Anda di halaman 1dari 25

GAJAH MADA

Gajah Mada ialah Mahapatih Majapahit yang mengantarkan Majapahit ke


puncak kejayaannya. Gajah Mada diperkirakan lahir pada tahun 1300 di
lereng pegunungan Kawi - Arjuna, daerah yang kini dikenal sebagai kota
Malang (Jawa Timur). Sejak kecil, Gajah Mada sudah menunjukkan
kepribadian yang baik, kuat dan tangkas. Kecerdasannya telah menarik hati
seorang patih Majapahit yang kemudian mengangkatnya menjadi anak
didiknya, Beranjak dewasa terus menanjak karirnya hingga menjadi
Kepala (bekel) Bhayangkara (pasukan khusus pengawal raja). Karena
berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi
Pemberontakan Ra Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada 1319.
Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Memadamkan Pembrontakan Ra Kuti
Gajah Mada adalah seorang mahapatih kerajaan Majapahit yang didaulat
oleh para ahli sejarah Indonesia sebagai seorang pemimpin yang telah
berhasil menyatukan nusantara. Sumber-sumber sejarah yang menjadi
bukti akan hal ini banyak ditemukan diberbagai tempat. Di antaranya di
Trowulan, sebuah kota kecil di Jawa Timur yang dahulu pernah menjadi
ibu kota kerajaan Majapahit. Kemudian di Pulau Sumbawa, di mana
sebuah salinan kitab Negara Kertagama di temukan. Prasasti dan candi
adalah peninggalan-peninggalan masa lalu yang menjadi bukti lain pernah
jayanya kerajaan Majapahit di bawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.

peristiwa pemberontakan yang paling berdarah


pada masa pemerintahan Sri Jayanegara, raja Majapahit yang kedua.
Pemberontakan yang dilakukan oleh Dharmaputra Winehsuka di bawah
pimpinan Ra Kuti - rekan Gajah Mada dalam keprajuritan - sampai mampu
melengserkan sang prabu Jayanegara dari singgasananya untuk sementara
dan mengungsi ke pegunungan kapur utara, sebuah daerah yang diberi
nama Bedander.
Ra Kuti, Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Wedeng, dan Ra Yuyu pada mulanya
adalah prajurit-prajurit yang dianggap berjasa kepada negara. Oleh
karenanya sang prabu Jayanegara memberikan gelar kehormatan berupa
Dharmaputra Winehsuka kepada kelima prajurit tersebut. Entah oleh sebab
apa, mereka, dipimpin oleh Ra Kuti melakukan makar mengajak pimpinan
pasukan Jala Rananggana untuk melakukan pemberontakan terhadap
istana. Pada waktu itu Majapahit memiliki tiga kesatuan pasukan setingkat
divisi yang dinamakan Jala Yudha, Jala Pati, dan Jala Rananggana.
Masing-masing kesatuan dipimpin oleh perwira yang berpangkat
tumenggung.
Gajah Mada, pada waktu itu masih menjadi seorang prajurit berpangkat
bekel. Pangkat bekel dalam keperajuritan pada saat itu setingkat lebih
tinggi dari lurah prajurit, namun masih setingkat lebih rendah dari
Senopati. Pangkat di atas senopati adalah tumenggung, yang merupakan
pangkat tertinggi.

Gajah Mada membawahi satu kesatuan pasukan setingkat kompi yang


bertugas menjaga keamanan istana. Nama pasukan ini adalah
Bhayangkara. Jumlahnya tidak lebih dari 100 orang, namun pasukan
Bhayangkara ini adalah pasukan khusus yang memiliki kemampuan di atas
rata-rata
prajurit
dari
kesatuan
mana
pun.
Informasi tentang adanya pemberontakan tersebut diperoleh dari seseorang
yang memberitahu Gajah Mada akan adanya bahaya yang akan datang
menyerang istana pada pagi hari. Tidak dijelaskan siapa dan atas motif apa
seseorang tersebut memberikan informasi tersebut kepada Gajah Mada.
Satu hal yang cukup jelas bahwa orang tersebut mengetahui rencana makar
dan kapan waktu dilakukan makar tersebut menandakan bahwa informan
tersebut memiliki hubungan yang cukup dekat dengan pihak pemberontak.
Mendapatkan informasi tersebut Gajah Mada segera melakukan koordinasi
dengan segenap jajaran telik sandi yang dimiliki pasukan Bhayangkara,
tidak ketinggalan terhadap telik sandi pasukan kepatihan. Saat itu
mahapatih masih dijabat oleh Arya Tadah, yang memiliki hubungan yang
cukup
dekat
dengan
Gajah
Mada.
Gajah Mada juga melakukan langkah koordinasi kekuatan terhadap tiga
kesatuan pasukan utama Majapahit dengan cara menghubungi masingmasing pimpinannya. Tidak mudah bagi seorang bekel untuk bisa
melakukan hal ini karena ia harus bisa menemui para Tumenggung yang
berpangkat dua tingkat di atasnya. Namun, Arya Tadah yang tanggap akan
adanya bahaya, telah membekali Gajah Mada dengan lencana kepatihan,
sebuah tanda bahwa Gajah Mada mewakili dirinya dalam melaksanakan
tugas tersebut.
Dua dari tiga pimpinan pasukan berhasil dihubungi. Namun keduanya
menyatakan sikap yang berlainan. Pasukan Jala Yudha bersikap
mendukung istana, sedangkan pasukan Jala Pati memilih bersikap netral.
Pimpinan pasukan Jala Rananggana tidak berhasil ditemui karena pada saat
itu kesatuan pasukan tersebut telah mempersiapkan diri di suatu tempat
yang cukup jauh dari istana untuk mengadakan serangan dadakan keesokan
harinya. Yang selanjutnya terjadi adalah perang besar yang melibatkan
ketiga kesatuan utama pasukan Majapahit. Akhirnya peperangan tersebut

