Anda di halaman 1dari 8

Panji Pulangjiwo

LAMPIRAN II
Legenda Panji Pulang Jiwa (Kepanjen) Malang Tahun 1614-1625
VERSI 1

Memasuki awal abad ke-17 wilayah Jawa Timur menjadi daerah perdikan, dikuasai para
bupati, yang rata-rata memakai gelar Tumenggung atau Adipati. Setelah Majapahit jatuh, tidak
seluruh wilayah dikuasai oleh Kerajaan Islam Demak.
Wilayah Jawa dikenal dalam dua macam istilah yakni Bang-Bang Wetan dan wilayah
Brang Wetan. Bang Wetan adalah akronim “bang-bang Wetan”, tempat matahari terbit. Yang
dimaksud adalah wilayah Blambangan dengan wilayah Lumajang ke utara sampai dengan
Probolinggo, ke timur sampai dengan Selat Bali. Pelabuhan Kerajaan Blambangan yang terbesar
adalah Panarukan. Wilayah ini di bawah Kerajaan Klungkung di Bali, mayoritas rakyatnya masih
memeluk Agama Hindu dan Buddha.
Brang Wetan merupakan akronim dari kata “Seberang/sabrangan Wetan” Sungai Brantas.
Istilah Brang Wetan mengacu ke tradisi penyebutan wilayah Kerajaan Jenggala, dengan batas alam
sungai dan gunung, batas di sebelah Timur Pasuruan dan batas utara wilayah Surabaya, sebelah
selatan wilayah Malang dan Kediri (Barat).
Pada waktu itu, Kerajaan yang berpengaruh di wilayah Jawa Timur adalah Kerajaan
Mataram. Yang berkuasa di Kerajaan Mataram adalah Senopati Ing Ngalogo. Pada awalnya
Senapati menyerang Madiun, ia berhasil menundukkan Putri Madiun dan akhirnya menikahinya,
akibatnya Sang Tumenggung pun dilengserkannya, dalam legenda rakyat disebut “Tundung
Madiun”. Wilayah kedua yang ditundukkan adalah Kediri dan Tulung Agung. Malang pada tahun
1614 dikuasai Tumenggung Rangga Jumena. Senapati katemenggungan Malang adalah Raden
Panji, yang berasal dari Madura. Ia menikahi putri Sang Tumenggung. Pertahanan Malang rapuh
karena famili Tumenggung yang melakukan pemberontakan. Ia amat berambisi menjadi Senapati,
sekaligus menikahi kemenakannya sendiri. Peristiwa ini melahirkan legenda “Sumalewa Aris
Yapanan” Mataram melakukan ekspansi ke Malang. Tumenggung Rangga Jumena terbunuh, lalu
dia diberikan gelar Tumenggung Rangga Toh Jiwa. Katemenggungan Malang dibumi hanguskan
dan Putri Prabaretna diboyong ke Mataram.
Ketika Raden Panji datang dari Madura, dan ia mengetahui Malang telah dijarah prajurit
Mataram, ia mengamuk, mengejar prajurit Mataram ke arah Selatan. Di desa sebelah Barat Bureng,
prajurit Mataram bertahan. Setelah mengetahui bahwa Raden Panji mengamuk, maka Sang Juru
Martani membuat tipu daya. Didirikanlah panggung, di atas panggung didudukkan putri yang
wajahnya menyerupai Putri Prabaretna. Ketika Raden Panji menaiki panggung, Raden Panji
ditombak. Legenda Malang menyebut katemenggungan disebut “Malang Kutha Bedhah”. Desa
tempat terbunuhnya Raden Panji disebut desa Panggungreja. Daerah tempat Raden Panji
dimakamkan disebut “Ki Panji-an”, sekarang disebut Kota Kepanjen, yang dijadikan Kantor Pusat
Pemerintahan Kabupaten Malang. Pada tahun 1615 wilayah Katemenggungan Malang termasuk
wilayah yang dikuasai Kerajaan Mataram.

Referensi: Tim Penulis Budayawan Dewan Kesenian Kabupaten Malang & Sejarawan Kota dan
Kabupaten Malang. (2010). Laporan Sementara (Bahan Seminar): Sejarah Kabupaten Malang:
Sejak Prasejarah sampai dengan Abad XXI. Halaman 72. Malang: Pemerintah Kabupaten
Malang.

