Anda di halaman 1dari 80

Terusan

Api di Bukit Menoreh





Kalau boleh ini disebut sebagai lanjutan dari seri
ADBM, naskah ini merupakan jilid ke-empat dari
Seri kelima ADBM. ADBM seri keempat telah
ditamatkan oleh mbah_man di jilid 400.

2013
Satpampelangi
http://cersilindonesia.wordpress.com
12/30/2013
Jilid 404
Terima kasih kepada mbah_man yang telah bersusah-
payah merangkai kisah untuk menyambung kisah
dalam ADBM yang belum diselesaikan oleh Ki SH
Mintardja
Semoga mbah_man selalu diberi kesehatan dan
kesempatan agar dapat menuliskan (yang benar
mengetikkan) buah pikirannya
Karya mbah-man

ii



iii











Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri
Bagi sanak-kadang yang berkumpul di Padepokan
gagakseta
Naskah ini diupload di
http://cersilindonesia.wordpress.com, boleh saja
didownload dan dikoleksi, tetapi tidak untuk dikomersilkan



iv

TERUSAN ADBM
(Lanjutan ADBM versi mbah_man)
karya mbah_man
Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo

ADBM Seri V Jilid 4 (Jilid 404)
SETELAH menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya Ki
Rangga Agung Sedayu memutuskan untuk berterus terang,
Pandan Wangi, orang yang menyebut dirinya Panembahan
Cahya Warastra itu telah menghimpun perguruan-perguruan
yang sehaluan dengannya untuk menghancurkan Mataram di
tepian Kali Praga sebelah barat dengan menduduki beberapa
padukuhan kecil yang telah ditinggalkan oleh penghuninya.
Seketika wajah Pandan Wangi menjadi merah padam begitu
mendengar penjelasan Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan lantang
dia berteriak, Kakang, apa maksud semua ini? Mengapa aku
tidak diberitahu kalau Menoreh sedang dalam bahaya, sementara
ayah Argapati sedang sakit? Malam ini juga aku akan ke Menoreh
untuk bahu-membahu dengan seluruh rakyat untuk mengusir
orang-orang yang telah menduduki beberapa padukuhan di tepi
barat Kali Praga.
Sabarlah Pandan Wangi, berkata Ki Widura sareh, Semua
harus dihitung dengan cermat. Apabila kita salah dalam
melangkah, akan jatuh korban sia-sia.
Paman Widura benar, sahut Ki Rangga, Besuk pagi aku
akan berangkat menghadap Ki Patih Mandaraka untuk menerima
perintahnya. Aku yakin sasaran orang yang menyebut dirinya
Panembahan Cahya Warastra itu adalah Mataram bukan
Menoreh. Menoreh hanya sebagai pancadan saja. Namun
demikian kita tidak akan membiarkan bumi Menoreh diinjak-
injak oleh orang-orang yang tidak berhak.

2
Dada Pandan Wangi masih bergemuruh. Dia benar-benar
mencemaskan nasib rakyat Menoreh, apalagi ayahnya, Ki Gede
Menoreh selaku pemimpin tertinggi Tanah Perdikan itu sedang
sakit dan Prastawa telah berangkat ke Panaraga memimpin
sepasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
diperbantukan ke Mataram.
Di Menoreh masih ada Ki Jayaraga dan seorang yang
bernama Kiai Sabda Dadi, berkata Ki Rangga selanjutnya, Aku
telah mendengar berita itu sebelumnya dari prajurit sandi. Aku
kira keduanya telah mengambil langkah-langkah pengamanan
yang diperlukan untuk menyelamatkan rakyat Menoreh.
Kata-kata Ki Rangga Agung Sedayu itu bagaikan titik-titik
embun di teriknya sinar Matahari. Untuk sejenak gejolak hati
Pandan Wangi agak mereda. Namun tiba-tiba dia bertanya
dengan nada penuh kekhawatiran, Kakang, bagaimana dengan
Sekar Mirah? Bukankah dia sedang dalam keadaan mengandung
tua?
Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Widura sejenak saling
berpandangan. Namun akhirnya Ki Rangga lah yang menjawab,
Atas ijin Yang Maha Agung dan atas karuniaNya yang tiada
taranya, insya Allah Sekar Mirah telah melahirkan dengan
selamat.
He? Pandan Wangi terkejut, Dari mana Kakang mendapat
berita ini?
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil
memandang ke arah Pamannya, namun kelihatannya Ki Widura
menyerahkan jawaban itu sepenuhnya kepada dirinya.
Wangi, akhirnya Ki Rangga menemukan jawaban atas
pertanyaan Pandan Wangi itu, Ada yang telah memberitahukan
kepadaku atas kelahiran anakku dengan selamat, demikian pula
aku berharap Sekar Mirah tak kurang suatu apa, Ki Rangga
berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, Nah, yang lebih penting
dari itu adalah bagaimana langkah-langkah kita selanjutnya
menghadapi situasi yang cukup gawat ini.
Pandan Wangi terdiam sejenak. Setelah beberapa saat
kemudian dia baru berkata, Kakang, aku akan ikut Kakang
Sedayu besuk ke Mataram. Aku titipkan Kakang Swandaru

3
kepada Paman Widura. Sebelumnya aku mohon maaf telah
merepotkan penghuni Padepokan ini, tapi aku tidak melihat jalan
lain selain aku harus kembali ke Menoreh.
Hampir bersamaan Ki Widura dan Ki Rangga Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Mereka menyadari suasana hati
Pandan Wangi pada saat itu, dan memang Pandan Wangi telah
memilih pada pilihan yang sulit antara suaminya dan Ayahnya
serta rakyat Menoreh.
Baiklah Pandan Wangi, akhirnya Ki Widura memberikan
tanggapannya, Bagaimanapun juga engkau jangan
meninggalkan suamimu begitu saja, engkau harus meminta ijin
terlebih dahulu kepadanya.
Sambil menundukkan wajahnya Pandan Wangi hanya
mengangguk anggukkan kepalanya tanpa sepatah kata pun yang
keluar dari mulutnya. Namun Ki Widura dan Ki Rangga Agung
Sedayu melihat perubahan yang terjadi pada wajah putri Kepala
Perdikan Menoreh itu walaupun hanya sekilas.
Kelihatannya Pandan Wangi tidak membutuhkan ijin itu,
berkata Ki Rangga dalam hati.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Angin malam yang bertiup
perlahan menggoyangkan dedaunan dan bunga-bunga yang
tumbuh di sekitar halaman Padepokan. Bunga arum ndalu yang
ditanam di sebelah kanan pendapa mengeluarkan bau yang
semerbak mewangi, sementara suara binatang-binatang malam
terdengar bersahut-sahutan dengan irama yang ajeg. Sesekali
terdengar suara burung kedasih yang ngelangut di kejauhan.
Ketika kemudian dari gardu perondan di padukuhan sebelah
yang terletak di ujung jalan yang menuju padepokan itu
memperdengarkan suara kentong dengan nada dara muluk,
ketiga orang itu pun segera menyadari bahwa waktu telah
menjelang tengah malam.
Marilah kita beristirahat, berkata Ki Widura kemudian, Kita
masih memerlukan tenaga yang segar untuk besuk pagi, terutama
angger berdua yang akan melaksanakan perjalanan jauh.
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi
mengangguk.

4
Demikianlah akhirnya ketiga orang itu kemudian telah menuju
ke bilik mereka masing-masing untuk beristirahat.
Dalam pada itu di gunung Kendalisada, Resi Mayangkara
tampak berdiri tegak bagaikan patung batu di tengah malam yang
pekat di depan pondoknya. Sedangkan Anjani yang telah selesai
melaksanakan mandi keramas dengan landa merang dan sesuci
kemudian memakai sinjang pethak. Kain putih yang hanya
selembar itu dibalutkan ke tubuhnya sebatas dada sampai lutut.
Rambutnya yang panjang dan masih basah dibiarkan saja jatuh
terurai menutupi punggungnya yang putih bersih bagaikan
pualam.
Sudah waktunya, Anjani, tiba-tiba Resi Mayangkara yang
berdiri tegak di tengah-tengah halaman itu menyapa Anjani
begitu perempuan cantik itu keluar dari pondoknya, Marilah aku
antar engkau menuju goa pertapaan. Ingat, engkau akan berjalan
dalam kegelapan goa dan tidak diperkenankan membawa
penerangan apapun karena laku tapa kungkum ini juga sekaligus
pati geni.
Aku mengerti Eyang, jawab Anjani sambil berjalan
mendekat. Langkahnya agak tersendat sendat karena kain putih
yang membalut tubuhnya itu begitu ketat.
Dengan langkah satu-satu keduanya pun kemudian menuju ke
belakang pondok yang selama ini ditempati oleh Resi
Mayangkara. Tepat di belakang pondok itu terdapat sebuah goa
yang tidak seberapa besar. Anjani harus membungkuk untuk
memasuki goa itu.
Jaga dirimu jangan sampai tertidur selama melaksanakan
tapa kungkum, pesan Resi Mayangkara begitu Anjani mulai
memasuki goa, Sendang di dalam goa itu tidak terlalu dalam.
Ada sebuah batu besar di dasarnya yang dapat engkau jadikan
sebagai tempat duduk.
Anjani yang mulai menelusuri dinding goa yang gelap dan licin
itu tidak menyahut. Dengan meraba raba dinding goa, Anjani
melangkah satu-satu. Ternyata hanya mulut goa itu yang sempit,
setelah masuk ke dalamnya Anjani dapat berjalan dengan berdiri
tegak, tidak harus terbungkuk-bungkuk.

5
Semakin masuk ke dalam, Anjani merasakan hawa yang aneh
menyelimuti sekujur tubuhnya. Rasa rasanya sekujur tubuhnya
telah dicengkeram oleh sesuatu yang tidak tampak sehingga hawa
dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum itu telah
membuat Anjani menggigil. Ketika kemudian lamat-lamat Anjani
mendengar suara gemericik air, dia mulai berpengharapan untuk
segera menemukan sendang itu.
Ketika jalanan mulai menurun dan berkelok ke kiri, suara
gemericik air itu semakin keras. Dengan sedikit membungkukkan
tubuhnya, Anjani mencoba meraba apa yang ada di depannya dan
ternyata Anjani telah menyentuh air.
Inilah sendang itu, berkata Anjani dalam hati. Dengan
sangat hati-hati Anjani melangkah lagi satu langkah. Ketika
kakinya sudah terasa menyentuh bibir sendang kecil yang
terdapat di dalam goa itu, Anjani pun dengan mantap telah
melangkahkan kaki yang satunya turun ke dalam sendang.
Segera saja air yang sedingin banyu sewindu menyergap kulit
kakinya. Namun Anjani tidak mempedulikan semua itu. Setelah
dia benar-benar berada dalam sendang yang ternyata hanya
sedalam pinggang orang dewasa itu, Anjani pun telah melepas
satu satunya selembar kain putih yang membalut tubuhnya dan
kemudian dilemparkannya selembar kain yang telah basah itu ke
samping sendang.
Dengan tubuh yang polos Anjani mencoba meraba raba dasar
sendang dengan kakinya untuk mencari batu besar yang terdapat
di dasar sendang. Setelah agak jauh ke tengah sendang, barulah
kakinya terantuk pada batu yang dimaksud oleh Resi Mayangkara
itu. Dengan perlahan Anjani pun kemudian naik ke atas batu dan
duduk bersila di atasnya untuk memulai laku tapa kungkum dan
sekaligus pati geni.
Setelah sejenak memusatkan nalar dan budinya disertai
dengan doa permohonan agar laku yang dijalaninya itu mendapat
anugerah dari Yang Maha Agung, Anjani pun memulai laku yang
sangat berat itu.
Sejenak suasana yang hening di dalam goa itu sangat
membantu Anjani dalam memusatkan nalar dan budinya. Air
sendang yang beriak perlahan sebatas lehernya terasa bagaikan

6
membelai-belai lehernya yang jenjang itu. Ketika kemudian
Anjani mencoba semakin menukik ke dalam keheningan, tiba-
tiba jantungnya berdesir tajam ketika terasa sesuatu menyentuh
punggungnya.
Anjani mencoba mengabaikan perasaan itu. Dengan segenap
kemampuannya dicobanya untuk kembali memusatkan nalar dan
budinya, namun alangkah terkejutnya ketika kini justru bagian
dadanya yang tersentuh oleh sesuatu itu.
Hampir saja Anjani berteriak dan meloncat keluar dari
sendang, namun niat itu ditahankannya dengan kuat. Dia
menyadari semua itu pasti bagian dari cobaan laku yang sedang
dijalaninya, dan Resi Mayangkara memang sengaja tidak
menjelaskan cobaan apa saja yang akan dialaminya di dalam
sendang itu.
Mungkin sejenis ikan atau belut, demikian Anjani berkata
dalam hati untuk menenteramkan gejolak hatinya.
Bagaimana kalau yang menyentuhku tadi seekor ular? tiba-
tiba pikiran itu menyelinap dalam benak Anjani.
Ah, tidak mungkin, pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
Kalau memang di sendang ini ada ularnya, Resi Mayangkara
pasti sudah tahu dan tidak akan menjerumuskan aku dalam
bahaya seperti itu karena beliau tahu aku bukan seorang yang
kebal racun.
Mendapat pemikiran demikian itu Anjani menjadi sedikit
lebih tenang. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah benar-
benar suatu kejadian yang hampir tak tertahankan oleh Anjani.
Sentuhan-sentuhan itu semakin sering dan hampir di sekujur
tubuhnya. Anjani benar-benar hampir pingsan karena menahan
rasa geli yang tiada taranya dan akhirnya berubah menjadi
sebuah ketakutan yang mencengkam jantungnya.
Dalam keadaan yang hampir tak tertahankan itu, tiba-tiba
Anjani teringat akan sebuah ilmu yang telah diajarkan oleh Resi
Mayangkara, aji seribu bunga.
Akan aku coba mengetrapkan aji ini, berkata Anjani dalam
hati, Kalau udara saja bisa dipengaruhi oleh aji ini dengan bau
wangi yang sangat menyengat, mungkin air sendang ini akan

7
berubah berbau sangat wangi sehingga memabokkan binatang-
binatang yang ada di dalamnya.
Mendapat pemikiran demikian, segera saja Anjani
mengetrapkan aji yang telah dipelajarinya dari Resi yang aneh
itu. Perlahan tapi pasti, tubuh Anjani telah menyebarkan bau
semerbak mewangi seribu bunga. Semakin lama bau itu semakin
tajam dan menyengat karena Anjani telah mengetrapkan aji itu
sampai ke puncak.
Ternyata pengaruhnya sangat luar biasa. Air sendang di
sekitar tubuh Anjani bagaikan berubah menjadi minyak kasturi,
dan kini tidak terasa lagi sentuhan-sentuhan yang mengerikan
itu. Anjani benar-benar terbebas dari perasaan ngeri yang
mencengkam jantungnya.
Sejenak Anjani dapat bernafas lega. Kini dia menyadari
mengapa Resi Mayangkara telah menurunkan ilmu seperti itu
kepadanya, ternyata dalam menjalani laku yang sangat berat ini,
ilmu itu sangat menolongnya.
Kini Anjani dapat kembali memusatkan nalar dan budinya
untuk memohon kepada Yang Maha Agung agar mendapatkan
amarahnya dalam menjalani laku yang sangat berat itu sampai
tuntas.
*****
Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih
tertahan di tepian Kali Praga sedang mencoba mencari jalan
untuk menyeberang ke Tanah Perdikan Menoreh.
Rara, berkata Glagah Putih dari atas tebing sambil
mengamati tepian Kali Praga yang hanya kelihatan hitam pekat
tersaput malam yang tanpa bulan, Apakah kita perlu memakai
jasa tukang satang untuk menyeberang?
Aku ragu Kakang, jawab Rara Wulan, Kalau mereka adalah
bagian dari Panembahan Cahya Warastra, kita akan mendapat
kesulitan.
Sejenak Glagah Putih merenung. Kemudian katanya,
Bagaimana kalau kita menyeberang besuk pagi-pagi bersama
para pedagang yang akan pergi ke Menoreh?

8
Rara Wulan mengerutkan keningnya sambil memandang ke
bawah, ke arah rakit-rakit itu biasanya di tambatkan, tapi yang
tampak hanya kegelapan. Katanya kemudian, Aku tidak yakin
kalau besuk masih ada pedagang yang mau menyeberang ke
Menoreh. Setidaknya berita yang terjadi di Menoreh ini pasti
sudah sampai ke telinga mereka dan mereka tidak mau
mengambil resiko, karena bisa saja justru dagangan mereka yang
akan dirampas bahkan sekalian dengan nyawa mereka.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
Engkau benar Rara. Kalau kita menyeberang lewat
penyeberangan yang biasanya ini, kita pasti dicurigai. Lebih baik
kita mencari jalan lain.
Maksud Kakang?
Kalau perlu kita berenang untuk menyeberang.
Ah, engkau ini ada-ada saja Kakang. Rasa rasanya malas
bersentuhan dengan air di malam yang dingin ini.
Percayalah Rara, itu hanya awalnya saja, setelah beberapa
saat berenang, perasaan dingin itu akan hilang dengan
sendirinya.
Silahkan saja kalau mau berenang. Aku mau tidur saja.
Selesai berkata demikian, Rara Wulan kemudian merapikan
rumput-rumput kering yang dikumpulkannya tadi sore untuk
alas tidurnya. Sejenak kemudian Rara Wulan pun telah
merebahkan tubuhnya beralaskan rumput-rumput kering di
bawah sebatang pohon yang cukup besar yang tumbuh di atas
tebing itu.
Glagah Putih sejenak masih mengamati bawah tebing yang
gelap pekat, namun pandangan mata Glagah Putih yang tajam
mampu menembus kegelapan itu sehingga dengan jelas dia
melihat di mana rakit-rakit itu ditambatkan beserta tukang-
tukang satang yang tidur meringkuk berselimutkan kain panjang
di atas rakit mereka.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, dia benar-benar
belum menemukan cara yang aman untuk menyeberangi Kali
Praga. Panembahan Cahya Warastra pasti telah menempatkan
orang-orangnya di sepanjang tepian Kali Praga sebelah barat.