dimenangkan oleh pihak pemberontak, dan memaksa sang Prabu


Jayanegara mengungsi ke luar istana dilindungi oleh segenap kekuatan
pasukan Bhayangkara.
Namun, tidak seluruh anggota pasukan Bhayangkara memihak raja. Hal ini
tentu menyulitkan tindakan penyelamatan sang prabu karena setiap saat di
mana saja, musuh dalam selimat bisa bertindak mencelakai sang prabu.
Hal ini yang mendorong Gajah Mada melakukan tindakan penyelamatan
yang rumit sampai membawa sang prabu ke Bedander, sebuah daerah di
pegunungan kapur utara.
Dengan kecerdikannya, memanfaatkan kekuatan dan jaringan yang
dimiliki, akhirnya Gajah Mada berhasil mengembalikan sang prabu ke
istana. Prabu Sri Jayanegara memang selamat dari kejaran Ra Kuti dan
pengikut-pengikutnya. Namun, sembilan tahun kemudian, salah seorang
Dharmaputra Winehsuka yang telah diampuni dari kesalahan akibat terlibat
dalam pemberontakan tersebut, melakukan tindakan yang sama sekali tidak
terduga: meracun sang prabu sampai mengakibatkan wafatnya beliau.
Memadamkan Pemberontakan Sadeng
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin
mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari
Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung
menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan
menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan
pemberotakan terhadap Majapahit. Keta & Sadeng pun akhirnya takluk.
Patih Gajah Mada kemudian diangkat secara resmi oleh Ratu Thribhuwana
Tunggadewi sebagai Rakryan Patih Majapahit (1334).
Pada acara pelatikannya sebagai Patih Majapahit, Gajah Mada
mengucapkan janji baktinya sambil mengacungkan kerisnya bernama
Surya Panuluh yang sebelumnya adalah milik Dyah Kertarajasa
Jayawardhana, Raja Pendiri Kerajaan Majapahit yang dikenal dengan
Sumpah
Palapa.

Sumpah Palapa adalah pengumuman resmi tentang program politik


pemerintahan yang akan dijalankan oleh Patih Gajah Mada dibawah
kepemimpinan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi. Sumpah Palapa ini
ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yaitu ia baru akan menik

mati palapa atau rempah-rempah yang diartikan


kenikmatan duniawi jika telah berhasil menaklukkan Nusantara., yang
berbunyi,
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah
Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah
ring Gurun, ring Seran, Tajung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahannya,
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa.
Beliau Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan)
melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru,
Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya
(baru
akan)
melepaskan
puasa".
Dari isi naskah ini dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah
Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya
belum dikuasai Majapahit.
Arti nama-nama tempat
Gurun = Nusa Penida

Seran = Seram
Tajung Pura = Kerajaan tangjung Pura, Ketapang, Kalimantan Barat
Haru = Sumatra Utara (ada kemungkinan merujuk kepada Karo)
Pahang = Pahang di Semenanjung Melayu
Dompo = Kabupaten Dompu
Bali = Bali
Sunda = Kerajaan Sunda
Palembang = Palembang atau Sri Wijaya
Tumasik = Singapura
Sumpah Palapa tersebut sangat menggemparkan para undangan yang hadir
dalam pelantikan Gajah Mada sebagai patih Amangku bumi. Ra Kembar
mengejek Gajah Mada sambil mencaci maki, undangan yang lain turut
serta mengejek, Jabung Tarewes dan Lembu Peteng tertawa terpingkal
pingkal. Gajah Mada yang merasa terhina akhirnya turun dari paseban
menghadap kaki sang Ratu dan berkata bahwa hatinya sangat sedih dengan
penghinaan tersebut. Akhirnya setelah acara tersebut Gajah Mada
kemudian menyingkirkan Ra Kembar untuk membalaskan dendamnya
karena mendahului mengepung Sadeng. Sumpah Palapa tersebut
diucapkan dengan kesungguhan hati oleh Gajah Mada , oleh karena itu ia
sangat
marah
ketika
ditertawakan.
Program politik yang dijalankan oleh Gajah Mada berbeda dengan yang
dijalankan oleh Prabu Kertarajasa dan Prabu Jayanagara dimana dalam
masa pemerintahan ke dua tokoh tersebut para menteri kebanyakan diambil
dari orang orang yang terdekat yang dianggap berjasa oleh kedua tokoh
tersebut. Dan ketika orang orang kepercayaan tersebut melakukan
pemberontakan maka pemerintahan tersebut hanya disibukkan oleh

pembasmian pemberontakan sehingga mereka tidak berkesempatan untuk


menjalankan politik untuk mengembangkan wilayah kerajaan.
Demikianlah Gajah Mada dalam menjalankan Politik Nusantaranya para
pejabat pejabat yang dahulu mengejek dan menertawakannya
disingkirkan satu persatu. Ra Kembar dan Warak yang mengejeknya habis
habisan kemudian disingkirkan.
Dengan adanya Sumpah Amukti Palapa, maka Gajah Mada bercita-cita
mempersatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.
Sehingga untuk mewujudkan sumpah tersebut, pasukan Majapahit yang
dipimpin Gajah Mada dan dibantu oleh Adityawarman melakukan politik
ekspansi/penyerangan keberbagai daerah dan berhasil. Atas jasanya
Adityawarman diangkat menjadi Raja Melayu tahun 1347 untuk
menanamkan pengaruh Majapahit di Sumatera. Walaupun ada sejumlah
orang yang meragukan sumpahnya, Patih Gajah Mada berhasil
menaklukkan Nusantara. Daerah Daerah yang dikuasai Majapahit dibawah
Patih Gajah Mada antara lain :
Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi
(Driwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di
Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik
(Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan
seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga),
Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem,
Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung,
Tanjungkutei, dan Malano.
Dengan konsep persatuannya ini, berbuah pada meredanya pertumpahan
darah antar kerajaan-kerajaan tersebut yang semula selalu saling mengintai
dan berupaya saling menguasai melalui jalan peperangan yang
menimbulkan banyak korban terutama terhadap rakyat masing-masing
dapat dihindari dengan pengayoman Majapahit dan semboyan bhinneka
tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, diantara kerajaan-kerajaan tersebut
kemudian bisa menjadi lebih menekankan perhatiannya kepada upaya
meningkatkan kesejahteraan dan kemajuannya sendiri maupun bersama-