1
Panji Pulangjiwo

VERSI II

Adipati Malang Tumenggung Ronggo Juweno (setelah wafat dikenal dengan nama
Tumenggung Tohjiwo) merasa resah hatinya karena wilayah Brang Wetan (Situs Majapahit,
Singosari, Kediri dan Mojokerto) semakin terdesak oleh pengaruh Mataram yang berekspansi ke
wilayah Brang Wetan. Madiun, Gresik, Tuban, dan bahkan Surabaya telah tunduk ke Mataram.
Waktu itulah Tumenggung Ronggo Jumeno bermaksud membentengi Malang dengan
cara mencari “gegedhug atau agul-aguling yuda” dengan cara menikahkan putrinya, Ni
Proboretno. Ni Proboretno bersedia menikah, tetapi ia membuat sayembara ialah mencari lelaki
yang mampu mengalahkan kesaktiannya, lelaki itulah yang berhak menikahinya. Sayembara ini
bersifat terbuka prajurit dan warga penduduk Malang serta daerah di sekitarnya diberi hak yang
sama untuk mengikuti sayembara.
Keterbukaan sayembara inilah yang menyulut hati setiap lelaki yang berambisi untuk
menikahi wanita cantik, hidup berkuasa dan hidup mewah/kaya raya. Ki Somolewo (Paman dari
Proboretno) yang berkedudukan sebagai Aris di wilayah Yapanan tergerak hatinya untuk
mengikuti sayembara. Niat Somolewo ini ditolak oleh Nyi Savitri (istri Somolewo) sebab dirinya
masih dalam keadaan hamil muda. Somolewo amat marah karena kehendaknya dihalang-halangi,
oleh karena itu Nyi Savitri dihajar. Savitri yang tidak kuat menderita sakit, akhirnya melarikan diri
ke rumah orang tuanya yakni, Ki Bekel Kromoyudo di Desa Purwodadi. Ki Bekel amat takut
melindungi anaknya, oleh karena itu Nyi Savitri disuruh mencari perlindungan di rumah gurunya,
yakni Begawan Ki Pulungtoro atau Sidik Wacana yang bertempat tinggal di Padepokan
Nangkajajar.
Somolewo Aris Yapanan ternyata telah kalap, ia melabrak rumah mertuanya, selanjutnya
melabrak Padepokan Ki Pulungturo di Nangkajajar. Ki Pulungturo ternyata tidak merestui niat
Somolewo, ia nekad membunuh Ki Pulungturo yang masih gurunya sendiri. Sejak peristiwa itulah,
Somolewo telah menerima dua kali kutukan (supata), yakni kutukan dari ibu mertuanya dan
kutukan dari Sang Gurunya Ki Pulungturo atau Sidik Wacana bahwa Sumolewo Aris akan kena
hukum karma kematian di tangan satria yang menegakkan nilai kebenaran.
Muncullah Panji Sampang (kelak disebut Raden Panji Pulang Jiwo) yang mengikuti
sayembara di Kadipaten Malang. Ki Sumolewo mati terbunuh di tangan Panji Sampang. Ki Panji
Sampang yang berhasil memenangkan sayembara, akhirnya ia dinikahkan dengan Ni Proboretno.
Tamat.

Referensi: Supriyanto, H. (2001). Ludruk Jawa Timur: Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi,
Manajemen dan Himpunan Lakon. Halaman 43-44. Surabaya: Dinas P & K Provinsi Jawa
Timur.

2
Panji Pulangjiwo

VERSI III

Legenda Sejarah Kepanjen Malang


(Versi Mataram Islam)