9
Dengan demikian mereka yang tidak sehaluan dengan
Panembahan itu akan sangat sulit untuk menembus pagar betis
itu. Ketika kemudian terdengar Rara Wulan terbatuk-batuk kecil,
Glagah Putih pun akhirnya meninggalkan tempat pengintaiannya
dan mengayunkan langkahnya menuju ke tempat Rara Wulan
berbaring.
Namun baru saja Glagah Putih akan merebahkan tubuhnya
yang terasa penat di sebelah istrinya, tiba-tiba di antara suara
jeritan binatang-binatang malam, terdengar lengkingan suara
yang sudah sangat dikenal oleh Glagah Putih, suara rinding.
Memang suara rinding dengan nada melengking tinggi itu hanya
sekejab, kemudian menghilang ditingkah oleh suara binatang
malam. Namun bagi Glagah Putih itu sudah cukup memberikan
isyarat bahwa seseorang atau bahkan mungkin sekelompok orang
yang pernah sangat dekat dengan sepasang suami istri itu sedang
berada di sekitar tempat itu.
Rara Wulan yang tampaknya belum tidur telah mengangkat
kepalanya. Katanya kemudian setengah berbisik, Kakang?
Benarkah pendengaranku ini? Aku mendengar suara rinding.
Glagah Putih tidak menjawab. Dengan hati-hati
dikeluarkannya sebuah rinding yang disimpan di saku bajunya
bagian dalam. Kemudian tanpa ragu-ragu ditiupnya rinding itu
dengan nada yang sama dengan yang baru saja terdengar,
melengking tinggi namun hanya dalam waktu yang sangat
pendek.
Sejenak mereka berdua masih menunggu. Glagah Putih segera
duduk di sebelah Rara Wulan yang telah bangkit dari tempat
berbaringnya dan duduk sambil memeluk lutut.
Malam semakin dalam. Sementara angin yang dingin terasa
menggigit kulit, namun kedua orang yang duduk di bawah pohon
di atas tebing itu masih tetap bertahan sambil menunggu yang
mereka harapkan untuk muncul, dan ternyata harapan itu
memang tidak sia-sia.
Pendengaran mereka yang tajam segera mendengar suara
beberapa orang sedang mendaki tebing. Walaupun pendakian itu
telah dilaksanakan dengan sangat hati-hati, namun Glagah Putih
dan Rara Wulan mampu menangkapnya dengan jelas.

10
Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri ketika
beberapa bayangan yang masih samar tampak telah mencapai
puncak tebing dan melangkah mendekati tempat di mana mereka
berdua telah berdiri menunggu.
Ketika orang-orang yang mendaki tebing itu sudah semakin
dekat, dengan setengah berlari sepasang suami istri itu pun
segera menyongsong mereka. Hampir saja mereka tidak mampu
mengendalikan diri dalam pertemuan yang tak terduga duga itu.
Jerit tangis berbaur dengan tawa gembira hampir saja
meledak di tempat itu kalau saja seorang yang terlihat paling tua
di antara mereka tidak segera memperingatkan mereka dengan
berdesis perlahan, Kendalikan diri kalian, kita sedang berada di
daerah yang tidak aman.
Rara Wulan yang sedang dikerubuti oleh empat orang
perempuan itu hanya dapat meneteskan air mata bahagia tanpa
sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya.
Seorang perempuan yang sudah cukup tua telah berbisik di
telinganya, Bagaimana keadaanmu selama ini, nduk? Bukankah
engkau berdua selalu dalam lindungan Yang Maha Agung?
Rara Wulan hanya berdesis pelan, seolah olah suaranya
tertelan oleh isak tangisnya yang tertahan tahan, Alhamdulillah,
Ibu. Kami berdua sehat-sehat saja.
Perempuan tua itu memang ibu angkat Rara Wulan yang lebih
dikenal dengan nama Nyi Citra Jati, dan tentu saja ketiga
perempuan muda yang ikut merangkul Rara Wulan adalah anak-
anak Nyi Citra Jati yang lainnya yaitu Padmini, Baruni dan Setiti.
Sementara Glagah Putih segera menyalami Ki Citra Jati yang
telah memperingatkan mereka tadi agar selalu waspada di daerah
yang belum mereka kenal sebelumnya. Selanjutnya di belakang Ki
Citra Jati adalah Mlaya Werdi yang berdiri termangu mangu.
Selamat datang Ayah, Ibu, Kakang Mlaya Werdi dan adik-
adik semua, berkata Glagah Putih kemudian sambil
mempersilahkan mereka mencari tempat duduk sendiri-sendiri.
Sedangkan Rara Wulan masih saja berangkulan dengan adik-adik
perempuannya seolah olah mereka tidak mau berpisah lagi.

11
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, barulah
Glagah Putih teringat pada seseorang, Aku tidak melihat Adi
Pamekas? Apakah dia memang sengaja tidak diajak ke
Menoreh?
Ki Citra Jati tersenyum, jawabnya kemudian, Karena Mlaya
Werdi ingin mengikuti kami ke Menoreh, maka Pamekas kami
tinggal di Padepokan untuk mengawani Ki Wasesa agar
Padepokan tidak kosong selama ditinggal Mlaya Werdi.
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk
anggukkan kepala mereka.
Dalam pada itu, di bawah tebing di tepian sebelah barat Kali
Praga tampak sebuah bayangan hitam yang berdiri tegak di balik
sebuah pohon sedang mengamati keadaan di atas tebing sebelah
timur Kali Praga. Bayangan itu tampak mengamati dengan
seksama kejadian yang sedang berlangsung di atas tebing.
Walaupun jarak itu cukup jauh, namun orang itu kelihatannya
telah mengetrapkan aji sapta pandulu dan sapta pangrungu
untuk mengetahui keadaan sebenarnya yang sedang terjadi di
atas tebing.
Lebih dari lima orang, berkata orang itu dalam hati,
Agaknya telah terjadi sebuah pertemuan rahasia di atas sana.
Siapakah sebenarnya mereka itu?
Dengan perlahan orang itu membungkuk untuk mengambil
sebuah batu kerikil. Dengan tanpa menimbulkan suara, batu
kerikil itu telah dilemparkannya dan jatuh mengenai salah
seorang tukang satang yang sedang meringkuk di atas rakitnya
berselimutkan kain panjang.
Sejenak tukang satang yang terkena lemparan batu kerikil itu
menggeliat. Kemudian dengan perlahan dia duduk sambil
menyingkapkan kain panjangnya. Dengan sangat hati-hati
dilepaskannya tali pengikat rakit yang tertambat pada sebuah
patok di tepi sungai. Setelah tali pengikat itu terlepas, kemudian
dikayuhnya rakit itu meluncur menuju ke tepian sebelah barat.
Ketika rakit itu telah menepi di sisi barat tepian Kali Praga,
dengan tanpa menimbulkan suara berisik orang yang sedang
mengamati sisi tebing sebelah timur Kali Praga itu telah meloncat

12
ke atas rakit sambil berdesis perlahan, Marilah kita lihat, siapa
yang berada di atas tebing itu?
Tukang satang yang mulai mengayuh rakitnya itu
mengerutkan keningnya sambil bertanya, Siapakah yang Ki
Lurah maksud?
Kita akan segera tahu, siapakah mereka dan apa
kepentingannya berada di atas tebing sebelah timur Kali Praga
ini, jawab orang yang dipanggil Ki Lurah itu sambil berdiri
menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sejenak kemudian rakit itu meluncur menembus kepekatan
malam di atas arus air Kali Praga yang tidak begitu deras. Hanya
dalam waktu sekejab rakit itu pun kemudian telah merapat di
tepian Kali Praga sebelah timur.
Bangunkan kawan kawanmu, perintah Ki Lurah sambil
melangkah perlahan di tepian yang berpasir.
Dengan tergesa-gesa, tukang satang itu segera membangunkan
kawan kawannya yang berjumlah tiga orang.
Ada apa? bertanya seorang tukang satang yang berbadan
kurus dengan wajah yang masih mengantuk.
Ki Lurah memerlukan kita, jawab tukang satang yang
menyeberangkan Ki Lurah itu sambil beranjak membangunkan
kawannya yang lain.
Beberapa saat kemudian di tepian yang berpasir itu telah
berkumpul empat orang tukang satang dan orang yang di panggil
Ki Lurah itu.
Aku melihat gerakan yang mencurigakan di atas tebing itu,
berkata Ki Lurah kemudian sambil menunjuk ke tempat Glagah
Putih dan Rara Wulan bersembunyi, Kemungkinannya jumlah
mereka lebih dari lima orang tapi tidak akan sampai sepuluh
orang.
Apakah kita perlu memanggil kawan-kawan kita yang berjaga
jaga di sisi barat Kali Praga, Ki Lurah? bertanya salah seorang
tukang satang itu.
Itu tidak perlu, geram Ki Lurah, Ingat, kita tidak terikat
dengan jumlah, akan tetapi kemampuan masing-masing orang

13
yang akan menentukan. Takaranku adalah lawan sebanyak lima
orang, sisanya nanti terserah kalian berempat.
Hampir bersamaan keempat tukang satang itu menarik nafas
dalam-dalam. Mereka sudah mengenal betul dengan perangai Ki
Lurah. Sebenarnyalah menurut pengamatan mereka selama ini Ki
Lurah itu termasuk orang yang berilmu cukup tinggi, namun
kesombongannyalah yang kadang-kadang membuatnya kurang
perhitungan.
Marilah, berkata Ki Lurah sambil melangkah ke arah tebing,
Kita datang dengan dada tengadah, tidak usah mengendap
endap seperti laku seorang pencuri.
Dengan tanpa menyamarkan kedatangan mereka, kelima
orang itu pun akhirnya mulai mendaki tebing sebelah timur Kali
Praga dari arah sisi barat yang medannya cukup terjal.
Dalam pada itu Glagah Putih dan kawan kawannya yang
sedang berada di atas tebing telah mendengar hadirnya orang-
orang yang tidak diundang itu sejak mereka masih berada di
tepian. Ki Citra Jati yang sudah menduga hal itu akan terjadi
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sementara anak-anak
Nyi Citra Jati segera berkumpul di dekat ibu mereka untuk
mendapatkan pengarahan.
Baruni dan Setiti, berkata Nyi Citra Jati, Kalian berdua
jangan terlalu jauh dengan mbokayu kalian Padmini. Sementara
biarlah Rara Wulan berpasangan dengan Glagah Putih.
Sedangkan Pamanmu Mlaya Werdi akan melindungi kalian dari
belakang, Nyi Citra Jati berhenti sejenak, kemudian lanjutnya,
Aku dan Ayahmu akan berada di luar lingkaran untuk
melindungi kalian kalau-kalau masih ada di antara mereka yang
datang dengan sembunyi-sembunyi.
Kedua gadis itu mengangguk tanpa menjawab. Keduanya
segera bergeser merapat ke dekat Padmini. Sedangkan Nyi Citra
Jati telah bergeser menjauh dan berlindung diantara semak-
semak yang cukup lebat diikuti oleh Ki Citra Jati.
Glagah Putih yang maklum dengan siasat yang digunakan oleh
Nyi Citra Jati segera tanggap. Bersama Rara Wulan, dia segera
melangkah ke tempat yang cukup lapang sambil menunggu
kedatangan orang-orang yang sedang mendaki tebing itu.

14
Sedangkan Mlaya Werdi yang sedari tadi masih duduk di atas
sebongkah batu padas, dengan perlahan bangkit dari tempat
duduknya dan bergeser di belakang para keponakannya.
Ketika orang-orang yang mendaki tebing itu sudah mulai
terdengar semakin dekat, Glagah Putih dan Rara Wulan yang
sudah menanggalkan penyamaran mereka sejak Matahari
terbenam tadi memang merasa tidak ada gunanya lagi
menyembunyikan jati diri mereka. Dengan penuh kewaspadaan,
sepasang suami istri dan kawan-kawannya itu pun mulai
mempersiapkan diri.
Agaknya kelima orang yang mendaki tebing itu benar-benar
penuh percaya diri. Itu terbukti mereka tidak berusaha
menyembunyikan kehadiran mereka, dengan langkah yang
mantap dan penuh keyakinan akan kemampuan mereka, Ki
Lurah yang berjalan paling depan telah berhenti beberapa
langkah di depan Glagah Putih. Malam yang pekat ternyata tidak
menghalangi pandangan Ki Lurah untuk mengenali lawan
lawannya yang berdiri beberapa langkah saja di depannya.
Tiba-tiba tawa Ki Lurah meledak mengoyak malam yang sepi.
Di sela-sela derai tawanya yang berkepanjangan Ki Lurah itu pun
berkata, Ah, ternyata yang kita temukan di sini adalah
sekumpulan perempuan-perempuan cantik dan dua laki-laki
entah sebagai pengawal atau pelayan mereka, aku tidak tahu, Ki
Lurah berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, Walaupun kalian
memakai pakaian laki-laki, namun aku tetap bisa membedakan,
manakah yang lelaki tulen dan manakah yang menyamar sebagai
laki-laki.
Glagah Putih yang berdiri di paling depan segera menyahut,
Maafkan kami Ki Sanak kalau kehadiran kami di atas tebing ini
mengganggu keberadaan Ki Sanak yang berada di bawah tebing
sana. Kami sekeluarga berasal dari Prambanan dan berniat untuk
menengok saudara kami yang sedang sakit di Menoreh.
Sejenak Ki Lurah mengerutkan keningnya, katanya kemudian
setengah membentak, Jangan membual. Aku tidak bertanya
siapa diri kalian. Sekarang juga kalian harus mengikuti kami
turun ke tepian. Kawan-kawan kami sudah hampir sepekan
berjaga-jaga di tepian Kali Praga ini, dan agaknya mereka
membutuhkan hiburan.

15
Gila..! tiba-tiba justru Rara Wulan lah yang balas
membentak, Tutup mulutmu yang kotor. Jangan berpikir bahwa
kami perempuan-perempuan murahan yang dapat seenaknya
kalian perlakukan.
Ki Lurah hanya tertawa pendek. Sambil menunjuk ke arah
Rara Wulan, katanya kemudian, Apa katamu tentang empat
perempuan muda dan dua laki-laki di larut malam begini dan di
tempat yang sepi seperti ini? Aku sudah terbiasa mendapat
jawaban seperti ini dan akhirnya kalian pasti akan segera
membuka kedok kalian setelah tercapai kesepakatan di antara
kita.
Gila, gila, gila, teriak Rara Wulan sejadi-jadinya sambil
dihentak-hentakkannya kakinya ke tanah. Untunglah Rara Wulan
masih sadar sehingga tidak menggunakan tenaga cadangannya
ketika menghentakkan kakinya ke tanah.
Sudahlah Ki Lurah, tiba-tiba salah seorang Tukang Satang
itu menyeletuk, Malam semakin dingin dan tiba-tiba saja aku
menjadi sangat bergairah. Kita jangan membuang-buang waktu
terlalu banyak. Kita dapat melakukannya di sini atau di atas rakit
agar lebih hangat. Terserah mereka.
Tutup mulutmu..! Rara Wulan yang sudah tidak dapat
menahan diri itu telah meloncat secepat tatit yang meluncur di
udara menampar Tukang satang yang berdiri di sebelah kiri Ki
Lurah.
Akibatnya adalah di luar dugaan semua orang yang hadir di
atas tebing itu. Dengan deras ayunan tangan Rara Wulan yang
terbuka menerjang wajah Tukang Satang itu sehingga kepalanya
telah terpeluntir ke kanan bersamaan dengan terdorongnya
tubuh tukang satang itu terjengkang ke belakang.
Sejenak orang-orang itu bagaikan membeku di tempatnya.
Dengan dada yang berdebar debar mereka mengamati Tukang
Satang yang terkapar tak bergerak di tanah yang berdebu.
Mati? seru Ki Lurah sambil melangkah mendekat. Sambil
berjongkok, dirabanya dada Tukang Satang itu yang ternyata
jantungnya telah berhenti berdetak.