sama. Selain itu juga menjadi lebih kuat menghadapi ancaman penjajah
asing (Tiongkok/Tartar), menggantinya menjadi hubungan kerjasama
dagang dan budaya yang saling menguntungkan masing-masing pihak.
Beberapa Catatan tentang Keberhasilan Patih Gajah Mada sebagai berikut :
1. Memadamkan pemberontakan : Ra Kuti
2. Keberhasilannya mengawal terjadinya peralihan kekuasaan saat
mangkatnya Jayanegara. Keadanaan istana genting,dan para Ratu
( Tribhuaneswari, Narendraduhita, Pradnya Paramita, Dyah Dewi
Gayatri dan Dara Petak ) bingung karena tidak ada lagi penerus lakilaki. Saat itu merupakan masa sulit karena penuh intrik, terutama
karena ada perseteruan antara Cakradara dan Kudamerta.
3. Memadamkan pemberontakan Sadeng pada tahun 1331,sehingga
membuat AryaTadah (Patih Majapahit) harus merelakan
menyerahkan jabatannyakepada Gajah Mada. Sumpah Amukti
Palapa,yang berhasil mempersatukan Nusantara sampai Philipina
bag.selatan
4. Menerbitkan
Kitab
Hukum
Kerajaan
Majapahit.
Selain sebagai negarawan, Gajah Mada terkenal pula sebagai ahli
hukum. Kitab hukum yang ia susun sebagai dasar hukum di
Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan kitab hukum
Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu Manawasastra, serta
disesuaikan
dengan
hukum
adat
yang
berlaku.
Arca Gajah Mada
Walaupun usianya terbilang muda untuk menggantikan posisi sebagai
Majapahit, namun tidak seorang pun yang meragukan pengabdian dan
kesetiaan Gajah Mada terhadap raja dan negaranya. Dimulai dari tindakan
heroiknya menyelamatkan sang prabu dari kejaran para pengikut
pemberontak Ra Kuti, kemudian membalikkan keadaan dan
mengembalikan sang prabu ke singgasananya. Atas kepemimpinan Gajah
Mada pula, persaingan politik perebutan takhta antara dua satria
pendamping para putri kedaton bisa diredam, sehingga pergantian

kekuasaan setelah mangkatnya prabu Sri Jayanegara bisa berlangsung


mulus.
Mengenai Keta dan Sadeng, diceritakan bahwa kedua wilayah bagian
Majapahit tersebut berniat memisahkan diri dari kerajaan Majapahit dan
melakukan persiapan serius. Diantaranya adalah melakukan perekrutan
besar-besaran terhadap warga sipil untuk dididik keprajuritan di tengah
hutan Alas Larang. Tujuannya adalah memperkuat angkatan perang kedua
wilayah tersebut, yang pada akhirnya akan dibenturkan terhadap kekuatan
perang Majapahit. Gajah Mada berpendapat bahwa sebisa mungkin perang
dengan Keta-Sadeng diselesaikan secara psikologis dengan mengadakan
provokasi dan adu domba antar kekuatan internal Keta-Sadeng. Bahkan
kalau perlu melakukan penculikan terhadap para pemimpin yang
menggerakkan perang tersebut. Tujuan akhirnya adalah menyelesaikan
konflik
Keta-Sadeng
dengan
biaya
kecil-kecilnya.
Dilihat dari kekuatan gelar pasukan, kekuatan Keta-Sadeng bukanlah apaapa dibanding dengan kekuatan pasukan Majapahit. Namun, dibalik
kekuatan fisik pasukan segelar sepapan yang belum sebanding dengan
pasukan Gajah Mada, Keta-Sadeng dilindungi oleh kesatria mumpuni yang
sakti mandraguna. Ksatria ini adalah mantan pelindung Raden Wijaya, raja
Majapahit yang pertama. Nama ksatria tersebut adalah Wirota Wiragati,
terkenal dengan kesaktiannya memiliki ajian sirep, ajian panglimunan, dan
kekuatan untuk mendatangkan kabut yang bisa menyulitkan daya
penglihatan pasukan mana pun. Namun, dengan kecerdikan Gajah Mada
yang disalurkan ke setiap elemen pasukan Bhayangkara yang disusupkan
sebagai telik sandi ke wilayah Keta dan Sadeng, akhirnya tujuan Gajah
Mada untuk mengakhiri perang Keta-Sadeng dengan biaya minimal
akhirnya
tercapai.
Setelah menuntaskan tugas pemadaman pemberontakan Keta-Sadeng,
akhirnya Gajah Mada siap untuk didaulat menjadi mahapatih
menggantikan Arya Tadah. Dalam sidang penunjukkannya sebagai
mahapatih itulah Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal:
Hamukti Palapa. Pada saat itu, Majapahit juga menjalin hubungan dengan
kerajaan Swarnabhumi, di pulau Sumatra. Kedatangan raja Swarnabhumi

Adityawarman - ke Majapahit digambarkan menggunakan kapal perang


berukuran besar yang belum ada tandingannya dari kesatuan pasukan laut
Majapahit.
Adityawarman sendiri adalah saudara sepupu mendiang prabu Sri
Jayanegara, sekaligus sahabat yang cukup dekat dengan Gajah Mada.
Penggambaran besarnya ukuran kapal perang dari Swarnabhumi agaknya
dimaksudkan sebagai cikal bakal adopsi teknologi yang menjadikan
besarnya armada laut Majapahit kelak ketika penyatuan nusantara dimulai.
Perang Bubat
Perang Bubat" ini mengambil asumsi perang itu terjadi. Perang yang
merupakan lembaran hitam dari sejarah kebesaran Majapahit. Perang yang
merupakan lembaran hitam juga bagi karir politik mahapatih Gajah Mada.
Perang yang akhirnya memaksa Gajah Mada turun dari kedudukannya
sebagai mahapatih Majapahit. Sumber adanya perang bubat diperoleh dari
buku Pararaton, sebuah karya sastra yang berisi cerita peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa kerajaan Singasari dan Majapahit. Buku lain yang
juga banyak menceritakan peristiwa sejarah pada masa yang sama, yaitu
buku Negara Kertagama, tidak sekali pun menyebutkan adanya peristiwa
perang bubat ini.Dua puluh tahun sejak Gajah Mada mengikrarkan sumpah
Palapa-nya yang terkenal. Majapahit telah menjelma menjadi kerajaan
besar
yang
menguasai
nusantara
dan
perairannya.
Dengan armada lautnya yang sangat besar, yang dipimpin oleh laksamana
Nala, Gajah Mada telah berhasil mewujudkan cita-citanya mengajak
kerajaan-kerajaan di Nusantara bersatu di bawah kekuasan Majapahit.
Gajah Mada mengajak kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara bersatu salah
satunya adalah untuk menggalang kekuatan melawan pasukan dari
kerajaan Tar Tar yang hendak memperlebar wilayah kekuasaannya sampai
ke
arah
selatan.
Wilayah nusantara yang sebagian besar terdiri atas perairan mendorong
Majapahit memperkuat armada lautnya. Armada laut inilah yang setiap
hari berpatroli di dalam wilayah laut nusantara melindungi kapal-kapal
dagang yang melintas, sekaligus membentengi wilayah nusantara dari

