Anda di halaman 1dari 18

Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5 i

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana

Prosiding Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang


Denpasar: Penerbit Universitas Udayana, 2017

x, 501 hlm; 4 cm

Bibliografi
ISBN: 978-602-294-240-5

1. Arsitektur dan Tata Ruang

I. Judul

Hak Cipta pada Masing-Masing Kontributor


Dilarang memperbanyak sebagian dan/atau seluruh isi buku ini dalam bentuk
apapun, tanpa ijin tertulis dari Kontributor dan Editor

Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang


(SAMARTA)

Penerbit:
Universitas Udayana, 2017

Desain Sampul:
Antonius Karel Muktiwibowo

Kontributor Foto Sampul Depan dan Belakang:


Antonius Karel Muktiwibowo

Pracetak:
Ni Made Swanendri, I Wayan Yuda Manik, Dwi Pratiwi, Ni Putu Dian Pratiwi, Sanar Oktaviani, Ni
Wayan Fortuna Ningsih, Yosephine Estherina Wibowo, I Kadek Diantara, Kadek Satria Ariwibawa.

ii Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5
PRAKATA

Identitas suatu bangsa memiliki peran yang penting dalam percaturan dunia internasional. Bangsa
yang beridentitas memiliki karakter yang menjadi pembeda dengan bangsa lain. Dalam konteks
Indonesia, identitas bangsa tidak bisa dipisahkan dari budaya lokal, masyarakat, dan lingkungan
setempat yang mendukungnya. Tradisi dan budaya Indonesia masih bertahan hingga kini menjadi
sebuah kekuatan untuk mempertahankan identitas Secara fisik, arsitektur dan lingkungan binaan
merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjukkan identitas suatu bangsa. Kedua faktor ini
memiliki keterkaitan yang erat dengan dengan manusia sebagai pengguna dan Tuhan sebagai sang
pencipta. Dalam filosofi orang Bali, Tri Hita Kharana merupakan sebuah konsep universal yang
melestarikan hubungan harmonis antara manusia, alam dan Sang Pencipta untuk melestarikan
budaya lokal. Konsep ini diangkat sebagai tema utama dalam seminar yang mengkaji arsitektur,
manusia dan lingkungan terbangun dari berbagai sudut pandang yang beragam mulai dari filosofi dan
konsepsi tentang arsitektur, kearifan lokal arsitektur, warisan dan budaya lokal serta identitas kota
masa kini.

Karenanya, Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana bekerjasama dengan
Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali (IAI Bali) dan Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia
(IPLBI) menyelenggarakan Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA) dengan tema
Arsitektur, Manusia, dan Lingkungan Binaan pada tanggal 6 Oktober 2017 ini. Seminar nasional ini
mengajak para akademisi, para peneliti, para praktisi terkait arsitektur, pemerintah, organisasi nirlaba,
pengembang dan pihak lain yang tertarik untuk mengkaji kekayaan arsitektur Indonesia untuk
mempertahankan identitas bangsa dari pengaruh globalisasi. SAMARTA 2017 merupakan kegiatan
perdana dan direncanakan akan dilakukan secara berkelanjutan setiap dua tahun dengan tema yang
berbeda-beda sesuai dengan situasi terkini yang perlu didiskusikan. Akhir kata, kepada Pembicara
Kunci, kami ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi di melalui kegiatan ini.
Kepada Pemakalah dan Peserta Seminar, kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya,
kepada semua Panitia Pelaksana Seminar, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
untuk kerja kerasnya, sehingga seminar nasional tahun ini dapat terlaksana dengan baik, dan mohon
maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan selama persiapan maupun pelaksanaan kegiatan.
Semoga seminar nasional ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan
lokal dan nasional.

Terima kasih

Ketua panitia SAMARTA 2017


6 Oktober 2017

Dr. Tri Anggraini Prajnawrdhi, S.T, M.T, MURP.


NIP. 197301012000122001

Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5 iii
KATA SAMBUTAN

Om Swastyastu,

Puja Pangastuti dipanjatkan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa karena berkat rahmat dan karunia-
Nya Prosiding Seminar Arsitektur dan Tata Ruang (Samarta) tahun 2017 dengan Tema Arsitektur,
Manusia dan Lingkungan Terbangun, dapat diterbitkan. Prosiding ini memuat kumpulan makalah yang
disertakan pada seminar tersebut.

Seminar yang diselenggarakan oleh Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana ini
diharapkan dapat terlaksana setiap tahun. Tema ini mengajak berbagai pihak untuk secara
berkelanjutan membedah arsitektur dan tata ruang dalam suatu diskusi.

Terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Udayana serta Dekan Fakultas Teknik
Universitas Udayana atas dukungan moral dan material. Terima kasih juga kami sampaikan kepada
pembicara kunci Prof. Josef Prijotomo, Prof. Antariksa, Prof. Sudaryono, dan Prof. Widjaja
Martokusumo. Selain itu, ucapan terima kasih disampaikan kepada peserta seminar, panitia seminar
dosen dan mahasiswa serta semua pihak yang telah membantu terbitnya prosiding ini.

Akhir kata, mudah-mudahan prosiding ini bisa menginspirasi pembaca dan menjadi referensi bagi
akademisi, praktisi serta pembaca lainnya.

Terima Kasih

Om, Santhi, Santhi, Santhi, Om

Jimbaran, 6 Oktober 2017


Ketua Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. A. A. Ayu Oka Saraswati, M.T.


NIP. 196104151987022001

iv Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5
RINGKASAN

Prosiding seminar ini merupakan kumpulan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi pada
Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA) dengan tema Arsitektur, Manusia, dan
Lingkungan Terbangun yang diselenggarakan oleh Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Udayana di Ruang Nusantara Lantai 4 Gedung Agro Kompleks Universitas Udayana,
Kampus Denpasar pada hari Jum’at, tanggal 6 Oktober 2017.

Adapun sub tema yang diangkat dalam seminar nasional ini adalah:

1. Interpretasi filosofi dan konsepsi;


2. Diskursi kearifan lokal dalam rancang bangun;
3. Eksplorasi arsitektur warisan dan budaya; dan
4. Identitas lokal pada ruang kota masa kini.

Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci
maupun sesi diskusi paralel untuk para pemakalah. Peserta dan pemakalah dalam seminar nasional
ini berasal dari para akademisi, para peneliti, mahasiswa program pascasarjana, para praktisi terkait
arsitektur, para pemerhati lingkungan terbangun, pemerintah, organisasi nirlaba, pengembang, dan
kalangan umum.

Kegiatan seminar nasional ini adalah kegiatan awal dari rangkaian kegiatan dua tahunan yang
diselenggarakan secara berkelanjutan oleh Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Udayana. Pada setiap kegiatan seminar nasional akan ditetapkan tema yang berbeda-beda sesuai
dengan situasi dan isu aktual pada saat itu. Semoga seminar nasional ini dapat menjadi wadah
diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, dan gagasan berkaitan dengan arsitektur, manusia,
dan lingkungan binaan dan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan berkelanjutan di
negeri yang kita cintai ini.

