Anda di halaman 1dari 9

Tuak, Tradisi dan Perempuan

6 - Jan - 2012 | Ari Ujianto | No Comments

Para pembuat tuak dan legen di Tuban tidak perlu mengenal Carlo Petrini atau tergabung
dalam Slow Food Movement untuk memperjuangkan apa yang disebut tradisi, kebudayaan
dan lokalitas yang terkait dengan produksi makanan atau minuman. Walaupun dalam
faktanya, menurut Massimo Montanari, budaya-budaya makanan sebagai ekspresi identitas
lokal amatlah kompleks, tidak sederhana dan bukan ide yang berakar tetap. Dengan kata lain,
setiap budaya, tradisi, identitas adalah dinamis, produk sejarah yang tidak stabil dan terus
berubah dan bertukar. Termasuk di sini soal makanan.

Gerakan Slow Food yang didirikan Carlo Petrini dan kawan-kawan di Italia ini
memimpikan sebuah dunia dimana setiap orang dapat mengakses dan menikmati makanan
dengan baik, terwujudnya keadilan bagi petani, produsen dan bumi yang menumbuhkannya.
Untuk mewujudkan visi tersebut mereka menancapkan misi sebagai organisasi akar rumput
internasional yang mempromosikan makanan yang baik, bersih dan adil untuk semua.
Makanan yang disebut baik di sini, adalah yang segar sesuai musimnya, memenuhi citarasa
panca indera dan merupakan budaya lokal kita. Dianggap bersih jika tidak membahayakan
lingkungan, tidak membahayakan keselamatan hewan atau kesehatan kita. Sedang yang
dimaksud adil adalah harga dapat diakses oleh konsumen dan kondisi dan pembayaran yang
adil bagi produsen skala kecil.

Dari paparan misi indah dari Slow Food Movement ini kita patut bertanya, bukankan hal
tersebut sudah terjadi dalam rantai produksi dan konsumsi tuak di Tuban selama ini?

Dilihat dari pembuatannya, bahan tuak atau legen berasal dari pohon bogor atau lontar yang
tumbuh di sekitar pegunungan Kapur Utara, Tuban. Jadi tidak jauh untuk mendapatkannya.
Tuak dan legen juga menuntut kesegaran, karena minuman tersebut hanya bertahan 4-5 jam
saja sejak diambil dari penampungannya di pohon. Setelah 5 jam, rasa legen atau tuak sudah
berubah asam dam membuat perut sakit. Kemudian, para pembuat, penjual bahkan yang
mengonsumsi tuak dan legen begitu sadar bahwa yang mereka lakukan adalah bagian dari
meneruskan tradisi yang telah hidup ratusan tahun. Dari cerita lisan, produksi dan tradisi
minum tuak telah ada sejak abad 11 Masehi, misalnya dengan cerita ketika bala tentara Tartar
dari Mongolia singgah di Tuban setelah mengalahkan tentara Kerajaan Daha, Kediri. Mereka
merayakan kemenangan terhadap bala tentara Daha dengan minum tuak dan arak. Ini
menandakan bahwa produksi tuak di Tuban telah berlangsung berabad-abad lalu.

Minum tuak juga dipercaya sebagian masyarakat dapat menyehatkan badan, khususnya bisa
mencegah terjadinya batu ginjal, seperti yang disampaikan Sakrun, seorang buruh blandong.
Hal ini kadang disambungkan dengan kondisi tanah di Tuban. Karena tanah di kawasan
tengah dan selatan Tuban berkapur, maka air tanah yang dikonsumsi untuk minum pun
mengandung kapur, yang lama-lama bisa menyebabkan batu ginjal. Nah, tuak dalam hal ini
berfungsi melancarkan atau melarutkan kapur-kapur itu. Tapi kepercayaan ini berhadapan
dengan keyakinan para agamawan yang menganggap tuak sebagai minuman yang
memabukkan sehingga haram untuk diminum. Perbedaan ini masih belum menemukan jalan
keluarnya. Anehnya, walau banyak warung atau kedai tuak di Tuban, jarang sekali terjadi
kekerasan atau kerusuhan akibat minum tuak.