kemungkinan serbuan bangsa Tar Tar.Dari mulai Tumasek (Singapura),


Tanjungpura, Bali, Dompo, hingga Seram seluruh penguasanya
menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Tetapi di kala semua
kerajaan yang letaknya relatif jauh sudah menyatakan tunduk, ada dua
kerajaan yang sangat dekat bahkan seperti di halaman rumah sendiri,
belum menyatakan tunduk. Dua kerajaan tersebut adalah Sunda Galuh
yang berpusat di Galuh (sekarang berada di sekitar Ciamis), dan Sunda
Pakuan
yang
terletak
lebih
ke
arah
barat.
Sebagai sebuah kerajaan yang sudah sangat kuat pada saat itu maka
Majapahit dapat saja menundukkan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran),
namun Sang Mapatih lebih memilih menghindari kekerasan dan
pertumpahan darah Kerajaan Sunda Galuh saat itu dipimpin oleh seorang
raja yang bernama prabu Lingga Buana. Di sebelah timur, wilayah Sunda
Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Majapahit di sepanjang sungai
Pamali. Sedangkan di sebelah barat, wilayah Sunda Galuh berbatasan
langsung dengan wilayah Sunda Pakuan di sepanjang sungai Citarum.
Pandangan Gajah Mada untuk sesegera mungkin menyatukan kedua
kerajaan Sunda tersebut ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit,
bertentangan dengan pandangan kalangan istana. Baik ibu suri Tribhuana
Tunggadewi maupun Dyah Wyah berpendapat bahwa kerajaan Sunda
adalah kerabat sendiri, karena apabila dilihat dari silsilah keluarganya,
salah
satu
leluhurnya
berasal
dari
bangsawan
Sunda.
Sementara sikap prabu Hayam Wuruk sendiri terlihat lebih mendukung
kedua ibu suri tersebut daripada Gajah Mada. Seiring dengan perjalanan
waktu Sang Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara (Raden Tetep) telah
beranjak dewasa Pada suatu waktu tibalah saatnya bagi prabu Hayam
Wuruk untuk mencari seorang permaisuri yang akan mendampingi dirinya.
Maka dikirimlah beberapa juru gambar untuk melukis putri-putri yang
cantik dari kalangan kerajaan bawahan maupun kerajaan tetangga untuk
kemudian diperlihatkan kepada sang prabu. Dengan harapan apabila ada
salah satu gambar yang berkenan di hati sang prabu, maka tibalah saatnya
bagi sang prabu untuk menjatuhkan pilihannya kepada putri yang
beruntung tersebut. Sudah sekian banyak juru gambar yang kembali
membawa lukisannya, namun sang prabu Hayam Wuruk masih belum

berkenan menjatuhkan pilihannya. Sampai tibalah saatnya dikirim juru


gambar ke kerajaan Sunda Galuh untuk menggambar putri Dyah Pitaloka
Citraresmi yang kabar kecantikannya sudah terkenal ke mana-mana.
Sementara itu, Gajah Mada melihat adanya kesempatan untuk membawa
kepentingannya sendiri ke dalam utusan juru gambar Majapahit ke Sunda
Galuh. Kemudian Gajah Mada menyusupkan beberapa orang bawahannya
untuk pergi bersama-sama ke kerajaan Sunda Galuh menyampaikan
maksud Gajah Mada agar kerajaan Sunda Galuh segera menyatakan
tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Sekembalinya utusan tersebut,
prabu Hayam Wuruk ternyata berkenan dengan kecantikan putri Dyah
Pitaloka dan berniat menjadikannya sebagai permaisuri. Maka
diberangkatkan rombongan utusan kedua yang membawa berbagai macam
keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan
dan di mana pesta perkawinan antara raja dan putri akan dilangsungkan.
Akhirnya disepakati bersama bahwa raja Lingga Buana, permaisuri, dan
beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk
mengantarkan putri Dyah Pitaloka sekaligus melangsungkan acara pesta
perkawinan di ibu kota Majapahit. Maka pada hari yang telah ditentukan,
berangkatlah prabu Lingga Buana beserta rombongan ke Majapahit. Tidak
terlalu banyak pasukan yang mengiringi mereka mengingat maksud dan
tujuan sang prabu ke Majapahit adalah untuk menikahkan putrinya, Dyah
Pitaloka.
Perjalanan jauh mereka tempuh dari Galuh (Ciamis) menuju ke ibu kota
Majapahit (Trowulan). Sesampainya rombongan tersebut di lapangan
bubat, tanpa terduga rombongan tersebut dicegat oleh utusan Gajah Mada
yang menyampaikan maksud Gajah Mada agar putri Dyah Pitaloka
diserahkan ke kerajaan Majapahit sebagai persembahan, tanda bahwa
Sunda Galuh tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Namun rombongan
sunda bersikeras agar Raja Majapahit harus turun sendiri menjemput
pengantin
dan
rombongannya
di
daerah
tersebut.
Sang Mapatih dihadapkan pada dilema, baik menerima maupun menolak
persyaratan itu sama-sama akan membahayakan jalinan persatuan

Nusantara yang sudah dengan susah payah dibangunnya sebelum ini.


Sebuah persatuan yang pada masa itu dapat dipertahankan diatas wibawa
Sang Penguasa Kerajaan Majapahit. Para raja lain dibawah kekuasaan
Majapahit akan membaca peristiwa tersebut sebagai isyarat melemahnya
kerajaan besar tersebut oleh kepemimpinan Sang Raja yang masih muda
itu. Ini berarti akan berkobarnya kembali perang karena pemberontakan
dari kerajaan-kerajaan dibawah Majapahit. Akhirnya perang mulut tak
dapat dihindari, keduabelah pihak sama sama mempertahankan
pendiriannya masing masing dan tidak mau mengalah. Prabu Lingga
Buana merasa harga dirinya terinjak-injak dengan perlakuan Gajah Mada
tersebut, namun sebagai seorang pemimpim yang arif sang prabu tidak
bertindak gegabah untuk dengan serta merta mengadakan perlawanan di
tempat.
Namun kearifan hati sang prabu tidak diikuti oleh segenap anak buahnya.
Dalam situasi demikian, setiap orang yang berada dalam rombongan
tersebut pasti merasa marah dan dilecehkan. Satu lesatan anak panah, entah
terlepas dari busur siapa melaju menerjang utusan Gajah Mada tersebut
hingga
ambruk.
Suasana
pun
menjadi
tidak
terkendali.
Perang pun tidak terlelakkan lagi terjadi di lapangan bubat. Rombongan
pasukan Sunda Galuh yang tidak siap berperang terpaksa harus menghunus
pedang dan merentangkan gendewa menghadapi pasukan Majapahit yang
juga sebenarnya tidak siap untuk berperang. Kalah jumlah dan berada
dalam lokasi yang salah akhirnya seluruh anggota rombongan pasukan
Sunda Galuh pun gugur di lapangan bubat, termasuk prabu Lingga Buana
dan permaisurinya. Putri Dyah Pitaloka pun akhirnya bunuh diri. Akibat
dari peristiwa tersebut prabu Hayam Wuruk akhirnya mencopot jabatan
Gajah Mada dari mahapatih Majapahit yang selama ini disandangnya.