Terima kasih

Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5 v
DAFTAR ISI

Halaman
SAMBUTAN DAN PENGANTAR
1. Prakata Ketua Panitia Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang Universitas Udayana
2017 ................................................................................................................................................. iii
2. Kata Sambutan Ketua Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana 2017 ....... iv
3. Ringkasan Prosiding Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang Universitas Udayana 2017 .....v

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................. vi

PEMBICARA UTAMA ...............................................................................................................................


1. ‘Nusantara’ dan Perkembangan Arsitektur di Indonesia.
(Josef Prijotomo) .............................................................................................................................................. 1
2. Memaknai Lokalitas Dalam Arsitektur Lingkungan Binaan.
(Antariksa) ....................................................................................................................................................... 9
3. Pendekatan Fenomenologi untuk Eksplorasi Arsitektur Lokal Bali.
(Sudaryono) ...................................................................................................................................................15
4. Pelestarian Warisan Budaya. Catatan untuk Konsep Autentisitas dan Integritas dalam
Pelestarian Arsitektur.
(Widjaja Martokusumo) ..................................................................................................................................23

SUB TOPIK 1. INTERPRETASI FILOSOFI DAN KONSEPSI .................................................................


1. Konsep Panca Maha Bhuta dalam Perencanaan dan Perancangan Taman Rekreasi Kalianget
Wonosobo.
(Daisy Radnawati, Samsud Dlukha, Ray March Syahadat, Priambudi Trie Putra) ...................................... 1-1
2. Pengaruh Konsep Catus Patha terhadap Tata Ruang Pemukiman di Kawasan Transmigrasi
Masyarakat Bali. Studi Kasus: Desa Jati Bali, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi
Tenggara.
(Imade Krisna Adhi Dharma, Weko Indira Romanti Aulia) ........................................................................... 1-9
3. Konsepsi dan Makna Arsitektur Tradisional pada Bangunan Kekinian. Sebuah Intepretasi
Masyarakat Lokal Bali Tengah pada Transformasi Rumah Tradisional.
(I Dewa Gede Agung Diasana Putra) ........................................................................................................ 1-21
4. Façade dan Landscape Bali, Interpretasi dan Konsep Tata Ruang Lingkungan Terbangun
Desa Bayung Gede.
(Petrus Rudi Kasimun) ............................................................................................................................... 1-31
5. Identifikasi Bentuk, Struktur, dan Kontruksi Bale Meten Sakaulu pada Arsitektur Tradisional
Bali di Desa Gunaksa-Klungkung.
(I Nengah Lanus, I Nyoman Susanta, Gede Windu Laskara) .................................................................... 1-35
6. Ignition Factor sebagai Informasi Berharga Desain Arsitektur.
(Heru Sufianto) .......................................................................................................................................... 1-43
7. Dari Teks Menjadi Arsitektur: Interpretasi terhadap Naskah Lontar Asta Kosala Kosali.
(I Nyoman Nuri Arthana) ............................................................................................................................ 1-51
8. Landasan Konsepsual dan Penerapan Pradaksina dan Prasawya dalam Perwujudan
Arsitektur Hindu Bali.
(I Nyoman Widya Paramadhyaksa) ........................................................................................................... 1-59
9. Makna Simbolis Penataan Palebahan sebagai Unsur Dasar Kompleks Puri di Bali.
(Anak Agung Gde Djaja Bharuna S) .......................................................................................................... 1-69

vi Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5
SUB TOPIK 2. DISKUSI KEARIFAN LOKAL DALAM RANCANG BANGUN ........................................
1. Ragam Hias Arsitektur Tradisional Bali pada Gedung Kantor Gubernur Bali.
(Donna Sri Lestari Poskiparta, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ...........................................................................2-1
2. Kearifan Lokal Migran Madura pada Permukiman Kota Lama Malang.
(Damayanti Asikin, Antariksa, Lisa Dwi Wulandari, Wara Indira Rukmi) ......................................................2-9
3. Identifikasi Bangunan Kolonial untuk Pelestarian Fasade di Jalur Belanda Kota Singaraja-Bali.
(Agus Kurniawan) ...................................................................................................................................... 2-17
4. Representasi Tradisi Demokrasi pada Arsitektur Bale Banjar Adat di Denpasar-Bali.
(Christina Gantini, Josef Prijotomo) ........................................................................................................... 2-25
5. Karakteristik Tangible dan Intangible Gereja Tua Sikka. Sebagai Bukti Sejarah Masuknya
Agama Katolik di Sikka.
(Yohanes Pieter Pedor P., I Wayan Kastawan, Widiastuti) ....................................................................... 2-35
6. Keunikan Bentuk Ragam Hias pada Pura Dalem Desa Bebetin, Kecamatan Sawan,
Kabupaten Buleleng.
(Tri Anggraini Prajnawrdhi, Ni Ketut Agusintadewi, Ni Luh Putu Eka Pebriyanti, dan Ni Made Mitha
Mahastuti) .................................................................................................................................................. 2-45
7. Bale Tumpang Salu pada Bangunan Umah di Desa Sidatapa, Singaraja.
(Anak Agung Ayu Oka Saraswati) ............................................................................................................. 2-53
8. Bentuk dan Makna Arsitektur dan Ornamen Monumen Bajra Sandhi.
(Sri Indah Retno Kusumowati, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ......................................................................... 2-59
9. Kajian Penerapan Arsitektur dan Ragam Hias Tradisional Bali pada Kori Agung Bangunan
Balai Pertemuan di Kantor DPRD Bali.
(Syilvia Agustine Maharani, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ............................................................................. 2-67
10. Adaptasi Arsitektur Tradisional Bali pada Balai Pertemuan DPRD Renon, Bali.
(Made Chryselia Dwiantari, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ............................................................................. 2-75
11. Kajian Ergo-Arsitektur pada Dapur Tradisional di Banjar Tiga Kawan, Desa Penglumbaran,
Bangli-Bali.
(Ida Bagus Gde Primayatna, I Gusti Agung Bagus Suryada) .................................................................... 2-83
12. Ekspansi Ruang pada Bangunan Tradisional Bali.
(I Made Adhika) ......................................................................................................................................... 2-89
13. Kearifan Ekologis Bangunan Vernakuler dalam Konteks Mitigasi Bencana.
(Sri Utami) ................................................................................................................................................. 2-95
14. Memahami Esensi Ruang Domestik pada Masyarakat Tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi,
Kintamani.
(Ni Ketut Agusintadewi, I Wayan Yuda Manik, Ni Made Mitha Mahastuti)............................................... 2-103

SUB TOPIK 3. EKSPLORASI ARSITEKTUR WARISAN DAN BUDAYA ...............................................


