A. Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Daerah Batu
1. Proses Islamisasi Kawasan Malang Pertumbuhan dan perkembangan Islam di daerah Batu tidak dapat dilepaskan dari islamisasi di kawasan Malang, yang menjadi kontek messo dari sejarah daerahnya. Meski Malang tidak pernah menjadi pusat siar Islam, yang kala itu banyak terdapat di Daerah Pesisiran, namun islamisasi di kawasan Malang mulai berlangsung pada masa Kewalian, yang semasa dengan pemerintahan kerajaan Sengguruh. Sayang sekali, data mengenai itu sangat terbatas, yaitu berupa tradisi lisan dan data artefaktual yang tidak seberapa lengkap. Bersama dengan Tigang Juru dan Blambangan di ujung timur, Jawa Timur, Kerajaan Sengguruh adalah “kantong Hindu terakhir di Jawa”. Kendati daerah-daerah lain telah berhasil diislamkan oleh Kasultanan Demak, namun ketiga kerajaan itu tetap mempertahankan diri secara gigih sebagai kerajaan yang bercocok Hindu. Tidak banyak data yang bisa diketahui tentang Kerajaan Sengguruh. Serat Kanda hanya membicarakan secara sekilas perihal Sengguruh dan Pa(-malang). Demikian pula pemberitaan dalam Babad Sengkala. Informasi yang cukup rinci justru didapati dalam legenda lokal mengenai “Sengguruh” dan “Gibik” (Codex Lor No. 3035). Nama “Sengguruh” mengingatkan kita pada nama desa di selatan Kepanjen, yang dilintasi oleh Sungai Brantas H.J. de Graaf dan G.Th. Pigeaud (1985:66-111) melokasikan kerajaan Sengguruh di sub-DAS Hulu Brantas pada sebelah selatan Malang. Menurut legenda lokal itu, penguasa di Sengguruh adalah Raden Pramana, putera patih Majapahit bernama Udara. Jika benar demikian, berarti Pramana adalah saudara ipar raja Gamda di Pasuruan. Berdasar informasi dari prasasti batu di Desa Kranggan, yang tidak jauh lokasi penemuannya dari Sengguruh, diketahui bahwa semenjak masa Singhasari, tepatnya pada masa pemerintahan Wisnuwardhana, daerah sekitar Sengguruh telah ditetapkan sebagai perdikan (sima). Selain itu, di Desa Sengguruh dan Jenggolo juga ditemukan artefak dari masa Hindu-Buddha. Temuan ini menjadi petunjuk bahwa daerah ini telah lama mendapat pengaruh budaya Hindu. Dalam kontek politik dan budaya, kerajaan yang berada di daerah terpencil pada Pegunungan Kapur Selatan Malang ini menjadi basis perlawanan dari penguasa Hindu terhadap kasultanan Islam di Demak maupun Giri. Kekuatan pasukan Kerajaan Sengguruh bisa dibilang tangguh. Sengguruh mampu menyerang Giri, bahkan berhasil mendudukinya hingga beberapa lama. Pasukan Giri di bawah pimpinan Jaga Pati tak kuasa menghentikan serangan Sengguruh, sehingga Sunan Dalem terpaksa meninggalkan kedaton Giri Gajah menuju ke kediaman Syeh Manganti (pamannya) di Gumena. Sebelum menyerang Giri, terlebih dahulu komunitas Muslim di Lamongan pimpinan Panji Laras dan Panji Liris ditaklukkan, supaya terbuka jalan untuk menyerang jantung kekuatan Giri. Keberhasilan Sengguruh dalam mengalahkan Giri ini merupakan prestasi besar, sebab di antara para penguasa muslim di Jawa Timur kala itu, Giri adalah yang terbesar dan terkuat. Lokasi kedatonnya di puncak bukit kapur, menyebabkan kedaton Giri tidak mudah untuk diserang dan diduduki. Gambaran tentang kuatnya pertahanan Sengguruh dapat ditelisik dari tahun kekalahannya ketika mendapat serangan dari Kasultanan Demak, yang dipimpin oleh Sultan Trenggono (tahun 1445). Dibandingkan dengan kantong-kantong Hindu lainnya di Jawa Timur, penaklukan atas Sengguruh terjadi pada waktu yang lebih belakangan, Pasuruan (Gamda) yang terbilang kuat saja, telah sepuluh tahun sebelumnya (tahun 1435) berhasil ditaklukkan Sultan Trenggono. Penaklukan Pasuruan oleh Demak itu memaksa Sengguruh untuk menarik pasukannya dari Giri, karena jalur Giri-Sengguruh terpotong di tengah oleh keberadaan pasukan Demak di Pasuruan. Mengingat