Prinsip keadilan juga terjadi di produksi maupuan konsumsi tuak Tuban. Selain harganya
terjangkau oleh kalangan bawah, produksi dan penjualan tuak juga memberikan keuntungan
ekonomi bagi pembuat maupun penjualnya. Bagi Saminah, perempuan warga desa Jadi
kecamatan Semanding, Tuban, menjual tuak memberikan keuntungan dan pendapatan
baginya setiap hari. Walaupun keuntungan itu kecil, tapi rutin, sehingga menjual tuak bisa
menyangga kehidupan dia selama ini.

Yang tak banyak diketahui orang selama ini, tuak juga memberikan peran dan manfaat bagi
perempuan dari keseluruhan rantai nilai, mulai dari produksi, penjualan, konsumsi. Menurut
laporan Paring Waluyo, para petani pembuat tuak di Tuban sebagian besar adalah perempuan,
khususnya dalam membuat bebekan sebagai bahan fermentasi terciptanya tuak serta kualitas
rasanya. Pada level distribusi atau penjualan, perempuan seperti Saminah dan Supiah
mempunyai peran utama sebagai penjual, tidak hanya di warung tapi juga ketika ada
pertunjukan-pertunjukan. Dan dalam menjual tuak tidak perlu mengandalkan penampilan
luar, muda atau bertubuh indah, tapi cukup dengan keramahan dan keakraban. Nah, yang
mengonsumsi atau biasa disebut bala ngombe bisa dikatakan sebagian besar adalah laki-laki.
Ini tentu terkait dengan persoalan stereotyping yang dialamatkan pada perempuan yang
mengonsumsi tuak selama ini. Terakhir, tuak dalam tradisi Tuban juga dijadikan pengiring
bagi pentas perempuan seni tradisi seperti Tayuban. Dengan minum tuak, para pengibing
menjadi berani berhadapan dengan Sindir atau perempuan penarinya.

Semua tradisi terkait tuak kini menghadapi ancaman yang tidak mudah dihindari, yakni
dengan adanya pelbagai upaya dari pemerintah, khususnya, untuk menghilangkan tuak dari
tradisi Tuban serta upaya mengatur tubuh para Sindir. Pemerintah Tuban mungkin malu jika
kotanya terkenal dengan kota Tuak. Lain lagi dengan pendekatan beberapa pesantren. Mereka
mendekati warga pembuat tuak dengan halus, yakni dengan menghimbau agar mengurangi
produksinya. Selain itu ada pula pesantren yang memilih mengedepankan pendidikan agama
tinimbang melakukan pelarangan-pelarangan. Pertarungan dan siasat mungkin akan terus
terjadi dalam persoalan ini, dan entah siapa pemenang dari kontestasi ini. []

Tradisi Tuak dan Peran Perempuan Tuban


6 - Jan - 2012 | Paring Waluyo Utomo | No Comments

Produksi dan Persebaran Tuak


Pesisir Tuban, Jawa Timur, jika dipandang dari laut bagai secuil buih, putih berpadu dengan
tanah merah. Cuaca di kawasan ini jelas panas. Penduduk setempat mengandalkan mata
pencaharian dari hasil laut. Namun, yang berada di pedalaman mengandalkan pertanian untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sayangnya, tidak semua lahan pertanian subur, karena
hanya kawasan sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo yang bisa
mendapatkan pasokan irigasi yang cukup.
Sebaliknya, di wilayah tengah Kabupaten Tuban membentang Pegunungan Kapur Utara,
yang rangkaiannya membentang dari Pati Jawa Tengah, hingga Tuban di Jawa Timur. Dari
luar deretan bukit-bukit Pegunungan Kapur Utara hanya berupa batu-batu cadas dan kapur,
menyembul secara variatif dari balik tanah merah. Tak banyak vetegasi tumbuhan yang bisa
hidup di kawasan ini.

