Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KITAB PARARATON

Penulisan sejarah atau historiografi dari waktu ke waktu selalu berbeda. Seorang yang
menuliskan sejarah pasti dipengaruhi oleh jiwa jaman pada masanya atau disebut zeitgeist.
Selain itu ada beberapa faktor yang juga ikut mempengaruhi historiografi, antara lain faktor
sosial-politik, sosial-ekonomi dan sosial-budaya.Menurut Sartono Kartodirdjo, di dalam
historiografi Indonesia terdapat tiga tahap perkembangannya, yaitu tahap tradisional, tahap
kolonial, dan tahap modern. Ketiganya mempunyai ciri-ciri tersendiri. Tiga tahap historiografi di
Indonesia tersebut sebaiknya kita pahami untuk memeperoleh pengetahuan tentang arah atau
kecenderungan pemikiran dan penulisan tentang masa lampau sehingga kita bisa merekontruksi
Sejarah Indonesia.
Tahapan historiografi Indonesia yang paling awal yaitu historiografi tradisonal, contohnya seperti
Babad, Hikayat, Silsilah atau kronik. Historiografi pada tahap ini mengadung unsur-unsur seperti
mitos, legenda, magis dan ramalan, tetapi juga terdapat fakta sejarah. Fakta sejarah inilah yang
perlu kita cari untuk merekonstruksi cerita yang sebenarnya. Tentu saja hal ini memerlukan
penelitian serta interpertasi yang tidak mudah.
Salah satu historiografi Indonesia pada tahap tradisional adalah Pararaton yang ditulis pada akhir
abad ke XV, dalam bentuk prosa (gancaran). (Poesponegoro, 1993:397) Pararaton adalah satusatunya karya tentang sejarah Singasari dan Majapahit yang benar-benar dimaksudkan sebagai
karya sejarah. Namun uraiannya dibatasi sampai kepada para raja di Singasari dan Majapahit saja
(raja-sentris). Tidak menyajikan uraian tentang apa yang terjadi di luar istana raja. Pararaton
menyajikan uraian tentang alur keluarga para raja, tanggal wafatnya masing-masing dan tempat
candi makamnya, serta disana sini ditambah dengan kisah pribadi para pelaku dan raja yang
bersangkutan. (Slamet Muljana, 1983: 35-36) Selain itu, tentu saja Pararaton yang termasuk
historiografi tradisional banyak terkandung unsur-unsur yang menurut Sartono adalah unsur
religio-magis dan kosmogonis yang berdasarkan dari ajaran agama Hindu-Budha yang
berkembang pada waktu itu.
UNSUR RELIGIO-MAGIS
Dalam lingkungan sosio-kultural dari historiografi tradisional contohnya Pararaton ini, ada
kekuatan religio-magis yang menggerakan sejarah. Unsur-unsur ini dipengaruhi oleh alam pikir
masyarakat pada waktu itu yang menganut agama Hindu dan Budha, diantaranya:
1) Kelahiran Ken Arok
Menurut Kitab Pararaton Ken Arok adalah penjelmaan kembali seorang yang pada waktu
hidupnya di dunia merupakan seorang yang bertingkah laku tidak baik, tetapi karena ia sanggup
dijadikan korban untuk dewa penjaga pintu, maka ia dapat kembali ke Wisnubhawana. Dengan
tujuan setelah hidup kembali di dunia supaya menjadi orang yang lebih baik. Dari sini dapat
dilihat adanya doktrin utama Hinduisme, yaitu bahwa manusia dapat berkumpul kembali dengan
brahmana, setelah mencapai kesempurnaan hidup. Sebelum itu, tiap kali ia akan kembali ke
dunia. Rangkaian hidup-mati berulang kali, yang perlu dijalani untuk mencapai kesempurnaan
itu dalam agama Hindu disebut samsara.
Ken Arok dikatakan adalah sebagai putra Bhatara Brahma dengan Ken Endok akibat
persetubuhan Dewa Brahma. Di sini dimaksudkan memberikan cerita bahwa walaupun Ken Arok
lahir dari ibu yang hanya sebagai petani, tetapi mengaitkan dengan Dewa Brahma, sebagai dewa
tertunggi pencipta semesta alam dalam mitologi Hindu. Hal ini akan berkaitan dengan cerita

kehidupannya Ken Arok di dunia.