kekuatan Sengguruh yang demikian, maka keberhasilan Demak dalam mengalahkan Sengguruh atau menginvasi kawasan Malang menjadikan pengaruh Islam di daerah pedalaman Jawa makin meluas. Ada kemungkinan serangan Demak terhadap Sengguruh itu memperoleh bantuan dari penguasa di Gribik (Ngibik). Menurut legenda lokal, penguasa di Gribik memeluk Islam berkat jasa dari Syeh di Manganti, yakni Paman Sunan Giri. Jika benar demikian, berarti mula islamisasi Malang terjadi tahun 1500-an, berkat adanya pengaruh dari Giri, dalam rangka mengontrol kekuasaan kerajaan Sengguruh. Salah seorang tokoh legendaries dan keramat yang dimakamkan di komplek makam Gribik adalah Ki Ageng Gribik. Ada kemungkinan bahwa daerah Gribik sama dengan Pa (-malang) yang diberitakan dalam Serat Kanda. Gunung Malang, yang kini populer dengan sebutan “Gunung Buring”. Jika penguasa di Gribik yang diislamkan oleh syeh Manganti itu adalah dirinya, berarti Ki Ageng Gribik adalah pionir dalam Islamisasi kawasan Malang (Cahyonc, 2007:6). Kendati demikian, bukan berarti pada abad XVI seluruh Malang telah berhasil diislamkan. Oleh karena bila menilik gambaran dalam Pararaton, yang selesai di surat pada akhir abad XVI, diketahui bahwa kala itu pengaruh Hindu di kalangan rakyat pedesaan di Malang masih kuat. Pendapat lain menyatakan bahwa Gribik bukanlah situs Islam tertua di Malang. Habib Mustopo dalam disertasinya (2000:95-96) menempatkan Malang Barat sebagai daerah tertua di Malang Raya yang memiliki jejak sejarah Islam. Dasar pertimbangannya adalah adanya nisan kepala dan kaki dari batu kali (andesit) pipih menyerupai menhir bertarikh Saka 1371 (1449 M). Yang berarti semasa dengan Akhir Majapahit. Pendapat ini perlu dipertanyakan, sebab bisa jadi batu berkronogram itu asalnya dari situs Hindu, yang kemudian dijadikan sebagai batu nisan pada masa yang lebih kemudian. Ha serupa banyak terjadi di situs-situs Islam lainnya. Selain itu perlu pembuktian, apakah makam tersebut adalah makam sesungguhnya ataukah "makam semu", dalam arti tidak pernah ada jasat yang dikubur di dalamnya. Persoalan lain adalah Ngantang berada di daerah pedalaman Jawa, yang jauh dari jangkauan pusat pengaruh Islam di Pesisiran Laut Jawa. Hingga sejauh ini tidak didapati data pendukung lainnya yang menguatkan kesimpulan bahwa Islam telah tersebar di daerah Ngantang pada rnasa akhir Hindu-Buddha. Jejak Islam di kawasan Malang juga dapat dijumpai informasinya dalam susastra Babad Tanah Jawi Psisiron, Naskah ini disimpan oleh Syamsuddhuha, dosen Fakultas Ushuluddin STAIN Sunan Ampel Surabaya. Kitab beraksara Abab Pegong ini memuat peristiwa yang terjadi pada sekitar abad XV. Antara lain memuat surat yang dikirim oleh seorang saudagar dari Arab Mesir kepada istri mudanya dari Malang, dengan kalimat “Ila zaujati al mahbubati fi Malang (kepada istriku yang tercinta di Malang)" (Widodo, 2006:77). Informasi ini memberi gambaran bahwa pada masa itu telah ada orang asing beragama Islam yang telah hadir di Malang. Informasi lainnya yang berkenaan dengan daerah Malang dalam susastra ini terkait ekspansi Mataram. Sebagaimana halnya adipati-adipati lain di Jawa Tirnur, adipati Malang menolak untuk tunduk kepada Kerajaan Mataram. Basis perlawanan para adipati di wilayah Jawa Timur (Bang wetan) terhadap Mataram berada di Surabaya. Pada bulan l Muharam tahun 1510 Saka (1588 M.) Senopati dari Mataram menyerang Bang wetan. Para adipati, tak terkecuali Adipati Malang, bersatu di bawah pimpinan Adipati Surabaya. Mereka berkumpul di Wirasabha. Menurut kitab babad ini, peperangan tak jadi berlangsung, lantaran ketika mendapat opsi dari Senapati untuk memilih isi ataukah irenang, ternyata pimpinan perlawanan (Adipati Surabaya) memilih isi, yang artinya menguasai manusia. Sedangkan senapati