Anda di halaman 1dari 8

TRADISI LISAN SEJARAH DESA PAKRAMAN PANJER : ANALISIS STRUKTUR

DAN FUNGSI

I Komang Putra Pradnyana


Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Email:

ABSTRACT

Traditions related to customs or customs, using spoken language in conveying


daily experiences from one person to another are called oral traditions. Oral literature is
literature that includes the literary expression of citizens, a culture that is disseminated
from generation to generation or by word of mouth. One of the oral literature that has
become the identity of Panjer Village is the History of Panjer Village, which contains its
structure and function which will be described in detail.
Keywords: Oral Literature, Structure, Function, Panjer Village.

ABSTRAK

Tradisi yang berkaitan dengan kebiasaan atau adat istiadat, menggunakan bahasa
lisan dalam penyampaian pengalaman sehari-hari dari seseorang kepada orang lain
disebut dengan tradisi lisan. Sastra lisan merupakan kesusastraan yang mencangkup
ekspresi kesusastraan warga, suatu kebudayaan yang disebarluaskan secara turun-
temurun atau dari mulut ke mulut. Salah satu sastra lisan yang menjadi identitas dari Desa
Panjer adalah Sejarah Desa Pakraman Panjer, yang mengandung Struktur dan fungsinya
yang akan dijabarkan secara terperinci

Kata kunci: Sastra Lisan, Struktur, Fungsi, Desa Panjer

A. PENDAHULUAN
Tradisi yang berkaitan dengan kebiasaan atau adat istiadat, menggunakan bahasa
lisan dalam penyampaian pengalaman sehari-hari dari seseorang kepada orang lain
disebut dengan tradisi lisan. Dilain sisi tradisi lisan juga dapat diartikan sebagai salah satu
jenis warisan kebudayaan setempat yang proses pewarisannya dilakukan secara lisan atau
melalui proses oral. Tradisi lisan mencakup hal-hal yang berhubungan dengan sastra,
bahasa, sejarah, biografi, serta berbagai pengetahuan dan kesenian lain yang disampaikan
dari mulut ke mulut.
Menurut pendapat Hutomo (1991 :1) Folklore atau Sastra lisan merupakan
kesusastraan yang mencangkup ekspresi kesusastraan warga, suatu kebudayaan yang
disebarluaskan secara turun-temurun atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan merupakan
bagian dari kebudayaan masyarakat yang harus dipelihara dan dilestarikan. Sastra lisan
sendiri memiliki fungsi sebagai penunjang perkembangan bahasa lisan, sebagai media
ungkap alam pikiran dan juga sikap serta nilai-nilai kebudayaan masyarakat
pendukungnya. Sastra lisan berperan sebagai budaya yang menjadikan bahasa sebagai
media dan erat kaitannya dengan kemajuan bahasa masyarakat pendukungnya. Sehingga
dapat diartikan juga, Sastra lisan adalah sebuah wujud mengenai cerita rakyat yang
dituturkan secara lisan, mulai dari mitos, uraian genealogis, dongeng, legenda, hingga
cerita tentang kepahlawanan.
Legenda (Bahasa Latin: legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh
yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu,
legenda sering kali dianggap sebagai sejarah kolektif (folk history). Walaupun demikian,
karena tidak tertulis maka kisah tersebut telah mengalami distorsi sehingga sering kali
jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak digunakan
sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, maka legenda harus dibersihkan terlebih
dahulu bagian-bagiannya dari yang mengandung sifatsifat folklore. Dalam artikel ini
mengkaji mengenai struktur dan fungsi dari sastra lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer.