Dalam legenda lokal “Babad Malang” dikisahkan bahwa kala itu Adipati Malang dijabat
oleh Ranggo Tohjiwo, saudara Panji Pulang Jiwo – panglima perang Malang yang gugur di dalam
pertempuran melawan Mataram. Pusat pemerintahan berada di Pakisharjo, (diperkirkan di Pakisaji
Malang) yang kemungkinan berlokasi di lereng barat Gunung Buring (dahulu termasuk Distrik
Pakis). Basis pertahanan mempergunakan bekas benteng dari masa awal kerajaan Singosari di
Kutho Bedhah, yang berada di tanah membukit dan terlindung oleh tiga aliran sungai (Brantas,
Bango dan Amprong). Toponomi “Kutho Bedhah” berarti kota atau benteng kota yang terkoyak
oleh serangan musuh. Bentuk topografinya mengingatkan kita pada supit udang (supit urang),
terletak di (Kota Malang sekarang).
Kawasan Malang oleh Mataram ditempatkan ke dalam “Mancanegara atau Brang Wetan”,
dan dipimpin oleh adipati. Walaupun secara de yure kawasan Malang ditempatkan dalam
kekuasaan Mataram, namun sebagaimana halnya penguasa-penguasa lokal lain di mancanegara,
Adipati Malang juga memerintah secara semi-otonom. Bahkan, sepeninggal Sultan Agung,
penguasa di Malang bermaksud untuk turut memisahkan diri dari kekuasaan Mataram. Oleh
karenanya, para penguasa Mataram pengganti Sultan Agung berusaha untuk mereintegrasikan
Malang kedalam kekuasaan Mataram.
Pada awal pemerintahan Kasultanan Mataram, yang diperintah oleh Panembahan Senapati,
penguasa di Malang menolak tunduk kepada Mataram. Dalam kitab “Babad Tanah Jawi Pesisiran”
diberitakan bahwa Adipati Malang dan seluruh adipati di Jawa Timur menolak tunduk pada
Mataram. Pasukan Mataram yang dikerahkan oleh Senapati tidak berhasil menundukkan Adipati
Malang, dan baru berhasil oleh ekspansi militer pada masa pemerintahan Sultan Agung (1614).
Menurut sesepuh-sesepuh Kepanjen, Babad Kota Kepanjen dibawah keperintahan
Kadipaten. Daerah Kabupaten Malang masih menjadi satu belum terbagi menjadi Kota Malang
dan Kabupaten, didalam kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Pusat Pemerintahannya Kadipaten
Malang yang di perkirakan di Pakishardjo (kemungkinan ditimur pasar Desa Pakisaji Malang).
Sedangkan nama dari Kepanjen dahulunya adalah "Kepanjian", yang mempunyai kata dasar Panji.
Menurut artinya adalah sebagai berikut. :
 Panji bisa berarti suatu bendera perang;
 Panji adalah suatu tempat berlatihnya suatu prajurit-prajurit; dan
 Panji adalah suatu orang yang gagah berani dan telah berjasa pada Negara, atau panji ini
atas namakan sebagai Nama orang yang berjasa yaitu Raden Panji Pulang Jiwo.
Untuk itu cerita tentang asal-usul sejarah Kepanjian akan kami ceritakan sebagai berikut:
Kadipaten Malang berada dipimpin seorang adipati, yang mempunyai anak perempuan
bernama Roro Proboretno (masih gadis, sakti dan peparas ayu rupawan), dengan kelebihan ini
banyak pemuda` mengagumi dan mempersuntingnya, tetapi Roro Proboretno menginginkan suami
yang sakti mondro guna tanpa tanding. Tempat pertapaan Roro Ayu Proboretno berada Gua sungai
Amprong (Kota Malang). Akhirnya Adipati membuka sayembara yaitu yang berbunyi, “Barang
siapa yang bisa mengalahkan kesaktian anaknya maka akan menjadi suaminya”. Sayembara ini
akhirnya cepat tersebar sampai diluar daerah Kadipaten Malang. Salah satu punggawa Kadipaten
3
Panji Pulangjiwo