Mataram memilih sisanya, yaitu irengan, yang artinya menguasi bumi (wilayah) (Widodo, 2006:78-82). Dengan pilihan tersebut, berarti semenjak itu Jawa Timur berada di bawah kekuasaan Mataram. Kendatipun demikian, kekuasaan Mataram atas wilavah Bang Wetan tidak ubahnya dengan kekuasan yang bersifat de yure, dan sebaliknya secara de facto para adipati Bang Wetan berkuasa secara semi independen. Oleh sebab itu, ketika Mataram berada pada jaman keemasan di bawah pemerintahan Sultan Agung dilakukanlah ekspansi ke Bang Wetan, supaya secara de yure maupun decto wilayah ini berada dalam payung kekuasaan Mataram. Kala itu daerah Malang berada di bawah pemerintahan Adipati Ronggo Tohjiwo. Sedangkan ribuan pasukan dari Matararn berada di bawah pimpinan Turnenggung Sorontani dan Tumenggurrg Alap-alap. Ketika bala tentara Mataram memasuki wilayah Malang, bersamaan itu sebagian pasukan Kadipaten Malang di bawah pimpinan Panji Pulangjiwo (adik Ronggo Tohjiwo), tengah pergi ke Gunung Argopuro. Oleh karena itu, pimpinan pasukan Kadipaten Malang dioper alih Proboretno, yakni istri Panji Pulangjiwo yang belum lama dinikahinya. Dalam pertempuran yang sengit, Proporetno gugur tertembus tombak Kyai Pleret yang dihujatkan oleh Tumenggung Surontani. Tidak lama kemudian. Panji Pulangjiwo dan pasukannya tiba di Malang. Sementara, pasukan Mataram mundur ke Sumberharjo. Panji Pulangjiwo bersumpah untuk membalas kematian istrinya. Bersama dengan sejumlah besar pasukannya, Panji Pulangjiwo mengepung tenda pasukan Mataram. Tumenggung Surontani pun berhasil dikalahkan olehnya, sehingga pasukan Mataram terpaksa mengundurkan diri dari Malang. Mendengar kekalahan pasukan Mataram ini, Sullan Agung demikian murka dan hendak dikirim serangan balasan. Namun, pasukan Kadipaten Malang telah lebih dahulu mencapai tapal batas Mataram. Kembali pasukan Mataram bisa dikalahkannya. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama. Dalam pertempuran susulan, Panji Pulangjiwo yang terkena “,fatamorgana” cinta kasih istrinya yang telah wafat itu tewas terkena hujan panah pasukan Mataram. Tidak lama kemudian, datang bala bantuan tentara Mataram dalam jumlah besar, dan berhasil mengkoyakkan benteng pertahanan Kadipaten Malang. Rangga Tohjiwo dan sisa pasukannya menahadapi serangan Mataram hingga tetes darah penghabisan. Peristiwa terkoyaknya benteng kota Malang pada tahun 1614, yang dalam "Babad Malang” dinamai “bedahe Malang” tersebut menjadi momentum pendudukan Matararn atas Malang, atau bisa juga dinyatakan sebagai tahap awal "mataramisasi" wilayah Marang. Lokasi benteng kota Malang berada di lereng barat bawah Gunung Buring, di sekitar pertemuan tiga sungai (Brantas, Bargo dan Amprong), padamana kemudian muncul sebuah kampung, dengan nama “Kuto Bedah” Di lokasi ini pada sekitar empat abad sebelumnya pernah menjadi kedaton dari Kerajaan Tumapel serasa pemerintahan Ken Angrok hingga awal pemerintahan Wisnuwardhana. Dengan demikian, benteng Kadipaten Malang ini adalah pemanfaatan ulang benteng arkhais dari Kerajaan Tumapel (Cahyono, 2007:6). Bersamaan dengan terjadinya mataramisasi Malang, pengaruh Islam yang bersifat “abangan” turut mewarnai budaya Islam Malang pada masa itu. Proses Islamisasi selanjutnya, yang juga bercorak Mataraman, dilaksanakan oleh para pengikut Trunajaya yang selamat, khususnya untuk daerah Malang barat, yaitu setelah benteng pertahanan terakhir Trunojoyo pada Bukit Selokurung (Ngantang) berhasil di gempur oleh Kompeni Belanda pada tahun 1679. Proses selanjutnya diteruskan oleh para pengikut Untung Surapati di daerah Malang tengah sejak tahun 1689 dan berlanjut hingga tahun 1707 s.d. 1771. Pada masa kemungkinan mulai masuk pengaruh islam dari Pasuruhan. Hal yang demikian bisa difahami, mengingat bahwa