Air terjun di daerah Madakaripura di yakini sebagai tempat Gajah Mada mengasingkan
diri setelah peristiwa Bubat.

Gajah Mada memiliki kekuasaan yang sangat besar, bahkan melebihi


kekuasaan sang prabu sendiri. Boleh dikata jalannya roda pemerintahan
berada di bawah kendali Gajah Mada. Sedangkan sang prabu hanya duduk
manis di atas dampar dan menerima laporan dan hasilnya saja. Langkah
pencopotan Gajah Mada tentunya bisa menimbulkan gejolak politik yang
sangat besar yang bahkan bisa menimbulkan adanya perang.
Perang saudara antara prajurit Majapahit yang mendukung dan menentang
Gajah Mada hampir terjadi setelah peristiwa bubat. Penentang Gajah Mada
berasal dari orang-orang yang marah akibat kehendak rajanya untuk segera
memiliki permaisuri gagal, bahkan calon permaisuri - putri Sunda Galuh
dan keluarganya - akhirnya dibantai beserta seluruh pengiringnya di
lapangan bubat. Sedangkan pendukung Gajah Mada kebanyakan berasal
dari pasukan dan orang-orang yang selama ini dengan setia berada di
belakangnya.
Gajah Mada sendiri memandang peristiwa bubat bukanlah kesalahan
dirinya, dan bukan pula kesalahan Majapahit. Gajah Mada
mengungkapkan bahwa selama ini sikap dan pandangan Majapahit
terhadap kerajaan-kerajaan lain yang tersebar di seluruh penjuru nusantara
sudah jelas. Majapahit menempatkan diri sebagai pemimpin dan pengayom
wilayah nusantara, dan kerajaan lain harus satu kata dengan Majapahit.
Dengan kata lain kerajaan-kerajaan lain harus tunduk kepada Majapahit.
Sikap Majapahit tersebut tidak boleh dibeda-bedakan, pun terhadap dua
kerajaan Sunda yang letaknya di sebelah barat pulau Jawa. Pandangan

Gajah Mada yang demikian tidak sejalan dengan sang prabu dan
keluarganya. Gajah Mada lebih memandang tunduknya dua kerajaan
Sunda di wilayah barat tersebut mesti diberlakukan sama dengan
tunduknya kerajaan-kerajaan lain, kalau perlu dengan kekuatan militer.
Sedangkan sang prabu dan keluarga lebih memilih jalan damai.
Jalan damai tersebut salah satunya adalah dengan berbesanan dengan
keluarga kerajaan Sunda Galuh. Alasan Gajah Mada mengajak kerajaankerajaan di seluruh nusantara bersatu salah satunya adalah untuk
menggalang kekuatan melawan pasukan dari kerajaan Tar Tar yang hendak
memperlebar wilayah kekuasaannya sampai ke arah selatan. Wilayah
nusantara yang sebagian besar terdiri atas perairan mendorong Majapahit
memperkuat armada lautnya. Armada laut inilah yang setiap hari berpatroli
di dalam wilayah laut nusantara melindungi kapal-kapal dagang yang
melintas, sekaligus membentengi wilayah nusantara dari kemungkinan
serbuan
bangsa
Tar
Tar.
Pandangan keras Gajah Mada berujung pada kesalahan pengelolaan
keadaan sehingga terjadi perang bubat. Raja Sunda Galuh dan seluruh
pengiringnya tewas dibantai di lapangan bubat, termasuk calon permaisuri
sang prabu. Gajah Mada yang kemudian dicopot dari jabatan mahapatih
menjadi orang biasa, akhirnya memutuskan untuk menghabiskan sisa
hidupnya di sebuah tempat untuk bertapa dan mawas diri. Tempat
pertapaan Gajah Mada tersebut terletak di kaki gunung Bromo, di sebuah
wilayah yang disebut Sapih. Sampai saat ini, tempat tersebut lebih terkenal
dengan
sebutan
Madakaripura.
Peristiwa bubat tidak menyebabkan kerajaan Sunda Galuh merasa perlu
untuk membangun kekuatan militer dan menyerang kerajaan Majapahit.
Orang-orang Sunda Galuh cinta damai. Walaupun demikian, secara
individu beberapa orang yang setia kepada raja Sunda Galuh yang
terbantai di lapangan bubat, memutuskan untuk membalas dendam secara
sembunyi-sembunyi. Mereka kemudian membentuk satu kelompok penari
tayub yang diberangkatkan ke Majapahit dengan sasaran bidik yang sudah
jelas,
yaitu
Gajah
Mada.