Corak dominan yang menghijaukan bukit-bukit Pegunungan Kapur Utara adalah tanaman
aren. Orang-orang Tuban menyebutnya Wit (Pohon) Bogor dan Pohon Bambu. Bentuknya
mirip pohon kelapa, yang membedakan bentuk daun dan buahnya. Daun Pohon Bogor lebar,
mirip telapak kaki cicak, antar jemari ada selaputnya, sehingga terlihat lebar, tidak terurai
kecil-kecil seperti daun kelapa. Buah Pohon Bogor disebut enau, atau dalam istilah lokal
Tuban disebut ental atau siwalan, dan istilah latinnya Borassus sundaicus. Vegetasi Pohon
Bogor ini banyak tumbuh di kawasan tengah Kabupaten Tuban, yang meliputi beberapa
kecamatan antara lain; Kecamatan Palang, Semanding, Montong, Merakurak, dan Kerek.

Bermodalkan struktur ekologi inilah, warga setempat membangun kebudayaannya dari dulu
hingga kini. Menjamurnya Pohon Bogor, dimanfaatkan warga setempat dari generasi ke
generasi untuk sumber ekonomi. Ketika saya menggali lebih dalam, dari berbagai sumber
primer, dan teks-teks kepustakaan, tidak banyak yang memberi jawaban sejak kapan orang-
orang di kawasan ini mahir mengolah Pohon Bogor.

Namun, dari cerita lisan dan beberapa sumber tradisi, produksi dan minum tuak telah berjalan
berabad-abad lamanya. Misalnya pada abad 11 Masehi, ketika bala tentara Tar-Tar dari
Mongolia yang telah mengalahkan bala tentara Kerajaan Daha (Kediri), singgah di Tuban dan
merayakan pesta kemenangan dengan minum tuak dan arak. Pada masa keemasan Kerajaan
Singasari, Raja Kertanegara juga gemar minum tuak untuk perayaan-perayaan kerajaan. Tuak
menjadi minuman yang melintas batas kelas, dari seorang petinggi negeri seperti raja hingga
para petani biasa.

Di beberapa komunitas adat (lokal) di Nusantara, tradisi produksi dan minum tuak juga telah
berlangsung lama, dan bertahan hingga kini. Dalam annual report yang dibuat oleh Shigehiro
Ikagemi1 (1997; Part 5) menuliskan tradisi produksi dan minum tuak pada Komunitas Adat
Batak. Diceritakan oleh Ikagemi, Komunitas Adat Batak Toba menggunakan tradisi minum
tuak dalam acara-acara keagamaan yang telah berlangsung lama, dari generasi ke generasi.
Bahkan, dalam tradisi Batak Toba, perempuan Batak Toba yang baru saja melahirkan
diwajibkan untuk minum tuak dalam ukuran yang terbatas.

Di komunitas adat lainnya seperti beberapa suku di Bali dan Lombok, juga memiliki
kebiasaan minum minuman beralkohol. Sampai kini, sangat dikenal jenis arak Bali. Bahkan
arak Bali memiliki beberapa jenis. Sejenis dengan arak Bali, beberapa komunitas adat di
Lombok memiliki minuman fermentasi yang populer dikenal dengan arak, ada pula yang
menyebutnya brem. Komunitas Dayak di Kalimatan Tengah juga memiliki minuman tradisi
yang dikenal dengan baram. Selama ratusan tahun yang lalu, baram menjadi properti ritual
untuk memberi penghormatan kepada roh-roh leluhur.

