga,
dahat muda ing batine.
Nanging kedah ginunggung,
datan weruh yen keh ngesemi,
ameksa angrumpaka, basa kang kalantur,
turur kang katula-tula,
tinalaten rinuruh kalawan ririh,
mrih padanging sasmita.

Inilah curahan hati


Berlagak meniru pujangga
Tapi merasa harus disanjung
Tak sadar banyak yang mencibir
Memaksa diri merangkai kata, bahasa yang (justru) ngelantur
Bahasa yang carut marut
yang (jika) dicermati
(hanyalah) untuk terangnya isyarat (kata hati) semata.

(02)
Sasmitaning ngaurip puniki,
mapan ewuh yen ora weruha,
tan jumeneng ing uripe,
akeh kang ngaku-aku,
pangrasane sampun udani,
tur durung wruh ing rasa, rasakang satuhu,
rasaning rasa punika,
upayanen darapon sampurna ugi,
ing kauripanira.

Makna kehidupan itu


sungguh sayang bila tak tahu
tidak kokoh hidupnya,
banyak orang mengaku,
perasaannya sudah utama,
padahal belum tahu rasa,
rasa yang sesungguhnya,
hakikat rasa itu adalah,
usahakan supaya diri sempurna,
dalam kehidupan.

(03)
Jroning Quran nggoning rasa yekti,
nanging ta pilih ingkang unginga,
kajaba lawan tuduhe,
nora kena den awur,
ing satemah nora pinanggih,
mundak katalanjukan,
tedah sasar susur,
yen sira ajun waskita,
sampurnane ing badanira, (*kirang 3 wanda)
sira anggugurua.

Dalam Quran tempat rasa jati,


tapi jarang orang tahu,
keluar dari petunjuk,
tak dapat asal-asalan,
akhirnya tidak ketemu,
malahan terjerumus,
akhirnya kesasar,
kalau kamu ingin peka,
agar hidupmu sempurna,
maka bergurulah.

(04)
Jroning Quran nggoning rasa yekti,
nanging ta pilih ingkang unginga,
kajaba lawan tuduhe,
nora kena den awur,
ing satemah nora pinanggih,
mundak katalanjukan,
tedah sasar susur,
yen sira ajun waskita,
sampurnane ing badanira, (*kirang 3 wanda)
sira anggugurua.

Namun apabila kamu berguru


pilihlah manusia nyata
yang baik martabatnya
serta tahu hukum
yang beribadah dan sederhana
syukur dapat pertapa
yang sudah menanggalkan
pamrih pemberian orang
itu pantas kamu berguru
serta ketahuilah

(05)
Lamun ana wong micara kaki,
tan mupakat ing patang prakara,
aja sira age-age,
anganggep nyatanipun,
saringana dipun baresih,
limbangen lan kang patang :
prakara rumuhun,
dalil qadis lan ijemak,
lan kijase papat iku salah siji,
ana-a kang mupakat.

Kalau ada orang bicara ilmu


tak setuju empat perkara
jangan cepat-cepat
percaya padanya
saringlah yang teliti
pertimbangkan empat hal
perkara terdahulu
dalil hadis dan ijma
dan keempat qiyas semua
telah disepakati

(06)
Ana uga kang sira antepi,
yen ucul saka patang prakara,
nora enak legetane,
tan wurung tinggal wektu,
panganggepe wus angenggoki,
aja kudu sembah hyang,
wus salat kateng-sun,
banjure mbuwang sarengat,
batal haram nora nganggo den rawati,
bubrah sakehing tata.

Ada juga yang mantab


kalau tepat empat perkara
sungguh tidak tepat
hanya meninggalkan waktu
menganggap sudah tepat
hendak tidak shalat
hanya bikin tanggung
lalu membuang syariat
batal haram tak peduli
lalu bikin kacau

(07)
Angel temen ing jaman puniki,
ingkang pantes kena ginuronan,
akeh wong jaya ngelmune,
lan arang ingkang manut,
yen wong ngelmu ingkang netepi,
ing panggawening sarak,
den arani luput,
nanging ta asenengan,
nora kena den wor kakarepaneki,
pancene parijangga.