antara 1686-1706 Malang berada di bawah kekuasaan Untung Suropati, yang kala itu menobatkan diri sebagai Adipati Wiranegara di Pasuruan. Islamisiasi bercorak Mataraman terulang pada sekitar tahun 1830an, yang dilakukan para eks prajurit Diponegoro, khususnya untuk daerah Malang Selatan dan beberapa tempat lain di penjuru wilayah Malang-termasuk juga di Singosari, karena Hamimuddin, pendiri mushola kecil di Dukuh Bungkuk, adalah eks prajurit Diponegoro yang menjadi anak menantu pemuka masyarakat di sini. Berdasarkan peparan di atas, diperoleh gambaran bahwa Islamisasi ke Malang berasal dari Giri, Demak dan Mataram. Pengaruh Islam dari Giri (Gresik) bersamaan waktu dengan perkembangan kerajaan Hindu terakhir di Sengguruh (tahun 1500an). Dalam tradisi lisan dikisahkan bahwa Islamisasi terhadap Gibik (Gribik) dan Pa(malang) yang berlokasi di sebelah barat G. Burung dilakukan oleh Syekh Manganti (paman Sunan Giri). Selain untuk menyebarkan Islam hal ini dilakukan untuk menciptakan prakondisi dalam rangka menumbangkan kerajaan Sengguruh, yang kelak dilancarkan oleh Trenggono dari Demak (tahun 1545). Peristiwa ini sekaligus menandai adanya pengaruh Islam dari Demak ke Malang. Pengaruh Islam dari Mataram baru terjadi pada masa berikutnya, yaitu bersamaan waktu atau tidak lama setelah terjadinya eksodus pasukan. Trunajaya, Untung Surapati dan Diponegoro. Bagi mereka, daerah Malang yang bergunung-gunung dipandang cocok sebagai terugual basis (basis pengunduran diri untuk keperluan konsolidasi). Secara tidak langsung mereka melakukan siar Islam lewat interaksi sosial dan perkawinan. Islamisasi yang dilakukan oleh Syekh Menganti terhadap Gibrik (Ngibik, Gribik) dan Pa(malang) adalah penetrasi damai. Walau demikian ada motif politik di balik pengislaman itu, yaitu penyiapan serangan terhadap kerajaan Sengguruh, yang nantinya dilakukan oleh Kasultanan Demak dengan bantuan dari Giri dan komunitas Muslim di Gribik. Berbeda dengan pengislaman Gribik oleh sentra Islam di Giri, pengislaman. Sengguruh oleh Kasultanan Demak dilakukan dengan kekuatan militer. Saluran islamisasi serupa ini terjadi di Malang barat, tengah dan selatan, bersamaan waktu atau tak lama setelah terjadi Perang Trunojoyo, Untung Suropati maupun Perang Diponegoro, yakni mempunyai latar politis. Interaksi sosial dan perkawinan antara eks lascar Trunojoyo, Untung Surapati dan Diponegoro dengan warga setempat meratakan jalan bagi siar Islam ke penjuru Malang. Corak Islamisasi di kawasan Malang ikut ditentukan oleh daerah asal pengaruh Islam tersebut. Pada awal (1500-an s.d medio abad XVI), corak Islam Giri dan Demak mewarnai Islamisasi Malang Raya. Sedangkan pada masa berikutnya (akhir abad XVII s.d medio abad XIX), corak Islam Mataram yang mendapat pengaruh kuat dari tradiri budaya Jawa banyak mewarnai corak budaya Islam di Malang. Corak yang demikian mempunyai kesesuaian dengan kondisi budaya masyarakat Malang kala itu, dimana anasir budaya pra- Islam masih kuat pengaruhnya hingga awal abad XVI. Oleh karenanya, pengaruh Islam Mataram yang dibawa oleh para pengikut Trunojoyo, Untung Surapati dan Diponegoro, yang tercampur dengan tradisi budaya Jawa dari masa pra-Islam mudah diterima oleh masyarakat Malang yang berada di pedalaman Jawa. Dengan demikian, cukup alasan untuk mengatakan bahwa corak Islam “cultural” telah semenjak lama tumbuh dan berkembang di kawasan Malang. 