16
Ternyata kemarahan Rara Wulan yang tersinggung harga
dirinya sebagai seorang perempuan telah mengungkapkan tenaga
cadangannya hampir sampai ke puncak sehingga akibatnya
sangat mengerikan, leher Tukang Satang itu telah patah dan
rahangnya terlepas bersamaan dengan lepasnya nyawa dari
raganya.
Ki Lurah menggeram keras sambil berdiri. Kemarahannya
benar-benar sudah sampai ke ubun-ubun. Kini sadarlah Ki Lurah
dengan siapa dia berhadapan. Ternyata perempuan yang
menyerang salah satu Tukang Satang itu berilmu sangat tinggi,
terbukti dengan sekali pukul leher Tukang Satang yang malang
itu telah patah. Padahal para Tukang Satang itu bukan Tukang
Satang yang sebenarnya. Mereka adalah anak buah Ki Lurah yang
telah malang melintang dalam dunia hitam. Kemampuan olah
kanuragan mereka tidak dapat dianggap enteng. Mereka selalu
berhasil melakukan perampokan di padukuhan-padukuhan yang
terbilang cukup kaya. Tak jarang mereka harus berhadapan
dengan para pengawal Padukuhan. Akan tetapi mereka selalu
berhasil menuntaskan tugas mereka.
Kini Ki Lurah harus membuat perhitungan yang cermat. Di
pihaknya telah jatuh satu korban, sementara di pihak lawan
masih segar dan jumlahnya pun berlebih.
Menyadari akan kedudukannya itu, segera saja Ki Lurah
melontarkan isyarat untuk meminta bantuan. Sejenak kemudian
malam yang sepi itu terkoyak oleh suara suitan nyaring yang
membelah udara malam. Suaranya terdengar sampai di tepian
Kali Praga sebelah barat tempat berkumpulnya para pengikut
Panembahan Cahya Warastra yang sedang berjaga jaga.
Namun alangkah terkejutnya Ki Lurah ketika suara suitan itu
belum mereda, terdengar suara lengkingan rinding yang ditiup
oleh Ki Citra Jati dari balik gerumbul tidak jauh dari tempat itu.
Glagah Putih dan kawan kawannya sadar bahwa suara rinding
dari Ki Citra Jati itu adalah sebuah isyarat agar mereka segera
bergerak sebelum lawan mereka mendapatkan bantuan dari tepi
barat Kali Praga.
Sejenak kemudian benturan pun segera terjadi dengan
dahsyat. Para Tukang Satang yang telah tanggap dengan keadaan

17
segera mencabut senjata masing-masing. Sementara Ki Lurah
telah mencabut sebuah keris yang cukup panjang yang bercahaya
kemerah-merahan di tengah malam yang pekat.
Anak-anak Nyi Citra Jati selain Rara Wulan telah mengurai
senjata masing-masing. Padmini dan Baruni yang selalu
membawa busur yang disilangkan di depan dadanya segera
menggenggam busur mereka di tangan kiri yang digunakan
sebagai perisai untuk menangkis serangan lawan. Sedangkan di
tangan kanan mereka tergenggam sebatang anak panah yang
digunakan sebagai senjata seperti sebuah pedang untuk
menyerang lawan mereka.
Sedangkan Setiti yang selalu membawa bawa sumpit telah
menggenggam sumpit itu di tangan kanan. Tidak seperti
biasanya, sumpit itu tidak terbuat dari bambu namun terbuat dari
baja pilihan yang dapat digunakan sebagai senjata yang mirip
dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah namun tanpa kepala
tengkorak di ujungnya.
Selebihnya, apabila dalam keadaan mendesak mereka akan
melepaskan senjata-senjata mereka dan lebih mengandalkan
pada kemampuan puncak mereka, Aji Pacar Wutah Puspa
Rinonce.
Sementara Ki Lurah yang sudah waringuten segera menyerang
Rara Wulan yang berdiri beberapa langkah saja di samping
kirinya. Dengan sebuah tusukan ke arah dada, Ki Lurah meloncat
disertai dengan suara teriakan yang menggelegar.
Rara Wulan yang mendapat serangan dari Ki Lurah segera
menggeser kaki kirinya selangkah kebelakang. Dengan sedikit
memiringkan tubuhnya sehingga tusukan keris ke arah dadanya
itu hanya lewat sejengkal di depannya, tangan kanan Rara Wulan
bergerak cepat mencengkeram pergelangan tangan Ki Lurah yang
menggenggam keris.
Tentu saja Ki Lurah tidak akan membiarkan lawannya
merebut senjatanya. Dengan tergesa-gesa ditariknya keris itu
sambil kaki kanannya terayun deras mengarah ke lambung Rara
Wulan.
Ada keinginan Rara Wulan untuk membenturkan siku tangan
kirinya dengan kaki Ki Lurah yang terayun deras ke arah

18
lambungnya, namun niat itu segera diurungkan. Dengan sekali
lompat kebelakang, Rara Wulan sudah terbebas dari serangan Ki
Lurah. Ketika Ki Lurah kemudian bermaksud memburu
lawannya, ternyata di tangan Rara Wulan sudah tergenggam
senjata andalannya, sebuah selendang yang cukup panjang.
Sejenak Ki Lurah tertegun dan menghentikan langkahnya.
Senjata di tangan Rara Wulan itu sangat mendebarkan hatinya.
Hanya orang-orang yang benar-benar sudah mumpuni saja yang
mampu memainkan senjata sejenis itu dalam sebuah
pertempuran yang sebenarnya.
Keraguan Ki Lurah itu ternyata terbaca oleh Rara Wulan.
Dengan sengaja diputarnya selendang itu di atas kepalanya untuk
mempengaruhi ketahanan batin lawannya. Putaran selendang itu
begitu dahsyatnya sehingga menimbulkan pusaran angin dan
suara berdengung bagaikan dengung seribu lebah hutan yang
sedang mengamuk.
Persetan, geram Ki Lurah, Aku bukan anak kecil yang takut
dengan segala macam pengeram-eram. Selendangmu itu akan
segera putus terbabat oleh kerisku yang tajamnya melebihi
pitung penyukur.
Aku meragukan itu, Ki Sanak, jawab Rara Wulan tanpa
menghentikan putaran selendangnya, Justru kerismu yang kau
agung agungkan itu yang sebentar lagi akan berpindah ke
tanganku.
Jangan banyak membual, sekali lagi Ki Lurah menggeram
sambil meloncat mengayunkan kerisnya membabat ke arah
putaran selendang Rara Wulan.
Demikianlah akhirnya mereka berdua segera terlibat dalam
sebuah perkelahian yang sengit. Ki Lurah benar-benar dibuat
kerepotan dengan senjata Rara Wulan. Selendang itu kadang-
kadang meliuk-liuk bagaikan seekor ular yang hidup yang
berusaha membelit tangannya, kadang lehernya, bahkan kakinya
yang sedang meloncat di udara pun hampir saja terbelit dengan
selendang itu. Namun suatu saat dengan tidak terduga duga
selendang itu tiba-tiba berubah mengeras bagaikan sebuah
tongkat baja dan mendera dadanya.

19
Glagah Putih yang menyaksikan perkelahian itu hanya
menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sadar kakinya bergeser
menjauhi lingkaran perkelahian. Dia sudah yakin istrinya itu
tidak akan mendapatkan kesulitan dalam mengatasi lawannya.
Tanpa sadar Glagah Putih justru mengayunkan langkah
mendekati lingkaran pertempuran anak-anak Nyi Citra Jati yang
lain. Betapa Padmini, Baruni dan Setiti telah membuat para
Tukang Satang itu kebingungan. Beberapa Kali senjata-senjata
anak-anak Nyi Citra Jati itu mulai menyentuh tubuh- tubuh
mereka sehingga yang dapat dilakukan oleh para pengikut Ki
Lurah itu hanyalah bertahan sambil mundur dan mundur terus.
Namun mereka menyadari bahwa tidak mungkin untuk
bertahan sambil bergerak mundur terus karena di belakang
mereka adalah lereng tebing yang cukup terjal. Jika mereka
sampai terjatuh, akibatnya akan sangat berbahaya bagi
keselamatan mereka.
Dengan pertimbangan seperti itulah, akhirnya para Tukang
Satang itu pun memutuskan untuk menghentakkan segenap
kemampuan mereka untuk mendesak anak-anak Nyi Citra Jati.
Namun Padmini yang lebih dewasa dan lebih berpengalaman dari
adik adiknya segera memberi aba-aba untuk memperketat
serangan mereka sehingga sejenak kemudian pertempuran itu
pun bagaikan meledak dengan dahsyatnya.
Mlaya Werdi yang berdiri tidak seberapa jauh dari tempat
pertempuran anak-anak Nyi Citra Jati itu sama sekali tidak
lengah. Sesuai dengan pesan Nyi Citra Jati untuk mengamati
keadaan jika ada bantuan lawan yang datang dengan diam-diam.
Namun sejauh itu tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Dalam pada itu di tepian sebelah barat Kali Praga, para
pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang berjaga-jaga
telah mendengar isyarat dari Ki Lurah. Dengan tergesa-gesa
mereka segera menarik beberapa rakit yang disembunyikan
diantara semak belukar. Sejenak kemudian tiga buah rakit itu
telah diturunkan ke Kali Praga dengan penumpangnya masing-
masing rakit sekitar sepuluh orang.
Demikianlah rakit-rakit itu pun kemudian telah meluncur
dengan cepat di atas air Kali Praga yang keruh. Hanya dalam

20
waktu sekejab rakit-rakit itu telah merapat di tepian timur Kali
Praga. Dengan sigap para penumpangnya segera berloncatan ke
tepian yang berpasir basah. Ketika kemudian sekali lagi terdengar
suitan nyaring dari arah tebing, para pengikut Panembahan
Cahya Warastra itu pun segera berlari-larian menuju ke arah
suara suitan itu berasal.
Memang Ki Lurah yang merasa tidak akan dapat mengatasi
lawannya telah melontarkan isyarat sekali lagi. Namun dengan
demikian isyarat itu pun bagi Rara Wulan dan anak-anak Nyi
Citra Jati merupakan pertanda bahwa mereka harus segera
menyelesaikan lawan-lawan mereka sebelum bala bantuan
datang.
Ketika di bawah tebing mulai terdengar hiruk pikuk orang-
orang yang memanjat naik, sekali lagi terdengar sebuah
lengkingan bunyi rinding membelah udara malam. Dengan tanpa
membuang waktu, Rara Wulan dan adik-adik angkatnya pun
segera menyelesaikan lawan-lawan mereka.
Para Tukang Satang itu tidak sempat melihat bagaimana anak-
anak Nyi Citra jati itu mempergunakan senjata mereka. Tiba-tiba
saja dua orang Tukang Satang merasakan sesuatu telah hinggap
di dada sebelah kiri. Ternyata anak panah Padmini dan Baruni
telah menembus jantung mereka.
Sejenak kedua orang tukang Satang itu masih sempat
mengumpat keras sambil terhuyung-huyung memegangi dada
mereka sebelum akhirnya jatuh terjerembab tak bergerak untuk
selamanya.
Sementara Setiti yang bersenjatakan sumpit telah
menggunakan senjatanya itu sebagaimana mestinya. Segera saja
sebuah paser kecil telah melesat dengan kecepatan yang luar
biasa menembus leher lawannya.
Racun yang ada di ujung paser itu kekuatannya setara dengan
racun ular bandotan macan. Hanya dalam sekejap sebelum
lawannya menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi,
tubuhnya tiba-tiba merasa kejang dan nafasnya pun telah
tersumbat. Tukang Satang yang terakhir itu pun kemudian roboh
berkelojotan mati.

21
Ki Lurah yang sempat melihat sekilas anak buahnya telah
terbujur menjadi mayat menjadi semakin wuru. Dengan
mengangkat kerisnya tinggi-tinggi seolah olah ingin menembus
langit, dipusatkannya segala nalar budinya untuk menghentakkan
ilmu pamungkasnya.
Ketika kemudian serangannya yang membadai menerjang
Rara Wulan, dari ujung keris itu seolah olah telah memancar
lidah api yang sangat panas. Ujung lidah api itu ternyata telah
mendahului dari ujud keris itu sendiri. Sehingga ketika keris yang
ada di tangan Ki Lurah itu belum menyentuh tubuh Rara Wulan,
lidah api itu telah menghanguskan ujung baju Rara Wulan.
Rara Wulan segera menyadari watak dari ilmu lawannya. Dia
tidak ingin kehilangan waktu terlalu banyak sementara orang-
orang Panembahan Cahya Warastra justru telah mulai memanjat
tebing.
Setelah meloncat beberapa langkah ke samping menghindari
kejaran jilatan api yang keluar dari ujung keris Ki Lurah, dalam
waktu yang hanya sekejab Rara Wulan segera mengetrapkan Aji
Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Sejenak udara di sekitar arena pertempuran itu bagaikan
dipampatkan. Ketika udara yang telah dipampatkan itu kemudian
berputar dan membentuk butiran-butiran air yang sangat panas,
Ki Lurah ternyata telah terlambat menyadarinya. Langkahnya
terhenti ketika butiran-butiran lembut air yang sangat panas itu
menerjang tubuhnya.
Dengan tergesa-gesa Ki Lurah meloncat ke belakang sejauh
jauhnya sambil memutar senjatanya untuk melindungi dirinya
dari terjangan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Namun ternyata kecepatan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu
melebihi usaha Ki Lurah menghindarkan diri dengan meloncat
kebelakang. Butiran-butiran air panas yang sangat lembut itu
telah menyusup di sela-sela putaran kerisnya dan langsung
menghunjam ke dalam tubuh Ki Lurah lewat lubang-lubang di
kulitnya.
Untuk sejenak Ki Lurah telah terhuyung-huyung ke belakang
beberapa langkah. Butiran-butiran lembut air panas itu telah

22
menyusup ke dalam pembuluh darahnya dan menghancurkan
jaringan urat darah di sekujur tubuhnya.
Akhir yang sangat mengerikan bagi Ki Lurah. Seluruh
pembuluh darahnya seakan meledak dan darah pun mengalir
deras keluar dari lubang-lubang di kulitnya. Dengan
mengeluarkan teriakan kesakitan yang luar biasa, Ki Lurah pun
akhirnya jatuh tertelungkup bermandikan darah dan tak bergerak
lagi untuk selama lamanya.
Dalam pada itu, para pengikut Panembahan Cahya Warastra
yang sedang mendaki tebing telah semakin dekat dengan tempat
pertempuran. Ketika kemudian mereka telah mencapai bibir
tebing dan berlari-larian menuju ke medan pertempuran,
alangkah terkejutnya mereka, ternyata medan pertempuran yang
tadinya terdengar hiruk-pikuk kini telah menjadi sepi. Hanya
bekas-bekas pertempuran saja yang masih mereka jumpai dan
beberapa sosok mayat yang terbujur malang-melintang.
Dengan cepat mereka segera menyebar untuk memburu
orang-orang yang telah membunuh kawan-kawan mereka.
Hampir setiap jengkal tanah di atas tebing itu tidak luput dari
pengamatan mereka. Sesekali mereka menemukan jejak-jejak
kaki namun sudah sangat kabur dan susah dikenali. Demikian
juga arah jejak kaki itu tidak jelas kemana arah tujuannya. Seolah
olah jejak-jejak itu hanya melingkar-lingkar saja di atas tebing.
Ki Lurah..! tiba-tiba seorang yang wajahnya bulat dan
berambut keriting berteriak lantang begitu mengenali sesosok
mayat yang tertelungkup dalam keadaan yang mengenaskan.
Beberapa orang segera berlari ke tempat di mana orang yang
wajahnya bulat itu menemukan mayat Ki Lurah. Mereka tidak
yakin bahwa Ki Lurah yang menurut pengenalan mereka selama
ini termasuk orang yang berilmu cukup tinggi telah terbunuh.
Jika memang Ki Lurah ikut menjadi korban, berarti lawan yang
dihadapinya pasti bukan orang kebanyakan.
Sesampainya di depan mayat yang tertelungkup itu, dengan
tergesa-gesa seseorang segera membalikkannya. Dengan dada
yang berdebar debar mereka melihat betapa keadaan mayat itu
sangat mengerikan, sekujur tubuhnya bersimbah darah.

23
Beberapa orang berusaha mencondongkan tubuh ke depan
agar lebih jelas melihat wajah mayat itu, sedangkan yang lainnya
justru telah berjongkok di sisi mayat itu untuk meyakinkan
penglihatan mereka bahwa tubuh yang telah terbujur kaku itu
adalah Ki Lurah.
Ki Lurah..! seseorang berdesis perlahan setelah dia yakin
dengan penglihatannya.
Ya, benar. Ini memang Ki Lurah, yang lainnya menyahut
hampir bersamaan.
Gila..! terdengar beberapa orang telah mengumpat, Ilmu
apakah yang telah membunuh Ki Lurah?
Seseorang yang rambutnya sudah ubanan melangkah maju
sambil menyibakkan orang-orang yang sedang berkerumun dan
kemudian berjongkok di sisi tubuh Ki Lurah yang telah
membeku. Sejenak diamatinya sekujur tubuh yang telah dingin
itu. Dicobanya mencari bekas-bekas luka yang mungkin terdapat
pada tubuh Ki Lurah, namun tidak tampak segores luka pun yang
terdapat pada mayat itu.
Aneh, desis orang yang rambutnya sudah ubanan itu, Tidak
ada segores luka pun, namun darah yang keluar dari pori-pori
kulitnya bagaikan diperas, orang itu berhenti sejenak.
Dikerahkan kemampuan daya ingatnya untuk mengenali jenis
ilmu yang telah membuat Ki Lurah terbunuh. Gurunya sering
bercerita tentang berjenis jenis ilmu yang ada di muka bumi ini
sebagai pengetahuan bagi murid-muridnya. Dari yang paling
sederhana sampai yang paling rumit dan aneh, aneh dalam
kemampuannya menghancurkan lawan maupun aneh dalam
memberikan nama aji itu sendiri.
Tiba-tiba bagaikan disengat oleh seekor kalajengking sebesar
ibu jari kaki orang dewasa, orang yang rambutnya sudah ubanan
itu terlonjak berdiri sambil berteriak, Aji Pacar Wutah Puspa
Rinonce! Ya.., Pacar Wutah Puspa Rinonce, aku yakin itu.
Orang-orang yang mengerumuninya itu terkejut. Seorang yang
berperut buncit mendesak maju sambil bertanya, Apakah
engkau yakin Kakang Dumuk? Kalau memang Ki Lurah telah
terbunuh dengan aji Pacar Wutah Puspa Rinonce, kita harus
segera melaporkan peristiwa ini kepada Guru.