Malang yang bernama Sumolewo, ingin memperistri Raden Proboretno. Sumolewo adalah seorang
punggawa kadipaten yang terkenal sakti, mempunyai guru bernama Ki Japar Sodik, gurunya
Sumolewo pernah berpesan, “Supaya Sumolewo tidak menikahi Proboretno karena nanti akan
dikalahkan oleh seorang yang berasal dari madura, berambut panjang dan seorang kasatria yang
masih muda, sakti mandraguna dan tak terkalahkan”.
Karena besar keinginannya untuk memiliki Roro Proboretno maka Sumolewo mencoba
untuk menghadang orang yang dimaksud oleh guru Ki Japar Sodik dengan mencegat setiap orang
yang akan masuk Kadipaten tepatnya di Malang sebelah utara (Desa Lawang Malang). Setiap
orang madura yang mempunyai ciri-ciri yang dipesan gurunya maka dibunuh di tepi sungai (maka
sekarang disebut Kali Getih, Kali Sorak). Raden Panji Pulang Jiwo adalah adipati Sumenep dari
Madura, datang ke Kadipaten Malang karena ingin mengikuti sayembara Adipati Proboretno.
Karena tahu kalau lewat Desa Lawang maka akan ketemu Sumolewo, maka Raden Panji mencoba
lewat Malang sebelah timur adalah tempat pemeliharaan hewan-hewan piaraan kadipaten tempat
itu sekarang disebut Kedung Kandang. Pada akhirnya Raden Panji tidak bisa dihadang Sumolewo.
Pada hari yang ditentukan sudah berkumpulah pendekar-pendekar dari segala penjuru
daerah, maka pertandingan dimulai dengan aturan siapa yang terakhir memenangkan pertandingan
maka akan melawan Roro Proboretno. Setelah pertandingan berlangsung cukup lama maka
tinggalah Sumolewo dengan Raden Panji, Pertandingan antara pendekar tangguh ini cukup terjadi
cukup sengit dan akhirnya Raden Panji Bulang Jiwo sebagai pemenangnya. Diakhirnya
pertandingan maka berhadapanlah dengan Pendekar Roro Proboretno. Pertandingan ini seimbang
dan pada akhirnya Proboretno terdesak dan akhirnya berlari dengan menunggang kuda untuk
bersembunyi di benteng patilasan kerajaan singosari yang tertutup oleh Gerbang yang kuat bagi
pertahanan Proboretno. Raden Panji segera mengejar dengan Kudanya yang bernama Sosro Bahu
akhirnya diketahuilah persembunyian Proboretno. Maka dengan Turun dari Kuda maka
mendekatilah pada gerbang penutup. Karena Kesungguhan dan kesaktian Raden Panji maka Pintu
Gerbang bisa dibuka, yang akhirnya Roro Proboretno bisa dikalahkan. (bisa membuka gerbang
Benteng makanya disebut kuto bedah kota Malang).
Maka Proses Pernikahan antara Raden Panji Pulang Jiwo dan Proboretno berlangsung
dengan Meriah yang dihadiran oleh petinggi kadipaten dan pesta rakyat . Pada masa perkawinan
mereka hidup rukun, bahagia dan dianugrahi satu anak laki-laki yang diberi nama Raden Panji
Wulung / Raden Panji Saputra. Sikap pasangan ini selalu santun pada siapa saja baik petinggi dan
rakyatnya. Pada pemerintahan kerajaan Mataram, Dalam kitab “Babad Tanah Jawi Pesisiran”
diberitakan bahwa Adipati Malang dan seluruh adipati di Jawa Timur menolak tunduk pada
Mataram, dengan cara tidak mau mengirim upeti. Karena adipati Malang dianggap makar, maka
Raja memerintahkan untuk menghadap ke Mataram, tetapi panggilan ini tidak dihiraukan.
Akhirnya Raja Mataram mengirim Pasukannya yang dipimpin oleh Joko Bodho (ini julukan
karena peristiwa masuk hutan dihuni harimau putih, karena keberaniannya ini dianggab pemuda
Bodho).
Pasukan Malang dipimpin Raden Panji dan Proboretno, Pada akhirnya terjadilah perang
besar, dan perang tanding antar Proboretno dengan Joko Bodho, Joko Bodho bisa menancapkan
keris ke tubuh Proboretno (pesan pada joko bodo oleh gurunya bahwa, “keris saktinya tidak boleh
untuk membunuh perempuan, karena menyebabkan kesaktian keris itu hilang”) pada waktu
Proboretno coba diselamatkan, tetapi akhirnya meninggal dalam perjalanan menuju Kadipati, lalu
dimakamkan dengan cara Islam yang tempatnya di belakang kantor Diknas Kabupaten Malang di
Wilayah Desa Penarukan Kepanjen Malang. Raden Panji Betapa Marahnya ketika istri tersayang
diketahui telah meninggal, maka dikejarlah pasukan musuh, dengan menunggang kuda Sosro