1. Kampung Adat Deri Kambajawa di Kabupaten Sumba Tengah sebagai Living Museum.
(Titien Saraswati, Maria Adrianus Rambu Day) ............................................................................................3-1

2. Reinterpretasi Prinsip Ruang Bersama Tanean Lanjang Madura pada Pusat Komunitas Seni
Tari Topeng Malang.
(Dionisius Dino Briananto, Tito Haripradianto, Abraham M. Ridjal) ........................................................... 3-11

3. Peragaman Rupa dan Rupa Inklusif dalam Desain Warisan Arsitektur.


(Noviani Suryasari, Antariksa, dan Lisa Dwi Wulandari)............................................................................ 3-17

4. Kota Terapung Muara Muntai. Studi Kasus: Pengembangan Kota Muara Muntai Sebagai Kota
Heritage.
(Huda Nurjanti) .......................................................................................................................................... 3-23

5. Pola Tata Bangunan dan Hubungan Kekerabatan: Dusun Kasim, Kabupaten Blitar.
(Yurista Hardika Dinata, Wara Indira Rukmi, dan Antariksa) ..................................................................... 3-33

6. Kawasan Wisata Permukiman Bantik di Pesisir Pantai Malalayang Berbasis Cultural Heritage.
(Pingkan Peggy Egam, Arthur Harris Thambas) ....................................................................................... 3-41

Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5 vii
7. Kajian Place Attachment pada Anak-Anak di Desa Bali Aga Tenganan dengan Visual Analy-
sis.
(Antonius Karel Muktiwibowo, Gede Windu Laskara) ................................................................................ 3-49

8. Identifikasi Tingkat Perubahan Kawasan Bersejarah Menggunakan Visual Impact


Assessement dan Tipologi Bangunan di Koridor Jalan Ijen, Malang.
(Eddi Basuki Kurniawan, Novita Dian Zahdella, Wulan Astrini) ................................................................. 3-59

9. Pola Pemanfaatan Ruang Pemukiman Masyarakat Bajo di Desa Lemo Bajo Kabupaten
Konawe Utara sebagai Arahan Penataan Kawasan Pemukiman Pesisir.
(Santi, Siti Belinda Amri, Haryudin) ............................................................................................................ 3-67

10. Kajian Penataan Ruang Kawasan Jabotabek dengan Pendekatan Ekosistem.


(Parino Rahardjo) ...................................................................................................................................... 3-77

11. Ruang Teror pada Labirin Kampung Pulo.


(Coriesta Dian Sulistiani) ........................................................................................................................... 3-85

12. Faktor Kritis Penentu Keberhasilan Kolaborasi Desain pada Perusahaan Properti di
Kabupaten Gresik.
(Moh. Saiful Hakiki, Ikhtisholiyah, Dandy Nugroho) ................................................................................... 3-97

13. Tipologi Rumah Adat Pada Desa Bali Aga. Studi Kasus pada Desa Tigawasa, Kecamatan
Banjar, Kabupaten Buleleng.
(Tri Anggraini Prajnawrdhi, Ni Made Yudantini) ....................................................................................... 3-103

14. Perubahan Arsitektur Tradisional Hunian Desa Bayung Gede, Bangli.


(Widiastuti, Syamsul Alam Paturusi, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, Gede Windu Laskara) ................. 3-109

15. Identifikasi Potensi Internal, Tantangan, dan Peluang Pengembangan Lima Tipe Daya Tarik
Wisata Desa Singapadu Tengah.
(I Made Suarya, I Nyoman Widya Paramadhyaksa, Ni Ketut Agusinta Dewi, dan I Gusti Agung Bagus
Suryada) .................................................................................................................................................. 3-119

16. Cultural Landscape: Pola Desa Tradisional di Desa Buahan, Kintamani.


(Ni Made Yudantini, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ....................................................................................... 3-127

SUB TOPIK 4. IDENTITAS LOKAL PADA RUANG KOTA MASA KINI .................................................
1. Konsep Ruang Komunal Sosio-Kultural Kota Multi-Etnis Historis Gresik.
(Dian Ariestadi, Antariksa, Lisa D. Wulandari, Surjono) ............................................................................... 4-1

2. Konsep Perancangan Kawasan Pasar Tradisional Badung sebagai Upaya Memperkuat


Karakter Kawasan Jl. Gajah Mada-Denpasar.
(Gede Windu Laskara, Bramana Ajasmara Putra) ....................................................................................... 4-9

3. Place Attachment pada Jalur Pedestrian di Jalan Ijen, Malang sebagai Ruang Terbuka Publik.
(Wulan Astrini, Eddi Basuki Kurniawan) .................................................................................................... 4-17

4. Kearifan Pejabat, Pengembang, Perencana, Perancang, dan Supervisi dalam Etika


Lingkungan Hidup.
(JM. Joko Priyono Santoso) ....................................................................................................................... 4-25

5. Kearifan Lokal dan Identitas Kota Baru.


(Franky Liauw) ........................................................................................................................................... 4-33

6. Ekowisata pada Cultural Landscape Subak sebagai Identitas Kota Denpasar. Sebuah Upaya
Penggalian Potensi Ekowisata di Subak Sembung Kecamatan Denpasar Utara.
(I Gusti Agung Bagus Suryada, I Nyoman Widya Paramadhyaksa) .......................................................... 4-41

7. Pengembangan Wisata Sejarah sebagai Penguatan Identitas Kawasan Kabupaten Pulau Mo-
rotai.
(Yudha Pracastino Heston, Yonanda Rayi Ayuningtyas, dan Rivaldo Okono) .......................................... 4-49

8. Permukiman Bali Kuno Desa Bayung Gede sebagai Atraksi Pariwisata di Bali.
(Syamsul Alam Paturusi) ........................................................................................................................... 4-57

9. Perancangan Kawasan Kedungu Resort sebagai Upaya Pembangunan Sektor Pertanian yang
Berkelanjutan di Kabupaten Tabanan.
viii Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5
(Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, I Wayan Yogik Adnyana Putra, Marthin Gunardhy) ............................... 4-67

10. Materialisasi Ruang Publik dan Pembangunan Pariwisata Budaya. Konflik Kepentingan
Pemanfaatan Kawasan Pesisir di Bali.
(I Ketut Mudra) .......................................................................................................................................... 4-75

11. Upaya Mengeleminir Dampak Investasi terhadap Lingkungan dan Tata Ruang Wilayah Kabu-
paten Badung.
(Putu Rumawan Salain)............................................................................................................................. 4-83

12. Permasalahan Keruangan dalam Perencanaan Pasar Seni Desa Pakraman Kutri, Desa Sin-
gapadu Tengah, Gianyar.
(I Nyoman Widya Paramadhyaksa, I Made Suarya, dan Ida Ayu Armeli).................................................. 4-93

13. Konsep Tata Kelola Homestay di Desa Wisata Pinge Kabupaten Tabanan.
(Ni Putu Atik Pranya Dewi, I Nyoman Widya Paramadhyaksa, dan Tri Anggraini Prajnawrdhi) .............. 4-101

14. Kajian Kawasan Nelayan di Pantai Kuta.


(I Gusti Ngurah Anom Rajendra) ............................................................................................................. 4-109

15. Identifikasi Desain Ruang Luar yang Berkearifan Lokal sebagai Place Branding terhadap
Persepsi Wisata Kota di Area Catus Patha Kota Denpasar.
(Kadek Agus Surya Darma) ..................................................................................................................... 4-117

16. Makna dan Karakteristik Ruang Bermain Anak di Bantaran Sungai Code. Studi Kasus:
Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta.
(Ni Luh Putu Eka Pebriyanti) ................................................................................................................... 4-125

17. Pemanfaatan Lansekap sebagai Identitas Kota dalam Perspektif City Branding.
(Subhan Ramdlani).................................................................................................................................. 4-133

18. Aktivitas Masyarakat sebagai Pembentuk Identitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Berkualitas di
Kota Malang.
(Lisa Dwi Wulandari, Subhan Ramdlani) ................................................................................................. 4-141

SUSUNAN PANITIA ..................................................................................................................................

Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5 ix
x Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5
BENTUK DAN MAKNA ARSITEKTUR DAN ORNAMEN MONUMEN BAJRA SANDHI

Sri Indah Retno Kusumowati1), Tri Anggraini Prajnawrdhi2)


1)Program Magister Arsitektur, Fak.Teknik, Universitas Udayana
indahretno_k@yahoo.com
2) PS Arsitektur, Fak.Teknik, Universitas Udayana
anggieprajnawrdhi@unud.ac.id

ABSTRACT
Bajra Sandhi Monument is an architectural masterpiece from Ida Bagus Gede Yadnya which refers to Tri Hita
Karana, Tri Mandala and Tri Angga Concept. Horizontally building refers to the concept of Tri Mandala. The
building part of the monument as the center of building orientation as the Main Mandala, The courtyard section
around the monument as Madya Mandala and Field as Nista Mandala. As the Main Mandala the main building is
divided in the most central square located on the 3rd floor or the highest floor as Utamaning Utama the quietest
place, Madyaning Utama is located on the 2nd floor there is as much diorama as a museum. Nistaning Utama is
located on the ground floor of the building serves as a public area. Vertically the building adapts the Tri Angga
concept that the head is the empty top as a symbol of immortality, the Body is the part that contains the diorama
and the foot is the basement and the gardens. The philosophical value contained in the Bajra Sandhi Monument
is the story of Mount Mandara Giri Screening by Gods and Giants who work together to get Tirtha Amertha on the
ocean of milk. Interpretation of a monument Bajra Sandhi as a form of Architecture aims to explain an object and
seek a broader meaning such as philosophy, culture, art, social and religy.
Keywords: Monument, Braja Sandhi, Shape, Meaning, Architecture

ABSTRAK
Monumen Bajra Sandhi adalah sebuah karya arsitektur dari Ida Bagus Gede Yadnya yang mengacu pada
Konsep Tri Hita Karana, Tri Mandala dan Tri Angga. Secara horisontal tapak bangunan yang mengacu pada
konsep Tri Mandala yaitu bagian gedung monumen sebagai pusat orientasi bangunan sebagai Utama Mandala,
Bagian pelataran mengitari monumen sebagai Madya Mandala dan Lapangan sebagai Nista Mandala. Sebagai
Utama Mandala bangunan utama dibagi dalam skala paling tengah terletak di lantai 3 atau lantai tertinggi sebagai
Utamaning Utama tempat yang paling tenang, Madyaning Utama terletak di lantai 2 terdapat diorama museum
sebagai museum. Nistaning Utama terletak pada lantai dasar gedung berfungsi sebagai publik area. Secara
Vertikal bangunan mengadaptasi konsep Tri Angga yaitu kepala adalah bagian atas yang kosong sebagai symbol
keabadian, Badan adalah bagian yang berisi diorama dan kaki adalah basemen dan taman – taman. Nilai filosofis
yang terdapat pada Monumen Bajra Sandhi adalah kisah Pemutaran Gunung Mandara Giri oleh Dewa dan
Raksasa yang bekerjasama untuk mendapatkan Tirtha Amertha pada lautan susu. Interpretasi terhadap suatu
monument Bajra Sandhi sebagai bentuk arsitektur bertujuan untuk menjelaskan sebuah obyek dan mencari arti
yang lebih luas seperti filosofi, budaya, seni, sosial, dan kepercayaan.
Kata Kunci: Monumen, Braja Sandhi, Bentuk, Makna, Arsitektur

PENDAHULUAN
Monumen Bajra Sandhi dibangun sebagai penghormatan perjuangan rakyat Bali, berlokasi di jalan
raya Niti Mandala Renon, Denpasar tempat lokasi perang puputan badung tahun 1906. Luas
bangunan 4.900 m2 berbentuk dasar segi empat bujur sangkar simetris dengan luas tapak 70 m x 70
m dengan luas lahan 138.830 m2 berupa lapangan. Ide pembangunan monumen Bajra Sandi
dicetuskan oleh gubernur Bali prof. Dr. Ida Bagus Mantra pada tahun 1980, kemudian diadakan
sayembara desain yang dimenangkan oleh mahasiswa jurusan arsitektur universitas udayana Ida
Bagus Gede Yadnya. Pada tahun 1988 adalah perletakan batu pertama dan pembangunan selesai
pada tahun 2001 dan diresmikan oleh presiden ke empat RI Megawati Soekarnoputri tanggal 14 juni
2003. Secara horisontal monumen Bajra Sandhi tapak bangunan yang mengacu pada konsep Tri
Mandala yaitu : bagian gedung monumen sebagai pusat orientasi bangunan sebagai utama mandala,
bagian pelataran mengitari monumen sebagai madya mandala dilengkapi dengan empat pintu masuk
berupa kori agung ke area utama mandala dan lapangan sebagai nista mandala terdapat empat pintu
masuk ke area monumen berupa candi bentar. Namun hanya satu pintu utama yang dibuka untuk
umum yaitu pintu masuk bagian selatan.

Sri Indah Retno Kusumowati1), Tri Anggraini Prajnawrdhi2)-Bentuk dan Makna Arsitektur dan Ornamen Monumen Bajra Sandhi 1
Bangunan monumen sebagai Utama Mandala dibagi dalam skala paling tengah terletak di lantai 3
atau lantai tertinggi sebagai Utamaning Utama tempat yang paling tenang, Madyaning Utama terletak
di lantai 2 terdapat diorama museum 33 Unit sebagai gambaran sejarah dan perjuangan Bali dari
masa ke masa. Pada bagian tepi dari Madyaning Utama terdapat teras terbuka, Nistaning Utama
terletak pada lantai dasar gedung berfungsi sebagai pusat informasi, perpustakaan, ruang pameran,
ruang pertemuan, administrasi, gudang dan toilet. Di tengah ruangan terdapat telaga bernama Puser
Tasik, delapan tiang utama dan tangga naik berbentuk Tapak Dara. Secara Vertikal bangunan
mengadaptasi konsep Tri Angga yaitu kepala adalah bagian atas yang kosong sebagai simbol
keabadian, Badan adalah bagian yang berisi diorama dan kaki adalah basemen dan taman – taman.
Nilai filosofis yang terdapat pada Monumen Bajra Sandhi adalah kisah Pemutaran Gunung Mandara
Giri oleh Dewa dan Raksasa yang bekerjasama untuk mendapatkan Tirtha Amertha pada lautan susu.
Bangunan utama yang tertinggi adalah manifestasi dari Lingga dan dasar bangunannya merupakan
Yoni. Lingga Yoni merupakan simbol pertemuan pria (purusa) dengan wanita (pradana) yaitu
pertemuan antara kekuatan positif dan kekuatan negatif yang dipercaya merupakan pertemuan langit
dan bumi sebagai lambang kesuburan. Lingga dalam bentuknya terbagi atas empat bagian yaitu
puncak berbentuk bulat disebut sebagai Siwaghaga, merupakan simbol tahta Dewa Siwa. Bagian
tersebut sebagai utamaning utama pada konsep Tri Mandala. Bagian tengah sebagai Madyaning
Utama yang berbentuk segi delapan disebut Wisnubhaga sebagai simbol tahta Dewa Wisnu dan
bagian bawah lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga sebagai simbol tahta Dewa
Brahma. Bagian paling dasar dimana Lingga berdiri tegak terdapat Yoni berbentuk segi empat dan
memiliki mulut sebagai saluran air suci disebut Nistaning Utama. Tulisan ini bertujuan untuk
menyingkap makna dari bentuk arsitektur serta ornamen pada bangunan monumen ini, sehingga
mampu memberikan gambaran dari sudut pandang arsitektur kepada khalayak luas.