24
Engkau benar Adi Walang jawab orang yang rambutnya
sudah ubanan yang ternyata bernama Dumuk, Hanya guru yang
dapat mengatasi aji ini. Kita masih jauh di bawah tataran orang
yang telah membunuh Ki Lurah ini, kecuali Kakang Labda Gati,
ilmunya mungkin sudah mencapai tataran setingkat dengan
Guru.
Beberapa orang yang mendengarkan pembicaraan itu
mengangguk angguk. Sementara beberapa orang yang lainnya
telah sibuk menggali tanah di atas tebing itu dengan peralatan
seadanya. Betapa pun kelamnya hati mereka serta jalan hidup
yang mereka tempuh selama ini sangat jauh dari tuntunan hidup
bebrayan, namun mereka masih mempunyai setitik rasa kesetia-
kawanan terhadap kawan-kawan mereka yang telah terbunuh
dalam menjalankan tugas.
Demikianlah akhirnya, Dumuk yang merupakan orang yang
dituakan dalam rombongan itu telah memerintahkan untuk
mengubur lima orang kawan mereka yang telah terbunuh di atas
tebing sebelah timur Kali Praga. Dengan peralatan seadanya
mereka pun kemudian mengubur kelima kawan mereka itu dalam
satu lubang.
Sejenak kemudian, setelah mereka merasa tidak ada lagi yang
perlu dilakukan, mereka pun kemudian segera menuruni tebing
dan kembali menyeberang ke tepi barat Kali Praga.
*****
Dalam pada itu di padepokan Jati Anom, malam telah sampai
ke ujungnya. Burung-burung mulai terbangun dan keluar dari
sarangnya sambil memperdengarkan kicau yang merdu
menyambut terbitnya sang fajar.
Setelah menunaikan kewajibannya sebagai hamba kepada
Penciptanya, Ki Rangga Agung Sedayu mulai mempersiapkan
perjalanan ke Mataram untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.
Empat ekor kuda yang tegar telah disiapkan di halaman
padepokan. Putut Darpa dan Putut Darpita pun telah siap dengan
perbekalan mereka dan duduk di pendapa menunggu Ki Rangga
dan Pandan Wangi keluar.
Kedua Putut kakak beradik itu tidak terlihat membawa
pedang, namun senjata mereka adalah senjata ciri khas

25
perguruan orang bercambuk, sehelai cambuk yang dililitkan pada
pinggang mereka dan disembunyikan di bawah baju.
Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi
muncul dari balik pintu pringgitan, kedua Putut itu segera berdiri
dan menganggukkan kepala.
Apakah kalain sudah makan pagi? bertanya Pandan Wangi
sambil melangkah mendekat.
Putut Darpa ternyata yang menjawab, Kami tadi sudah
makan di dapur Nyi. Jika Ki Rangga dan Nyi Pandan Wangi
belum makan pagi, kami akan menunggu.
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi tersenyum.
Sambil berjalan melintasi pendapa Ki Rangga kemudian menuju
ke tempat kuda-kuda mereka ditambatkan. Katanya kemudian,
Marilah, mumpung hari masih pagi. Semoga kita sampai di
Mataram sebelum gelap.
Kedua Putut itu hanya menarik nafas dalam-dalam mendengar
kata-kata Ki Rangga. Sejenak kemudian keduanya pun segera
menuju ke kuda masing-masing dan mempersiapkan segala uba
rampe untuk sebuah perjalanan yang cukup jauh.
Pandan Wangi yang telah mendapat ijin dari suaminya itu
telah memakai pakaian khususnya dengan sepasang pedang di
lambung. Rambutnya yang masih hitam lebat namun di sana sini
sudah mulai dihiasi dengan rambut yang berwarna putih itu
disanggul tinggi dan diikat dengan secarik kain berwarna merah
saga. Pandan Wangi masih terlihat sangat cantik di usianya yang
sudah mendekati setengah abad.
Demikianlah, keempat orang yang akan melakukan perjalanan
ke Mataram itu masih harus menunggu Ki Widura untuk
berpamitan. Agaknya Ki Widura masih ada keperluan sebentar di
belakang. Setelah beberapa saat menunggu, barulah Ki Widura
muncul dari balik pintu pringgitan dan berjalan mendekati
keempat orang yang masih belum menaiki kuda-kuda mereka.
Maaf, aku tadi masih ada keperluan di belakang, berkata Ki
Widura sesampainya di depan mereka berempat, Apakah masih
ada yang tertinggal sebelum kalian berangkat? Tolong jika kalian

26
bertemu Glagah Putih dan Rara Wulan, katakan aku sudah sangat
rindu untuk menimang cucu.
Ah, hampir bersamaan mereka yang mendengar pesan Ki
Widura itu tertawa. Bahkan Pandan Wangi yang berdiri di
sebelah Ki Rangga Agung Sedayu menimpali, Bukankah Ki
Widura sudah bertambah cucunya dari Kakang Agung Sedayu?
Ya,. ya.., sahut Ki Widura cepat, Namun biarlah
kebahagiaan orang tua ini bertambah lengkap setelah mendapat
cucu dari Glagah Putih.
Kembali keempat orang itu tertawa.
Baiklah, Paman, akhirnya Ki Rangga berpamitan, Kami
mohon diri. Aku titip Adi Swandaru. Obat yang aku tinggalkan
cukup untuk persediaan satu bulan. Semoga sebelum satu bulan
aku sudah bisa kembali ke Padepokan.
Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian
sambil melangkah menuju ke regol dia berkata, Keadaan
Mataram sangat gawat sehubungan dengan kehadiran pengikut
Panembahan Cahya Warastra. Tidak menutup kemungkinan
Menoreh akan terkena pengaruhnya.
Sambil menuntun kuda-kuda mereka, keempat orang itu
berjalan perlahan-lahan mengikuti Ki Widura menyeberangi
halaman Padepokan yang cukup luas.
Ketika kemudian mereka telah sampai di depan regol, Ki
Widura pun menghentikan langkahnya sambil berpesan, Hati-
hatilah di jalan. Lebih baik kalian menghindari persoalan yang
mungkin timbul di sepanjang perjalanan agar kedatangan kalian
di Mataram tidak terlambat.
Ya Paman, sahut Ki Rangga sedangkan yang lain hanya
mengangguk anggukkan kepala mereka.
Setelah sekali lagi minta diri kepada Ki Widura, keempat
orang yang akan melakukan perjalanan jauh itu segera meloncat
ke atas punggung kuda masing-masing. Sejenak kemudian
mereka berempat telah berderap menyusuri jalan-jalan di
Kademangan Jati Anom yang masih sepi.
Apakah kita akan mampir ke rumah Kakang Untara?
bertanya Pandan Wangi yang berkuda di sebelah Ki Rangga.

27
Sedang kedua Putut kakak beradik itu berkuda beberapa langkah
di belakang.
Aku kira tidak perlu, Wangi, jawab Ki Rangga, Kakang
Untara tidak ada di tempat. Dia ikut melawat ke Panaraga
bersama sama dengan pasukan Mataram yang lain.
Pandan Wangi hanya mengangguk anggukkan kepalanya.
Sementara itu embun pagi mulai terusir oleh sinar Matahari
yang mulai mengintip dari balik bukit. Walaupun sinarnya masih
sangat lemah, namun perlahan-lahan embun-embun yang masih
bergelayutan dengan manja di pucuk-pucuk dedaunan mulai
menguap bersamaan dengan warna langit yang mulai cerah.
Keempat orang yang sedang melakukan perjalanan ke
Mataram itu masih belum merasa perlu untuk berpacu di atas
jalan yang berbatu batu. Namun ketika kemudian mereka telah
keluar dari regol Kademangan Jati Anom dan menyusuri sebuah
bulak yang cukup panjang, mereka pun segera memacu kuda-
kuda mereka semakin cepat.
Sementara Pandan Wangi yang berkuda di sebelah Ki Rangga
tampak sangat menikmati perjalanan itu. Wajahnya yang masih
terlihat muda dari usia yang sebenarnya itu terlihat sangat cerah.
Sebuah senyum kecil selalu tersungging di bibirnya yang merah
bak delima merekah. Dilemparkan pandangan matanya jauh
kedepan dengan sinar mata yang berbinar-binar. Betapa
perjalanan ini mengingatkannya pada kenangan jauh ke masa
lalu sewaktu dirinya masih seorang gadis yang mempunyai
kesenangan berbeda dengan gadis-gadis kebanyakan, berburu di
hutan di pinggir tlatah Tanah Perdikan Menoreh ditemani oleh
pemomongnya yang setia, Kerti.
Sesekali dari sudut matanya dia melihat Ki Rangga Agung
Sedayu yang berkuda di sebelahnya tampak menundukkan
kepalanya. Wajah Ki Rangga sepertinya sedang memendam
sebuah beban yang sangat berat. Bahkan berkali-kali tanpa
disadarinya Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-
dalam sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
Apakah sebenarnya yang sedang dipikirkannya? bertanya
Pandan Wangi dalam hati, Apakah dia sedang memikirkan
Kakang Swandaru yang masih sakit di Padepokan Jati Anom?

28
Atau dia gelisah karena ingin segera bertemu dengan Sekar Mirah
yang justru sekarang sudah mendapatkan momongan?
Berbagai pertanyaan bergulat di dalam dada Pandan Wangi,
namun sejauh itu dia tidak mendapatkan jawabannya, bahkan
hatinya pun telah ikut menjadi gelisah.
Mungkin Kakang Agung Sedayu sedang memikirkan tugas
apa yang akan diembannya dari Ki Patih Mandaraka, kembali
Pandan Wangi berkata dalam hati, Atau Kakang Agung Sedayu
sedang memikirkan cara untuk menembus pertahanan
Panembahan Cahya Warastra yang telah menduduki tepi barat
Kali Praga.
Sampai di sini Pandan Wangi menjadi sangat gelisah.
Terbayang Ayahnya yang sedang terbaring sakit sementara
kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh sangat lemah,
hanya ada Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi.
Aku belum mengenal kemampuan Kiai Sabda Dadi itu secara
pribadi, demikian Pandan Wangi melanjutkan angan angannya,
Kemampuannya dalam bidang pengobatan pun aku kira masih
di bawah Kiai Gringsing.
Tiba-tiba angan-angan Pandan Wangi menjadi berantakan
bagaikan awan yang tertiup angin kencang ketika Ki Rangga
berkata, Wangi, lebih baik kita mengambil jalan ke kiri
menghindari padukuhan-padukuhan yang ada di depan kita. Kita
akan menyusuri tepi hutan yang masih cukup lebat namun aku
yakin sudah jarang ada binatang buas yang berkeliaran mencari
mangsa di tepi hutan itu.
Baiklah Kakang, sahut Pandan Wangi. Sambil menoleh ke
belakang dia berkata kepada kedua Putut kakak beradik itu, Kita
akan mengambil jalan ke kiri.
Kedua Putut itu hanya mengangguk tanpa mengurangi laju
kuda mereka.
Ketika kemudian mereka berempat telah berbelok ke arah kiri
dan menyusuri jalan setapak di pinggir hutan yang cukup lebat,
mereka dikejutkan oleh suara ringkik kuda di belakang mereka.
Hampir bersamaan keempat orang itu telah berpaling. Ternyata
seorang penunggang kuda dengan mengenakan caping lebar yang

29
menutupi hampir seluruh wajahnya, muncul dari kelokan jalan
setapak di belakang mereka dan membuntuti mereka hanya
dalam jarak beberapa puluh langkah saja.
Ki Rangga Agung Sedayu yang sempat berpaling sekilas
sejenak berpandangan dengan Pandan Wangi, namun tidak ada
satu pun kesan yang dapat ditangkap dari sinar mata Puteri
Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun panggraita Ki Rangga
Agung Sedayu yang tajam segera bisa mengenali bahwa
penunggang kuda itu sama dengan penunggang kuda beberapa
waktu yang lalu yang telah membuntuti dirinya dan Ki Ageng Sela
Gilang ketika mereka baru saja keluar dari padukuhan Ngadireja.
Siapakah sebenarnya penunggang kuda itu? pertanyaan itu
berputar putar dalam benak Ki Rangga, demikian juga dengan
ketiga kawan seperjalanannya.
Demikianlah penunggang kuda yang aneh itu terus
membuntuti keempat orang yang akan pergi ke Mataram itu
sampai Padukuhan Nglipura, Padukuhan kecil sebelum mereka
menyeberangi Kali Opak. Sementara Matahari sudah memanjat
semakin tinggi. Sinarnya yang panas mulai terasa menggatalkan
kulit, sedangkan titik-titik keringat pun mulai terasa membasahi
punggung.
Ketika mereka berempat sudah hampir mendekati regol
padukuhan Nglipura, Ki Rangga Agung Sedayu segera
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi sebagai isyarat agar
mereka mengurangi laju kuda masing-masing.
Begitu mereka memasuki regol Padukuhan Nglipura yang sepi,
hampir bersamaan mereka telah berpaling ke belakang. Namun
alangkah terkejutnya mereka, ternyata penunggang kuda yang
aneh itu sudah tidak ada di tempatnya.
Gila, geram Ki Rangga Agung Sedayu, Apa maksud semua
permainan ini?
Pandan Wangi yang berkuda di sebelahnya ikut mengerutkan
keningnya dalam-dalam, katanya kemudian, Kita kehilangan
pengamatan kita atas orang berkuda itu justru karena suara-
suara telapak kaki kuda-kuda kita sendiri yang cukup keras.
Sehingga ketika dia berhenti di tikungan atau berbalik arah kita
tidak menyadarinya.

30
Mungkin, jawab Ki Rangga, Namun aku yakin penunggang
kuda itu bukan orang kebanyakan. Dia mempunyai kemampuan
untuk mengelabuhi Aji Sapta Pangrungu, sehingga aku telah
kehilangan jejaknya.
Pandan Wangi sadar kalau Ki Rangga Agung Sedayu adalah
orang yang sangat mumpuni dalam olah kanuragan. Jika masih
ada orang yang mampu mengelabuhi Ki Rangga Agung Sedayu
dalam hal menyadap bunyi di sekitarnya melalui Aji Sapta
Pangrungu, berarti orang itu benar-benar memiliki kemampuan
yang ngedab-edabi.
Tanpa terasa keempat orang itu telah semakin jauh memasuki
padukuhan Nglipura yang sepi. Di sepanjang jalan padukuhan
mereka hanya sekali dua kali saja berpapasan dengan orang-
orang yang berjalan kaki, selebihnya adalah regol-regol yang
tertutup rapat-rapat.
Ketika jalanan mulai menurun dan berbatu batu, mereka
sudah dapat mencium bau air Kali Opak yang tidak terlalu dalam
dan deras. Di beberapa tempat bahkan dapat diseberangi tanpa
harus turun dari kuda.
Demikianlah akhirnya mereka berempat telah turun dari kuda
masing-masing dan menuntun kuda-kuda itu di antara batu-batu
besar yang berserakan. Batu-batu besar itu berasal dari letusan
Gunung Merapi beberapa waktu lalu ketika pecah perang antara
Pajang dan Mataram.
Sambil menuntun kudanya di sebelah Pandan Wangi, Ki
Rangga berdesis perlahan lahan, Kita akan beristirahat sejenak
untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda kita untuk
sekedar beristirahat dan minum air Kali Opak.
Ya Kakang, jawab Pandan Wangi sambil menuntun kudanya
mengikuti langkah-langkah saudara tua seperguruan suaminya
itu.
Perlahan mereka mulai menapak di atas tanah berpasir yang
lembab. Air Kali Opak yang tidak begitu dalam dan deras telah
memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk minum.
Setelah puas meminum air Kali Opak, kuda-kuda itu pun
kemudian di tambatkan di tepian agar dapat merumput
secukupnya.

31
Sambil melepaskan lelah, Ki Rangga duduk diantara batu-batu
yang berserakan di tepian. Sambil sesekali diedarkan pandangan
matanya berkeliling kalau-kalau dia dapat menemukan sosok
seorang penunggang kuda yang telah sekian lama
membuntutinya itu.
Sementara itu Pandan Wangi justru telah duduk di atas
sebongkah batu hitam sambil merendam kedua kakinya. Sambil
memainkan kedua kakinya di dalam air, sesekali tampak ikan-
ikan kecil yang berseliweran menyentuh jari-jari kakinya sekilas
namun kemudian segera berenang menjauh bersembunyi di
antara ceruk-ceruk bebatuan dan dasar sungai yang berpasir
lembut.
Tidak jauh dari tempat Pandan Wangi duduk melepaskan
lelahnya, kedua Putut kakak beradik itu tampak sedang
mengamat-amati beberapa ikan yang cukup besar berenang
renang di sela-sela bebatuan yang terendam air sungai hanya
sebatas lutut orang dewasa.
Dalam pada itu, di balik batu-batu padas yang menjorok ke
sungai dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat agak jauh
beberapa puluh langkah di seberang Kali Opak, sekitar sepuluh
orang dengan senjata teracu telah merayap mendekati tempat Ki
Rangga dan kawan kawannya beristirahat melepaskan lelah.
Guru, bisik seseorang yang berbadan pendek dan gempal,
Berilah kesempatan kepadaku untuk berperang tanding
melawan Ki Rangga Agung Sedayu. Aku merasa cara ini adalah
cara seorang pengecut yang tidak mempunyai harga diri sama
sekali.
Tutup mulutmu, Dugel! orang yang dipanggil Guru itu
sedikit membentak, Engkau belum tahu kekuatan sebenarnya
yang tersimpan dalam diri Ki Rangga Agung Sedayu. Sudah tak
terbilang lawan-lawan yang tangguh dan tanggon binasa
ditangannya. Engkau tentu tahu takaran seorang Ajar Tal Pitu.
Dibandingkan dengan kemampuanmu, engkau tidak ada apa
apanya dengan Ajar yang mampu mengubah dirinya menjadi
seekor serigala raksasa yang liar dan ganas itu.