Di tangan orang-orang Tuban, dari generasi ke generasi, kuncup bunga pohon Bogor diolah
menjadi minuman tradisi, yang dikenal dengan nama legen dan tuak. Legen, minuman yang
diambil dari getah kuncup bunga. Kuncup bunga itu dinamakan Wolo. Wolo ini diikat
sebanyak 3 atau 4 wolo, kemudian tetesan getahnya ditampung selama sehari atau
semalam. Tetesannya ditampung ke dalam bambu yang ditali, dikaitkan dengan kumpulan
tangkai bunga Bogor yang telah diiris sebelumnya. Dalam istilah warga Tuban, bambu itu
dinamakan Bethek.

Legen terasa manis, bercampur dengan rasa soda yang bersifat alami karena diproses dari
alam secara langsung. Minuman ini tidak bisa bertahan lama. Rata-rata 4-5 jam sejak diambil
dari penampungannya, legen sudah tidak bisa dikonsumsi lagi. Rasanya sudah berubah
menjadi asam, dan jika diminum, membuat perut sakit.

Sama seperti legen, tuak juga bersumber dari getah irisan tangkai bunga pohon Bogor.
Yang membedakan dengan legen, bambu untuk menampung getah tangkai bunga Pohon
Bogor dicampuri dengan Bebekan. Ada beragam jenis bebekan. Warga Desa Prunggahan
Kulon, Kecamatan Semanding, Tuban lebih gemar membuat bebekan dari pelepah kulit
Pohon Juwet.

Pelepah kulit Pohon Juwet dikeringkan, lalu dicincang, namun tak sampai lembut, cukup
serat-serat kulitnya terurai. Tiap tetesan getah yang ditampung dalam bambu akan
bercampur dengan bebekan. Percampuran kedua unsur inilah yang membentuk minuman
tuak. Berbeda dengan warga Prunggahan kulon, warga Desa Tegalbang dan Tunah,
Kecamatan Semanding, Tuban membuat bebekan dari pelepah kulit Pohon Mahoni.

Bebekan dari kulit pohon Mahoni rasanya sangat pahit, sehingga rasa tuaknya juga terasa
pahit, dan rasa manis yang tipis. Sedangkan bebekan dari kulit pohon Juwet lebih variatif,
perpaduan rasa manis, sedikit gurih, dan sedikit asam. Sama seperti legen, tuak juga tidak
bisa bertahan lama. Dalam tempo 4-5 jam sejak diambil dari Pohon Bogor rasanya telah
terasa pahit dan asam. Sebagai minuman hasil fermentasi, tuak mengandung alkohol tidak
begitu tinggi. Menurut kajian Garjito, dkk (2004:94), kadar alkohol yang terkandung dalam
tuak sebesar 2 4 persen.2

Jika dibandingkan dengan minuman bir pilsener hasil pabrikan, kadar alkhohol yang
terkandung di dalam tuak jelaslah lebih rendah. Rata-rata kadar alkohol bir antara 5-10
persen. Tuak bahkan jauh lebih rendah kadar alkoholnya jika dibandingkan dengan wine yang
alkoholnya mencapai 15 persen.

Dalam relasi produksi minuman tuak dan legen, kaum perempuan di Tuban memegang posisi
penting. Rata-rata pembuat bebekan tuak adalah kaum perempuan. Otomatis, penentu selera
tuak menjadi enak atau tidak sangat bergantung bebekan yang dibuat kaum perempuan.
Semakin cermat membuat komposisi bebekan, tentu semakin memikat bolo ngombe
(komunitas peminum tuak) untuk memburu tuaknya.

Selain menghasilkan getah untuk produksi legen dan tuak, bagian-bagian pohon Bogor
masih memiliki kemanfaatan bagi penduduk setempat. Pelepah daunnya, oleh orang Tuban
disebut lontar, dipakai oleh petani tadah hujan dikawasan ini untuk membuat penutup kepala
(caping). Beberapa tahun yang lalu, sebelum plastik mulai menggantikan, anyaman daun
lontar dipakai oleh penduduk setempat sebagai tempat nasi. Lontar dianyam, mirip ketupat,
namun dalam ukuran besar. Anyaman ini dipakai untuk tempat nasi dan lauk pauknya saat
acara kenduri di kampung-kampung. Warga setempat menyembutnya tumbu.