B. POKOK PERMASALAHAN
1. Bagaimana struktur yang membangun sastra lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer?
2. Fungsi apa yang membangun sastra lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini memiliki tujuan untuk dapat melestarikan aspek sastra
dan tradisi yang juga memiliki tujuan untuk mendapatkan ilmu serta pengetahuan
mengenai sastra lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer.
Tujuan Khusus
1. Untuk mendeskripsikan struktur sastra lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer.
2. Untuk mendeskripsikan fungsi sastra lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif karena
ingin memberikan gambaran mengenai struktur dan fungsi sastra lisan Asal Usul Desa
Buduk, Mengwi, Badung. Menurut Sugiyono (2005: 21) menyatakan bahwa metode
deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis
suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.
Data dalam penelitian berbentuk kata-kata serta gambaran.
Adapun metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif karena
dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara analisis dengan hasil yang disajikan
dalam bentuk deskripsi.
Metode hasil analisis data akan disajikan dengan teknik informal, yakni teknik
penyajian data penelitian yang dideskripsikan dengan menggunakan kata-kata. Teknik
penyajian informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata
biasa (Kesuma, 2007:71).
E. PEMBAHASAN
Struktur Sastra Lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer
1. Tema
Tema adalah ide pokok yang merupakan interpretasi dari keseluruhan isi
cerita. Menurut Nurgiyantoro (2009), tema adalah gagasan dasar yang menopang
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai unsur semantic serta
menyangkut persamaan atau perbedaan. Tema dalam sastra lisan Sejarah Desa
Pakraman Panjer adalah tentang sejarah (asal mula suatu tempat). Seperti dalam
kutipan berikut:
“Pada suatu hari diceritakan Dalem Klungkung sembahyang ke pura
sakenan serangan. sekembali dari sakenan tiba ditengah-tengah desa
(hutan paku) semua uparengga (alat-alat upacara) seperti pengawin,
bandrangan (tombak yang berisi hiasan bulu kuda) yang dibawa para
pengiring dalem dipancangkan (memancer) di desa tersebut. desa
tersebut bernama desa nyanggelan. Kemudian nama desa tersebut
ditukar oleh dalem dengan nama pancer yang sekarang berubah
menjadi panjer.”

2. Alur/Plot Sastra Lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer


Alur atau pemplotan adalah rangkaian cerita yang dimulai dengan cerita
pembuka dan diakhiri dengan penutup cerita. Menurut Sudjiman (1988:4)
dinyatakan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang dijalin secara
seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kearah klimaks dan
anti klimaks. Chatman (1980:20) mengatakan bahwa alur merupakan tata urutan
pemunculan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Alur yang terdapat pada sastra lisan
Sejarah Desa Pannjer dimulai dari tahap pengenalan (eksposition), yakni
pengenalan suasana masa jaya Tohjaya dengan rajanya yang bernama Arya
Benculuk atau Arya Tegeh Kori, mahapatih Dukuh Melandang dan Ni Luh Semi.
Terlihat pada kutipan berikut:
“Diawali dengan Masa jaya tohjaya yang rajanya pada masa itu
bernama Arya Benculuk atau Arya Tegeh Kori, mempunyai seorang
patih pada waktu itu disebutkan namanya Dukuh Melandang. Dukuh
Melandang diceritakan mempunyai putri yang bernama Ni Luh
Semi. Ni Luh Semi sesudah dewasa menjalin hubungan cinta dengan
raja Arya Tegeh Kori yang sudah mempunyai istri/permaisuri. Lama
kelamaan kedua insan tersebut Arya Tegeh Kori dan Luh Semi
memadu hubungan cinta akhirnya Luh Semi mengandung.”

Selanjutnya ada pada tahap pemunculan konflik (rising action), yaitu


dimana hubungan cinta antara Raja dengan Ni Luh Semi terkuak oleh sang
permaisuri. Terlihat dari kutipan :

“Hal inilah lantas diketahui oleh permaisuri Arya Tegeh Kori, maka
dipanggillah Dukuh Melandang. Kemudian permaisuri
memerintahkan patih melandang supaya membunuh anaknya Luh
Semi, karena telah melakukan perbuatan asusila di puri keraton yang
dinilai mencemohkan kewibawaan keraton, agar tidak menjadi
contoh yang tidak baik.”

Pada tahap pemuncakan konflik (turning point) diceritakan bahwa Dukuh


melandang telah diperintahkan untuk membunuh anaknya sendiri yakni Ni Luh
Semi. Terdapat pada kutipan berikut :

“Patih melandang yang kebetulan adalah ayah Luh Semi sendiri


patuh akan perintah permaisuri, disamping merasa malu akan
perbuatan putrinya dan mengingat akan tanggung jawab dan tugas
selaku patih, lalu pada suatu malam patih mengajak anaknya Luh
Semi menuju ke arah selatan dan sampailah pada suatu tempat yang
rindang yaitu kuburan.”