32
Tapi itu sudah berlalu cukup lama, Guru, kembali Dugel
berdesis perlahan, Sejak aku menguasai Aji Gumbala Geni, rasa
rasanya apapun bisa aku lumatkan menjadi debu dengan aji itu.
Jangan takabur, potong Gurunya sambil mengamati jauh ke
depan, ke tempat Ki Rangga dan kawan kawannya duduk-duduk
melepas lelah, Aku akui memang ilmumu telah meningkat
semakin pesat akhir-akhir ini, tapi jangan lupa, Ki Rangga Agung
Sedayu pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Guru, kini Dugel telah beringsut setapak mendekati
Gurunya, Aku berguru ilmu olah kanuragan ini tidak hanya
bersumber dari Guru seorang. Namun aku juga telah menyadap
berbagai ilmu dari guru guruku yang lain. Aku kira bekalku lebih
dari cukup untuk menghadapi seorang Rangga yang menjadi agul
agulnya Mataram.
Diamlah, Dugel, hardik Gurunya dengan suara sepelan
mungkin, Engkau akan kuberi kesempatan untuk beradu dada
dengan Ki Rangga Agung Sedayu setelah semua pengikutnya kita
binasakan. Kita tidak harus berlaku jantan karena kita memang
dari kalangan dunia hitam yang mengabaikan nilai-nilai
kejujuran dan kejantanan. Kalau engkau tidak mampu mengatasi
Ki Rangga Agung Sedayu sendirian, masih ada saudara-saudara
seperguruanmu. Dan jika masih kurang, aku akan ikut
menentukan akhir dari pertempuran itu.
Dugel hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Diam-diam
dalam hatinya ada sedikit kegusaran dengan salah satu dari
sekian Gurunya itu. Dia merasa disepelekan padahal menurut
pengamatannya, ilmu Gurunya itu sekarang sudah dilampauinya
sejalan dengan timbunan ilmu yang diperolehnya ketika
merantau ke seluruh pelosok negeri ini.
Demikianlah sambil merayap perlahan-lahan mereka berusaha
mendekat tanpa diketahui oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya.
Mereka akan memberikan kejutan pada serangan pertama
sehingga lawan-lawan mereka lengah dan tidak siap menghadapi
serangan mendadak itu sehingga kurban pun akan jatuh dipihak
lawan.
Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu sudah mengetahui
kehadiran mereka sejak dia dan kawan-kawannya turun ke tepian

33
Kali Opak. Panggraitanya yang tajam seakan mampu menembus
gerumbul-gerumbul perdu dan tebing-tebing yang menjorok dan
melihat ada apa di baliknya. Akan tetapi pada dasarnya Ki
Rangga adalah orang yang selalu berusaha untuk menjauhkan
diri dari segala prasangka buruk kepada siapapun. Dia hanya
berharap orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-
gerumbul perdu dan tebing-tebing yang menjorok itu tidak
sedang menunggu dirinya dan kawan-kawan seperjalanannya.
Namun ketika pendengaran Ki Rangga dan Pandan Wangi
yang tajam mendengar desir lembut betapapun mereka mencoba
menyamarkan, keduanya segera menyadari bahwa bahaya telah
mengancam mereka.
Dengan sebuah isyarat, Ki Rangga telah memberitahu kedua
Putut itu untuk bersiap. Mereka tidak beranjak dari tempat
mereka dan tetap melakukan kegiatan masing-masing, namun
apabila diperlukan dalam waktu yang hanya sekejap, senjata-
senjata mereka akan segera tergenggam di tangan masing-masing
siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, ketika orang-orang yang akan melakukan
penyergapan itu sudah merasa yakin bahwa kehadiran mereka
belum disadari oleh lawan-lawan mereka, dengan sebuah isyarat,
orang yang dipanggil Guru oleh Dugel itu telah memerintahkan
semua muridnya untuk bersiap. Dengan sebuah lompatan yang
panjang dan teriakan mengguntur, mereka berharap dapat
mengejutkan Ki Rangga dan kawan kawannya sehingga untuk
sejenak mereka akan kehilangan daya penalarannya dan dengan
segera senjata-senjata yang sudah teracu itu akan menembus
dada.
Namun, yang terjadi kemudian adalah di luar perhitungan
Guru Dugel dan murid-muridnya yang lain. Bahkan Ki Rangga
dan kawan-kawannya pun tidak menduga sama sekali akan
terjadi peristiwa seperti itu. Belum sempat Guru Dugel memberi
isyarat untuk menyerang, dari arah tebing sebelah kiri Kali Opak
yang agak landai tiba-tiba telah meluncur bagaikan anak panah
yang dilepaskan dari busurnya seekor kuda dengan
penunggangnya yang mengenakan caping bambu hampir
menutupi seluruh wajahnya.

34
Kuda itu berlari seolah-olah tidak menjejak tanah. Bagaikan
seekor kuda terbang, dengan dahsyatnya kuda beserta
penunggangnya itu meluncur dan menerjang orang-orang yang
bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu dan batu-batu
padas yang menjorok di seberang tepian Kali Opak.
Dengan mengayun-ayunkan tongkat hitamnya orang yang
bercaping itu membongkar gerumbul-gerumbul perdu dan
bongkah-bongkah batu padas yang terdapat di seberang tepian
kali Opak sehingga debu dan tanah pun ikut berhamburan.
Beberapa orang yang tidak sempat menghindar telah terpelanting
terkena sambaran tongkat hitam itu. Tubuh-tubuh mereka
terlempar dan jatuh tersungkur tidak bergerak lagi, entah
pingsan atau mati.
Sementara Dugel dan Gurunya yang mempunyai kemampuan
lebih, hampir bersamaan telah meloncat ke arah yang berbeda.
Ketika kaki-kaki mereka telah menjejak tanah, bagaikan seekor
bilalang, mereka pun kemudian melenting dengan cepat dan
menyambar ke arah orang yang berkuda itu dengan serangan
yang dahsyat.
Mendapat serangan dari dua arah yang berbeda tidak
membuat penunggang kuda itu menjadi gugup. Dengan sekali
sentak kudanya meringkik keras dan mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi. Sambil menarik kendali kudanya ke arah
kiri, penunggang kuda itu pun kemudian menghentak kudanya
berbelok ke kiri untuk menerjang Dugel yang sedang meloncat
menerjang ke arahnya. Sementara serangan Guru Dugel dari arah
lain ternyata hanya lewat beberapa jengkal saja dari
punggungnya.
Dugel terkejut melihat lawannya ternyata mengarahkan
terjangan kaki depan kudanya tepat ke arah dada. Sambil
membungkuk dalam-dalam, akhirnya Dugel pun berguling ke
samping untuk menghindari terjangan kaki kuda lawannya.
Namun alangkah terkejutnya Dugel ketika dia mencoba
melenting berdiri, terasa sesuatu telah menyentuh pundaknya.
Segera saja pundak kiri Dugel terasa bagaikan lumpuh dan agak
sulit digerakkan.

35
Gila..! umpat Dugel sambil meraba pundak kirinya.
Walaupun tidak menitikkan darah, namun luka memar itu telah
mempengaruhi pergerakan tangan kiri Dugel.
Sementara penunggang kuda yang menyadari bahwa agaknya
Ki Rangga dan kawan kawannya masih berdiri termangu mangu
di tepian kali Opak sambil menyaksikan pertempuran yang
berlangsung begitu cepat, telah berteriak sambil berpaling ke
arah Ki Rangga, Jangan pedulikan kami, cepatlah berangkat!
Orang-orang ini sengaja dikirim untuk menghambat perjalanan
kalian.
Persetan..! bentak Guru Dugel sambil meloncat dengan kaki
kanan terjulur lurus mengarah lambung lawannya, sementara
Dugel yang telah menyadari bahwa tongkat lawannya telah
melukai pundak kirinya pada saat dia berguling telah menggeram
keras dan mengambil ancang-ancang.
Guru..! teriaknya sambil memusatkan nalar budinya,
Pengacau ini harus segera dimusnahkan kalau tidak tugas kita
akan berantakan.
Selesai berkata demikian, Dugel segera menggosok-gosokkan
kedua belah telapak tangannya. Sejenak kemudian dari kedua
belah telapak tangan Dugel pun telah memancar gumpalan-
gumpalan api yang membara dan langsung menerjang lawannya
yang masih tetap bertahan di atas punggung kuda.
Agaknya Gurunya pun telah mengambil keputusan yang sama,
ketika serangannya hanya mengenai tempat yang kosong karena
lawannya justru sekali lagi telah memutar kudanya, dari kedua
belah telapak tangannya juga telah meluncur gumpalan-
gumpalan api yang sangat panas dan siap untuk melumatkan
lawannya menjadi debu.
Pergilah! penunggang kuda itu masih sempat
memperingatkan Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan kawannya
sebelum meloncat turun dari kudanya untuk menghindari
terjangan gumpalan-gumpalan api yang membara.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah peristiwa yang dapat
menggetarkan setiap jantung dari mereka yang ada di tepian kali
Opak. Kuda orang yang bercaping itu hanya sempat meringkik

36
pendek sebelum kemudian tubuhnya terjengkang roboh dalam
keadaan hangus terbakar.
Ketika dengan bangganya guru dan murid itu masih
menikmati kemenangan kecilnya, tiba-tiba orang bercaping itu
telah memutar tongkatnya dengan cepat. Angin pun segera
berputar dengan dahsyatnya bagaikan angin puting beliung
melibas ke arah Dugel dan Gurunya.
Sementara itu Ki Rangga segera dapat menilai. Agaknya orang
bercaping itu berniat baik kepada mereka berempat. Dia
mencoba menahan orang-orang yang mencoba untuk
mencegatnya di Kali Opak. Menyadari hal demikian, Ki Rangga
Agung Sedayu segera memberikan isyarat kepada Pandan Wangi
dan kedua Putut itu untuk segera menyingkir.
Dengan sigap keempat orang itu segera meraih kendali kuda
masing-masing. Sejenak kemudian keempat orang itu telah
berderap menyeberangi kali Opak yang dangkal di penghujung
musim kemarau.
Melihat buruannya akan terlepas dari tangannya, Dugel segera
berteriak kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih
tersisa dan justru telah menyingkir agak menjauhi medan
pertempuran.
He..! Kalian murid-murid dungu! Cepat kejar mereka. Aku
dan Guru akan segera menyelesaikan orang gila yang
mencampuri urusan kita ini! teriak Dugel sambil
menghentakkan Aji Gumbala Geni untuk ke sekian kalinya
menyambar ke arah dada lawannya.
Tentu saja lawannya tidak akan membiarkan dadanya hangus
terbakar. Sambil memutar tongkatnya melindungi dada, orang
bercaping itu dengan gerakan yang tidak kasat mata, tangan
kirinya telah menaburkan tiga buah pisau belati sekaligus yang
menyambar ke arah leher, dada dan perut Dugel.
Gurunya yang melihat Dugel mendapat serangan tiga arah
sekaligus segera menolong Dugel dengan melancarkan Aji
Gumbala Geninya menyambar pisau-pisau belati yang mengarah
ke bagian tubuh Dugel yang berbahaya. Segera saja ketiga buah
pisau belati itu pun runtuh berjatuhan ke atas tanah tersambar
oleh Aji Gumbala Geni.

37
Orang bercaping yang menyadari bahwa pisau-pisau belatinya
tidak banyak berpengaruh terhadap lawannya, segera memutar
tongkatnya kembali. Sejenak kemudian angin yang menderu
kembali meluncur menerjang Dugel.
Dugel terkejut mendapat serangan dahsyat dari angin puting
beliung yang melibatnya dengan cepat. Sedikit saja dia terlambat,
serangan lawannya itu dapat merontokkan isi dadanya. Oleh
karena itu, dengan mengandalkan kecepatannya dalam bergerak
dan kelincahannya, dia berloncatan dengan cepat ke segala arah
untuk mengelabuhi serangan lawannya. Tidak jarang dia bahkan
harus bergulingan di atas tanah ketika pusaran angin itu
menyambar bagian atas tubuhnya. Ketika kemudian dia
mempunyai kesempatan walaupun hanya sekejab, dari kedua
belah telapak tangannya yang terbuka, kembali meluncur
gumpalan-gumpalan api yang siap menghanguskan tubuh
lawannya.
Sementara Guru Dugel telah berbuat serupa dengan
muridnya. Untuk mengalihkan perhatian orang bercaping itu, dia
justru telah meloncat berputar-putar mengitari arena
pertempuran. Sesekali serangannya menerjang ke arah lawannya
dari sudut yang kadang tak terduga.
Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang sudah
bergerak agak jauh meninggalkan tepian Kali Opak menjadi
bimbang. Dilihatnya beberapa orang tengah berlari-lari
mengejarnya dengan senjata teracu, sementara orang bercaping
yang menolong mereka telah terdesak menghadapi serangan
kedua Guru dan Murid itu.
Ketika Ki Rangga telah memutuskan kembali ke tepian kali
Opak untuk membantu orang bercaping itu, tiba-tiba dari arah
tikungan seberang Kali Opak terdengar derap seekor kuda yang
melaju kencang. Sejenak kemudian muncul seorang penunggang
kuda yang bercaping lebar hampir menutupi seluruh wajahnya.
Semua orang yang ada di tepian itu terkejut bukan buatan.
Bahkan saudara-saudara seperguruan Dugel yang sedang
mengejar Ki Rangga dan kawan-kawannya pun sejenak telah
menghentikan langkah mereka. Penunggang kuda itu benar-
benar mirip dengan orang yang sedang bertempur dengan Dugel

38
dan Gurunya, baik dalam cara berpakaian maupun bentuk
tubuhnya yang tinggi besar.
Ternyata penunggang kuda yang terakhir ini telah
menunjukkan ketangkasannya dalam menunggang kuda. Ketika
kudanya hampir mencapai tepian kali Opak yang berbatu batu,
dengan tangkasnya dia melenting dari atas kudanya dan dengan
lincahnya dia kemudian berloncatan di atas batu-batu yang
berserakan di sepanjang kali Opak menuju ke tempat terjadinya
pertempuran.
Dugel dan Gurunya mengumpat keras-keras begitu orang
bercaping yang kedua itu kini telah berdiri beberapa langkah saja
di dekat orang bercaping yang pertama.
Gila..! teriak Dugel, Permainan yang sangat memuakkan.
Marilah, berapapun kawan kalian yang akan berdatangan. Kami
sanggup melumat kalian menjadi debu.
Orang bercaping yang baru datang itu ternyata tidak
menanggapi kata-kata Dugel. Bahkan dia berpaling dan berteriak
ditujukan kepada Ki Rangga, Menjelang dini hari nanti api akan
dinyalakan. Berangkatlah, jangan hiraukan kami agar kalian tidak
sampai terlambat.
Ki Rangga Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata orang
bercaping yang datang kemudian itu. Kata-kata orang bercaping
yang datang kemudian itu adalah bahasa sandi yang sering
digunakan dalam lingkungan keprajuritan khususnya di
lingkungan prajurit sandi yudha. Dan kini orang bercaping itu
telah memberitahukan kepadanya bahwa dini hari nanti
Panembahan Cahya Warastra dan perguruan-perguruan yang
telah dihimpunnya akan menggempur ibu kota Mataram.
Sadar akan waktu yang semakin sempit untuk
mempersiapkan pasukan segelar sepapan jika memang benar
Panembahan Cahya Warastra akan menggempur ibu kota
Mataram dini hari nanti, Ki Rangga segera memberi isyarat
kepada kawan-kawan seperjalanannya untuk segera
meninggalkan tempat itu dengan pertimbangan kedua orang
bercaping itu tentu akan mampu mengimbangi kekuatan dua
orang lawannya yang mempunyai kemampuan bermain-main
dengan gumpalan-gumpalan api.