Sungguh sulit jaman sekarang


Mana yang pantas diteladani
(Meski) banyak yang hebat ilmunya
Tetapi jarang yang taat
Jikalau orang berilmu yang menjelaskan.
Jika orang berbuat baik
Dikatakan salah
Tetapi jika hanya bersenang-senang
Tak bisa dimengerti apa maksudnya
Betul-betul orang hebat

(08)
Ingkang lumrah ing mangsa puniki,
mapan guru ingkang golek sabat,
tuhu kuwalik karepe,
kang wus lumrah karuhun,
jaman kuna mapan si murid,
ingkang pada ngupaya,
kudu angguguru,
ing mengko iki ta nora,
Kyai Guru narutuk ngupaya murid,
dadiya kanthinira.

Umumnya dijaman sekarang


Justru guru yang mencari teman
Benar-benar terbalik keadaanya
Jamaknya (begitulah) yang biasa terjadi
Kalau jaman dulu, muridlah
Yang mencari guru
Tapi sekarang tidak
Kyai Guru berkeliaran mencari murid
Agar ikut dengannya
PAKUBUWANA IV

Oleh: Angga Oktanto

Pakubuwono IV

Serat Wulangreh merupakan salah satu karya Paku Buwana IV, putra Paku Buwana III.
Pakubuwana IV ini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bagus, yang mewarisi darah
kaprabon dan kapujanggan ramandanya. Mendapat gelar demikian karena memang memiliki
wajah yang sangat tampan. Dalam usia yang cukup belia, 19 tahun, Sunan Bagus naik tahta
menggantikan ayahandanya PB III. Pakubuwana IV memegang tampuk pemerintahan Kraton
Surakarta Hadiningrat sejak tahun 1788 sampai dengan 1820 M.
Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Beliau lahir dari
permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis
Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan
selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2
Oktober 1820 M (Purwadi, 2007:81).
Banyak jasa dan perubahan yang dilakukan oleh PB IV ini, baik itu bersifat fisik maupun
non-fisik. Dari sekian banyak warisan yang ditinggalkannya, ada beberapa yang masih dapat
kita saksikan sampai saat ini. Seperti Masjid Agung, Gerbang Sri Manganti, Dalem Ageng
Prabasuyasa, Bangsal Witana Sitihinggil Kidul, Pendapa Agung, dan juga Kori
Kamandhungan.
Paku Buwana IV yang mewarisi darah kaprabon sekaligus kapujanggan ini juga sangat
produktif dan kreatif dalam dunia pena, sehingga melahirkan banyak karya sastra yang
masih dapat diakses sampai sekarang. Konsep ketatanegaraan dan keilmuan yang dibangun
oleh PB IV, membuatnya sangat dikagumi oleh rakyat dan lingkungan istana. Bahkan juga
membangun tradisi-tradisi yang berbeda dari sunan-sunan (raja-raja) sebelumnya. Diantara
perubahan tradisi tersebut adalah pakaian prajurit kraton yang dulu model Belanda diganti
dengan model Jawa, setiap hari Jumat diadakan jamaah salat di Masjid Besar, setiap abdi
dalem yang menghadap raja diharuskan memakai pakaian santri, mengangkat adik-adiknya
menjadi pangeran (Purwadi., dkk, 2005:345). Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut
dimaksudkan untuk menjawakan kehidupan masyarakat, yang sebelumnya terkontaminasi
oleh budaya Belanda.
Berbagai upaya baik itu bersifat fisik maupun non-fisik, yang dilakukan PB IV banyak
membuahkan hasil, sehingga pantaslah jika beliau ditempatkan sebagai Pujangga Raja.
Dalam bidang sastra dan budaya, diantara karya-karya beliau yang terkenal adalah Serat
Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga
Kabulla Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sasana
Prabu, dan Serat Polah Muna Muni. Dari sekian karya PB IV tersebut, yang paling familiar
dalam masyarakat Jawa (bahkan kalangan akademik), adalah Serat Wulangreh. Karena
banyak ajaran-ajaran moral dalam serat tersebut yang diperhatikan oleh masyarakat Jawa,
bahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Purwadi, 2007:82).
Banyak ajaran yang dapat diambil dari Serat Wulangreh, baik itu yang bersifat mistik, ilmu
pengetahuan, agama, maupun moral-budi pekerti luhur. Adapun ajaran yang sifatnya mistik
dalam Serat Wulangreh adalah ajaran tentang Pamoring Kawula Gusti (bersatunya hamba
