Seran = Seram
Tajung Pura = Kerajaan tangjung Pura, Ketapang, Kalimantan Barat
Haru = Sumatra Utara (ada kemungkinan merujuk kepada Karo)
Pahang = Pahang di Semenanjung Melayu
Dompo = Kabupaten Dompu
Bali = Bali
Sunda = Kerajaan Sunda
Palembang = Palembang atau Sri Wijaya
Tumasik = Singapura
Sumpah Palapa tersebut sangat menggemparkan para undangan yang hadir
dalam pelantikan Gajah Mada sebagai patih Amangku bumi. Ra Kembar
mengejek Gajah Mada sambil mencaci maki, undangan yang lain turut
serta mengejek, Jabung Tarewes dan Lembu Peteng tertawa terpingkal
pingkal. Gajah Mada yang merasa terhina akhirnya turun dari paseban
menghadap kaki sang Ratu dan berkata bahwa hatinya sangat sedih dengan
penghinaan tersebut. Akhirnya setelah acara tersebut Gajah Mada
kemudian menyingkirkan Ra Kembar untuk membalaskan dendamnya
karena mendahului mengepung Sadeng. Sumpah Palapa tersebut
diucapkan dengan kesungguhan hati oleh Gajah Mada , oleh karena itu ia
sangat
marah
ketika
ditertawakan.
Program politik yang dijalankan oleh Gajah Mada berbeda dengan yang
dijalankan oleh Prabu Kertarajasa dan Prabu Jayanagara dimana dalam
masa pemerintahan ke dua tokoh tersebut para menteri kebanyakan diambil
dari orang orang yang terdekat yang dianggap berjasa oleh kedua tokoh
tersebut. Dan ketika orang orang kepercayaan tersebut melakukan
pemberontakan maka pemerintahan tersebut hanya disibukkan oleh
sama. Selain itu juga menjadi lebih kuat menghadapi ancaman penjajah
asing (Tiongkok/Tartar), menggantinya menjadi hubungan kerjasama
dagang dan budaya yang saling menguntungkan masing-masing pihak.
Beberapa Catatan tentang Keberhasilan Patih Gajah Mada sebagai berikut :
1. Memadamkan pemberontakan : Ra Kuti
2. Keberhasilannya mengawal terjadinya peralihan kekuasaan saat
mangkatnya Jayanegara. Keadanaan istana genting,dan para Ratu
( Tribhuaneswari, Narendraduhita, Pradnya Paramita, Dyah Dewi
Gayatri dan Dara Petak ) bingung karena tidak ada lagi penerus lakilaki. Saat itu merupakan masa sulit karena penuh intrik, terutama
karena ada perseteruan antara Cakradara dan Kudamerta.
3. Memadamkan pemberontakan Sadeng pada tahun 1331,sehingga
membuat AryaTadah (Patih Majapahit) harus merelakan
menyerahkan jabatannyakepada Gajah Mada. Sumpah Amukti
Palapa,yang berhasil mempersatukan Nusantara sampai Philipina
bag.selatan
4. Menerbitkan
Kitab
Hukum
Kerajaan
Majapahit.
Selain sebagai negarawan, Gajah Mada terkenal pula sebagai ahli
hukum. Kitab hukum yang ia susun sebagai dasar hukum di
Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan kitab hukum
Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu Manawasastra, serta
disesuaikan
dengan
hukum
adat
yang
berlaku.
Arca Gajah Mada
Walaupun usianya terbilang muda untuk menggantikan posisi sebagai
Majapahit, namun tidak seorang pun yang meragukan pengabdian dan
kesetiaan Gajah Mada terhadap raja dan negaranya. Dimulai dari tindakan
heroiknya menyelamatkan sang prabu dari kejaran para pengikut
pemberontak Ra Kuti, kemudian membalikkan keadaan dan
mengembalikan sang prabu ke singgasananya. Atas kepemimpinan Gajah
Mada pula, persaingan politik perebutan takhta antara dua satria
pendamping para putri kedaton bisa diredam, sehingga pergantian
Air terjun di daerah Madakaripura di yakini sebagai tempat Gajah Mada mengasingkan
diri setelah peristiwa Bubat.
Gajah Mada yang demikian tidak sejalan dengan sang prabu dan
keluarganya. Gajah Mada lebih memandang tunduknya dua kerajaan
Sunda di wilayah barat tersebut mesti diberlakukan sama dengan
tunduknya kerajaan-kerajaan lain, kalau perlu dengan kekuatan militer.
Sedangkan sang prabu dan keluarga lebih memilih jalan damai.