39
Pandan Wangi dan kedua Putut itu segera tanggap.
Digebraknya kuda-kuda mereka berpacu mengikuti Ki Rangga
yang sudah memacu kudanya terlebih dahulu beberapa langkah
di depan mereka, sedangkan orang-orang yang berusaha
memburu mereka ternyata telah jauh tertinggal di belakang.
Penunggang kuda yang aneh itu ternyata ada dua orang,
desis Ki Rangga dalam hati sambil memacu kudanya semakin
cepat memasuki wilayah Padukuhan yang kecil namun sangat
asri, Padukuhan Cupu Watu.
Sambil menjaga agar jarak antara dirinya dan kawan-kawan
seperjalanannya tidak terlampau jauh, Ki Rangga kembali
berangan-angan, Ternyata selama ini aku telah dikelabuhi
mereka. Aku berpikiran kalau mereka itu hanya satu orang saja
sehingga dengan mudah mereka ganti berganti menghilangkan
jejak kemudian dengan tidak terduga duga muncul lagi di tempat
yang terbuka sehingga membuat pengenalanku atas keberadaan
mereka menjadi kabur.
Tanpa disadarinya Ki Rangga mengangguk anggukkan
kepalanya. Kemudian lanjutnya dalam hati, Sebenarnya aku
dapat lebih mempertajam aji sapta panggraitaku untuk melacak
keberadaan salah satu dari mereka ketika berada di tepian kali
Opak itu, namun ketika aku akan lebih mempertajam
panggraitaku, penunggang kuda yang satunya justru telah
muncul di tempat lain sehingga perhatianku telah terpecah
kepadanya. Suatu permainan yang menarik yang hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang yang telah mumpuni secara lahir
maupun batin.
Kini Ki Rangga yakin, dengan berdua mereka akan mampu
menahan gempuran Dugel dan Gurunya. Sementara murid-
murid yang lain tidak akan banyak membantu. Mereka justru
hanya akan mengganggu Dugel dan Gurunya saja jika ikut turun
ke medan pertempuran di antara orang-orang yang berilmu
tinggi.
Demikianlah akhirnya, ketika Matahari mulai tergelincir dari
puncaknya, mereka berempat telah mendekati hutan tambak
baya yang semakin ramai. Dari jauh sudah tampak lorong yang
memang sengaja dibuat untuk menghubungkan hutan yang
masih cukup lebat itu dengan daerah-daerah di sekitarnya.

40
Sebuah kedai tampak ramai dikunjungi pembeli di dekat lorong
masuk ke hutan itu. Sementara agak jauh beberapa langkah di
samping kanan kedai, tampak tiga ekor kuda yang berwarna
cokelat gelap ditambatkan di antara tanaman-tanaman perdu
yang tumbuh liar di sekitar kedai.
Keasyikan orang-orang yang sedang berbelanja dikedai itu
terganggu sejenak ketika mereka lamat-lamat mendengar derap
kaki-kaki kuda yang dipacu dengan kencang. Beberapa orang
bahkan telah berdiri dari duduknya dan memandang ke arah
jalan yang menghubungkan hutan tambak baya itu dengan
daerah timur dan selatan. Bersamaan dengan munculnya debu
yang mengepul, di ujung jalan itu tampak empat ekor kuda
sedang dipacu dengan kecepatan yang tinggi.
Beberapa orang yang ada di kedai itu ternyata telah menaruh
perhatian terhadap kedatangan empat ekor kuda yang melaju
dengan kencang. Salah seorang yang berbadan kurus tapi
berkumis tebal telah menyempatkan diri untuk turun dari kedai
dan melangkah ke pinggir jalan.
Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang berpacu dengan waktu
itu pun menyadari bahwa tidak selayaknya mereka berpacu
dengan kecepatan tinggi ketika memasuki tempat keramaian, di
mana sedang banyak orang yang berbelanja di kedai yang
terdapat di mulut lorong. Untuk itulah Ki Rangga segera memberi
isyarat agar mereka memperlambat laju kuda-kuda mereka.
Sejenak kemudian Ki Rangga dan tiga orang kawannya telah
berderap dengan kecepatan sedang lewat di muka kedai tanpa
berhenti dan langsung memasuki lorong hutan Tambak Baya.
Orang yang kurus dan berkumis tebal itu terkejut bukan
buatan bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang
dewasa begitu mengenali orang yang berkuda di paling depan.
Ki Rangga Agung Sedayu, desisnya dengan bibir bergetar,
Gila..! Ternyata Perguruan Gumbala Geni tidak mampu
menahannya di pinggir Kali Opak.
Menyadari hal itu, dengan tergesa-gesa orang yang kurus dan
berkumis tebal itu segera kembali ke kedai. Dua orang kawannya
dengan tergesa-gesa segera menyongsongnya.

41
Bagaimana Ki Dukut? bertanya salah seorang dari kedua
orang itu.
Burung Garuda itu terlalu perkasa bagi perguruan Gumbala
Geni, kita harus mengirim isyarat kepada Ki Ajar Andong
Puring, jawab orang yang di panggil Ki Dukut itu.
Selesai berkata demikian, Ki Dukut beserta kedua kawannya
dengan setengah berlari segera mendekati kuda-kuda yang
ditambatkan di sebelah kanan kedai. Ternyata mereka telah
menyimpan busur beserta anak panahnya di kantung pelana kuda
mereka. Sejenak kemudian terdengar suara raungan merobek
udara siang yang terik tiga kali susul menyusul. Ternyata mereka
telah mengirimkan isyarat melalui panah sendaren.
Ki Rangga Agung Sedayu yang mulai merambah hutan
Tambak Baya itu sejenak tertegun mendengar suara raungan
panah sendaren tiga kali berturut turut. Sambil tetap
mempertahankan derap kaki kudanya, dia berpaling ke arah
kawan-kawan seperjalanannya, Hati hatilah. Mungkin suara
panah sendaren itu ada hubungannya dengan kita. Tidak ada
salahnya kalau kita berhati hati.
Pandan Wangi yang berada beberapa langkah di belakangnya
hanya mengangguk. Kemudian dihela kudanya maju beberapa
langkah untuk menjajari Ki Rangga Agung Sedayu. Sambil
berkuda di sebelah Ki Rangga, kedua tangannya setiap saat telah
siap untuk mencabut sepasang pedangnya.
Dalam pada itu di tengah hutan Tambak Baya, Ki Ajar Andong
Puring dan murid-muridnya telah mendengar isyarat panah
sendaren dari Ki Dukut dan kawan kawannya. Sejenak Ajar yang
memimpin Padepokan Andong Puring di lereng gunung Gede itu
tertegun. Sambil menarik nafas dalam-dalam dia berpaling ke
arah murid muridnya yang berjumlah tujuh orang, katanya
kemudian, Ki Rangga Agung Sedayu adalah orang yang
mumpuni. Perguruan Gumbala Geni itu tidak mampu
memahatnya. Namun di sini kita tidak sendirian, ada Kiai Naga
Geni yang menemani kita bermain main dengan murid utama
orang bercambuk itu.
Kiai Naga Geni yang disebut-sebut namanya oleh Ki Ajar
Andong Puring hanya tertawa masam. Tanpa mengubah letak

42
duduknya, bersila di atas rerumputan kering di bawah sebatang
pohon besar sambil memejamkan matanya, dia menyahut,
Mengapa kita begitu ketakutan dengan orang yang disebut
murid orang bercambuk? Apakah cambuknya itu terbuat dari
baja pilihan, sedangkan sebilah pedang yang terbuat dari baja
pun akan leleh tersambar oleh aji Naga Geni.
Ki Ajar dan murid-muridnya hanya saling berpandangan. Dari
uraian kata katanya saja sudah tampak betapa sombongnya orang
yang menyebut dirinya Kiai Naga Geni itu. Memang Kiai Naga
Geni itu masih keturunan ketiga Kiai Nagapasa dari Blambangan
yang namanya pernah menggetarkan Demak lama. Namun
ternyata kehebatan nama Kiai Nagapasa dengan aji kebanggaan-
nya yang juga diberi nama Aji Nagapasa pada waktu itu harus
lenyap tersapu Aji Sasra Birawa yang dimiliki oleh murid
perguruan Pengging yang gemilang, Ki Kebo Kanigara.
Kehadiran Kiai Naga Geni jauh-jauh dari Blambangan
sebenarnya selain menghadiri undangan Panembahan Cahya
Warastra, dia juga membawa dendam lama dari pendahulunya,
Kiai Nagapasa untuk mencari keturunan perguruan Pengging dan
sekaligus membalaskan dendam perguruan yang sudah puluhan
tahun terpendam.
Ketika kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda yang
gaungnya terdengar melingkar lingkar di hutan yang masih cukup
lebat itu, Ki Ajar Andong Puring pun telah memberikan isyarat
kepada murid-muridnya. Dengan sigap ketujuh murid perguruan
Andong Puring itu pun kemudian segera berloncatan ke tengah
jalan setapak yang membentuk lorong yang panjang yang
menghubungkan alas Tambak Baya dengan alas Mentaok.
Sementara Kiai Naga Geni tampak masih duduk bersila
dengan tenang di bawah pohon sambil memejamkan matanya.
Walaupun dia mencoba menenangkan hatinya, namun debar
jantungnya seakan akan memukul-mukul rongga dadanya.
Betapapun juga, dia telah mendengar nasehat dari gurunya
sebelum menghembuskan nafas terakhirnya karena usia tua,
untuk sedapat mungkin menghindari silang seketa dengan
perguruan orang bercambuk. Masih menurut penuturan
Gurunya, orang bercambuk guru Ki Rangga Agung Sedayu itu di

43
masa mudanya bersahabat dekat dengan murid perguruan
Pengging, Ki Kebo Kanigara.
Kiai Naga Geni menyadari bahwa pesan gurunya yang telah
tiada itu cukup beralasan. Perguruan orang bercambuk atau yang
dikenal dengan nama perguruan Windujati di masa kejayaan
Majapahit adalah perguruan besar yang sangat disegani pada
waktu itu. Namun kini dengan perkembangan jaman dan
munculnya perguruan-perguruan baru, nama perguruan
Windujati seakan telah tenggelam.
Aku tidak perduli..! geram Kiai Naga Geni dalam hati,
Sebelum menemukan anak turun perguruan Pengging, murid
orang bercambuk ini pun sudah merupakan hiburan untuk
menuntaskan dendam, justru karena guru-guru mereka telah
bersahabat di masa muda.
Lamunan Kiai Naga Geni terputus ketika terdengar bentakan
menggelegar dari Ki Ajar Andong Puring untuk menghentikan Ki
Rangga Agung Sedayu dan rombongannya yang telah tiba di
tempat itu.
Ki Rangga terkejut. Bentakan orang yang berdiri beberapa
langkah menghadang jalannya ini mirip dengan aji Gelap
Ngampar atau Senggara Macan. Namun menilik ujud lahiriahnya
yang mirip dengan auman seekor harimau loreng, aji ini lebih
mendekati aji Senggara Macan yang bersifat melemahkan nyali
lawannya. Berbeda dengan aji Gelap Ngampar yang getarannya
dapat merontokkan isi dada orang yang mendengarkannya.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu tanpa turun dari kudanya
telah berpaling ke belakang. Dilihatnya kedua Putut yang masih
muda itu mengerutkan keningnya dalam-dalam dengan wajah
yang tegang.
Mereka perlu pengalaman semacam ini, berkata Ki Rangga
dalam hati, Jika mereka hanya terkungkung saja di dalam
dinding Padepokan, mereka akan menganggap ilmu yang telah
mereka serap tidak ada duanya di dunia ini. Padahal dunia ini
sangat luas dan berisi beraneka ilmu yang kadang sangat sulit
untuk dinalar.
Ki Sanak, tiba-tiba Ki Ajar Andong Puring berteriak lagi
namun teriakan yang sewajarnya sehingga membuyarkan

44
lamunan Ki Rangga, Aku minta kalian semua turun dari kuda-
kuda kalian. Serahkan semua barang berharga dan juga kuda-
kuda kalian. Kami jamin kalian dapat lewat dengan selamat.
Ki Rangga sejenak merenung. Ketika kemudian dia berpaling
ke arah Pandan Wangi, dilihatnya Putri satu-satunya Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu mengangguk sekilas.
Akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Rangga pun
meloncat turun dari kudanya diikuti oleh Pandan Wangi,
sedangkan kedua Putut itu masih ragu-ragu sejenak. Namun
ketika Ki Rangga mengangguk ke arah mereka berdua, mereka
pun segera mengikuti Ki Rangga dan Pandan Wangi meloncat
turun dari kuda mereka.
Silahkan, Ki Sanak, berkata Ki Rangga selanjutnya,
Sebenarnyalah kami membutuhkan kuda-kuda ini, namun jika
Ki Sanak lebih membutuhkan, kami akan menempuh sisa
perjalanan kami ini dengan berjalan kaki.
Ki Ajar Andong Puring dan murid muridnya justru telah
membeku mendengar jawaban Ki Rangga. Mereka berharap Ki
Rangga dan kawan kawannya akan mempertahankan diri
sehingga mereka mempunyai alasan untuk segera terlibat dalam
sebuah pertempuran.
Sebelum Ki Ajar memutuskan untuk mengambil suatu sikap,
tiba-tiba terdengar tertawa yang berkepanjangan. Kiai Naga Geni
yang tadinya duduk bersila dengan tenang di bawah sebatang
pohon, kini telah berdiri dan tertawa berkepanjangan sambil
berjalan menghampiri mereka yang sedang dicekam ketegangan.
Persetan dengan segala omong kosong ini, geram Kiai Naga
Geni sesampainya di sebelah Ki Ajar berdiri. Kemudian katanya
kepada Ki Ajar, Ki Ajar, kita tidak usah berbelit-belit untuk
mencari perkara dengan mereka. Katakan saja bahwa kita
memerlukan nyawa mereka untuk tumbal dari sebuah
perjuangan.
Nah, itu lebih baik Ki Sanak, sahut Ki Rangga Agung Sedayu
cepat sambil mengangguk hormat ke arah Kiai Naga Geni, Kalau
mungkin Ki Sanak tidak berkeberatan, ijinkanlah kami
mengetahui nama atau gelar Ki Sanak.

45
Kiai Naga Geni justru tertegun melihat sikap Ki Rangga yang
begitu tenang padahal maut sewaktu waktu dapat merenggut
nyawanya.
Kau sombong sekali, Ki Rangga Agung Sedayu, Pemimpin
pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh, Kiai Naga Geni
berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, Jangan pernah
mengharap di sini engkau akan dilindungi oleh pasukan
khususmu yang segelar sepapan itu. Engkau berhadapan dengan
Kiai Naga Geni dari perguruan Nagapasa Nusakambangan. Nah,
apa katamu sekarang.
Ki Rangga Agung Sedayu tertegun. Nama perguruan Nagapasa
dari Nusakambangan pernah disebut oleh Gurunya. Salah satu
perguruan yang pernah berseteru dengan perguruan Pengging
pada jaman Kasultanan Demak lama. Namun Kiai Gringsing
tidak pernah menyebut hubungan khususnya dengan perguruan
yang pernah mengalami jaman keemasan pada saat Pangeran
Handayaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Ageng
Pengging Sepuh menjadi pemimpin pemerintahan di Kadipaten
Pengging.
Maafkan aku, Kiai Naga Geni, berkata Ki Rangga Agung
Sedayu setelah sejenak terdiam, Aku rasa kita tidak pernah
saling bersengketa. Perguruanku dan perguruan Nagapasa tidak
pernah saling mengenal. Jadi untuk apa sebenarnya kita harus
bertengkar di sini?
Tutup mulutmu, bentak Kiai Naga Geni, Aku datang jauh-
jauh dari Nusakambangan untuk menuntaskan dendam
pendahuluku. Ketahuilah, Kakek Guru kami, Kiai Nagapasa telah
dibunuh dengan curang oleh murid perguruan Pengging, Ki Kebo
Kanigara. Nah, sekarang ini siapapun yang mempunyai sangkut
paut dengan perguruan Pengging akan aku musnahkan.
Kembali Ki Rangga Agung Sedayu tertegun. Katanya
kemudian, Aku tidak mengerti Kiai, apakah hubungannya antara
perguruanku ini dengan masalah balas dendam yang engkau
sebut-sebut itu?
Jangan berpura-pura, kembali Kiai Naga Geni membentak,
Gurumu yang bergelar orang bercambuk itu adalah sahabat
karib Ki Kebo Kanigara pada saat jaman kejayaan Demak lama.