KAJIAN TEORI

Terwujudnya sebuah bentuk arsitektur dapat dilihat dari beberapa faktor. Penelitian ini mengambil
teori dari Mark Gelernter (1995 dalam Prajnawrdhi 2002) yang melihat terwujudnya bentuk kedalam
lima buah teori. Penelitian ini akan melihat bentuk - bentuk yang ada pada monumen Bajra Sandhi
terkait dengan teori Gelernter yang dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Teori pertama: Bentuk
arsitektur dibentuk oleh berbagai macam faktor fisik, sosial, psikologi dan memiliki fungsi-fungsi
simbolik yang diinginkan untuk diperhatikan; (2) Teori kedua: Bentuk arsitektur diperoleh dari imajinasi
yang kreatif dan muncul berdasarkan intuisi atau inner resources dari seorang disainer atau arsitek.
Dalam hal ini arsitek menggunakan suatu perasaan yang spesial terhadap bentuk, atau meletakkan
ide-ide lamanya bersama dengan ide barunya; (3) Teori ketiga: Sebuah bentuk arsitektur memiliki
posisi atau keberadaan dalam setiap jaman yang mempunyai jiwa tertentu, atau sebuah set dari
tingkah laku yang memperlihatkan semua aktifitas kultural dan fakta dari kreasi artistik; (4) Teori
keempat: Bentuk arsitektur juga ditentukan oleh kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Hal
-hal lain yang juga ikut menentukan bentuk sebuah karya arsitektur pengaruh non fisik seperti
kebutuhan psikologis; (5) Teori kelima: Bentuk arsitektur juga berasal dari bentuk-bentuk yang bersifat
universal tanpa memperhitungkan unsur lokal seperti budaya dan hal terkait dengan unsur setempat.
Adapun bentuk-bentuk universal ini seperti contohnya adalah bentuk arsitektur seperti bentuk basilica,
courtyard, atrium dan sebagainya adalah muncul secara logika dari kemungkinan–kemungkinan
secara geometri dalam sebuah bentuk bangunan. Versi lain dari teori ini adalah tidak melihat bentuk
secara keseluruhan tapi hanya prinsip-prinsip umum dari bentuk yang lebih abstrak dan dapat
diaplikasikan secara universal dari pada sebuah tipe.

Interpretasi terhadap suatu obyek Arsitektur bertujuan untuk menjelaskan sebuah obyek dan mencari
arti yang lebih luas seperti edification atau transformation (Siwalatri 2017). Interpretasi dapat
digunakan dalam berbagai bidang seperti dalam mengamati aturan fisik, budaya, seni, kepercayaan
dan sebagainya. Penerapan nilai – nilai yang terkandung dalam ajaran agama dan kepercayaan
kedalam bentuk – bentuk ragam hias ditampilkan sebagai patung, relief dan rerajahan yang
digunakan dalam bangunan sebagai pelengkap, peralatan dan sarana upacara keagamaan.

Untuk mengkaji ornamen yang dipergunakan pada monumen ini, teori ragam hias yang membedakan
antara ornamen dan dekorasi merupakan teori yang sesuai untuk pembahasan. Menurut Prijotomo
(Prajnawrdhi, 2017), ornamen adalah ragam-hias yang merupakan bagian integral dari konstruksi, lain
kata bahwa ornamen tersebut muncul sebagai akibat penyelesaian konstruksi yang disebut tektonika,
sedangkan dekorasi adalah unsur-unsur ragam-hias yang dipasang pada komponen-komponen
arsitektur, tapi bukan merupakan bagian integral dari konstruksi dan semata-mata dipasang sebagai
elemen estetis/tata-hias. Dalam kondisi seperti ini elemen-elemen tersebut dapat dipasang dan
dicopot/ditanggalkan kembali. Sedangkan yang dimaksud ragam hias juga menerapkan nilai nilai
ajaran agama dan kepercayaan dalam bentuk perwujudan simbolis (Gelebet, 1981).

2 Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN No. 1234-5678
METODE

Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode Semiotik paras dua dari Hjemslev (Prajnawrdhi,
2002). Metode ini melakukan pembacaan terhadap karya arsitektur. Membaca bentuk dan makna
arsitektur dapat dilakukan dengan membaca Subtance of Content (SoC) dimana subtansi atau kadar
isi sebagai pertanda (signified) yang mencakup di dalamnya nilai – nilai, ide – ide filosofi dan makna
yang melatarbelakangi konsep perwujudan arsitektur. Form of Content (FoC) dimana bentuk isi
sebagai pertanda (signified) adalah segenap himpunan konsep perencanaan dan perancangan
arsitektur yang akan ditransformasikan ke dalam wujud (bentuk fisik) baik secara keseluruhan maupun
bagian – bagiannya. Subtance of Expression (SoE) yaitu subtansi atau kadar ekspresi sebagai
penanda (signifier) adalah segenap unsur – unsur pembentuk adalah wujud dari ekspresi arsitektur
dan Form of Expression (FoE) dimana bentuk ekspresi sebagai penanda (signifier) adalah Form of
Content yang telah diekspresikan atau ditransformasikan ke dalam bentuk berupa wujud fisik baik
secara menyeluruh Maupun bagian – bagiannya. Penelitian ini membaca bentuk sesuai dengan teori
bentuk Gelernter berdasarkan semiotika dalam arsitektur dengan melihat bentuk yang ditampilkan dan
mengungkap makna yang ada di balik bentuk yang ditampilkan.