dan Tuhan). Ajaran tersebut memang sudah sangat familiar dalam kalangan amsyarakat Jawa.
Istilah pamoring kawula Gusti digunakan dalam Serat Wulangreh, tertulis pamore gusti
kawula.
Penggunaan istilah pamoring kawula-Gusti itu berasal dari kata pamor, yang merupakan kata
jadian dari amor (bersatu atau berkumpul), kata kawula yang berarti rakyat atau hamba, dan
kata gusti yang berarti raja, penguasa atau bahkan Tuhan. Dari penggunaan istilah-istilah
tersebut dapat dikatakan bahwa kata kawula yang berarti hamba atau rakyat melambangkan
badan wadag atau jasmani, sedangkan kata gusti merupakan lambang batin atau rohani. Jadi
pamoring kawula-gusti berarti bersatunya antara yang lahir dan yang batin.
Dalam serat Wulangreh terlihat adanya unsur sentralisme penguasa, yang berpusat di kraton.
Raja dan kraton yang dipandang oleh masyarakat Jawa (pada zamannya) sebagai pusat
kekuasaan, maka dalam serat itu tersirat adanya ajaran PB IV bahwa raja dan kraton juga
menjadi wadah semua kekuatan supranatural. Raja dan kraton memang merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan, tetapi juga memberikan indikasi bahwa dalam hidup ini ada
keteraturan kosmos yang harus tetap di jaga. Yaitu hubungan yang harmonis antara manusia
sebagai mikro kosmos (jagat cilik) dan alam sebagai makro kosmos (jagad gedhe). Kesatuan
antara keduanya bagi masyarakat Jawa dipandang sebagai terminal akhir hidup ini.
Wulangreh juga menunjukan adanya konsep dualisme, yaitu perbedaan antara dua kutub yang
saling bertentangan, seperti : siang-malam, laki perempuan, awal-akhir, sedih-bahagia, baik-
buruk, positif-negatif, hidup-mati, dan lain sebagainya. Konsep dualisme tersebut merupakan
suatu ketentuan dari Tuhan, yang sudah menjadi kehendak-Nya dan harus dijalani oleh
manusia. Konsep tersebut harus dipahami sebagai bentuk simbolis dari kesatuan atau
koordinasi yang harmonis. Sehingga manusia Jawa dituntut untuk menjaga keseimbangan
alam, Memayu Hayuning Bawana.
Dalam konsep kesatuan dan keteraturan alam, segala kejadian atau realitas kehidupan
dipandang sebagai satu kesatuan, bukan berdiri sendiri-sendiri. Karena segala yang terjadi
merupakan bagian dari totalitas kosmos yang dikendalikan oleh kekuatan supranatural, dan
inilah yang sebut sebagai kasunyatan (hakekat). Realitas lingkungan manusia itu pada
prinsipnya adalah masalah spiritual, bukan realitas kasat mata yang dapat kita indra setiap
hari. Jadi, realitas materi yang setiap hari kita saksikan sebenarnya adalah masalah batin,
bagian dari percikan hakekat kosmos, refleksi dari system sebab akibat yang lebih tinggi.
Kasunyatan adalah realitas sejati, jelas dan evident, menjadi sebab akibatnya itu sendiri
(Purwadi, 2007:85).
Pandangan masyarakat Jawa terhadap kraton bukan hanya sebatas sebagai pusat politik
pemerintahan dan budaya, tetapi juga menjadi pusat kramat kerajaan (Fachry Ali, 1986:21).
Oleh sebab itu lahirnya karya sastra mistis Wulangreh ini, mencerminkan pemikiran seorang
pujangga Jawa sekaligus seorang bangsawan, sehingga terlihat adanya semangat politik
pemerintahan dan kekuasaan. Raja adalah milik public, sebagai manifestasi dari institusi
negara yang berusaha mewujudkan keselarasan antara rakyat dan pemerintah, manusia dan
alam, serta antara kawula lan Gusti (manusia dan Tuhan). Bahkan dalam memaknai ilmu,
keutamaan ilmu, kewajiban menuntut ilmu, memilih guru, dan bahkan resiko bagi yang
mengabaikan petunjuk raja akan diikuti oleh seluruh rakyat, sebagai yang terlihat pada Serat
Wulangreh Pupuh Kinanthi pada 2-3 dan Pupuh Dhandhanggula pada 2-6 di bawah ini:
1.Padha gulangen ing kalbu
Ing sasmita amrih lantip
Aja pijer mangan nendra
Ing kaprawiran den kaesthi
Pesunen sariranira
Cegahen dahar lain guling
Latihlah (ilmu) Qalbu
Agar sasmita (intuisi) semakin tajam
Jangan hanya makan dan tidur
Berkonsentrasilah pada keperwiraan
Berjuanglah (mengolah) diri
Kurangilah makan dan tidur.