4
Panji Pulangjiwo

Bahu, saat itu banyak pasukan Mataram yang terbunuh. Sisa-sisa pasukan Mataram mencoba
bersembunyi di daerah hutan rimba yang bernama Desa Ngebruk, (ada dusun Mataraman
Kepanjen Malang).
Akhirnya sisa pasukan Mataram yang bersembunyi bisa diketahui, maka perang tanding
antara Raden Panji dan Joko Bodo berlangsung, karena kesaktian keris Joko Bodo sudah hilang
ioninya, maka dengan mudah Joko Bodo dibunuh, jenasahnya dimakamkan di dusun Desa
Ngebruk dusun Mbodo Pucung Malang. Raja Mataram mengetahui kekalahan pasukannya dan
kesaktian Raden Panji, maka dikirim pasukan lebih besar, tetapi menuju tempat istirahat dan
mengatur strategi di suatu pasanggrahan (sekarang bernama desa Sangrahan - Kepanjen Malang).
Raden Panji mendapat tekanan Jiwa yang berat atas kehilangan Proboretna, karena merasa berdosa
tidak mampu melindungi istrinya yang sebenarnya harus tinggal di Kadipaten, bukan ikut dalam
perang. Akhirnya perwira-perwira Mataram menemukan strategi jitu, maka dijalankan nya strategi
dengan membuat panggung yang disitu di beri seorang putri Mataram yang wajahnya memang
mirip dengan Putri Proboretno, yang didepan jalan naik pangung diberi jebakan sumur. (tempat
itu sekarang bernama Desa Panggung Rejo Kepanjen Malang).
Pada saat itu diundanglah Raden Panji Pulang Jiwo untuk bertemu Putri Proboretno palsu,
dengan diiringan lantunan tembang asmarodono, maka datanglah Raden Panji lewat jalan
(sekarang Jalan Raya Panji disitu banyak berdiri perkantoran), begitu melihat sosok Putri
Proboretno duduk diatas panggung maka langsung mendekat menuju “jalan naik ke atas
panggung”, dan masuklah ke jebakan lubang sumur maut, dan langsung puluhan prajurit datang
kesumur itu untuk membunuh Raden Panji Pulang Jiwo. Dalam Pemakaman Raden Panji di tempat
Kepanjian / Kepanjen, banyak pejabat kadipaten Malang dan sebagai rakyat berkumpul disuatu
tempat untuk bersama-sama menghormati pejuang Malang (Kelayatan Malang) untuk menuju ke
pemakaman terakhir Jl. Penarukan Kepanjen Malang).
Referensi: Wibowo, A.C. (2009). Legenda Sejarah Kepanjen (Versi Mataram Islam). Diakses
dari www.kepanjenonline.blogspot.com, 15/09/2019:22:41 WIB.

5
Panji Pulangjiwo

VERSI IV

Legenda Sejarah Kepanjen Malang


(Versi Japanan)