Ketika menjadi bayi, ken Arok telah menunjukan keistemawaan, karena tubuhnya Ken Arok
yang diceritakan dapat mengeluarkan sinar. Inilah yang menyebabkan seorang pencuri bernama
Lembong mengambil Ken Arok menjadi anak, karena melihat sinar cahaya dari dirinya ketika
bayi. Dapat dijelaskan bahwa sinar yang dalam bahasa Sansekerta Prabha diisyaratkan sebagai
lambang keluhuran budi, kesucian jiwa dan kemurnian hati orang yang bersangkutan. (Muljana,
hal 43-44)
2) Peranan Dewa Siwa
Untuk menunjukan kebesarannya, Ken Arok juga disebutkan sebagai titisan dari Dewa Wisnu.
Dalam kitab Pararaton dijelaskan bahwa ada seorang Brahmana dari India datang ke Pulau Jawa
untuk mencari Dewa Wisnu yang menjelma sebagai seseorang di Pulau Jawa, yang bernama Ken
Arok.
Dalam mitologi Hindu, Dewa Wisnu dianggap sebagai penyelamat dunia. Dalam cerita ini, Ken
Arok sebagai titisan Dewa Wisnu mempunyai tugas untuk menyinarkan bahaya yang
mengancam kelestarian Pulau Jawa. Yang dimaksud dengan bahaya adalah Raja Kertajaya di
Kediri. Sebelum berhasil, maka tugas Ken Arok di dunia belum selesai. Dewa Wisnu tidak
pernah gagal dalam menunaikan tugasnya. Demikianlah Ken Arok akan selalu dibantu oleh para
Dewa sebelum dapat menyelesaikan tugasnya. Hal ini dapat dilihat dalam Pararaton, yaitu ketika
Ken Arok dalam keadaan yang membahayakan jiwanya, seperti ketika dikejar oleh orang-orang
desa, Ken Arok dapat mengatasinya dan berhasil lolos. (Muljana, hal. 45) Selain itu untuk
melegitimasikan Ken Arok sebagai seorang raja yang diberkahi para Dewa, maka diceritakan
bahwa Ken Arok merupakan orang yang terpilih dari musyawarah para Dewa di Gunung Lejar.
Ken Arok dipilih karena ia memang seorang putra dari Bhatara Guru atau putra Bhatara Siwa.
3) Ken Dedes Sebagai Ardhanareswari
Setelah brahmana Lohgawe bertemu dengan Ken Arok, kemudian Ken Arok di bawa ke Tumapel
untuk dipertemukan dengan akuwu Tunggul Ametung dan dapat diterima sebagai pembantunya.
Selanjutnya diceritakan bahwa Tunggul Ametung mempunyai istri yang sangat cantik bernama
Ken Dedes. Ken Dedes diceritakan sebagai putri dari pendeta di Panawijen yang bergelar Mpu
Purwa. Kecuali cantik, Ken Dedes juga seorang wanita susila yang telah matang dalam ilmu,
karena telah mempelajari karma amamadangi yaitu laku utama yang menuntun ke kesempurnaan
yang diturunkan oleh ayahnya.
Diceritakan bahwa, Ken Arok jatuh cinta kepada Ken Dedes di taman Baboji setelah ia melihat
Ken Dedes turun dari kereta dan betisnya mengeluarkan cahaya. Kemudian Ken Arok
menanyakan kepada brahmana Lohgawe dan menurutnya, seorang wanita yang rahasianya
menyala adalah seorang wanita yang sangat utama, namanya ardhanareswari. Ia adalah wanita
bertuah yang akan membawa bahagia, siapapun yang memperistrinya, akan menjadi raja besar.
Dalam mitologi Hindu para Dewa masing-masing mempunyai istri, termasuk Bhatara Siwa
mempunyai istri Dewi Parwati. Dalam perkawinannya dengan Dewa Siwa, Dewa Parwati
disebut ardhanareswari. Oleh karena dalam Pararaton Ken Dedes disebut ardhanareswari, maka
Ken Dedes disamakan dengan Dewi Parwati. Sedangkan Ken Arok seperti yang sudah dijelaskan
di atas adalah sebagai titisn Dewa Wisnu, maka sudah selayaknyalah Ken Dedes dan Ken Arok
menjadi suami istri.