Di akhir tahun 90-an, saya sudah jarang melihat properti ini dipakai dalam kenduri di
kampung-kampung di Tuban. Beberapa orang tua perempuan yang biasa menganyam tumbu
telah meninggal dunia. Produksi dan penjualan tumbu di pasar telah tergantikan dengan
plastik. Praktis, tumbu tak lagi menghiasi pasar-pasar di Tuban.

Komposisi lain yang bernilai manfaat dari pohon Bogor adalah buahnya. Pada umumnya
masyarakat menyebutnya buah Siwalan atau Ental. Buah ini mengandung air, selain selaput
biji dalamnya yang lembut. Rasanya manis, segar, sangat cocok dinikmati di cuaca panas
seperti Tuban. Saat belum dikelupas kulitnya, buah Siwalan dapat dikonsumsi hingga
beberapa hari kedepan, sejak pengambilan dari pohonnya.

Dari pohon Bogor inilah, para petani tegal di Tuban membangun kebudayaannya dari hari ke
hari. Tuak yang berumur tua, seumuran dengan sejarah Tuban sendiri, telah menjadi citra diri
orang-orang Tuban, meskipun sebagian lainnya, yang menganut keislaman secara kuat
menolak mengidentikkan Tuban dengan tuak.

Sekilas, batas-batas kultural di Tuban seolah nampak jelas, mirip-mirip gambaran Clifford
Geertz melalui proyek Mojokuto-nya. Di wilayah dekat pesisir, corak keislamannya lebih
kuat ketimbang yang di pedalaman selatan. Apalagi komunitas santri yang bermukim di
sekeliling Makam Sunan Bonang. Warga di luar kampung ini umumnya menyebut dengan
Kampung Arab, dikarenakan sebagian besar penduduknya adalah warga keturunan Arab,
yang sudah berabad-abad tinggal di kawasan ini sebagai pedagang.

Dulu, sekitar tahun 80-an, sebelum mengguritanya proyek-proyek industrialisasi di Tuban,


bersebelahan dengan Kampung Arab adalah kampung para priyayi, pegawai-pegawai
pemerintah. Kini, batas-batas itu tak nampak berbeda. Migrasi penduduk yang begitu cepat
menjadi warna menentukan atas geo-identitas beberapa kampung di Tuban, dan mungkin di
tempat lainnya. Konsekuensi pertumbuhan kawasan di Tuban telah membuka pusat-pusat
pemukiman baru, yang lebih beragam identitasnya.

Berbeda dengan pesisir utara, tradisi keagamaan orang kampung di kawasan Tuban Selatan
masih memberi wadah untuk praktik mistik Islam Jawa, sebagaimana konsepsi Mark
Woodward tentang Islam Jawa (1999:226).3 Sebab sebagian kelompok sosial ini kurang
menyukai praktik keagamaan Islam secara normatif.

Kira-kira sedikit asumsi Woodward di atas bisa menggambarkan kontur sosio-religiositas


warga di kawasan ini. Mayoritas penduduk Kecamatan Semanding dan Palang Kabupaten
Tuban beragama Islam, namun banyak di antara mereka yang sampai kini meminum tuak dan
arak. Bahkan kedua minuman itu menjadi penopang kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Karena pohon Bogor bernilai ekonomis, para pemilik pohon Bogor dapat menransaksikan
atau menjualnya kepada pihak lain. Satu pohon Bogor bernilai ratusan ribu, sangat tergantung
kondisi pohonnya. Saat telah diperjualbelikan kepada pihak lain, pemilik tanah tidak
mengenakan tarif sewa tanah atas keberadaan pohon Bogor yang dijualnya. Pembeli pohon
Bogor dapat mengambil nilai ekonomisnya sampai pohon tersebut tidak berproduksi.