46
Tidak mustahil Gurumu pun ikut berperan dalam peristiwa
terbunuhnya Kiai Nagapasa.
Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar bingung dan tak habis
pikir. Kiai Gringsing tidak pernah bercerita tentang riwayat
hidupnya kepada para muridnya. Yang diketahui oleh Ki Rangga
adalah, bahwa perguruan orang bercambuk itu ternyata adalah
jalur lurus pewaris dari perguruan Windujati. Itu terbukti dari
Kitab warisan perguruan Windujati yang sekarang mereka miliki.
Nah, apakah engkau sekarang sudah menyadari? bertanya
Kiai Naga Geni begitu melihat Ki Rangga Agung Sedayu tidak
berkata sepatah kata pun dan hanya diam termangu-mangu.
Sementara Pandan Wangi yang ada disebelahnya hanya
mengatupkan giginya rapat-rapat. Kalau pertempuran sudah
tidak dapat dihindarkan lagi, sudah semestinya dia menghadapi
orang yang disebut dengan Ki Ajar itu, sedangkan Ki Rangga akan
menghadapi Kiai Naga Geni. Namun yang menjadi permasalahan
sekarang adalah kedua Putut kakak beradik itu, mereka berdua
harus melawan tujuh orang sekaligus. Keadaan yang benar-benar
tidak seimbang.
Ki Ajar Andong Puring yang sedari tadi diam saja tiba-tiba
telah memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk menyebar.
Tujuh orang murid perguruan Andong Puring itu pun kemudian
segera mencabut senjata masing-masing. Dengan gerakan yang
teratur dan rapi, ke tujuh murid Ki Ajar Andong Puring bergerak
mengepung Ki Rangga dan kawan-kawannya.
Diam-diam Ki Rangga mulai menghitung kekuatan. Dia hanya
berempat sedangkan di pihak lawan ada sembilan orang. Jika dia
bertempur hanya terpusat pada lawannya Kiai Naga Geni, yang
akan segera menjadi kurban adalah kedua Putut itu. Maka setelah
mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Ki Rangga pun
berkata, Kiai, aku tidak tahu menahu soal dendam itu. Tapi yang
sedang terjadi sekarang ini adalah kami telah dihadang untuk
bisa masuk ke Mataram. Apapun yang terjadi, kami akan
membela diri dan berusaha untuk melanjutkan perjalanan kami.
Selesai berkata demikian, Ki Rangga segera bergeser
mendekati Pandan Wangi, sedangkan kepada kedua Putut itu

47
diberinya isyarat untuk beradu punggung menghadapi lawan
yang mengepung dari arah belakang.
Pandan Wangi yang berdiri di sebelahnya mengerutkan
keningnya. Menurut perhitungannya, mereka akan sulit sekali
untuk bergerak saling melindungi, justru karena lawan-lawan
mereka dengan bebas akan berputar putar memilih orang yang
paling lemah diantara mereka.
Namun sudah tidak ada jalan lain lagi untuk menahan
gempuran lawan. Oleh karena itu, tiba-tiba saja Pandan Wangi
telah mengambil keputusan sendiri. Dengan tangkasnya Pandan
Wangi segera melepas tali kendali kudanya dan meloncat
kebelakang. Dengan serta merta dilecutnya kudanya kuat-kuat
sehingga kuda itu terkejut dan meringkik keras kemudian
meloncat berlari sekencang kencangnya ke arah Ki Ajar Andong
Puring yang berdiri beberapa langkah saja di depannya.
Ki Ajar terkejut mendapat terjangan kuda yang lari bagaikan
kesetanan itu. Namun dengan tangkasnya dia telah melenting
kesamping sehingga kuda yang berlari dengan binal itu lewat
hanya sejengkal dari tubuhnya.
Namun yang terjadi kemudian adalah diluar perkiraan Ki Ajar
itu sendiri. Kuda yang berlari dengan kencang itu memang
berhasil dihindari oleh Ki Ajar, akan tetapi bagi seorang
muridnya yang berdiri di samping kiri Gurunya ternyata telah
bernasib kurang baik. Kuda itu ternyata telah melanggar sebagian
tubuhnya sehingga tanpa ampun murid Ki Ajar yang malang itu
telah terputar dengan dahsyat kemudian terlempar beberapa
langkah ke belakang sebelum akhirnya terbanting ke tanah tidak
bergerak lagi.
Ki Rangga yang melihat peristiwa itu tersenyum ke arah
Pandan Wangi. Ternyata usaha Pandan Wangi untuk mengurangi
jumlah lawannya berhasil. Namun perbandingan itu masih
terlampau jauh.
Murid-murid Ki Ajar Andong Puring yang lainnya sejenak
bagaikan membeku melihat salah seorang kawannya terjatuh
dilanggar kuda Pandan Wangi yang berlari bagaikan kesetanan.
Ketika mereka bergerak ingin menolong kawannya yang malang
itu, Ki Ajar ternyata justru telah membentak mereka, Biarkan

48
saja anak bodoh itu! Tetap pada kedudukan kalian. Jangan
sampai mereka lolos dari kepungan kalian.
Ki Rangga yang mendengar teriakan Ki Ajar itu segera
memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mendorong
kuda-kuda mereka agar bergerak menyingkir dari arena
pertempuran. Sementara Pandan Wangi yang telah kehilangan
kudanya kemudian telah mencabut sepasang pedangnya,
sedangkan kedua Putut yang tegang itu pun kemudian telah
mengurai senjatanya pula, selembar cambuk yang disembunyikan
di bawah baju mereka.
Kiai Naga Geni yang melihat kedua Putut itu mengurai
cambuknya telah tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian,
Ternyata kita benar-benar berhadapan dengan perguruan orang-
orang bercambuk. Namun aku masih meragukan, apakah mereka
benar-benar menguasai senjata mereka ataukah sekedar
gembala-gembala yang bodoh dan sombong yang tidak
menyadari dengan siapa mereka berhadapan.
Selesai berkata demikian, dengan langkah satu-satu Pemimpin
Perguruan dari Nusa Kambangan itu mendekati arena
pertempuran. Dengan tajamnya dia memandang ke arah Ki
Rangga Agung Sedayu yang masih belum mengurai cambuknya.
Manakah senjata ciri khas perguruanmu, Ki Rangga?
bertanya Kiai Naga Geni dengan nada mengejek, Ataukah
engkau lupa membawanya setelah selesai menggembalakan
kambing kambingmu?
Ki Rangga hanya menarik nafas dalam-dalam mendengar
ejekan lawannya. Jawabnya kemudian, Aku tidak terbiasa
menggunakan cambukku untuk melawan orang yang tidak
bersenjata. Kalau Kiai ingin menggunakan senjata, silahkan.
Nanti akan aku pertimbangkan untuk menggunakan cambukku
atau tidak setelah melihat ujud senjata Kiai.
Iblis.! Umpat Kiai Naga geni, Kesombongan perguruan
orang bercambuk benar-benar memuakkan. Senjataku adalah
kedua belah tanganku ini. Jika aku menghendaki, aku dapat
membakar hutan dan mengeringkan lautan dengan ilmuku.
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab bualan lawannya.
Sebenarnyalah dia ingin menggunakan cambuknya. Sesuai

49
dengan sifat dari senjata itu sendiri yang panjang dan lentur serta
dapat digerakkan untuk menjangkau ke segala arah. Dengan
demikian kemungkinan untuk menolong kedua Putut itu apabila
mereka dalam keadaan bahaya sangat terbuka lebar. Namun
ternyata lawannya justru tidak bersenjata, maka yang dapat
dilakukannya saat ini hanyalah mengetrapkan ilmu kebalnya
untuk melindungi dirinya dari kemungkinan pancaran ilmu
lawannya. Namun Ki Rangga tidak tergesa-gesa mengetrapkan
ilmu kebalnya tersebut sampai ke puncak karena dia belum dapat
mengukur sampai dimana tingkat ketinggian ilmu lawannya.
Sementara Pandan Wangi yang sudah menggenggam sepasang
pedangnya mulai menggeser kaki kanannya selangkah ke
samping. Disilangkannya kedua pedang tipisnya itu di depan
dada. Setelah kaki kirinya ditekuk sedikit kedepan, pedang yang
ada ditangan kanannya pun kemudian bergerak lurus kedepan,
siap untuk mematuk dada lawannya.
Ki Ajar Andong Puring yang berdiri beberapa langkah saja dari
tempat Pandan Wangi berdiri seolah olah terkesima dengan
gerakan pembukaan yang diperagakan oleh satu satunya putri
Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Pandan Wangi benar-benar
terlihat masih mempesona di usianya yang mendekati setengah
abad. Wajahnya yang putih bersih itu terlihat berbinar cerah
dengan sepasang mata yang tajam. Tubuhnya yang langsing
terlihat masih penuh padat berisi sehingga membuat Ki Ajar
Andong Puring beberapa kali harus menelan ludah untuk
membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat
kering, sekering sawah dan pategalan di musim kemarau.
Nah, apakah engkau sudah siap, Ki Ajar? pertanyaan Pandan
Wangi telah membuyarkan lamunan Ki Ajar.
Sejenak pandangan mata Ki Ajar menyambar wajah Pandan
Wangi namun kemudian segera dipalingkannya pandangan
matanya ke arah murid-muridnya yang sudah siap melakukan
serangan pertama.
Marilah, agaknya kita memang sudah ditakdirkan untuk
saling melukai di tempat ini, berkata Ki Ajar tanpa berani
menentang mata Pandan Wangi, Apapun akibatnya harus kita
terima demi terwujudnya sebuah cita-cita mulia.

50
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya kemudian
tanpa meninggalkan kewaspadaan sedikit pun, Apakah cita-
citamu itu Ki Ajar?
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab
pertanyaan Pandan Wangi, Bukan aku pribadi yang mempunyai
cita-cita itu, namun kami semua yang tergabung dalam barisan
yang menginginkan perubahan, perubahan pemerintahan yang
semakin baik dan yang lebih penting lagi adalah adanya
perubahan taraf hidup kawula Mataram yang semakin makmur.
Apakah menurut penilaian Ki Ajar, pemerintahan
Panembahan Hanyakrawati sekarang ini kurang baik?
Ki Ajar tertawa pendek. Jawabnya kemudian, Setiap kawula
Mataram yang peduli dengan lingkungannya akan menjawab ya,
bukankah bukti-bukti telah ada di sekitar kita? Kehidupan yang
semakin sulit, gagal panen di mana-mana, penyakit yang
merajalela di kalangan kawula alit sementara para bangsawan
dan kalangan istana hanya hidup berfoya-foya dan saling
memperebutkan kedudukan dan kemewahan, Ki Ajar berhenti
sejenak, kemudian lanjutnya, Bukankah penyebab terjadinya
ketegangan antara Mataram dan Panaraga karena adanya
keinginan untuk memiliki kedudukan yang bukan haknya? Dan
itu hanya terjadi pada segelintir kalangan istana, sementara
perang yang terjadi nanti akan sangat merugikan kawula alit,
para prajurit rendahan yang akan menjadi kurban, banyak
perempuan yang akan menjadi janda, anak-anak akan terlantar
karena kehilangan Ayahnya. Lalu siapakah yang akan
menanggung semua itu? Semua akan kembali menjadi
tanggungan para kawula alit yang telah lama hidup menderita.
Pandan Wangi termangu-mangu mendengarkan penjelasan Ki
Ajar Andong Puring. Sejenak ingatannya kembali ke puluhan
tahun silam ketika terjadi pertikaian antara keluarga sendiri di
Tanah Perdikan Menoreh. Betapa luka akibat pertikaian itu
nyaris menghancurkan sendi-sendi kehidupan di Tanah
kelahirannya itu. Kakak satu-satunya harus terbunuh di ujung
pedangnya sendiri, justru pada saat Pandan Wangi mulai
berangan angan untuk menyatukan keluarganya yang tercerai-
berai karena dendam dan perbedaan kepentingan.

51
Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari Pandan Wangi
sedang terhanyut oleh kenangan masa lalunya segera terbatuk-
batuk kecil. Katanya kemudian sambil mengerahkan getar tenaga
cadangannya dalam tekanan suaranya, Wangi, waktu kita sangat
sempit. Sebelum Matahari terbenam kita sudah harus sampai di
tujuan.
Pandan Wangi bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk
mendengar kata-kata Ki Rangga. Dengan mempererat
genggaman pada hulu pedangnya, dia pun akhirnya berkata,
Baiklah Ki Ajar, simpan dulu ceritamu itu untuk besuk kalau kita
masih sempat bertemu kembali. Benar-benar sebuah cerita yang
menarik. Sekarang marilah kita melihat kenyataan, kita telah
terlanjur berhadapan sebagai lawan.
Diam-diam Ki Ajar mengumpat dalam hati. Usahanya untuk
mempengaruhi Pandan Wangi ternyata dengan mudah telah
digagalkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu.
Ketika kemudian Ki Ajar sudah tidak melihat kemungkinan
lain selain menundukkan lawannya dengan kekerasan, segera Ki
Ajar mencabut senjatanya, sebuah keris luk sembilan yang
berwarna hitam kelam. Keris itu tampak mengerikan dengan
pamor yang ungu gelap. Seolah olah ada kekuatan dari kegelapan
yang menyelimuti keris itu.
Pandan Wangi sejenak tergetar hatinya melihat ujud keris itu.
Namun dengan menguatkan hati dan memohon pertolongan
kepada Yang Maha Hidup, Pandan Wangi telah memasrahkan
segala persoalan itu langsung kepada sumber hidupnya.
Demikianlah akhirnya, ketika Pandan Wangi sudah bersiap
menghadapi serangan pertama dari Ki Ajar Andong Puring,
ternyata justru Kiai Naga Geni yang memulai pertempuran
terlebih dahulu. Dengan teriakan yang menggelegar, tubuhnya
melesat bagaikan seekor naga yang terbang mematuk mangsanya.
Dengan jari-jari yang membentuk cakar naga, Kiai Naga Geni
menerjang Ki Rangga Agung Sedayu ke arah dada.
Ki Rangga Agung Sedayu yang melihat kecepatan lawannya
dalam bergerak diam-diam terkejut. Lawannya itu benar-benar
seperti seekor ular raksasa yang terbang menggeliat di udara.
Bahkan dengan cepat Kiai Naga Geni mampu mengubah

52
serangannya selagi dia masih melayang di udara, benar-benar
seperti tingkah seekor naga.
Namun yang menjadi lawannya kini adalah Ki Rangga Agung
Sedayu, murid utama perguruan orang bercambuk yang telah
tuntas menyadap ilmu dari gurunya, Kiai Gringsing. Selain itu
ilmu yang telah dipelajarinya dari kitab Ki Waskita serta ilmu
warisan leluhur dari jalur Ayahnya sendiri Ki Sadewa, juga telah
luluh dan menyatu dalam dirinya menjadi sebuah kekuatan yang
nggegirisi.
Gerak Ki Rangga sudah tidak terpaku pada satu jalur ilmu
tertentu. Seakan akan semua gerak yang dilakukannya adalah
pancaran dari ketiga jalur ilmu yang berbeda beda itu. Kadang
gerakannya aneh dan sulit di duga, kadang pelan tapi bertenaga
bagaikan tenaga seekor gajah. Namun suatu saat justru
kelincahan gerak dan tandangnya membuat lawan menjadi
kebingungan karena Ki Rangga seolah olah hanya tinggal
bayangannya saja.
Kiai Naga Geni yang merasa dirinya tanpa tanding di tlatah
Nusakambangan dan sekitar ujung kulon benar-benar merasa
terhina. Dengan cepat ditingkatkan ilmunya beberapa lapis untuk
mengejutkan lawannya. Namun alangkah kecewanya Kiai Naga
Geni itu ketika ternyata Ki Rangga dengan cepat masih dapat
menguasai diri dan bahkan telah membalas dengan serangan-
serangan yang membadai dan membuatnya berkali kali harus
meloncat mundur.
Sementara Pandan Wangi yang telah mewarisi ilmu yang utuh
dari jalur Menoreh dan telah dikembangkannya sendiri
berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Kiai Gringsing ketika orang
tua itu masih hidup dan sering mengunjungi Sangkal Putung,
telah membuat ilmu pedang rangkapnya semakin meningkat
pesat. Dengan kekuatan tenaga cadangannya dan pemusatan
nalar budinya, kalau dia menghendaki, serangan ujung
pedangnya dapat mendahului ujud wadag dari pedang itu sendiri
sejauh satu jengkal. Sehingga lawan tidak akan mengira ketika
ujung pedang itu masih kurang satu jengkal dari tubuhnya,
ternyata kulitnya telah tertembus dan robek mengalirkan darah.
Ki Ajar yang belum menyadari kekuatan yang tersimpan
dalam diri lawannya telah mencoba mendesak Pandan Wangi

53
dalam sebuah pertempuran jarak pendek. Selain memang
jangkauan senjatanya lebih pendek dari pedang Pandan Wangi,
Ki Ajar tidak ingin memberikan kesempatan pada lawannya
untuk mengembangkan permainan ilmu pedangnya. Dengan
serangan-serangan pendek dan cepat, keris luk sembilan di
tangan Ki Ajar berubah menjadi berpuluh-puluh dan mengurung
Pandan Wangi dari segala penjuru.
Pandan Wangi yang mendapat perlakuan seperti itu sejenak
memang mengalami kesulitan untuk mengembangkan permainan
pedang rangkapnya. Tidak mungkin baginya untuk meloncat
mundur dan mundur terus justru beberapa langkah di
belakangnya kedua Putut itu sedang berjuang menghadapi
gempuran enam orang murid perguruan Andong Puring. Maka
yang dapat dilakukannya kemudian adalah menghentakkan
segenap kekuatannya untuk menahan laju gempuran Ki Ajar
Andong Puring yang beruntun.
Ki Rangga Agung Sedayu segera melihat kesulitan yang
dialami oleh Pandan Wangi. Tidak ada jalan lain selain menolong
Pandan Wangi dengan memaksa lawannya mundur beberapa
langkah sehingga Pandan Wangi mendapat kesempatan untuk
mengambil jarak dan mengembangkan permainan ilmu
pedangnya.
Demikianlah ketika Ki Rangga mempunyai kesempatan
membalas serangan lawannya, dengan sebuah serangan yang
membadai Ki Rangga telah menggulung lawannya. Ketika Kiai
Naga Geni yang mendapat serangan membadai dan beruntun itu
telah meloncat kebelakang untuk mengambil jarak, kesempatan
itu tidak disia-siakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan
sebuah lompatan panjang dia telah meninggalkan lawannya dan
memotong arah serangan Ki Ajar Andong Puring yang meluncur
kearah Pandan Wangi.
Ki Ajar terkejut ketika menyadari Ki Rangga telah berusaha
memotong arah serangannya. Dengan cepat diubahnya arah
serangan senjatanya yang semula ditujukan ke arah Pandan
Wangi, kini justru mengarah ke lambung Ki Rangga.
Ki Rangga tidak terkejut melihat perubahan arah serangan itu.
Namun dia tidak akan membiarkan lambungnya tertembus oleh
senjata lawannya walaupun dia yakin hal itu tidak akan terjadi