2. Proses Islamisasi Daerah Batu Sumber data sejarah yang berkenaan dengan kesejarahan daerah Batu pada Masa Perkembangan Islam tidak cukup banyak didapatkan. Selain sejumlah situs makam Islam kuno, sumber data tentang itu kedapatan dalam bentuk tradisi lisan (oral tradition) atau legenda lokal, yang beberapa diantaranya diliteralisasi (ditulis) kan. Dua diantaranya yang cukup dikenal adalah legenda tentang Mbah Mbatu dan Pangeran Rohjoyo terkait dengan babat Desa Bumiaji dan Bambang Selo Utomo terkait dengan babat Desa Punten. Kisah legenda para "pembuka (sing babat, sing bedah Krawang)" untuk desa-desa lain di Batu tak sepopuler dengannya. Terkait dengan sumber data oral ini, untuk mengularkan fakta daripadanya perlu dilakukan hati-hati, dengan memilah mana yang merupakan fakta dan mana yang fiksi belaka. Dengan perkataan lain, perlu untuk secara klitis rnengkritiknya agar dapat disarikan informasi historisnya. Kondisi sumber data yang demikian menyebabkan rekonstruksi historis terhadap Sejarah Islam di Daerah Batu hanya bisa dilakukan dalam skala terbatas, bahkan banyak bersifat interpretatif dan berupa hipotesa, sehingga yang ke depan perlu dilacak bukti penguatnya. Sumber data tradisi (oral tradition) yang berkembaug di daerah Bumiaji menyatakan bahwa Mbah Batu, dengan varian sebutannya sebagai "Mbah Mbatu, Mbah Wastu, Mbah Stu atau Mbah Tuwo”, yang dimakamkan di Dusun Banaran Desa Bumiaji adalah tokoh yaitu “Abu Nggonaim-variannya “Abu Ghonaim” ini jelas seorang Islam. Hal ini tampak pada jejak artefaktualnya, yang berupa makam muslim, lengkap dengan jirat, nisan dan cungkupnya. Selain makan beliau, pada cungkup makam ini disemayamkan pula tokoh legendaris lain, yaitu Pangeran Rohjoyo, yang dinyatakan sebagai bangsawan (pangeran) asal Mataram. Mbah Batu acapkali dinyatakan bukan saja sebagai pembuka (sing babad) Desa Bumiaji, namun sekaligus sebagai orang yang mbabat daerah Batu secara keseluruhan. Suatu pendapat yang musti dikritisi, sehingga posisi Mbah Batu dalam sejarah daerah Batu menjadi lebih proporsional. Beberapa waktu berselang, pada kalangan awam sejarah, berkembang pemikiran bahwa sejarah Batu bermula dari Mbah Batu. Tentu hal ini merupakan reduksi sejarah yang kebablasan, dan karenanya perlu untuk diluruskan keberadaannya dan diposisikan secara lebih proporsional. Nama Abu Nggonaim juga disebut-sebut dalam Babad Desa Punten, sebagaimana bisa dibada dalam “Layang Ronggo Sejati”. Teks ini menyerupai cerita tutur (lisan) yang ditulis (diliteralisasi) kan secara bebas pada beberapa tahun terakhir. Menurut sumber ini, orang yang pertama kali masuk ke Desa Punten adalah Bambang Selo Utama alias Purbo Sentono, istri (Rara Ninik Wuryaningsih) dan gurunya (Kiai Abu Nggonaim). Menurut laying tersebut, peristiwa itu berlangsung sekitar abad XV. Bambang Selo Utama adalah pembuka (sing babat) hutan belantara kawasan berlembah, bergunung dan berjurang, yang dinamai “Punten”. Tempat ini berada jauh di sebelah timur Mataram. Kepergiannya ke mari terkait dengan rasa malu Bambang Selo Utomo, sebab pada waktu ia diwisuda menjadi senopati Mataram dan ditunangkan dengan Ninik Wuryoningsih atas keberhasilannya dalam sayembara membuat gamparan (beliak) “Ukiran Bungkul Kencono” guna meredakan pagebluk (wabah penyakit) yang melanda Mataram, tanpa disadari dia kentut di hadapan para pejabat Istana (Tim Sejarah Desa, 2008). Bambang Selo Utomo adalah seorang murid dari Abu Nggonaim (nama lain dari Mbah Batu). Dengan demikian, dia adalah satu generasi di bawah Mbah Batu. Dalam Layang Ronggo Sejati dinyatakan bahwa Abu Nggonaim memiliki pesantren besar. Sayang tidak dinyatakan secara eksplisit dimana lokasi pesantrennya. Mengingat Mbah Batu acap dihubungkan dengan “sing mbabad” Bumiaji, maka pertanyaannya adalah “apakah lokasi pesantrennya berada di desa Bumiaji?”