Dalam sehari, setiap pohon Bogor bisa menghasilkan 1 2 liter tuak atau legen. Semakin
banyak seseorang memiliki pohon Bogor di tanah tegalan (sawah tadah hujan), otomatis
petani itu akan semakin banyak menghasilkan tuak atau legen. Para petani tuak di Tuban
mengambil tuak sehari dua kali, yakni pagi dan sore. Hasil tuak atau legen yang diambil pagi
hari, dijual dengan memasok ke warung-warung kecil untuk jatah peminum menjelang siang.
Sedangkan tuak atau legen yang diambil siang hari, dipakai sebagai pasokan peminum tuak
untuk sore sampai malam hari. Tuak dan legen yang diambil kemudian didistribusikan ke
warung-warung sekeliling Kota Tuban dan Semanding. Dahulu, hingga akhir tahun 80-an,
saya masih sempat menyaksikan penjual tuak dan legen keliling. Kini teramat sulit untuk
menemukannya. Hasil unduhan tuak dan legen langsung dipasok ke warung-warung,
bersanding dengan bir dan beberapa jenis minuman garapan industri.

Bagi petani penghasil tuak dan legen, tuak dan legen miliknya bisa dijual sendiri di
rumahnya, atau dijual langsung ke warung-warung penjual tuak dan legen. Jika petani
penghasil tuak dan legen memasoknya ke warung-warung, tentu mereka hanya mendapatkan
keuntungan sedikit, jika dibandingkan dengan menjualnya secara langsung ke konsumen.
Bagi petani yang menghasilkan tuak dan legen dalam jumlah banyak, biasanya
didistribusikan ke warung-warung, dan ia hanya menyisakan sedikit untuk dijual di
rumahnya.

Persis seperti peran pentingnya dalam proses produksi tuak, kaum perempuan di Tuban juga
memegang peran sentral dalam proses distribusi tuak. Mayoritas penjual tuak dan legen di
warung-warung adalah kaum perempuan. Untuk mengundang bala ngombe datang ke warung
jualannya, perempuan penjual tuak tak harus muda, apalagi dandanan menor (make up
mencolok), dan berbusana seksi.

Berbeda dengan daerah lain, yang mengandalkan perempuan muda, busana super seksi untuk
menarik konsumen, para bala ngombe tuak di Tuban lebih mengedepankan rasa akan tuak.
Rata-rata para perempuan penjual tuak memang wanita yang telah berumur. Tak ada kesan
untuk menjual keseksian tubuh perempuan dalam arena bala ngombe.

Memang tak seluruh warung-warung di Tuban menyediakan tuak. Sifat tuak yang tak bisa
bertahan lama, secara tak langsung menghambat distribusinya. Hanya warung-warung di
sekitar Kecamatan Tuban, Semanding, Palang dan Plumpang yang kerap menyediakan tuak.
Persepsi masyarakat atas tuak sebagai minuman yang diharamkan agama juga ikut
membentuk terbatasnya peredaran tuak di masyarakat.

Selain warungan, memang ada beberapa pos dadakan saat sore hingga malam hari, sebagai
lokasi penikmat tuak untuk minum bareng, selain di warung-warung. Beberapa di antaranya
di Lapangan Sepak Bola Sleko, bekas Stasiun Kota Tuban, pojokan perempatan Karang
Waru, semuanya di pinggiran Kota Tuban. Lokasinya cenderung sepi, agak remang-remang,
namun nyaman untuk minum dan ngobrol kesana kemari.