Panji Pulang Jiwo datang ke Malang ada dua versi sebagai pedagang dan sebagai
mengungsi karena ada peperangan di Madura, yang akhirnya Ingin memperistri Proberetno (Putri
Kadipaten Malang). Sumolewo berasal dari Gempol-porong, dan bekerja di Kadipaten Malang
sebagai Aris didaerah Japanan-Malang, Sumolewo punya guru bernama Ki Japar Sodik yang
terkenal mumpuni ilmu kanuragannya, dan pernah berpesan melarang tidak boleh memperistri
Proboretno dan apabila dilanggar maka akan terjadi kematian yang disebabkan oleh seorang laki-
laki dari utara timur, orangnya memakai anting-anting dan berkumis Roro Ayu Proboretno adalah
Putri dari Adipati Malang, dan seorang gadis yang lincah dan suka ilmu kanuragam, Karena
Keluarga menyarankan agar mau menikah, dan Proboretno sering menolak dan karena desakan
keluarga maka Proboretno mengajukan syarat yaitu “Apabila ada seorang lelaki yang bisa
mengalahkan kekuaatan ilmu kanuragannya maka sanggup untuk menjadi istrinya, akhirnya
Adipati Malang mengumumkan sayembara tersebut.
Kabar sayembara sudah tersebar keluar daerah Kadipaten Malang, dan akhirnya Sumolewo
bekeinginan untuk mengikuti, tetapi karena pesan gurunya yang melarang memperistri Roro
Proberetno akhirnya dilanggar, dia ingin menghidari dari takdir kematian maka dia membuat
aturan untuk melarang orang asing tidak boleh masuk daerah Kadipaten Malang bagi yang
mempunyai ciri-ciri: berasal dari arah utara timur, masih muda dan berkumis maka akan
diberhentikan, yang mirip dengan sarat-sarat tadi maka langsung dibunuh di daerah Lawang
(dijuluki kali getih didaerah).Tetapi tujuan Sumolewo tidak berhasil, sedangkan Raden Panji bisa
memasuki kadipaten Malang dan akhirnya mengikuti sayembara, tetapi pada masa pelaksanaan
sayembara Sumolewo ingin melawan Raden Panji Pulang Jiwo, terjadilah pertempuran yang sengit
yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Panji dan Sumolewo meninggal. Raden Panji akhirnya
berkesempatan untuk bertanding Kemampuannya dengan Roro Proboretno, karena kesaktian
Raden Panji lebih unggul, pada waktu Roro Proboretno terdesak lari dan bersembunyi di Gua Tepi
sungai Brantas (gua bertapanya Proboretno), yang ditutup dengan batu yang bernama “Nini
Growah” yang dipakai untuk bersembunyi waktu perang kesaktian, yang akhirnya bisa diketahui
oleh Raden Panji, Pulang Jiwo dan akhirnya sayembara selesai dengan penyerahan Roro
Proboretno.
Orang Tua Proboretno Adipati Malang menepati janjinya untuk menikahkan anaknya
dengan Raden Panji Pulangjiwo, walaupun hatinya menolak dengan kehadirannya Raden Panji
Pulang Jiwo, perkawinan antara Raden Panji dengan Roro Proboretno mempunyai keturunan
seorang putra Bernama Raden Panji Wulung. Pada suatu waktu Adipati Malang, mengutus Randen
Panji untuk menyelesaikan peperangan diluar kota Malang tepatnya sebelah timur kadipaten
Malang, sebagai Pimpinan Pasukan Kadipaten Malang, Pada masa perang memang terjadi dengan
sengit dan tidak seimbang, dengan bantuan Roro Proboretno istri setianya dengan sukmanya. Akal
licik dari Kolompok yang tidak suka dengan raden Panji membuat kabar bohong bahwa Raden
Panji telah meninggal dipertempuran. Kabar bohong ini didengar oleh Putri Proboretno yang
akhirnya jatuh sakit dan pada proses akan dibawah ke Kadipaten maka meninggalah dalam
perjalanannya terus dimakamkan (di belakang kantor Diknas Kab Malang). Kabar Raden panji
akan pulang menuju Kadipati Malang, dengan posisi marah karena Proboretno meninggal dunia,
Upaya Adipati Malang memerintahkan untuk menutup jalan masuk ke Kadipaden Malang, Raden

6
Panji Pulangjiwo

Panji mengambil strategi untuk masuk kadipaten Malang dengan melalui Malang Timur yaitu
daerah Kedung Kandang Malang (tempat piaraan hewan-hewan). Dengan meninggalnya istrinya
raden Panji Pulang Jiwo tertekan jiwannya, Adipati Malang untuk menghadapi dan membunuh
Raden Panji yang terkenal Mahir ilmu Kanuragan memakai akal busuk. Dengan membuat suatu
Panggung Jebakan yang diatasnya adik perempuannya dihias mirip Putri Proboretno, karena tahu
masih hidup maka cepat-cepat mendekat ke perempuan itu, tepat didekat panggung Raden Panji
Pulang Jiwo mati dijebak berupa lubang sumur dan akhirnya masuklah ke lubang sumur, prajurit-
prajurit kadipaten segera membunuhnya, lalu dimakam didekat kuburan Putri Proboretno, di Jl.
Penarukan Kepanjen-Malang (dekat stasiun Kepanjen Malang).
Referensi: Wibowo, A.C. (2010). Legenda Sejarah Kepanjen (Versi Japanan). Diakses dari
www.kepanjenonline.blogspot.com, 15/09/2019:22:46 WIB.