. Apabila benar demikian berarti kala itu didaerah Utara Brantas telah terdapat pesantren besar yang dikelola oleh Abu Nggonaim. Namun, sejauh ini belum dijumpai data artefaktual yang mengarah pada kesimpulan demikian. Perkataan “sing babad” di dalam kedua legenda lokal itu perlu didudukkan secara proposional. Bukan menurut arti harafiahnya, melainkan dalam arti yang bersifat interpretatif. Secara harfiah kata “babad atau mbabad” adalah pembukaan suatu areal dengan jalan menebangi pepohonan yang tumbuh di sini. Sedangkan perkataan “sing bedah krawang” berarti pembuat sesuatu menjadi koyak (bedah), sehingga sesuatu itu berlobang terang (krawang). Arti dari kedua istilah itu menunjuk pada orang tertentu pada masa lalu yang mengawali pembukaan suatu area menjadi permukiman baru. Areal permukiman itu adalah embrio bagi terbentuknya desa atau daerah. Sebelum kejadian itu, areal ini masih berwujud hutan belantara, yang belum berpenghuni. Pengertian seperti itu tak sesuai dengan realitasnya, sebab jauh sebelum kehadirannya, baik di Bumiaji ataupun di Punten telah ada orang yang hadir, bermukim, dan berkegiatan budaya di situ. Dengan demikian, Mbah Batu dan Bambang Selo Utomo bukanlan orang yang kali pertama hadir, bukan pula yang mengawali terbentuknya permukiman di Bumiaji dan di Punten. Informasi yang berasal dari sumber data lisan ini patut dikritisi, mengingat bahwa sumber data tekstual (prasasti dan susastra) maupun sumber data arfektual menyodorkan gambaran yang berlainan. Paparan sejarah terdahulu dengan jelas menunjukkan bahwa Batu telah menjadi daerah hunian atau tempat berlangsung aktifitas social-budaya sejak Masa becocok Tanam pada Jaman Prasejarah. Bahkan pad amasa Hindu-Budhha daerah Batu telah kerajaan Kanjuruhan, Mataram, Singhasari dan Majapahit. Beberapa desa di daerah Batu seperti sangguran, Batwan, dan Deseng Batu telah menyandang status “Desa Perdikan (Sima)” Tempat dan perangkat keagamaan yang berlatar agama Hindu juga didapati di berbagai penjuru daerah Batu, tak terkecuali di desa-desa tetangga Bumiaji. Oleh sebab itu tak tepat jika Mbah Batu yang hidup pada masa perkembangan Islam dinyatakan sebagai “pembuka perdana (sing mbabat) Batu”. Masa hidup Mbah Batu adalah pada skeitar abad XIX, atau paling tua abad XVIII. Demikian pula dengan Bambang Selo Utomo, tidak tepat jika dinyatakan bahwa masa hidupnya pada skeitar abad XV, sebab konteks waktu peristiwa yang dikisahkan adalah masa Mataram. Mereka berdua dengan dmeikian hidup pada masa perkembangan Islam. Oleh karena itu, lebih tepat bila Mbah Batu dan Bambang Selo Utomo dinyatakan sebagai tokoh yang berjasa dalam mengawali siar Islam, khususnya di Batu Utara, baik di Desa Bumiaji maupun Punten. Jejak budaya pra-Islam didapati pada areal makam Mbah Batu di Dukuh Banaran. Hal ini menjadi petunjuk bahwa sebelum lokasi ini menjadi komplek makam Islam, lebih dahulu menjadi situs Hindu. Demikian halnya yang terdapat di Punten, yang kedapatan adanya watu dakon di Dusun Gempol, lumping batu di Dusun Poyan (Lo Dengkol). Susunan batu temugelang (enclosure) di dukuh Krajan (punden Gadung Melati), punden berumpak di punden Mbah Gamping , batu-batu besar di punden Purwosenjoto dan mbah Gimbal, serta empat buah Lingga dan struktur bangunan berlatar agama Hindu di Punden Gadung Melati. Dengan demikian ada petunjuk bahwa Punten telah menjadi hunian sejak jaman prasejarah dan berlanjut hingga masa Hindu-Buddha. Jejak-jejak budaya itu berada pada sepanjang aliran Sungai Brantas yang membelah Desa Punten dan skeitar sumber air (Banyuning serta Ngesang I dan II). Adanya jejak budaya masa Hindu-Buddha di Punten sebenarnya telah dinyatakan di dalam Layang Ronggo sejati, bahwa di tempat padamana Bambang Selo Utomo, istri dan gurunya berhenti dan kemudian membuka areal permukiman telah terdapat reruntuhan candi. Paparan di atas memberi kita petunjuk bahwa Islamisasi di Utara Brantas setidaknya berkat jasa dari Mbah Mbatu dan Bambang Selo Utomo. Untuk sub-wilayah Selatan Brantas, legenda local menyebut adanya sejumlah nama yang