5) Kepercayaan terhadap kutukan/umpatan
Dalam Pararaton terdapat beberapa cerita yang mengisahkan seorang tokoh mengutuk atau
mengumpat, antara lain ketika Mpu Purwa ayah dari Ken Dedes yang mengutuk Tunggul
Ametung setelah menculik anaknya, dalam Pararaton sebagai berikut: semoga yang melarikan

anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil istrinya,.
Ternyata pada kisah berikutnya umpatan tersebut menjadi kenyataan, yaitu ketika Tunggul
Ametung tewas ditusuk keris buatan Mpu Gandring oleh Ken Arok.
Selain itu umpatan juga di berikan kepada Ken Arok oleh Mpu Gandring, yaitu:
buyung Arok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak-cucumu akan mati karena keris itu
juga, Mpu Gandring yang sedang sekarat menjatuhkan umpat kepada Ken Arok, bahwa ia juga
akan mati karena tusukan keris Gandring itu, bahkan tidak hanya Ken Arok, tetapi juga
keturunannya akan mengalami hal yang sama. Dalam Pararaton memang terdapat uraian tentang
kematian Anusapati anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung yang menjadi raja kedua dan
Nararya Tohjaya anak Ken Arok dari Ken Umang yang menjadi raja ketiga akibat tusukan keris
Gandring.
Hal tersebut ditafsirkan sebagai terkabulnya umpat Mpu Gandring. Umpat yang dijatuhkan
seseorang yang sakti, seorang raja atau orang tua kepada anaknya. Kepercayaan kepada umpat
dalam masyarakat Jawa tidak hanya terdapat dalam berbagai bentuk dongeng dalan sastra Jawa,
tetapi saat ini juga benar-benar masih dirasakan. (Muljana, hal. 58-59)
UNSUR KOSMOGONIS
Unsur kosmogonis yaitu unsur-unsur yang berkaitan dengan kekuatan alam. Penulisan Pararaton
juga tidak terlepas dari unsur ini, yang terlihat pada konsep berulang-ulang atau setengah siklis
dalam urutan kejadian-kejadian.
1) Konsep Gunung
Unsur kosmogonis pada kitab Pararaton dapat ditunjukan pada uraian tentang permusyawarahan
para dewa di Gunung Lejar. Gunung dalam mitologi Hindu juga dianggap sebagai tempat yang
suci dan merupakan tempat kediaman para dewa. Gunung-gunung di Pulau Jawa didentifikasikan
sebagai ceceran dari Gunung Mahameru yang berada di Jambudwipa (India) yang akan
dipindahkan ke Yawadipa (Jawa). Gunung Mahameru itu berada di pusat pulau maha besar yang
disebut Jambudwipa (India), sedangkan keseluruhan kosmos terdiri dari tujuh Dwipa (pulau),
yang masing-masing dikelilingi oleh lautan yang luas.(Edi Sedyawati, 1993: 45)
Penggambaran para dewa yang terletak di gunung itu juga menggambarkan alam kehidupan
dalam kosmologi Hindu. Secara vertikal, alam kehidupan dalam kosmologi dibagi tiga, yang
teratas disebut swarloka atau swarga, yaitu tempat dewa-dewa serta para pendamping dan
pengiringnya. Bagian tengah disebut bhuwarloka, yaitu tempat manusia hidup. Adapun yang
terbawah disebut bhurloka.
2) Bencana Alam
Unsur kosmologi di dalam Pararaton juga sering kita temukan, yaitu ketika menerangkan
kejadian alam seperti gunung meletus, gempa bumi hingga masa kekurangan pangan. Ada sekitar
lima letusan gunung yang diceritakan pada masa Kerajaan Majapahit. Bencana alam tersebut
dipercaya sebagai tanda akan terjadinya pralaya. Inilah yang menyebabkan beberapa raja
memindahkan pusat kerajaannnya.
Pandangan kosmogoni Hindu menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dan dihancurkan
secara berkala. Setiap zaman yang berlangsung berjuta-juta tahun, diawali dengan penciptaan
(srsti), kemudian menyusul tahap pemeliharaan (stihiti) dan diakhiri dengan penghancuran
kembali (pralina/pralaya). Ketiga tahap tersebut merupakan tugas masing-masing dari dewa
Brahma, Wisnu, dan Siwa. Demikian juga dengan sebuah kerajaan, dipercaya juga mengalami
proses seperti itu. Pada setiap keberadaan dunia dan juga kerajaan itu, pada tahap pemeliharaan
dibagi lagi ke dalam 4 zaman besar yang disebut yuga, yaitu:

1. Kertyuga (zaman emas). Dalam zaman ini tidak ada kejahatan sama sekali. Maka manusia
tidak memerlukan kitab suci.