HASIL DAN DISKUSI

Menurut Mark Gelernter (Prajnawrdhi, 2017) sebuah bentuk arsitektur dibuat untuk fungsi yang
dimaksudkan baik dari faktor fisik, sosial, psikologi dan fungsi simbolik yang diinginkan untuk
diperlihatkan. Sebuah bentuk arsitektur dihasilkan dari imajinasi kreatif seorang desainer yang berasal
dari intuisi dan inner resources disainer yang menggunakan perasaan spesial terhadap bentuk serta
meletakkan ide – ide lama dan ide – ide baru dengan caranya sendiri. Bentuk arsitektur dibentuk oleh
semangat jaman tersebut dalam teori ini bentuk arsitektur memposisikan diri pada sebuah set dari
tingkah laku yang memperlihatkan aktifitas kultural berupa respon yang berupa sense of taste seorang
disainer untuk dapat berbagi dengan sesamanya. Bentuk arsitektural ditentukan oleh kondisi sosial
dan ekonomi pada masa tersebut dimana ide artistik individu disainer dipengaruhi oleh kondisi non
fisik seperti psikologis, sistem sosial dan ekonomi dilingkungan arsitek.

Gambar 1. Monumen Bajra Sandhi


Sumber: RM Nunes Shutter stock, 2017

Sebagai monumen yang dibangun untuk memperingati dan menghormati perjuangan rakyat Bali
dalam menentang penjajahan, bangunan tersebut dikonsep dengan anak tangga dari area utama
menuju area parkir dengan jumlah anak tangga 17 buah dimaknai sebagai tanggal kemerdekaan
bangsa Indonesia. Pada tengah ruangan utama terdapat delapan pilar di tengah kolam sebagai
makna bulan kemerdekaan yaitu Agustus. Tinggi total Menara adalah 45 meter, mengandung makna
tahun kemerdekaan Indonesia yaitu 1945.

Sri Indah Retno Kusumowati1), Tri Anggraini Prajnawrdhi2)-Bentuk dan Makna Arsitektur dan Ornamen Monumen Bajra Sandhi 3
Bentuk dari Monumen Bajra Sandhi adalah genta atau Bajra yang biasa dipakai para pendeta Hindu
untuk mengiringi pengucapan japa mantra (Weda) pada saat melakukan upacara kegamaan Agama
Hindu mengandung makna bahwa monumen tersebut merupakan doa keselamatan dan
mengingatkan agar manusia selalu mengamalkan nilai – nilai ajaran Hindu. Bangunan museum yang
berbentuk tinggi menjulang mengandung makna Gunung Mandara Giri. Dapat dilihat bahwa
substance dan form dari bentuk monumen ini sangat berkaitan dengan simbul dan budaya yang ingin
ditonjolkan.Guci Amertha dalam bentuk Kumba (periuk) tepat pada bagian atas museum merupakan
tempat Tirtha Amertha yaitu air keabadian diletakkan pada tempat teratas mempunyai makna bahwa
sumber kehidupan dan keabadian adalah sang pencipta.

Gambar 2. Bentuk Monumen dan patung pada pintu masuk


Sumber: Penulis, 2017

Dua patung utama pada pintu masuk dengan ukuran besar dan dua patung dibelakang pada pintu
pejalan kaki dengan ukuran lebih kecil dalam bentuk patung raksasa dengan bentuk badan kekar
sikap duduk kaki tegak bertaring dan mata bulat lengkap dengan senjata di tangan adalah sarwakala
ditempatkan pada bagian nista mandala sesuai dengan tingkat kehidupannya merupakan ragam hias
mempunyai makna sebagai penjaga monumen atau sebagai penjaga kehidupan manusia.

Dua pintu utama menghadap ke depan terletak pada tembok penyengker batas area museum yang
berfungsi sebagai pintu masuk atau keluar pekarangan museum disebut juga pemesuan pada tempat
yang disucikan dengan ukuran besar disebut Candi Bentar. Candi Bentar ini memiliki makna tanda
peralihan dari area nista mandala ke area madya mandala. Candi bentar memiliki makna filosofis
gunung retak yang siap menjepit setiap maksud jahat yang melaluinya. Makna dalam ragam hias
tersebut bermaksud memberikan arahan dan penertiban terhadap pembentukan sikap hidup sesuai
ajaran agama. Kaki candi bentar dihiasi ragam hias fauna berupa Karang Asti atau karang gajah,
mengambil bentuk gajah dengan ekspresi kekarangan. Karang Asti berbentuk kepala gajah dengan
belalai dan taring gadingnya, bermata bulat dihiasi flora patra punggel kearah sisi pipi. Karang Asti
ditempatkan pada sudut bebaturan candi bentar sesuai dengan kehidupan gajah di tanah yang
mengandung makna kekuatan. Diatas Karang Asti terdapat Karang Tapel berbentuk kepala raksasa
tanpa tangan terdapat patra bun – bunan pada kepala dan patra punggel searah pipi dalam wujud
kecil hanya dengan bibir atas dengan gigi datar dan taring runcing mata bulat dan hidung ke depan.
Tapel adalah topeng yang diambil dari muka – muka galak ditempatkan pada peralihan area bawah
ke area tengah Candi Bentar mengandung makna penjagaan terhadap area suci. Bentuk candi bentar
serta ornamen yang terdapat pada candi ini menunjukkan sebuah simbol-simbol dalam kepercayaan
umat Hindu yang ingin ditunjukkan serta adanya imajinasi kreatif dalam mewujudkannya. Bentuk
arsitektur serta makna yang terkandung di dalamnya sejalan dengan teori pertama dan kedua
Gelernter.

Dua Candi Bentar pada area depannya terdapat dua patung sebagai penunggu area monumen yaitu
yang disebelah kiri I Ratu Wayan Tebeng dan yang disebelah kanan Sang Kala Katungkul. Kedua
patung tersebut diletakkan pada pintu masuk area Madya Mandala mempunyai makna sebagai
penjaga dengan rupa Bhuta memegang senjata dengan mata bulat yang mengandung makna
waspada. Pada ujung tembok penyengker sebelah kiri dan kanan Candi Bentar terdapat bentuk
Karang Tapel yang mempunyai makna perkuatan penjagaan terhadap Bangunan. Penyengker Area
Madya Mandala berupa pagar dengan bahan beton menyerupai arsitektur tradisional gaya Bali Timur
berbentuk pepatran dasar Pae yang memiliki dimensi besar sehingga menyerupai Bajra senjata
Dewa Iswara pelindung dan penguasa arah Timur. Bentuk Pepatran senjata Bajra yang diletakkan

4 Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN No. 1234-5678
pada Tembok penyengker area Madya mandala mengandung makna penguasaan dan perlindungan
terhadap area bangunan dimana letak monumen tersebut berada di sebelah timur pulau Bali.