Pada tahap penyelesaian (resolution) dikatakan bahwa Dukuh Melandang


tidak jadi membunuh Ni Luh Semi dan menukarkannya dengan membunuh seekor
anjing di kuburan. Terdapat dalam kutipan teks :

“Di kuburan inilah anaknya yaitu Luh Semi sedianya dibunuh oleh
ayahnya yaitu Dukuh Melandang. Setelah tiga kali berturut-turut
Luh Semi ditikam dengan keris oleh ayahnya, selalu dihalang
halangi oleh seekor anjing bulu cemeng (warna abu-abu) yang
datangnya secara tiba-tiba. Maka Dukuh Melandang berfikir dan
berkesimpulan tidak jadi membunuh Luh Semi. untuk menutupi
perbuatannya maka anjing bulu cemeng lantas dibunuh sekaligus
dibuatkan kuburan seperti menguburkan manusia.
Maka mulai pada waktu itulah kuburan tersebut bernama seme
keneng (buung = tidak jadi dibunuh), keneng dari kata kaeneng =
pikiran. Dukuh Melandang tidak berniat untuk membunuh Luh
Semi, karena dengan tanda-tanda paul saat mau menikamkan
kerisnya selalu dihalangi oleh anjing bulu cemeng yang tiba-tiba
berada di depannya di kuburan itu. Selanjutnya Luh Semi dibawa
ke arah selatan dan disembunyikan di hutan paku. kemudian Dukuh
Melandang kembali melaporkan bahwa anaknya Luh Semi sudah
dibunuh dan telah dikuburkan di kuburan "buung keneng”.
3. Tokoh
Menurut Aminudin dalam Siswanto (2002:142) tokoh merupakan pelaku
yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu
menjalin suatu cerita. Dapat pula dikapakan bahwa tokoh adalah pelaku yang
mengalami peristiwa dan persoalan-persoalan dalam cerita atau rekaan sehingga
peristiwa tersebut dapat menjadi suatu cerita yang menarik. Tokoh utama yang
berperan dalam sastra lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer adalah Arya Benculuk
atau Arya Tegeh Kori, Permaisuri Arya Tegeh Kori, Dukuh Melandang, Ni Luh
Semi yang memiliki peran penting dan menjadi pusat dalam cerita tersebut.
Adapun yang berperan sebagai tokoh sekunder dan tokoh pembantu dalam
sastra lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer adalah Prajurit Arya Tegeh Kori, Anak
dari Arya Tegeh Kori dengan Ni Luh Semi.
4. Latar
Latar atau setting adalah keterangan mengenai ruang, waktu, serta suasana
terjadinya peristiwa-peristiwa dalam di dalam suatu karya sastra. Latar dapat
dikatakan sebagai tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar tempat sastra lisan Sejarah
Desa Pakraman Panjer, yaitu di kerajaan Tohjaya, Setra Buung Keneng (yang
sekarang berada di Desa Sumerta Kaja, Jl. Ratna Denpasar), Alas Paku (panjer),
Desa Panjer, Pura Sakenan (serangan).

Fungsi Sastra Lisan Asal Usul Desa Buduk, Mengwi, Badung


Dalam sastra lisan Asal Usul Desa Buduk, Mengwi, Badung memiliki fungsi
sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, yakni sebagai upaya legitimasi
sejarah desa. Yakni sesuai dengan isi sastra tersebut yang mengatakan bahwa desa
tersebut bernama Desa Panjer sampai saat ini.
Selain hal tersebut terdapat juga fungsi keagaaman atau ritual dalam teks ini yakni
terdapat pada saat rombongan dari Dalem Klungkung atau Arya Tegeh Kori tirtha yatra
menuju Pura Sakenan di Serangan.
F. SIMPULAN
Sastra lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer mengandung tema mengenai sejarah
(asal usul suatu tempat) dengan menggunakan alur (plot) maju yang dapat dilihat dari
rangkaian cerita mulai dari pengenalan suasana hingga penyelesaian konflik dari awal
hingga akhir. Yang terdiri dari tokoh utama Tokoh utama yang berperan dalam sastra
lisan Sejarah Desa Pakraman Panjer adalah Arya Benculuk atau Arya Tegeh Kori,
Permaisuri Arya Tegeh Kori, Dukuh Melandang, Ni Luh Semi. Dalam Sastra lisan ini
terdapat latar tempat dan latar waktu. Serta fungsi sebagai pengesahan pranata dan
Lembaga kebudayaan serta terdapat juga fungsi ritual keagamaan dalam sastra lisan
Sejarah Desa Pakraman Panjer.
G. DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Burhan, Nurgiyantoro.(2009). Penilaian Pengajaran Bahasa.Yogyakarta:BPFE
Chatman, Seymour. 1980. Story and Discourse: Narrative Sructure in Fiction and Film.
Ithaca and London: Cornell Universityy Pers.
Hutomo, Saripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan:Penganntar Studi Lisan.
Jatim:Hiski
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta.
Carasvatibooks.
Chatman, Seymour. 1980. Story and Discourse: Narrative Sructure in Fiction and Film.
Ithaca and London: Cornell Universityy Pers.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung : Alfabeta

Anda mungkin juga menyukai