Jalan damai tersebut salah satunya adalah dengan berbesanan dengan
keluarga kerajaan Sunda Galuh. Alasan Gajah Mada mengajak kerajaankerajaan di seluruh nusantara bersatu salah satunya adalah untuk
menggalang kekuatan melawan pasukan dari kerajaan Tar Tar yang hendak
memperlebar wilayah kekuasaannya sampai ke arah selatan. Wilayah
nusantara yang sebagian besar terdiri atas perairan mendorong Majapahit
memperkuat armada lautnya. Armada laut inilah yang setiap hari berpatroli
di dalam wilayah laut nusantara melindungi kapal-kapal dagang yang
melintas, sekaligus membentengi wilayah nusantara dari kemungkinan
serbuan
bangsa
Tar
Tar.
Pandangan keras Gajah Mada berujung pada kesalahan pengelolaan
keadaan sehingga terjadi perang bubat. Raja Sunda Galuh dan seluruh
pengiringnya tewas dibantai di lapangan bubat, termasuk calon permaisuri
sang prabu. Gajah Mada yang kemudian dicopot dari jabatan mahapatih
menjadi orang biasa, akhirnya memutuskan untuk menghabiskan sisa
hidupnya di sebuah tempat untuk bertapa dan mawas diri. Tempat
pertapaan Gajah Mada tersebut terletak di kaki gunung Bromo, di sebuah
wilayah yang disebut Sapih. Sampai saat ini, tempat tersebut lebih terkenal
dengan
sebutan
Madakaripura.
Peristiwa bubat tidak menyebabkan kerajaan Sunda Galuh merasa perlu
untuk membangun kekuatan militer dan menyerang kerajaan Majapahit.
Orang-orang Sunda Galuh cinta damai. Walaupun demikian, secara
individu beberapa orang yang setia kepada raja Sunda Galuh yang
terbantai di lapangan bubat, memutuskan untuk membalas dendam secara
sembunyi-sembunyi. Mereka kemudian membentuk satu kelompok penari
tayub yang diberangkatkan ke Majapahit dengan sasaran bidik yang sudah
jelas,
yaitu
Gajah
Mada.
Gerakan senyap dan samar yang dilakukan orang-orang Sunda ini langsung
menusuk ke lingkungan istana Majapahit. Persiapan yang sangat matang
dan teliti adalah kunci keberhasilan gerakan tersebut. Setiap anggota
kelompok ini sudah pasti mahir berbahasa Jawa dan menguasai kesenian
Jawa. Pagelaran tari tayub pun di selenggarakan di dekat markas prajurit
Majapahit, dengan tujuan untuk menggaet beberapa prajurut Majapahit
pilihan, dan mengubahnya untuk dijadikan eksekutor lapangan yang
nantinya
akan
memburu
Gajah
Mada.
Kecantikan dan gemulainya gerakan penari sunda adalah senjata utama
mereka. Tujuan tersebut hamper berhasil mereka capai. Seorang prajurit
pilihan Majapahit berpangkat lurah, yang dulunya menjadi pengawal setia
Gajah Mada, yang juga pemimpin prajurit pelindung istana kepatihan
akhirnya masuk perangkap namun Gajah Mada tidak berhasil mereka
singkirkan.
Wafatnya Patih Gajah Mada
Dalam Pararaton dikisahkan setelah peristiwa Bubat, Patih Gajah Mada
Mukti Palapa yaitu kepergian Gajah Mada dari kepatihan dan
melaksanakan pengembaraan untuk menghindari kemarahan Prabu Hayam
Wuruk dan keluarga kerajaan lainnya. Namun pengembaraan tersebut tidak
berlangsung lama , pada tahun saka 1281 atau tahun masehi 1359 patih
Gajah Mada ikut serta dalam kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke daerah
Lumajang. Peristiwa tersebut tercatat dalam kitab NegaraKertagama pupuh
18/2. Pada Tahun saka 1284 Prabu Hayam Wuruk mengadakan upacara
Srada yaitu penghormatan untuk Gayatri, Gajah Mada sebagai patih
Amangku bumi tampil kemuka mempersebahkan arca putri cantik yang
sedang bersedih berlindung dibawah gubahan Nagapuspa yang melilit
Rajasa.
Selanjutnya dalam pararaton dikisahkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk
dengan Paduka Sori setelah peristiwa Bubat dimaksudkan untuk
menghibur Prabu Hayam Wuruk yang menderita kepedihan akibat
kegagalan perkawinannnya dengan Dyah Pitaloka dari kerajaan Pasudan.