2. Tretayuga (zaman perak), manusia sudah kenal baik dan buruk. Maka manusia memerlukan
sebuah kitab suci (weda) sebagai bimbingan dan pegangan hidup.
3. Dwarapuga (zaman perunggu). Kejahatan meningkat, oleh karena itu manusia memerlukan
dua buah kitab suci weda untuk memimpinnya ke arah kebaikan.
4. Kaliyuga (zaman besi). Pada zaman ini, kejahatan semakin meningkat dan semakin lama
semakin hebat. Manusia diberi tiga buah kitab weda untuk dapat mengekang diri, agar jangan
sampai terjerumus ke dalam kejahatan.
3) Struktur Pemerintahan dan Gelar Raja
Dari uraian Pararaton mengenai pemerintahan Kerajaan Majapahit, seperti raja, raja daerah
(bhre), patih, menteri, disebutkan pula adanya golongan darmaputra-radja, jabatan demang dan
temenggung. Struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit yang bersifat territorial dan
desentralisasi ini dipengaruhi juga oleh kepercayaan yang bersifat kosmogonis. Berdasarkan
konsep ini maka seluruh kerajaan dianggap sebagai replika dari jagad raya, dan raja Majapahit
disamakan dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Mahemeru. Wilayah Kerajaan
Majapahit yang terdiri atas negara-negara daerah juga disamakan dengan tempat tinggal para
dewa lokapala (dewa penjaga arah mata angin) yang terletak di keempat penjuru mata angin.
Unsur kosmologi, juga dapat kita lihat dari pemberian nama atau gelar raja. Salah satunya yang
terdapat pada kitab Pararaton, yaitu Baginda Wirabumi. Wirabumi berasal darikata Wira/perwira
yang artinya pahlawan/ksatria yang gagah berani dan bumi yang artinya dunia. Jadi dapat
diartikan Wirabumi itu sebagai Pahlawan yang gagah dan berani di dunia.
FAKTA SEJARAH
Kitab Pararaton menurut Soekmono, sangat kurang dapat dipercaya. Hal ini dikarenakan isinya
lebih bersifat dongeng. Mula-mula diuraikan riwayat Ken Arok yang penuh kegaiban, hingga
raja-raja yang berkuasa di Singasari dan Majaphit dengan disertai angka tahun yang tidak cocok.
(Soekmono, 1973:120) Tetapai bagaimanapun juga, Pararaton mempunyai fakta sejarah yang
tentu saja tidak dapat berdiri sendiri. Maksudnya adalah, Pararaton sebagai sumber sejarah
tradisional, juga harus diperkuat oleh beberapa sumber sejarah lainnya, seperti kitab
Negarakertagama, dan prasasti-prasasti yang bersangkutan. Beberapa fakta sejarah yang ada
dalam Pararaton, antara lain:
1) Tentang nama-nama tokoh
Contohnya saja tokoh Anusapati. Menurut Negarakretagama maupun Pararaton menyatakan
bahwa Sang Anusapati menjadi raja di Tumapel sepeninggal Raja Rajasa (Ken Arok) pada tahun
1248. Selain itu adanya candi makam di Kidal merupakan bukti nyata bahwa Sang Anusapti
memang tokoh sejarah, karena dalam Pararaton diceritakan bahwa setelah wafat, Sang Anusapati
dicandikan di Candi Kidal.
Selain itu tokoh Nararya Tohjaya juga merupakan sebuah fakta sejarah tentang seorang raja di
Tumapel sesudah masa pemerintahan Sang Anusapati. Sebelumnya tokoh ini hanya dikenal dari
pernyataan Pararaton, namun di dalam prasasti Mula-Malurung maka kesejarahan tokoh Tohjaya
dapat ditetapkan. Selain itu hampir semua tokoh-tokoh sejarah di sekeliling Nararya Tohjaya
yang disebutkan dalam Pararaton ditemukan juga pada prasasti Mula-Malurung seperti
Pranaraja, Panji Patipati, Ranggawuni.