berjasa mengislamkan sejumlah desa di wilayah ini, diantaranya adalah : 91) Mbah Mas di Besul, (2) Mbah Macan Kopek di Sisir, (2) Mbah Macan Kopek di Sisir, (2) Mbah Bener di Temas, (4) Eyang Jugo di Junggo, (5) Mbah Masayu Sinto Mataram di Ngaglik, dan (6) Mbah Gadung Mlati di Punten. Selain itu terdapat juga sejumlah makam Islam kuno, seperti makam Islam di Macari, Sisir dan Pesanggrahan. Beberapa makam tua tersebut, utamanya makam tokoh legendaris di banaran, Besul dan Ngaglik, mempunyai indikasi ditempatkan di atas atau berdampingan dengan situs yang lebih tua, sehingga dapat dijadikan petunjuk tentang adanya kesinambungan sakralitas di suatu tempat. Artinya, tempat yang dulu dipandang sakral orang pemangku budaya lama, pada pemangku budaya yang berikutnya tetap dipandang sakral. Jejak budaya yang ada berasal dari masa yang berbeda atau bersifat dari lintas masa.
B. Jejak dan Rekonstruksi Sejarah Islam di Daerah Batu
1. Pelaku Siar Islam di Daerah Batu Sebagaimana dipaparkan di atas, terdapat sejumlah orang yang dalam legenda local dinyatakan sebagai berjasa dalam siar Islam pada awal perkembangan Islam di daerah Batu. Pada sub-wilayah Batu Utara, Mbah Batu dan Bambang Selo Utomo (alias Mbah Gadung melati) adalah orang-orang berjasa dalam mengislamkan Desa Bumiaji dan Desa Punten. Sedangkan di sub-wilayah selatan Brantas, tampil ke depan nama-nama berikut : Mbah Mas untuk warga kampong Besul, Mbah Macan Kopek untuk warga di Sisir, Mbah Bener untuk Temas, Eyang Jugo untuk Junggo, dan Mbah Masayu Sinto Mataram untuk Ngaglik. Mereka disebut dengan tambahan kata sebut “mbah” atau “eyang” sebelum nama dirinya. Hal ini menguatkan gambaran tentang ketuaannya. Kendati demikian, tak mudah untuk menyatakan secara pasti bilamana masa hidupnya. ‘Apakah mereka hidup sejaman, ataukah satu lebih awal dari yang lain?” suatu pertanyaan yang tak mudah untuk menjawabnya, kecuali yang berkenaan hubungan antara Bambang Selo Utomo dan Mbah Batu 9abu Nggonaim), yang dinyatakan sebagai murid-guru. Prakiraan waktu yang bias diperoleh darinya adalah sekitar abad XVII hingga permulaan abad XIX. 2. Daerah Asal Pengaruh Islam ke Daerah Batu Pengaruh Islam dari Giri terhadap Gribik pada penhujung abad XV dan penaklukan Kerajaan Sengguruh oleh Kasultanan Demak pada tahun 1545 Masehi kiranya tak berdampak bagi tersebarnya Islam ke Batu, sebab letaknya cukup jauh darinya. Selain itu, kitab Pararaton (ditulis akhir abad XVI atau awal abad XVII) memberi gambaran bahwa kala itu masyarakat Malang masih cukup kuat menganut ajaran pra-Islam. Gambaran yang demikian sangat mungkin berlaku juga di daerah Batu. Pada sisi lain legenda local terkait dnegan para pesiar Islam di Batu, seperti legenda tentang Pangeran Rohjoyo di Bumiaji, Babad Desa Punten, dan adanya unsur nama ‘Mataram” di dalam sebutan ‘Masayu Sinto Mataram” memberi indikasi tentang adanya pengaruh Islam di Batu dalam hubungannya dengan Kerajaan Mataram. Selain itu pemakaian gelar pangeran oleh Rohjoyo memperlihatkan bahwa masa hidupnya adalah periode mataram, sebab pada masa Hindu- Buddha gelar (honorifx prefix) “pangeran” belum dikenal. Apabila benar bahwa mereka adalah orang-orang yang hidup semasa dengan kerajaan Mataram Islam, perntanyaan adalah “mungkinkah kontek peristiwanya dapat dihubungkan dengan mataramisasi yang tengah berlangsung di Jawa Timur?”