Gambar 3. Karang Asti dan Karang Tapel pada kaki Candi Bentar dan gambar Patung Penunggu di depan Candi Bentar
Sumber: Penulis, 2017

Gambar 4. Karang Tapel terdapat di sebelah kiri dan kanan Candi Bentar(kiri) dan Gambar Penyengker Area Madya Mandala
(kanan) Sumber: Penulis, 2017

Pada area Madya Mandala terlihat bentuk bangunan utama museum sebagai bentuk genta dengan
tinggi menjulang sebagai lambang Gunung Giri Mandara mengandung makna keagungan dan
kehidupan abadi. Dari area Madya Mandala menuju bangunan utama terdapat pemesuan atau
pamedalan Kori Agung dengan bentuk bangunan pasangan masif berupa material batu karangasem
dengan lubang masuk beratap. Atap kori merupakan rangkaian pasangan batu lanjutan dari bagian
badan dilengkapi dengan tangga naik dan tangga turun. Didepan Kori Agung terdapat dua patung
yang mengapit tangga masuk yang berwujud kemanusiaan selain sebagai hiasan juga mengandung
makna penambahan nilai kesakralan. Patung di depan Kori Agung Utama disebelah kiri adalah
Sutasoma adalah putra Raja Mahaketu dari Hastina yang merupakan perwujudan Budha sang
Bodhisatta yang mengajarkan Dharma (Bakti, 2010). Di sebelah kanan Kori Agung adalah Resi
Kesawa seorang pemimpin pertapaan di Gunung Semeru yang menjadi penasehat dan pendamping
Sutasoma dalam perjalanannya menuju Budha. Patung kedua tokoh tersebut mengandung makna
Kebaikan, kebijaksanaan dan pengetahuan (Darmosoetopo, 2010). Dikedua sisi Kori Agung terdapat
dua patung disebelah kiri berupa patung Naga dengan mahkota dan hiasan gelung kepala, bebadong
leher, anting – anting telinga, rahang terbuka, taring gigi runcing dengan lidah api bercabang. Patung
naga sikap tegak bertumpu pada dada. Patung naga pengapit tangga menghadap ke depan biasanya
dipakai untuk tangga – tangga bangunan parahyangan sebagai tempat pemujaan. Railling tangga
pada bangunan ini membentuk badan Naga sampai ekor. Pada sisi kanan Kori Agung terdapat patung
Gajah Waktra raja besar dari Bedahulu yang bergelar Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten dan
terkenal sangat sakti, cerdas, bijaksana dan adil yang didampingi patih Kebo Iwa yang sangat sakti
dan kuat (Suyasa, 2014). Diatas pintu Kori Agung terdapat Karang Boma berbentuk kepala raksasa
dengan hiasan mahkota lengkap dengan tangan dari arah pergelangan ke arah jari yang mekar.
Dilengkapi dengan patra bun – bunan dan patra punggel memberikan ekspresi penjagaan dan
penertiban mengandung makna peringatan kepada orang yang melaluinya agar menanggalkan niat

Sri Indah Retno Kusumowati1), Tri Anggraini Prajnawrdhi2)-Bentuk dan Makna Arsitektur dan Ornamen Monumen Bajra Sandhi 5
jahat. Dari bagian dalam kori disisi kanan dan kiri terdapat patung, dikiri pintu terdapat patung
Jembawan adalah seekor beruang yang mengelilingi dunia selama tujuh kali pada mitologi
pengadukan kolam susu dan sakti serta bersama Hanoman membantu Rama menemukan Sita
(Soebandi, 2003). Di kanan Kori terdapat patung Trijata putri sulung Arya Wibisana dari Alengka
seorang putri setia, murah hati, baik budi, sabar dan sopan. Berturut turut pada Kori – kori yang lain
terdapat patung Sata Bali, Wresaba, Nala, Nila, Sampati dan Mendha

Gambar 5. Tembok Penyengker Utama Mandala (kiri), Kori Agung Bangunan Utama (kanan)
Sumber: Penulis, 2017

Tembok penyengker yang berujung pada Kori Agung menggunakan pepatran flora dengan
pengabungan antara patra mote – motean, patra mas – masan dan patra mesir. Pada setiap sudut
pekarangan bangunan utama memiliki bangunan sakepat bertiang empat dengan denah segi empat
terbuat dari material yang sama dengan material lain yaitu batu lahar karang asem. Keempat sisi
sendinya berupa Karang Lembusora. Atap berbentuk limasan dengan murda berbentuk busur anak
panah senjata Nagapasa dari dewa Mahadewa penguasa dan pelindung arah Barat serta senjata
Angkus Dewa Sangkara penguasa dan pelindung arah Barat Laut. Pada bagian Pemade terdapat
lambang Padma sebagai lambang Dewa Siwa manifestasi dari Sang Maha Pencipta. Bangunan
tersebut berfungsi untuk tempat duduk dan menikmati pemandangan taman, ke arah luar dari
bangunan ini dapat menikmati pemandangan taman disekitar monumen dan lapangan Niti Mandala.

Bangunan Utama berada pada Utama Mandala adalah bangunan Museum dikelilingi kolam
merupakan simbol dari Lautan Susu yang mengelilingi Mandara Giri tempat air suci kehidupan atau
Tirtha Amertha yang diperebutkan kaum Dewa dengan kaum Asura (raksasa). Menuju bangunan
utama pada Utama Mandala berupa bangunan museum terdapat Kori Agung. Didepan Kori Agung
terdapat sepasang patung Rama merupakan awatara Dewa Wisnu yang ke tujuh yang diceritakan
dalam kitab Ramayana putra Raja Dasarata dengan Kosalya dan disebut sebagai Maryada
Purushottama atau manusia yang sempurna dan Dewi Sita inkarnasi dari Dewi Laksmi yang diculik
oleh Rahwana raja dari kerajaan Alengka.

Diatas pintu Kori Agung terdapat karang berbentuk kepala kura – kura raksasa (bedawang) berambut
api dengan hidung mancung dan mata bulat, wajah angker memandang keatas depan mempunyai
makna kehidupan yang abadi ditunggangi oleh Naga dengan kepala bedawang sejajar dengan kepala
Naga. Untuk melengkapi mithologi Hindu yang membawakan filosofi kehidupan ritual pada karang
tersebut terdapat sayap garuda sebagai simbol bahwa Bedawang yang dibelit Naga merupakan
pijakan Garuda sebagai kendaraan Dewa Wisnu.

Pintu masuk Museum merupakan pintu dengan ukiran khas Bali dengan pepatran Naga dan
kehidupan air mengandung makna penegasan terhadap Mitologi Hindu Kolam Susu. Dikiri dan kanan
pintu masuk Museum terdapat Karang Asti dan Karang Bentulu yang merupakan bentuk karang tapel
yang lebih kecil dan sederhana menghiasi sudut – sudut dinding sehingga memperkuat kesan
tampilan pilar pada frame pintu. Bentuk Naga yang melilit Bedawan pada Entrance museum
melambangkan Naga Basuki yang digunakan sebagai tali dalam pemutaran Mandara Giri. Kura – kura
yang terdapat di bagian bawah museum merupakan simbol dari Bedawang Akupa yang digunakan
sebagai alas pemutaran Mandara Giri (Prayitno, 2015).