Gerakan senyap dan samar yang dilakukan orang-orang Sunda ini langsung
menusuk ke lingkungan istana Majapahit. Persiapan yang sangat matang
dan teliti adalah kunci keberhasilan gerakan tersebut. Setiap anggota
kelompok ini sudah pasti mahir berbahasa Jawa dan menguasai kesenian
Jawa. Pagelaran tari tayub pun di selenggarakan di dekat markas prajurit
Majapahit, dengan tujuan untuk menggaet beberapa prajurut Majapahit
pilihan, dan mengubahnya untuk dijadikan eksekutor lapangan yang
nantinya
akan
memburu
Gajah
Mada.
Kecantikan dan gemulainya gerakan penari sunda adalah senjata utama
mereka. Tujuan tersebut hamper berhasil mereka capai. Seorang prajurit
pilihan Majapahit berpangkat lurah, yang dulunya menjadi pengawal setia
Gajah Mada, yang juga pemimpin prajurit pelindung istana kepatihan
akhirnya masuk perangkap namun Gajah Mada tidak berhasil mereka
singkirkan.
Wafatnya Patih Gajah Mada
Dalam Pararaton dikisahkan setelah peristiwa Bubat, Patih Gajah Mada
Mukti Palapa yaitu kepergian Gajah Mada dari kepatihan dan
melaksanakan pengembaraan untuk menghindari kemarahan Prabu Hayam
Wuruk dan keluarga kerajaan lainnya. Namun pengembaraan tersebut tidak
berlangsung lama , pada tahun saka 1281 atau tahun masehi 1359 patih
Gajah Mada ikut serta dalam kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke daerah
Lumajang. Peristiwa tersebut tercatat dalam kitab NegaraKertagama pupuh
18/2. Pada Tahun saka 1284 Prabu Hayam Wuruk mengadakan upacara
Srada yaitu penghormatan untuk Gayatri, Gajah Mada sebagai patih
Amangku bumi tampil kemuka mempersebahkan arca putri cantik yang
sedang bersedih berlindung dibawah gubahan Nagapuspa yang melilit
Rajasa.
Selanjutnya dalam pararaton dikisahkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk
dengan Paduka Sori setelah peristiwa Bubat dimaksudkan untuk
menghibur Prabu Hayam Wuruk yang menderita kepedihan akibat
kegagalan perkawinannnya dengan Dyah Pitaloka dari kerajaan Pasudan.
Setelah perkawinan tersebut keadaan menjadi reda, kemarahan Prabu
hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada menjadi berkurang dan kelanjutan

pemerintahan menjadi prioritas yang lebih diutamakan. Dalam masa


jabatan ke dua Gajah Mada sebagai patih Amangku Bumi tidak terdapat
sejarah yang berkaitan dengan gagasan Nusantara. Mungkin sekali setelah
peristiwa Bubat Gajah Mada sudah merasa letih, tua dan Kecewa.
Gajah Mada sudah merasa puas karena gagasan Nusantaranya telah dapat
dilaksanakan lebih luas dari pada sumpah Palapa yang pernah diucapkan.
Suatu kenyataan bahwa Gajah Mada tidak bergerak seaktif ketika masa
jabatan patih Amangku Bumi yang pertama. Dalam masa jabatan ke dua
sebagai patih Amangku Bumi lebih banyak dilaksanakan kunjungan ke
daerah daerah oleh Prabu Hayam Wuruk, Dalam Nagarakretagama pupuh
17
kunjungan
tersebut
diantaranya
:

Pajang
tahun
saka
1275

Lasem
tahun
saka
1276

Pajang
tahun
saka
1279

Lumajang
tahun
saka
1281
Dalam perjalanan yang terakhir tersebut Gajah Mada tidak ikut serta,
Demikianlah Gajah Mada dipanggil kembali menjadi patih Amangku
Bumi, semua orang dikerahkan untuk mencari ke pedusunan, hal tersebut
membuktikan betapa besar jasa patih Gajah Mada terhadap perkembangan
wilayah Kerajaan majapahit. Demikianlah tafsiran tentang kemoksaan
tentang patih Gajah Mada dan amukti Palapa setelah peristiwa bubat
seperti terdapat dalam kidung Suandayana dan Pararaton. Dalam
Nagarakretagama
diceritakan
hal
yang
sedikit
berbeda.
Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai
Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada
negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang
berpemandangan indah di Tongas Probolinggo, kepada Gajah Mada.
Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada
diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari
Madakaripura. Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya
Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa
Gajah Mada telah gering (sakit). Gajah Mada disebutkan meninggal dunia
pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi. Prabu Hayam Wuruk sangat

terharu dan sedih dengan kepergian Gajah Mada, selain karena jasa yang
sangat besar bagi perkembangan Majapahit, Gajah Mada juga dicintai
rakyat
karena
dapat
berbaur
dengan
semua
kalangan.
Gajah Mada berprinsip bahwa hidup hanya sekali saja sehingga dalam
perbuatannya sehari hari lebih banyak diisi dengan kegiatan beramal.
Meninggalnya Gajah Mada menurut catatan Prapanca yang dituangkan
dalam Negarakertagama dalam pupuh LXXI/I. Kabar dari Pararaton
menyebut, tahun meningalnya Gajah Mada adalah 1290. Dalam hal ini,
berita dari Negarakertagama lebih bisa dipercaya karena ditulis oleh
Prapanca yang hidup sezaman dengan Gajah Mada). "Dari dialog imaginer
paranormal didapat gambaran sosok Gajah Mada . Pada kesempatan
tersebut, Gajah Mada menggambarkan sosok dirinya dalam untaian katakata bersyair.

Aku masih bocah ketika pranyatan kamardikan (Pranyatan


kamardikan, Jawa, pernyataan kemerdekaan atau proklamasi. Hari
itu berbarengan dengan hari ketika Raden Wijaya dinobatkan
menjadi raja pertama Majapahit) Majapahit itu dikumandangkan.
Aku masih ingat karena saat itu tiba-tiba banyak orang berbicara
tentang Wilwatikta yang diharapkan menjadi sebuah negara yang
besar.

Aku, siapakah aku? Orang menyebutku Gajah Mada. Sampai sejauh


ini, tidak seorang pun tahu siapa aku. Dari mana asalku? Ada orang
yang mengira aku bernama Gajah dari desa Mada. Ada pula yang
mengira aku berasal dari Bali. Dari mana sebenarnya asalku? Aku
telah mengambil keputusan untuk melipatnya dalam hati, termasuk
siapa orang tuaku, aku tak berminat untuk bercerita. Aku dan latar
belakangku sama sekali tidak penting sebagaimana berharap, kelak,
berbarengan dengan akhir hidupku, tak perlu ada pihak yang
menyesalkan mengapa aku tidak memiliki keturunan dan dimana
pula aku dikubur. Namaku mulai dikenal orang ketika aku
mengabdikan diri menjadi prajurit dengan tugas dan tanggung
jawab mengamankan lingkungan istana serta memberikan

pengawalan

kepada

segenap

kerabat

raja.