. Sebagaimana dikemukakan di atas, para pengikut Trunojoyo, untung Surapati serta Pangeran diponegoro yang selamat dari pertempuran melawan koalisi Kompeni Belanda dan penguasa Mataram lantas tinggal menetap di daerah Malang. Pada sejumlah tempat di Malang Barat, Tengah dan Selatan, mereka dikisahkan sebagai berjasa dalam mensiarkan Islam di tempat keberadaannya. Terkait dengan itu, perlu difikirkan tentang kemungkinan bahwa diantara tokoh-tokoh penyebar islam di Batu itu berasal dari mereka, khususnya mereka yang selamat dari gempuran pasukan Kompeni Belanda (VOC) pimpinan Kapten Francois Tack terhadap benteng Trunoho terakhir, yang terletak di bukit Selo Kurung (ngantang). Jarak Batu-Ngantang yang tidak terlampau jauh menjadi factor yang layak dipertimbangkan untuk kemungkinan pengungsiannya ke daerah Batu. Selain itu, dengan didudukinya pusat wilayah Malang oleh Kompeni Belanda pada tahun 1767, bukan tidak mungkin para pejuang yang bergabung dengan anak cucu Untung Surapati melarikan diri ke arah barat dan timur, yaitu ke daerah Batu dan Tumpang-Poncokusumo, karena daerah ini diperhitungkan olehnya sebagai tempat yang aman. Bukan pula tidak mungkin bahwa terdapat eks lascar diponegoro yang memasuki dan kemudian tinggal di Batu. Contoh serupa dijumpai pembandingnya di Singosari, Hamimuddin yang menjadi pendiri Pondok Bungkuk di singosari adalah eks lascar Diponegoro yang menetap di sini setelah menikah dengan wanita setempat. 3. Desa Batu sebagai Cikal Bakal Islamisasi Daerah Batu Sejauh ini, jika berbicara mengenai islamisasi daerah Batu, nama “Mbah Mbatu” senantiasa disebut untuk kali yang pertama. Nama itu bukanlah nama diri, sebab legenda local mengemukakan bahwa nama dirinya adalah ‘Abu Gonaim”. Unsur nama “mbah” adalah kata sebut, yang menggambarkan ketuanya, yakni seseorang yang hidup pada masa silam. Sedangkan unsur nama “Mbatu” dan “Batu” menunjuk kepada tempat padamana ia tinggal. Sebagai nama desa, semenjak masa Hindu-Buddha, dan khususnya pada masa Majapahit, nama “Batu” telah dikenal luas. Apabila memperhitungkan penyebutannya dalam prasasti Jiu II (1486 M) yang berasal dari daerah Pacet, maka amat beralasan untuk menyatakan bahwa “desa di (deseng = desa ing)” Batu tersebut terletak di seberang utara Brantas, yang kini termasuk dalam wilayah Kec. Bumiaji. Nama “Mbah Batu” beserta variannya, yaitu ‘Mbah Mbatu” atau “Mbah Wastu”, adalah sebutan bagi seorang yang berasal dari Desa Batu ketika Batu masih merupakan sebuah desa. Tafsiran demikian sesuai dengan lokasi makamnya, yaitu di dukuh Banaran Desa Bumiaji. Di desa kuno Batu itulah beliau tinggal dan melakukan siar Islam. Salah seorang santrinya berasal dari desa tetangga, yaitu Desa Punten, bernama Bambang Selo Utomo. Desa kuno Batu, yang kini menjadi Desa Bumiaji, adalah desa cikal-bakal yang sebagian besar warganya beragama Islam. Nama “Bumiaji”, baik sebagai nama desa atau nama kecamatan baru digunakan lebih kemudian. Nama ini menjadi pengganti bagi nama “Desa Batu” yang arkhais. Banyak orang lupa atau tidak mengetahui bahwa semula “Batu” adalah nama desa. Sepengetahuannya, Batu adalah nama kecamatan dan akhirnya (sejak tahun 2001) menjadi nama kota. Suatu pendapat yang menyatakan bahwa nama “Bumiaji” berasal dari dua kata, yaitu bumi (tanah) dan aji (berharga). Mneurut pendapat ini sebutan ini menunjuk kepada keberhargaan tanahnya. Yaitu tanah subur, tanah yang berharga. Pendapat lainnya menyatakan bahwa nama “Bumiaji” merupakan pergeseran dari Bhumihaji” yang terbentuk dari kata “bhumi´(tanah, daratan, bumi)” dan “haji (raja, keluarga raja, pangeran) (Zoetmulder,1995:141, 327)”. Pnggantian nama dari “Desa Batu” ke “Desa Bhumihaji” dan kemudian menjadi “Bhumihaji” bias jadi terkait dengan keberadaannya pada masa lalu, yaitu sebagai daerah yang pernah memperoleh anugerah status perdikan (sima) dari raja (haji), baik dari Hayam Wuruk ataupun Sri Girindrawarddhana. Terlepas dari pendapat manakah yang benar, di balik nama “Bumiaji” terkandung makna keberhargaan, baik karena kesuburan tanah beserta hasil buminya, atau lantaran status istimewa yang pernah disandang pada masa lalu sebagai desa perdikan (Cahyono, 2008:264).