7
Panji Pulangjiwo

VERSI IV

Panji Pulang Jiwo dan Roro Proboretno: Kisah Asal-Usul Gunung Bret dan Gondomayit
(Cerita Rakyat Desa Randu Agung, Kecamatan Singosari)

Tersebutlah seorang putri cantik dari Adipati Malang (bernama Tumenggung Ronggo
Jumeno atau Tumenggung Tohjiwo, pen) bernama Putri Proboretno dari Kadipaten Malang.
Karena kecantikannya tersebut, dia dilamar oleh seorang pemuda bernama Somolewo Aris yang
memiliki jabatan penting dalam pemerintahan sebagai Aris Japanan (kini menjadi Desa Japanan,
Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, pen), bawahan Kadipaten Malang. Sayangnya, Putri
Proboretno tidak menginginkan pernikahan dengan Somolewo Aris karena Putri Proboretno sudah
dijodohkan guru Ilmu Kanuragan Somolewo Aris dengan seseorang pria yang berdarah bangsawan
dari Kepulauan Madura, yaitu Adipati Wulangjiwo (Pulangjiwo, pen) (putra dari Prabu
Cakraningrat). Karena tidak terima dengan usulan guru Ilmu Kanuragannya tersebut, Somolewo
Aris langsung membunuh gurunya secara keji dengan menggunakan keris. Ketika ada orang luar
datang ke wilayah Kadipaten Malang, Somolewo Aris langsung mengetahui jika orang tersebut
adalah Orang Madura dan dikiranya sebagai Adipati Wulangjiwo. Orang Madura tersebut
menjelaskan bahwa dia adalah hanyalah pedagang biasa dan seorang utusan dari tanah seberang,
sayangnya Somolewo Aris tidak mempercayainya. Atas ketidakpercayaannya itu, kuku dari
pedagang biasa tersebut dipotong.
Mendapat perlakuan seperti itu, maka pulanglah kembali ke tanah kelahirannya di Madura
dan melaporkannya kepada atasannya, yaitu Adipati Wulangjiwo. Adipati Wulangjiwo pergi dari
Madura dengan membawa pasukannya dan langsung mencari Somolewo Aris. Ketika sampai di
Kadipaten Malang, pertempuran di kedua pihak tidak dapat dielakkan. Somolewo merasakan
sudah tidak ada kemenangan yang berarti di pihaknnya, maka ia bersama pasukan mencoba untuk
kabur melarikan diri dari Adipati tersebut. Rute pelariannya sampai terus ke utara (Song-Song),
lari lagi sampai ke utara (Kali Getih), kemudian ke arah timur (Dusun Setran atau dikenal dengan
nama Setro) dan yang terakhir, sampailah di Bukit Bret. Nama “Bret” muncul, karena Somolewo
Aris melihat banyak sekali jejak-jejak kaki yang lewat dan duri di atas bukit yang bisa membuat
keberet (tergores). Di kemudian hari, dikenal lah nama “Bukit Bret” yang diketahui sampai
sekarang. Kemudian Somolewo Aris kabur dari Adipati Wulangjiwo saat pertempuran, Bukit
Gondomayit merupakan tempat larinya Somolewo Aris. Sayangnya, Somolewo Aris meninggal
(mungkin karena terluka) di bukit ini dengan bau mayatnya yang sangat menyengat ketika sudah
ditemukan oleh para prajurit Adipati Wulangjiwo. Maka dari itu, untuk mengingat kematian dari
Somolewo Aris bukit ini dinamakan Gondo (bau) dan Mayit (mayat/tubuh seseorang yang telah
meninggal). Jika digabungkan menjadi satu nama, yaitu Gondomayit.
Referensi: Firmansyah, D. dan Soesilo, F. (2018a). Sejarah Singkat Kecamatan Singosari dan
Mengenal Tinggalan Kesejarahannya (Dari Masa Prasejarah sampai Masa
Kemerdekaan). Hal. 99-101. Diterbitkan atas Kerjasama Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Malang dengan Komunitas Jelajah Jejak Malang. Malang:
Inteligensia Media.

Anda mungkin juga menyukai