Aku sungguh beruntung karena berada di tempat yang tepat dan di


waktu yang tepat ketika ontran-ontran (Ontran-ontran, Jawa, geger,
kekacauan) Ra Kuti terjadi. Karena keberhasilanku menyelamatkan
raja dan mengembalikannya pada kekuasaan yang dirampok para
Dharmaputra Winehsuka, aku diangkat menjadi Patih Kahuripan
mendampingu Tuan Putri Breh Kahuripan atau Sri Gitarja.
Selanjutnya, aku ditunjuk menjadi patih di Daha mendampingi Tuan
Putri
Breh
Daha
atau
Dyah
Wiyat.
Kedekatanku dengan Paman Arya Tadah, Patih Amangkubumi
Majapahit kembali menunjukkan kepadaku bahwa aku berada di
tempat yang tepat dan di waktu yang tepat. Aku diminta
menggantikannya menjadi patih amangkubumi karena beliau sakitsakitan. Aku tiba-tiba tersadar bahwa ternyata peluangku untuk
menduduki jabatan yang amat tinggi itu cukup besar. Padahal, di
sekitarku ada banyak sekali calon yang layak ditunjuk menjadi
mahapatih yang baru. Ada beberapa mahamenteri di barisan katrini
yang
lebih
layak
dariku.
Namun, tidak serta merta aku menerima tawaran itu. Aku tahu ada
banyak orang yang merasa lebih pantas dan lebih berjasa untuk
ditunjuk menjadi mahapatih. Kepada Paman Arya Tadah, aku minta
waktu untuk membereskan lebih dulu pemberontakan di dua tempat
sekaligus, yaitu di Sadeng dan Keta. Jika aku bisa merampungi
makar di dua tempat itu, barulah aku bersedia. Aku
menumandangkan sumpahku untuk menyatukan seluruh wilayah
Nusantara yang ditandai dicabutnya Aksobhya dan digantikan
gupala
Camunda.
Sejak itu, hampir seluruh waktuku aku gunakan untuk meyatukan
seluruh negara di wilayah Nusantara. Satu demi satu, negara yang
ada diimbau untuk bergabung. Mereka harus disadarkan, kesatuan
dan persatuan itu sangat penting karena di luar sana, ada negara
Tartar yang pasti akan selalu berusaha mencari celah untuk
menancapkan penaruhnya sebagaimana dulu pernah dialami

Singasari. Untung, Sang Prabu Kertanegara telah bertindak benar.


Utusan dari Tartar itu dipotong telinganya dan digunduli kepalanya.
Agar hal itu tidak terulang kembali, hanya satu jawabnya, semua
negara harus bersatu di bawah naungan Majapahit. Sekuat apapun,
Tartar hanya kuat di tempatnya, tetapi tidak di sini. Jika ribuan
prajurit Tartar dikirim, Majapahit siap untuk menyediakan jumlah
yang sama. Untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara tak cukup
dengan duduk di atas kursi di belakang meja sambil menyalurkan
perintah. Aku tak percaya ada keberhasilan dengan cara itu. Aku
amat yakin sampai mendarah daging, untuk mewujudkan mimpi
besarku, tak ada pilihan lain kecuali menyingkirkan nafsu hamukti
wiwaha.
Hamukti Wiwaha adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
nikmat duniawi. Menikamti tingginya derajat dan pangkat,
menikmati hidup dengan tiada hari tanpa bujana handrawina
(Bujana handrawina, Jawa, pesta makan minum) merupakan salah
satu pilihan yang bisa kuambil megingat aku adalah seorang
mahapatih yang menjalankan pemerintahan mewakili raja. Akan
tetapi, bukan hamukti wiwaha yang kuambil. Aku memilih lawan
katanya, yaitu Hamukti palapa. Hanya semangat lara lapa (Lara
lapa, Jawa, hidup menderita) atau palapa yang bisa mengantarku
meraih apa yang aku impikan. Orang menyebut, aku tidak akan
makan buah palapa, tidak makan rempah-rempah. Apa pun kata
mereka, pilihan hamukti palapa yang kuambil adalah semata-mata
berprihatin. Tanpa, dilandasi prihatin, sebuag doa yang dipanjatkan
kepada Hyang Widdi tak terkabulkan. Tanpa prihatin, sebuah kerja
besar tidak membuahkan hasil. Dilandasi laku prihatin dan kerja
besar hamukti palapa itulah, satu demi satu untaian zamrud di
Nusantara mewujud. Beberapa negara yang diimbau untuk bersatu
menyatakan diri bergabung. Namun, ada pula yang harus diimbau
beberapa kali dan terpaksa harus diancam. Jika negara-negara itu
tidak ingin bergabung, untuk mereka hanya tersisa sebuah bahasa
yang
paling
mudah
dipahami,
yaitu,
digempur.
Perangku terjadi dimana-dimana, di Bali, Tumasek, Luwuk, Tanjung

Pura, Dompo hingga Riau. Wilayah Majapahit akhirnya menjadi


sangat besar. Beban seberat apapun jika ditanggung bersama pasti
menjadi ringan. Dengan armada laut yang dibangun bersama-sama,
kekuatan dari manca yang berusaha menancapkan pengaruhnya
bisa dihalau. Persatuan dan kesatuan Majapahit juga memberikan
dampak yang bagus, antara lain perang antara beberapa negara
bawahan yang selama ini bermusuhan tidak terjadi lagi. Semua
masalah bisa tuntas diselesaikan di Tatag Rambat Bale Manguntur
lewat sidang pasewakan yang digelar setahun sekali.
Lalu, masalah timbul dari Sunda Galuh. Aku tidak senang dengan
sikap Sunda Galuh yang masih membangkang, tidak mau
menggabungkan diri dengan Majapahit. Dalam sidang di
pasewakan, berulang kali aku mengutarakan pentingnya menyerbu
Sunda Galuh dan memaksanya untuk bergabung dengan Majapahit.
Akan tetapi, aku mengalami kesulitan memaksakan penyerbuan itu
karena perlawanan dan ketidaksetujuan dari para Ibu Suri. Mereka
beralasan, leluhurnya juga berasal dari Sunda Galuh.Penyerbuan ke
Sunda Galuh kuyakini tidak akan mengalami kesulitan karena
negara yang berada di wilayah Priangan itu menempatkan diri
sebagai negara yang mengedepankan perdamaian. Namun, untuk
bisa mengalahkan Sunda Galuh, aku harus berhadapan dengan niat
Sang Prabu mengawini anak Raja Sunda Galuh, Dyah Pitaloka
Citraresmi.
Perang Bubat adalah kesalahan pengelolaan keadaan yang aku
lakukan. Sejujurnya, aku harus menyesali peristiwa itu. Andaikata
aku sabar sedikit, penyatuan itu akan terjadi pula. Keadaan menjadi
tidak terkendali karena Raja Sunda Galuh tak hanya punya nyali,
tetapi juga punya harga diri. Aku membutuhkan waktu amat lama
untuk
mengakui
peristiwa
itu
tak
perlu
terjadi.
Dalam semangatku membangun Majapahit, aku melumuri jiwaku
dengan hamukti palapa. Aku menghindari gebyar duniawi.
Kuhindari nafsu duniawi, termasuk aku menghindari memiliki istri.
Dengan cita-cita sedemikian besar dan membutuhkan kerja keras,