Pararaton juga mengatakan bahwa Mahisa Cempaka yang kemudian mengambil nama Narasinga
diangkat sebagai ratu angabhaya (wakil raja). Hal ini juga merupakan fakta sejarah, karena

pernyataan itu juga diperkuat oleh prasasti Penampihan, bertarikh 31 Oktober 1269, karena
prasasti menyebut nama Narasingamurti sebagai penguasa yang tertinggi di negara Tumapel.
(Muljana: 83)
2) Tentang peristiwa penting
Banyak sekali peristiwa penting dalam Pararaton yang menjadi fakta sejarah walaupun tariknya
banyak yang berbeda dari sumber yang lain. Tetapi paling tidak penyebutan atau nama dari
peristiwa tersebut sama dengan sumber yang lain. Karena Pararaton bersifat raja-sentris dan
istana-sentris, maka peristiwa itu berkaitan dengan munculnya suatu kerajaan, naik pangkat serta
wafatnya raja-raja, dan silsilah para raja.
Selain itu juga terdapat beberapa peristiwa yang lainnya, diantaranya mengenai ekspedisi militer
ke Malayu yang dilancarkan oleh Sri Kertanagara pada tahun 1275. pernyataan ini didukung oleh
Negarakretagama pupuh XLI/5 yang menyatakan bahwa alasan pengiriman ekspedisi militer ke
Negeri Malayu pertamanya dimaksudkan untuk menakut-nakuti penguasa Negeri Malayu agar
mau tunduk secara damai, tanpa melalui perang. Peristiwa tersebut juga didukung beberapa
prasasti, diantaranya prasasti Amoghapasa yang dikeluarkan oleh Sri Kertanagara pada tanggal
22 Agustus 1286 dan ditujukan kepada Raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa di Suwarnabhumi
(Malayu). Diceritakan bahwa ekspedisi militer ke Suwarnabhumi tersebut berhasil dengan
gemilang. (Muljana: 93)
Pararaton menyajikan uraian panjang tentang perang antara tentara Tumapel di bawah pimpinan
Raden Wijaya (Nararya Sanggramawijaya) dengan tentara Gelang-Gelang yang datang dari
jurusan utara. Pada peristiwa itu, diceritakan bagaimana Raden Wijaya harus keluar masuk hutan
dan sampai di rumah kepala desa Pandakan untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke
Madura untuk meminta bantuan kepada Adipati Wirarja di Sumenep.
Pandakan terletak di sebelah barat daya Bangil di seberang selatan Sungai Porong. Di lereng
Gunung Butak di Kabupaten Majakerta di temukan lempengan tembaga berisi prasasti bertarikh
11 September 1294, terkenal dengan prasasti Kudadu tentang anugrah tanah Kudadu kepada
kepala desa Kudadu atas jasanya kepada Raden Wijaya dalam perjalanan ke Madura.(Muljana:
110)
3) Tentang letak suatu tempat
Pararaton mengisahkan bahwa Raden Wijaya setelah mengabdi kepada Raja Jayakatwang di
Kediri, atas nasihat Aria Wiraraja meminta untuk membuka hutan Tarik, yang nantinya akan
berkembang menjadi kerajaan Majapahit. Pararaton juga menceritakan sangat jelas tentang asalusul nama kerajaan Majapahit dan juga letaknya. Nama Majapahit berasal dari kata buah maja
yang rasanya pahit.
Saat ini di sepanjang lembah Sungai Brantas masih banyak ditemukan pohon maja. Di sepanjang
lembag Sungai Brantas juga ditemukan berbagai tempat dengan nama maja seperti: Majasari,
Majawarna, Majakerta, Majajejer dan Majaagung. Majapahit terletak di sebelah selatan
Trawulan, di sebelah kanan jalan Majagung-Majakerta. Pernyataan tersebut didukung dengan
ditemukannya berbagai macam peninggalan arkeologi, seperti candi, pertirtaan, pintu gerbang
dan juga berbagai artefak. Saat ini, letak pusat Kerajaan Majapahit dijadikan sebuah situs yang
disebut dengan situs Trowulan yang tberada dalam wilayah administrasi kecamatan Trowulan
dan Kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto.
Letak candi sebagai tempat pemujaan setelah seorang raja wafat juga dapat kita temukan dalam
Pararaton. Antara lain candi Kidal, candi Jago dan candi Singasari sampai saat in masih berdiri
tegak, dan itu merupakan sebuah fakta sejarah yang tidak dapat kita pungkiri lagi.

Anda mungkin juga menyukai