Setelah perkawinan tersebut keadaan menjadi reda, kemarahan Prabu
hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada menjadi berkurang dan kelanjutan
Pajang
tahun
saka
1275
Lasem
tahun
saka
1276
Pajang
tahun
saka
1279
Lumajang
tahun
saka
1281
Dalam perjalanan yang terakhir tersebut Gajah Mada tidak ikut serta,
Demikianlah Gajah Mada dipanggil kembali menjadi patih Amangku
Bumi, semua orang dikerahkan untuk mencari ke pedusunan, hal tersebut
membuktikan betapa besar jasa patih Gajah Mada terhadap perkembangan
wilayah Kerajaan majapahit. Demikianlah tafsiran tentang kemoksaan
tentang patih Gajah Mada dan amukti Palapa setelah peristiwa bubat
seperti terdapat dalam kidung Suandayana dan Pararaton. Dalam
Nagarakretagama
diceritakan
hal
yang
sedikit
berbeda.
Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai
Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada
negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang
berpemandangan indah di Tongas Probolinggo, kepada Gajah Mada.
Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada
diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari
Madakaripura. Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya
Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa
Gajah Mada telah gering (sakit). Gajah Mada disebutkan meninggal dunia
pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi. Prabu Hayam Wuruk sangat
terharu dan sedih dengan kepergian Gajah Mada, selain karena jasa yang
sangat besar bagi perkembangan Majapahit, Gajah Mada juga dicintai
rakyat
karena
dapat
berbaur
dengan
semua
kalangan.
Gajah Mada berprinsip bahwa hidup hanya sekali saja sehingga dalam
perbuatannya sehari hari lebih banyak diisi dengan kegiatan beramal.
Meninggalnya Gajah Mada menurut catatan Prapanca yang dituangkan
dalam Negarakertagama dalam pupuh LXXI/I. Kabar dari Pararaton
menyebut, tahun meningalnya Gajah Mada adalah 1290. Dalam hal ini,
berita dari Negarakertagama lebih bisa dipercaya karena ditulis oleh
Prapanca yang hidup sezaman dengan Gajah Mada). "Dari dialog imaginer
paranormal didapat gambaran sosok Gajah Mada . Pada kesempatan
tersebut, Gajah Mada menggambarkan sosok dirinya dalam untaian katakata bersyair.
pengawalan
kepada
segenap
kerabat
raja.
aku tidak mau terganggu oleh rengek istri dan atau tangisan anak.
Tidak beristri dan tidak memiliki anak harus aku akui sebagai
pilihan tersulit. Aakan tetapi, aku layak bersyukur bisa
menjalaninya. Dengan kebebasan yang aku miliki, aku bisa berada
di mana pun dalam waktu lama tanpa harus terganggu oleh
keinginan untuk pulang. Labih dari itu, aku berharap apa yang
kulakukan itu akan menyempurnakan pilihan akhir hidupku dalam
semangat hamukti moksa (Hamukti moksa, Jawa, semangat untuk
meski lenyap, telah melakukan pekerjaan luar biasa demi orang lain,
seperti lilin yang rela terbakar asal bisa menerangi tanpa meminta
balasan, seperti pahlawan yang rela menjadi martir).
Biarlah orang mengenangku hanya sebagai Gajah Mada yang tanpa
asal usul, tak diketahui siapa orang tuanya, tak diketahui di mana
kuburnya, dan tidak diketahui anak turunnya. Biarlah gajah Mada
hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejak telapak kakinya, murca
berubah
bentuk
menjadi
udara.
Hari ini, ketika aku sendiri di istana karena Sang Prabu Hayam
Wuruk sedang berada di Simping Blitar yang menjadi bagian
rencana perjalanan panjangnya, aku merasakan nyeri di dada
kiriku. Sakitnya tidak ketulungan. Peluh bagai diperas dari tubuhku.
Aku merasa pintu gerbang kematian telah dibuka. Aku harus
melepaskan semua urusan duniawiku, termasuk bagian yang paling
sulit karena ada sesuatu yang menyatu di tubuhku, warisan yang aku
peroleh
dari
Kiai
Pawagal
di
Ujung
Galuh.
Untuk membebaskan diri darinya bukan pekerjaan gampang. Aku
tidak punya pilihan lain kecuali memutar udara itu dengan kencang,
makin kencang dan makin kencang. Aku berharap saat pusaran
angin
itu
bubar,
hilang
pula
aku.
Demikian hasil penerawangan sosok Gajah Mada oleh Paranormal.
Dalam pupuh 12/4 pujian pujangga Mpu Pranpanca dalam
kidungnya sebagai berikut Di bagian timur laut adalah rumah
Sang Gajah Mada, patih Wilkatikta, seoarang menteri wira,
bijaksana serta setia bakti kepada raja, fasih bicara, jujur, pandai,
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
begitulah yang ditulis oleh pararaton, tentunya dua buah karya sastra kuno
besar (Negarakertagama dan Pararaton) layak dipercaya. Nama Gajah
Mada juga tercantum di prasasti Singhasari tahun 1351, Mahamantrimukya
Rakryan
Mapatih
Mpu
Mada
Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
"http://id.wikipedia.org/wiki/Gajah Mada"