aku tidak mau terganggu oleh rengek istri dan atau tangisan anak.
Tidak beristri dan tidak memiliki anak harus aku akui sebagai
pilihan tersulit. Aakan tetapi, aku layak bersyukur bisa
menjalaninya. Dengan kebebasan yang aku miliki, aku bisa berada
di mana pun dalam waktu lama tanpa harus terganggu oleh
keinginan untuk pulang. Labih dari itu, aku berharap apa yang
kulakukan itu akan menyempurnakan pilihan akhir hidupku dalam
semangat hamukti moksa (Hamukti moksa, Jawa, semangat untuk
meski lenyap, telah melakukan pekerjaan luar biasa demi orang lain,
seperti lilin yang rela terbakar asal bisa menerangi tanpa meminta
balasan, seperti pahlawan yang rela menjadi martir).
Biarlah orang mengenangku hanya sebagai Gajah Mada yang tanpa
asal usul, tak diketahui siapa orang tuanya, tak diketahui di mana
kuburnya, dan tidak diketahui anak turunnya. Biarlah gajah Mada
hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejak telapak kakinya, murca
berubah
bentuk
menjadi
udara.
Hari ini, ketika aku sendiri di istana karena Sang Prabu Hayam
Wuruk sedang berada di Simping Blitar yang menjadi bagian
rencana perjalanan panjangnya, aku merasakan nyeri di dada
kiriku. Sakitnya tidak ketulungan. Peluh bagai diperas dari tubuhku.
Aku merasa pintu gerbang kematian telah dibuka. Aku harus
melepaskan semua urusan duniawiku, termasuk bagian yang paling
sulit karena ada sesuatu yang menyatu di tubuhku, warisan yang aku
peroleh
dari
Kiai
Pawagal
di
Ujung
Galuh.
Untuk membebaskan diri darinya bukan pekerjaan gampang. Aku
tidak punya pilihan lain kecuali memutar udara itu dengan kencang,
makin kencang dan makin kencang. Aku berharap saat pusaran
angin
itu
bubar,
hilang
pula
aku.
Demikian hasil penerawangan sosok Gajah Mada oleh Paranormal.
Dalam pupuh 12/4 pujian pujangga Mpu Pranpanca dalam
kidungnya sebagai berikut Di bagian timur laut adalah rumah
Sang Gajah Mada, patih Wilkatikta, seoarang menteri wira,
bijaksana serta setia bakti kepada raja, fasih bicara, jujur, pandai,

tenang, teguh, tangkas serta cerdas, tangan kanan raja yang


melindungi hidup penggerak dunia Keangungan Majapahit adalah
berkat kemampuan Gajah Mada dalam menunaikan tugasnya sebgai
patih Amangku Bumi
Mengenai asal usul Gajah Mada ada pendapat yang mengatakan bahwa
Gajah Mada berasal dari Sumatera

Satu-satunya pulau di Indonesia yang ada gajahnya adalah Sumatra.


Yang pusat koservasinya ada di Way Kambas, Jambi. Dan kalau
dilihat dari catatan sejarah, ada benang merah yang dapat ditarik.
Dara Petak berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini
lokasinya ada di Sumatra, seperti kutipan dibawah ini Kerajaan
Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi adalah kerajaan yang
terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya
terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang, dan di utara
Jambi.
Setelah berhasil melaksanakan ekspedisi Pamalayu, Mahesa
Anabrang membawa Dara Jingga beserta keluarganya dan Dara
Petak kembali ke Pulau Jawa untuk menemui Kertanegara, raja yang
mengutusnya. Setelah sampai di Jawa, ia mendapatkan bahwa Sang
Kertanegara telah tewas dan Kerajaan Singasari telah musnah oleh
Jayakatwang,
raja
Kadiri.
Oleh karena itu, Dara Petak, adik Dara Jingga kemudian
dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan
keturunan Raden Kalagemet atau Sri Jayanegara, raja Majapahit ke2. Dengan kata lain, raja Majapahit ke-2 adalah keponakan Mahesa
Anabrang dan sepupu Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung.

Berdasarkan catatan-catatan diatas, dapat disimpulkan, saat Mahesa


Anabrang membawa Dara Jingga dan Dara Petak dari Sumatra ke
Jawa, Gajah Mada termasuk dalam rombongan tersebut yang
bertugas untuk mengawal keselamatan putri raja mereka sekaligus
sebagai duta dari Kerajaan Darmasraya. Atau malah Gajah Mada

ditugaskan secara khusus untuk menjadi pengawal pribadi Dara


Petak. Yang akhirnya tinggal dan menetap di Majapahit mengikuti
tuannya yang menjadi permaisuri raja Majapahit. Dari uraian-uraian
di atas, ada yang berkesimpulan bahwa asal-usul Gajah Mada bukan
dari Jawa tetapi Sumatra?

Berikut Nama Nama Patih Majapahit menurut Kitab Pararaton :


1.

Mahapatih Nambi 1294 13162.

2.

Mahapatih Dyah Halayuda (Mahapati) 1316 13233.

3.

Mahapatih Arya Tadah (Empu Krewes) 1323 13344.

4.

Mahapatih Gajah Mada 1334 1364

5.

Mahapatih Gajah Enggon 1367 13946.

6.

Mahapatih Gajah Manguri 1394 13987.

7.

Mahapatih Gajah Lembana 1398 14108.

8.

Mahapatih Tuan Tanaka 1410 1430

begitulah yang ditulis oleh pararaton, tentunya dua buah karya sastra kuno
besar (Negarakertagama dan Pararaton) layak dipercaya. Nama Gajah
Mada juga tercantum di prasasti Singhasari tahun 1351, Mahamantrimukya
Rakryan
Mapatih
Mpu
Mada
Kepustakaan
1.

Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional


Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka

2.

R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indonesia dan Daerah

3.

Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang


1965). Yogyakarta: LKIS

4.

Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya.


Jakarta: Bhratara

5.

"http://id.wikipedia.org/wiki/Gajah Mada"

Anda mungkin juga menyukai