Dalam beberapa kali mengikuti dan berbaur dengan bolo ngombe, ada banyak variasi
pembicaraan, dengan berbagai topik. Suatu sore4, di tahun 2010, saat mengikuti
perbincangan bala ngombe di dekat perempatan Karang Waru, mereka membicarakan soal
pemilihan Bupati Tuban yang akan dilaksanakan di tahun berikutnya. Dalam
perbincangannya, mereka mulai bosan dengan kepemimpinan Bupati Haeny Relawati.
Duitnya Dul Hasan, ape digawe apa? Donnyane wong Tuban dikuras Dul Hasan kabeh.
(Uangnya Dul Hasan akan dibuat apa? Harta kekayaan orang Tuban sudah diambil Dul
Hasan5 semua).

Parabala ngombeitu melihat kepemimpinan Bupati Haeny Relawati lebih banyak


dikendalikan oleh suaminya yang menjadi pengusaha, ketimbang Haeny secara pribadi.
Mereka juga membicarakan kekayaan suami Haeny Relawati yang melimpah ruah dengan
membangun rumah mirip istana, beserta koleksi mobil antiknya yang berjumlah puluhan.
Pada sore berikutnya, saya mengikuti bala ngombe cangkrungan bersama minum tuak di
kawasan Sleko, Tuban. Sore itu bala ngombe membicarakan akan adanya tayuban di daerah
Bektiharjo. Mereka satu per satu mengulas kemungkinan Sindir (penari tayub) yang
kemungkinan akan diundang pada acara itu. Selain itu juga membicarakan kemungkinan
adanya lowongan kerja berat (kuli bangunan) di kawasan perumahan di Karang Indah.

Sore yang ketiga kalinya, saya mengikuti bala ngombe di sebuah ladang di Desa Tegal
Agung, Kecamatan Semanding, Tuban. Topik pembicaraan bala ngombe sore itu menyoal
pertengkaran artis seksi Julia Perez dengan Dewi Persik. Kebetulan peserta bala ngombe saat
itu semuanya anak muda yang, meskipun telah ada yang menikah namun rata-rata umurnya
masih di bawah 40 tahun.

Para peminum tuak rata-rata kelas pekerja berat, buruh kayu (blandong), tukang becak, kuli
bangunan, dan kondektur bis rute lokal. Bagi mereka yang berdaya beli rendah, minum tuak
adalah pilihanya, selain faktor tradisi dan soal selera tuak yang tak bisa digantikan oleh jenis
minuman apapun. Tuak rata-rata dijual Rp. 1.500 2.000 per centak. Ditambah tambur
(makanan pengiring) berupa nasi jagung, sayur lodeh, lauk, serta kacang. Lauk pauknya
biasanya dari beragam jenis daging hewan yang mudah didapat dan murah, seperti bekicot,
belut, katak. Para peminum biasanya tak sampai menghabiskan uang Rp. 10.000 sudah
merasa puas.

Keuntungan kecil tapi rutin juga dirasakan para penjual tuak. Saminah, 58 tahun warga warga
Desa Jadi, Kecamatan Semanding, Tuban merasakan seperti itu. Janda empat anak ini hidup
seorang diri di rumahnya yang lebih pantas disebut gubuk daripada rumah tempat tinggal.
Menjual tuak tak perlu modal cukup banyak mas. Kalau menjual bir atau lainnya, tentu
butuh modal besar. Itupun belum tentu tiap hari langsung laku. Kalau menjual tuak modalnya
lebih rendah, dan setiap hari sering habis, sebab warga di kampung sini tiap hari menikmati
tuak, terlebih menjelang sore dan malam hari sehabis kerja seharian, ujar Saminah.

Rata-rata perempuan penjual tuak seperti Saminah dalam sehari bisa menjual 20 liter tuak,
dan makanan pengiringnya (tambur). Praktis, Saminah dapat mengantongi keuntungan 15
sampai 25 ribu rupiah per hari. Nominal yang sangat penting bagi kelangsungan kebutuhan
ekonominya. Berjualan tuak, oleh kebanyakan perempuan warungan di Tuban menjadi
penyangga ekonomi keluarga. Memang, bagi sebagian pedagang, berjualan tuak dan tambur
menjadi penghasilan sekunder. Penghasilan primernya dari hasil bercocok tanam.