6 Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN No. 1234-5678
2 3
1

4 5

Gambar 6. (1) Ornamen pada dinding kiri dan kanan pintu masuk museum (2) Pintu utama museum dengan ukiran kayu
bermotif fauna dan flora (3) Padmasana, (4) Bedawang Akupa yang dililit Naga Basuki, (5) Kolam yang diapit 8 pilar
pada dasar bangunan sebagai simbol Lautan Susu pada Mitologi Hindu
Sumber: Penulis, 2017

Pada badan dalam konsep Tri Angga terdapat Museum Diorama perjuangan rakyat Bali yang
berbentuk segi delapan dengan empat pintu menuju teras. Pada Teras di sisi timur laut terdapat
Padmasana sebagai simbol Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda yang berpijak pada Bedawang
yang dililit Naga. Konsep Tri Angga pada monumen ini terdapat pada puncak bangunan ruang dalam
yang terdapat bentuk senjata para Dewa pada hiasan langit – langitnya. Keseluruhan kekarangan
yang terdapat pada puncak bangunan merupakan penggabungan dari pepatran floral yang dibentuk
sedemikian hingga menyerupai bentuk abstrak dari kekarangan. Bentuk – bentuk keindahan pada
bangunan tersebut dibuat melalui patra – patra flora yang terlihat lebih ringan dan harmonis.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Monumen Bajra Sandhi merupakan karya Arsitektur yang dipenuhi dengan konsep dan ide – ide yang
memuat filosofi dan mitologi masyarakat Hindu Bali, keseluruhan konsep dan ide tersebut
disampaikan melalui bentuk – bentuk Arsitektural berupa ruang dan bentuk. Ruang – ruang yang
terbentuk menggunakan konsep Tri Hita Karana dengan dihasilkannya bentuk hubungan manusia
dengan Tuhan dalam bentuk padmasana, manusia dengan manusia pada keseluruhan bangunan dari
ruang terluar sampai terdalam, ruang terbawah sampai teratas. Hubungan manusia dengan alam
semesta terjalin dengan sistem drainase, sirkulasi dan pencahayaan yang dibangun dengan tepat dan
lingkungan yang asri di sekeliling Monumen. Konsep Tri Mandala secara horisontal pada Monumen ini
terbentuk dengan batasan yang jelas melalui Candi Bentar yang memisahkan area Nista Mandala
dengan Madya Mandala dan Kori Agung antara Madya Mandala dengan Utama Mandala. Bentuk –
bentuk baik ornamen dan ragam hias yang berada monumen ini menguatkan konsep – konsep Tri
Mandala yang dibangun Konsep Tri Angga secara Vertikal pada monument tersebut terbentuk dengan
pemisahan level lantai yang dilengkapi dengan teras atau halaman pada tiap – tiap ruang. Kaki pada
lantai basemen dan ruang publik, badan pada area museum dan kepala pada area puncak Bajra.
Bentuk – bentuk arsitektural, ornamen dan ragam hias yang terdapat pada bangunan utama
merupakan manifestasi konsep yang terbaca jelas pada output berupa patung – patung, kekarangan,
pratima dan patra – patra. Konsep Mitologi Lautan Susu tergambar jelas dari setiap visual yang
ditampilkan yang mampu dimaknai sebagai ajaran falsafah keagamaan dan filosofis budaya
masyarakat Bali. Sejalan dengn konsep hadirnya bentuk arsitektur oleh Gelernter, maka teori pertama
dan kedua yang paling mendominasi hadirnya bentuk pada monumen ini. Bentuk yang merupakan
perwujudan dari simbol yang ingin ditonjolkan diolah melalui imajinasi kreatif dari perancang sehingga
menghasilkan sebuah meomumen yang sangat indah dan mampu hadir sebagai sebuah ikon yang
memiliki identitas yang kuat. Sebagai salah satu karya Arsitektural yang indah dan baik, monumen ini
perlu menjadi referensi bagi arsitek, pelajar dan masyarakat umum untuk menggali terus budaya,
agama dan filosofi agar tercipta bentuk arsitektur yang mempunyai makna yang kuat. Sebagai tujuan
wisata yang memberikan edukasi kepada masyarakat umum perlu dibangun sarana parkir yang

Sri Indah Retno Kusumowati1), Tri Anggraini Prajnawrdhi2)-Bentuk dan Makna Arsitektur dan Ornamen Monumen Bajra Sandhi 7
memadai agar penikmat monumen ini lebih nyaman dan aman selama berada di dalam area
monumen.

REFERENSI

Bakti, R (2010). Cerita Sutosama (Online). (https://masrahmad.com/2010/09/07/ringkasan-cerita-


sutasoma/). diupload 7 September 2010 diakses tanggal 01 Juni 2017.
Darmosoetopo, R (2010) Transkripsi Lontar Sutasoma, Koleksi Museum Sonobudoyo Editor,
Hotels.com. Bajra Sandhi Monument in Bali, Central Land in Denpasar (Online). (http://www.Bali-
indonesia.com/magazine/bajra-sandhi-monument.htm. diakses tanggal 01 Juni 2017).
Editor, Indonesia Kaya. Monumen Bajra Sandhi, Lonceng Raksasa symbol Pejuangan Rakyat Bali
(Online). (https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/monumen-bajr. diakses tanggal
24 April 2017).
Editor, Wikipedia Bahasa Indonesia ensiklopedia bebas. Monumen Bajra Sandhi (Online).
(https://id.wikipedia.org/wiki/Monumen_Bajra_Sandh. diupload 13 Januari 2014 diakses tanggal
24 April 2017).
Gelebet, I N (1981) Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Bali.
Hutapea, M C (2012) Monumen Bajra Sandhi (Online).
(http://logbookkelompok3.blogspot.co.id/2012/01/day-3-monumen-bajra-sandhi.html. diakses
tangga 01 Juni 2017).
Mangkudimedja. R M (1979) Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Mulyono, S (1979) Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta. Gunung Agung.
Prajnawrdhi, T A (2017) Bentuk dan Makna Arsitektur, Materi Kuliah T A , PMA UNUD: Bentuk dan
Makna Arsitektur. disampaikan pada tanggal 6 Maret 2017.
Prajnawrdhi, Tri Anggraini. (2002), Kajian Bentuk dan Ragam Hias Arsitektur Bali pada Bangunan
Gereja Katolik di Bali. Tesis Magister, bidang studi Perancangan dan Kritik Arsitektur, Jurusan
Teknik Arsitektur, FTSP ITS, Surabaya.
Prayitno, S H (2015) Museum Bajra Sandhi. Laporan Karya Wisata. SMK N 2 Wonogiri
Rajagopalachari, C. Ramayana
Siwalatri, N K A(2017) Bentuk Dan Makna Arsitektur, Interpretasi (Makalah Kuliah). disampaikan pada
tanggal 20 April 2017).
Soebandi. G K (2003). "Babad Pasek Edisi Lengkap". Denpasar : Penerbit Pustaka Manikgeni.
Suyasa, W (2014) Orang Sakti dari Bali yang ditakuti Majapahit Gajah Mada (Online).
(http://wayansuyasa-webblog.blogspot.co.id/2012/08/orang-dari-Bali-yang-ditakuti_14.html.
diupload 14 Agustus 2014 diakses tangga 01 Juni 2017).

8 Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN No. 1234-5678

Anda mungkin juga menyukai