2.Dadia lakunireku
Cegah dhahar lawan guling
Lan aja kasukan-sukan
Anganggoa sawatawis
Ala wateke wong suka
Nyuda prayitna ing batin
Jadikanlah amaliahmu
Mengurangi makan dan tidur
Jangan bersuka-suka (foya-foya)
Berpakaianlah yang sederhana
Buruklah watak orang berfoya-foya
(karena) mengurangi kewaspadaan batin.

2.sasmitaning ngaurip puniki,


yekti ewuh yen nora weruha
tan jumeneng ing uripe,
sakeh kang ngaku-aku,
pangrasane pan wus utami,
tur durung wruh ing rasa,
rasa kang satuhu,
Makna kehidupan itu
sungguh sayang bila tak tahu
tidak kokoh hidupnya,
banyak orang mengaku,
perasaannya sudah utama,
padahal belum tahu rasa,
rasa yang sesungguhnya,

3.rasaning rasa punika,


upayanen dara sampurneng dhiri,
ing kauripanira.
jroning Quran nggoning rasa jati,
nanging pilih wong kang uningaa,
anjaba lawan tuduhe
nora kena binawur,
ing satemah nora pinanggeh,
mundhak katalanjukan
temah sasar susur
yen sira ayun waskitha,
kasampurnaning badanira puniki,
sira anggegurua
hakikat rasa itu adalah,
usahakan supaya diri sempurna,
dalam kehidupanmu.
Dalam Quran bersemayam rasa jati,
tapi hanya orang terpilih yang tahu,
keluar dari petunjuk-Nya
tak dapat asal-asalan (ngawur),
akhirnya tidak menemukan,
malahan terjerumus,
akhirnya tersesat,
kalau kamu ingin peka sasmita,
maka bergurulah.

4.Nanging yen sira nggeguru kaki,


amiliha manungsa kang nyata,
ingkang becik martabate,
sarta kang wruh ing khukum,
kang ibadah lan kang wirangi,
sokur oleh wong kang tapa,
iya kang wus mungkul
tan mikir piwewehing liyan,
iku pantes yen den guronana kaki
Namun apabila kamu berguru
pilihlah manusia nyata
yang baik martabatnya
serta tahu hukum
yang beribadah dan hidup wara
syukur dapat orang zuhud
yang sudah menanggalkan
pamrih pemberian orang
itu pantas kamu berguru

5. sartane kawruhana.
Lamun ana wong micara ilmi,
tan mufakat ing patang prakara,
aja sira age-age,
anganggep nyatanipun,
saringana dipun baresih,
limbangen kang patang
prakara rumuhun
dalil hadis lan ijmak,
lan kiyase papat iku salah siji,
adate kang mufakat.
serta ketahuilah
kalau ada orang membincang ilmu
tidak mufakat dalam empat perkara
jangan cepat-cepat percaya kepadanya
saringlah yang teliti
pertimbangkan empat hal
perkara terdahulu
dalil (Quran), hadis (hadits) dan ijma
dan keempat qiyas, keempat hal itu semua
yang telah di sepakati

6.Ana uga kena den antepi


yen ucula kang patang prakara
enak eca legatane,
tan wurung tinggal wektu,
penganggepe wus angengkoki,
aja kudu sembahyang,
wus salat katanggung,
banjure mbuwang sarengat,
batal karam nora nganggo den rawati,
mbubrah sakehing tata.
ada juga yang harus diingat-ingat
kalau lepas empat perkara
nikmat lezat diumbar lepas
ujungnya meninggalkan waktu (shalat)
menganggap (tindakannya) sudah tepat
jangan mewajibkan shalat
(karena) hanya membikin tanggungan
selanjutnya membuang syariat
batal haram tidak dipedulikan lagi
kacaulah semua aturan hukum

Anda mungkin juga menyukai