Belakangan, di saat sektor pertanian apalagi pertanian tegal terpuruk, perempuan warungan
yang menjual tuak dan tambur tumbuh menjadi mata pencaharian substitutif. Kalangan
keluarga seperti ini tentu sangat berharap bala ngombe tetap ada, dan bahkan mungkin
berkembang, agar dapur mereka tetap mengepul.

Dalam sehari masa produksi, tak seluruh minuman tuak habis, beberapa penjual tuak
biasanya menimbun tuak kadaluwarsa. Setiap dua atau tiga hari sekali ada beberapa
pengepul yang membeli tuak kadaluawarsa tersebut. Untuk 20 liter tuak kadaluarsa bisa
dibeli oleh pengepul sebesar Rp. 5.000. Nilai yang cukup berarti bagi para penjual tuak,
daripada minumannya terbuang.

Tuak-tuak kadaluwarsa ini banyak dibawa ke Lamongan dan Surabaya. Katanya diolah lagi
dan dijual di sana, ujar Likanah, 41 tahun warga Desa Ngino Kecamatan Semanding, Tuban.
Beberapa pengepul yang saya ajak berbicara soal tuak kadaluwarsa enggan untuk membuka
resepnya. Mereka hanya menyampaikan bahwa yang kadaluwarsa perlu diolah lagi dengan
direbus dan dicampuri ragi dan bahan pengawet. Pasca pengolahan ini, tuak kadaluwarsa
tersebut bisa bertahan berhari-hari.

Di Lamongan dan Surabaya, tuak olahan ini bisa dijual secara variatif antara Rp.5.000
7.000 per liternya. Berbeda dengan tuak fresh di Tuban yang diperjualbelikan secara bebas,
dan terbuka di warung-warung, bahkan di pinggir jalan untuk melayani bala ngombe, tuak
kadaluwarsa yang diolah kembali cenderung ditransaksikan secara tertutup dari tangan ke
tangan, dan dari mulut ke mulut.

Peralihan formasi dan habitus tuak, dari tuak alami ke tuak olahan memang membawa
pergeseran dan persepsi yang kian memperburuk tafsir atas tuak. Diperdagangkannya tuak
olahan di luar Tuban telah menempatkan tuak sebagai barang kriminal. Apalagi, cerita-
cerita kematian dari beberapa peminum tuak olahan menjadi fakta ikutan yang ikut
membangun persepsi menakutkan tentang minum tuak.

Kontruksi tuak saat keluar dari Tuban telah bergeser total, sayangnya bala ngombe meskipun
menyadari hal itu, toh mereka tak bisa berbuat banyak. Transaksi tuak kadaluwarsa pada
kenyataannya memang menguntungkan para penjual tuak. Sementara kegemaran bala
ngombe minum tuak juga dipenuhi oleh para perempuan penjual tuak di warung-warung
tersebut. Meski begitu, bala ngombe tampaknya tak memusingkan kontruksi tuak dan cap
negatifnya.[]

1 Shigehiro Ikagemi. 1997. Tuak dalam Masyarakat Batak Toba: Laporan Singkat tentang
Aspek Sosial-budaya Penggunaan Nira. Annual Report of the University of Shizuoka,
Hamamatsu College No.11-3, 1997, Part 5.

2 Garjito, dkk (2004:94) dalam

3 Woodward. Mark 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Lkis.
Yogjakartapraktik

5 Suami Bupati Tuban yang masa itu dijabat oleh Haeny Relawati, dan terpilih dua peridode
berturut-turut. Pada pilkada tahun 2011 Haeny maju kembali namun menjadi calon Wakil
Bupati dari Golkar. Namun ia kalah dan dimenangkan Huda dan Noor Nahar dari Partai
Kebangkitan Bangsa.

Anda mungkin juga menyukai