54
karena tubuhnya sudah dilindungi dengan ilmu kebal. Dengan
sedikit menggeser tubuhnya, ujung keris itu hampir menyentuh
ujung bajunya. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak
kasat mata, Ki Rangga berusaha mencengkeram pergelangan
tangan lawannya yang menggenggam senjata andalannya itu.
Tentu saja Ki Ajar tidak ingin senjatanya terlepas dari
genggamannya. Dengan sebuah lompatan yang panjang, Ki Ajar
pun mundur beberapa langkah kebelakang menghindari
cengkeraman Ki Rangga Agung Sedayu.
Ketika kemudian Ki Ajar telah berdiri tegak di atas kedua
kakinya yang kokoh, ternyata Pandan Wangi telah mengambil
tempat beberapa langkah di depannya sambil menjulurkan
pedang tipisnya ke arah ulu hati. Kini Pandan wangi benar-benar
telah mengatur jarak dengan lawannya sehingga tidak akan
terdesak lagi dengan serangan jarak pendek lawannya.
Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berdiri
termangu mangu ternyata telah dilanda serangan dahsyat dari
Kiai Naga Geni. Dengan teriakan menggelegar, Kiai Naga Geni
dengan kemarahan yang memuncak menerjang Ki Rangga Agung
Sedayu dengan jari-jari yang membara, Ki Rangga pun segera
mengetrapkan ilmu kebalnya sampai ke puncak.
Segera saja hawa panas memancar dari tubuh Ki Rangga
Agung Sedayu. Kiai Naga Geni yang sudah terlanjur meluncur itu
terkejut ketika tiba-tiba saja serangkum hawa panas
menyergapnya. Akan tetapi apa boleh buat, dia tidak akan
menghentikan serangannya ke arah dada lawannya.
Ternyata Ki Rangga tidak membiarkan saja dadanya dalam
keadaan terbuka menerima serangan Kiai Naga Geni. Walaupun
tubuhnya sudah dilindungi dengan ilmu kebal, namun Ki Rangga
belum tahu sampai dimana kekuatan yang tersimpan dalam diri
Kiai Naga Geni itu. Dengan menyilangkan kedua tangannya di
depan dada, maka sejenak kemudian sebuah benturan dahsyat
dari kedua orang yang berilmu tinggi itu pun telah terjadi.
Hampir saja Kiai Naga Geni berteriak kegirangan ketika dia
melihat lawannya terdorong beberapa langkah surut. Namun
kemudian yang terjadi adalah sebuah pengeram-eram. Ki Rangga
yang mencoba menahan hantaman Kiai Naga Geni dengan

55
menyilangkan kedua tangannya di depan dada itu ternyata telah
terhuyung beberapa langkah surut kemudian jatuh pada kedua
lututnya. Ketika kemudian dengan sigap Ki Rangga meloncat
berdiri, orang-orang yang ada di seputar arena pertempuran itu
hampir tidak percaya dengan penglihatan mereka sendiri.
Ternyata yang bangkit berdiri tidak hanya seorang Ki Rangga
saja, tubuh Ki Rangga telah terpecah menjadi tiga orang.
Untuk sejenak pemimpin perguruan dari Nusakambangan itu
terkesiap. Aji kakang kawah adi ari-ari memang sudah jarang
ditemui pada jaman itu. Kalau ternyata Ki Rangga mampu
menguasainya dengan baik, dia benar-benar akan menjadi orang
yang sulit dicari bandingnya di seluruh tlatah Mataram.
Belum sempat pemimpin perguruan dari Nusakambangan itu
menentukan sikap dan menyadari apa yang seharusnya dilakukan
untuk menghadapi ilmu yang sudah hampir punah itu, ujud Ki
Rangga yang paling dekat dan ada di hadapannya tiba-tiba telah
melancarkan sebuah serangan balasan yang dahsyat. Dengan sisi
telapak tangan kanannya, ujud Ki Rangga yang ada di depannya
telah meloncat maju dan dengan deras menghantam dada
lawannya.
Segera terdengar sebuah keluhan tertahan. Tubuh Kiai Naga
Geni itu terhuyung-huyung kebelakang, namun ketahanan
tubuhnya memang luar biasa. Dengan cepat dia meloncat
beberapa langkah kebelakang untuk menghindari kemungkinan
dari serangan susulan lawannya.
Namun ternyata Ki Rangga tidak memburunya. Justru kedua
ujud Ki Rangga yang lain telah meloncat ke belakang dan
membantu kedua Putut itu untuk menghadapi serangan lawan
lawannya yang semakin menekan. Keenam murid perguruan
Andong Puring itu menyerang secara bergelombang susul
menyusul ke arah kedua lawannya. Untunglah kedua Putut yang
berasal dari Kademangan Jati Anom itu sudah dibekali ilmu
cambuk yang cukup mapan, sehingga mereka tidak gugup dalam
menghadapi serangan-serangan yang beruntun. Secara
bergantian ujung-ujung cambuk itu menggelepar dengan
memperdengarkan suara yang memekakkan telinga. Ternyata
keduanya memang sudah terbiasa bertempur berpasangan
sehingga secara bergantian dan saling mengisi, ujung-ujung

56
cambuk yang berkarah itu menghalau setiap serangan yang
dilancarkan oleh murid-murid Andong Puring.
Ketika kedua ujud Ki Rangga Agung Sedayu itu telah meloncat
dan berdiri tegak diantara kedua Putut dan lawan lawannya, yang
terjadi kemudian adalah sebuah pertunjukan yang aneh. Ke-
enam murid Ki Ajar itu justru telah berdiri membeku bagaikan
tersihir melihat Ki Rangga yang telah berubah ujud menjadi tiga
orang. Demikian juga kedua Putut itu, mereka belum pernah
melihat ilmu yang sedahsyat dan seaneh itu sehingga untuk
sejenak pertempuran pun seolah telah terhenti.
Pandan Wangi yang sudah pernah melihat ilmu kakang kawah
adi ari-ari yang dimiliki oleh Ki Rangga masih juga tergetar
hatinya. Dalam panggraitanya, dia masih belum mampu
membedakan manakah ujud yang asli dan manakah ujud yang
palsu.
Sementara Ki Ajar yang melihat Ki Rangga telah berubah ujud
rangkap tiga, diam-diam telah memusatkan nalar budinya untuk
menemukan ujud asli Ki Rangga yang sebenarnya. Dia akan
membuat kejutan dengan menyerang ujud asli Ki Rangga secara
tiba-tiba sehingga dapat melumpuhkan perlawanan murid utama
perguruan orang bercambuk itu. Namun alangkah terkejutnya Ki
Ajar, walaupun dia telah mengerahkan segenap kemampuannya,
panggraitanya tidak mampu mengurai ujud-ujud Ki Rangga
sehingga yang tampak adalah Ki Rangga benar-benar telah
berubah menjadi tiga orang.
Demikianlah sebenarnya yang telah terjadi. Dalam perjalanan
mematangkan salah satu ilmu yang telah dipelajari dari isi kitab
Ki Waskita, Ki Rangga Agung Sedayu telah menyempurnakannya
dengan berbagai laku terutama pengenalan atas ilmu itu sendiri
lebih menukik ke kedalaman sehingga kedua ujud Ki Rangga itu
kini bukan lagi sekedar ujud-ujud semu yang hanya dapat
membingungkan lawan yang masih belum mapan kemampuan
olah kanuragannya, namun dalam perkembangannya, ujud
kakang kawah dan adi-ari-ari atau kadang disebut kakang
pembarep adi wuragil itu merupakan pancaran ilmu dari dalam
diri Ki Rangga Agung Sedayu sendiri. Sehingga setiap sentuhan
dari salah satu ujud Ki Rangga, akan mempunyai akibat yang

57
sama secara kewadagan karena merupakan kepanjangan dari
ilmu Ki Rangga Agung Sedayu yang sebenarnya.
Itulah sebenarnya kelebihan dari Ilmu Kakang Pembarep Adi
Wuragil dibandingkan dengan ilmu bayangan semu yang telah
dikuasai oleh Ki Waskita. Sentuhan Ilmu Bayangan Semu tidak
akan berpengaruh secara wadag, namun justru kekerdilan jiwa
seseorang yang akan terpengaruh oleh ilmu itu. Namun kelebihan
dari Ilmu Bayangan Semu itu adalah orang yang menguasai ilmu
ini dapat mengambil bentuk-bentuk yang sesuai dengan keadaan
dan keperluan pada saat itu, sedangkan Ilmu Kakang Pembarep
Adi Wuragil hanya mengambil bentuk yang sama dengan dirinya,
namun dalam perkembangannya jika seseorang dapat
menguasainya sampai tingkat yang sempurna, akan menjadi ilmu
yang sangat nggegirisi karena kemampuan orang yang memiliki
ilmu ini akan menjadi berlipat lipat.
Kiai Naga Geni yang telah mampu menguasai dirinya segera
memusatkan nalar budinya. Dengan kemampuan panggraitanya,
dia berusaha mengetahui ujud asli Ki Rangga, dan inilah
kesalahannya. Kiai Naga Geni terlalu tergesa-gesa untuk menarik
sebuah kesimpulan. Dia yakin ujud asli Ki Rangga Agung Sedayu
adalah yang baru saja menyerangnya dan sekarang berdiri
beberapa langkah di depannya. Dengan teriakan mirip seekor
naga yang sedang marah, Kiai Naga Geni pun kemudian
meluncur menerjang ujud Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang
berdiri dihadapannya.
Tubuh Kiai Naga Geni menggeliat bagaikan seekor naga yang
sedang terbang di udara. Jari-jari kedua tangannya yang
membentuk cakar naga terlihat membara, sedangkan dari
mulutnya benar-benar menyemburkan api yang berkobar kobar
menerjang ke arah lawannya. Inilah aji kebanggaan perguruan
Nusakambangan, Aji Naga Geni.
Namun ternyata ujud Ki Rangga yang ada di depannya sama
sekali tidak ada usaha untuk menghindar dari terjangan
lawannya. Bahkan ujud Ki Rangga itu justru telah meloncat
menyambut serangan lawannya.
Kiai Naga Geni terkejut. Semburan api dari aji naga geni yang
mampu meluluh lantakkan senjata yang terbuat dari baja
sekalipun ternyata sama sekali tidak dirasakan oleh lawannya,

58
bahkan cengkeramannya yang mengenai pundak lawannya rasa
rasanya seperti mencengkeram angin saja. Dalam keadaan seperti
itulah sebuah hantaman dari ujud Ki Rangga itu telah
mengguncang dadanya.
Sebenarnyalah Kiai Naga Geni sudah yakin dengan ilmunya
dia akan dapat melumat Ki Rangga Agung Sedayu. Namun
kesalahan yang dilakukannya benar-benar berakibat sangat
parah. Ujud Ki Rangga yang ada di depannya itu adalah bentuk
semu namun yang telah dilambari dengan pancaran ilmu Ki
Rangga Agung Sedayu sehingga mempunyai kemampuan dan
daya serang yang sama dengan diri Ki Rangga sendiri namun
yang tidak dapat dilukai secara wadag, justru karena itu hanyalah
sebuah ujud semu.
Kesadaran Kiai Naga Geni akan kemampuan dan sifat-sifat
ilmu kakang pembarep adi wuragil ini sudah terlambat. Sudah
dicobanya untuk menahan gempuran ujud Ki Rangga pada
dadanya dengan menyilangkan tangan kirinya di depan dada,
sementara tangan kanannya yang sedang mencengkeram bahu
lawannya ternyata hanya mencengkeram bayangan kosong
belaka.
Sekali lagi tubuh Kiai Naga Geni terlempar kebelakang dengan
dahsyatnya sebelum akhirnya terbanting ke tanah dengan
memuntahkan darah segar. Sejenak Kiai Naga Geni masih
menggeliat sambil menggeram. Dengan bertelekan pada kedua
tangannya dia berusaha duduk untuk mengatasi pernafasannya
yang tersumbat karena dadanya rasa rasanya bagaikan tertimpa
sebuah gunung anakan.
Ki Ajar yang melihat keadaan Kiai Naga Geni segera berlari
mendekat. Dibantunya pemimpin perguruan Nusakambangan itu
untuk duduk bersila. Sejenak kemudian Kiai Naga Geni pun
tenggelam dalam usahanya mengatur pernafasannya dan
mengurangi rasa sakit yang mendera dadanya.
Pertempuran benar-benar telah berhenti. Ki Rangga Agung
Sedayu yang menyadari tidak ada gunanya lagi untuk tetap
mengetrapkan aji kakang pembarep adi wuragil segera
melepaskan ilmunya itu perlahan lahan. Sejenak kemudian ketiga
ujud Ki Rangga itu pun akhirnya saling mendekat dan bersatu
menjadi Ki Rangga Agung Sedayu yang asli.

59
Murid-murid Andong Puring dan kedua Putut yang masih
belum banyak berpengalaman dalam dunia olah kanuragan
terutama pengetahuan mereka terhadap berjenis jenis ilmu,
masih tetap berdiri termangu mangu di tempatnya. Berbagai
tanggapan muncul dari dalam benak mereka. Murid-murid
Andong Puring merasa putus asa untuk memenangkan
pertempuran itu dengan dikalahkannya Kiai Naga Geni oleh Ki
Rangga Agung Sedayu. Kini hanya tinggal Gurunya Ki Ajar
Andong Puring yang kemampuannya masih jauh di bawah Ki
Rangga. Sedangkan ke dua Putut itu justru telah berangan angan
suatu saat mereka akan mampu mencapai tataran seperti yang
telah ditunjukkan oleh kakak seperguruan mereka dari perguruan
orang bercambuk, Ki Rangga Agung Sedayu.
Sementara menunggu Kiai Naga Geni memulihkan
pernafasannya, Ki Ajar telah memberi isyarat kepada murid
muridnya untuk menolong salah satu kawannya yang tergeletak
pingsan diterjang kuda Pandan Wangi.
Dengan tergesa-gesa murid-murid Andong Puring itu segera
menyarungkan senjata masing-masing kemudian setengah
berlari mereka mendekati kawannya yang masih tergeletak
pingsan.
Ki Rangga Agung Sedayu agaknya tanggap dengan
perkembangan keadaan. Segera dia memberi isyarat kepada
kawan kawannya untuk meneruskan perjalanan.
Kuda Pandan Wangi sudah lari entah kemana. Akhirnya kedua
Putut itu yang harus mengalah dan menggunakan satu ekor kuda
untuk berdua, sedang kuda mereka yang satunya digunakan oleh
Pandan Wangi.
Demikianlah akhirnya mereka berempat segera berderap
kembali di lorong hutan Tambak Baya meninggalkan lawan
lawannya yang hanya dapat berdiri termangu mangu sambil
memandangi debu putih yang mengepul di belakang kaki-kaki
kuda yang berderap cepat.
Ketika mereka hampir mendekati ujung lorong hutan Tambak
Baya, tiba-tiba Pandan Wangi berseru keras, Kakang, lihat!
Itulah kudaku!

60
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menyahut,
Engkau benar Wangi, agaknya belum ada orang yang lewat,
sehingga kudamu masih aman merumput di pinggir lorong hutan
ini.
Sejenak kemudian Pandan Wangi telah menarik tali kekang
kuda yang ditungganginya ketika sudah tinggal beberapa langkah
saja jaraknya dari kudanya yang sedang asyik merumput.
Setelah meloncat turun dan menyerahkan kendali kuda
kepada Putut Darpa yang telah meloncat turun terlebih dahulu,
Pandan Wangi pun kemudian dengan perlahan mendekat agar
tidak mengejutkan kudanya yang sedang asyik merumput.
Kuda itu meringkik perlahan begitu Pandan Wangi membelai
surinya yang hitam dan lebat. Setelah menepuk nepuk leher
kudanya agar menjadi lebih tenang, Pandan Wangi pun
kemudian segera meloncat ke atas punggung kudanya dan siap
berderap kembali menuju ke Mataram.
Marilah, berkata Ki Rangga kemudian, Hari sudah
menjelang sore. Semoga sebelum gelap turun kita sudah dapat
menghadap Ki Patih Mandaraka.
Sejenak kemudian mereka berempat telah memacu kuda-kuda
itu keluar dari hutan Tambak Baya menuju ke alas Mentaok yang
telah ramai menjadi sebuah negeri yang bernama Mataram.
Dalam pada itu, di padukuhan kecil sebelah utara Tanah
Perdikan Menoreh tampak dua orang sedang berjalan di tengah-
tengah bulak yang panjang. Terik sinar Matahari sore masih
terasa panas menyengat kulit kedua orang itu sehingga tampak
merah terbakar. Keringat bagaikan terperas telah membuat tubuh
kedua pejalan kaki itu basah kuyup.
Kita berhenti sebentar di bawah pohon nyamplung itu, Ayah,
berkata salah seorang yang ternyata seorang perempuan.
Wajahnya yang berkeringat bercampur debu itu tampak kotor
namun tidak dapat menyembunyikan kecantikan alami yang
dimilikinya. Selendangnya yang panjang dibalutkan di atas
kepalanya untuk mengurangi panasnya sengatan Matahari.
Baiklah, kita beristirahat sejenak, berkata orang yang
dipanggil ayah itu sambil mengayunkan langkahnya menuju

61
pohon nyamplung yang tumbuh di pinggir parit sebelah kiri
tanggul.
Di sepanjang bulak itu memang terdapat parit di sebelah
menyebelah yang cukup lebar. Di musim kemarau parit itu airnya
memang sangat kecil, tidak cukup untuk mengairi tanah-tanah
pesawahan yang terlihat kering dan bera. Rumput-rumput liar
yang tumbuh tampak kekuning kuningan terbakar Matahari.
Hanya rumput-rumput yang tumbuh di sepanjang tanggul dekat
parit itu sajalah yang tampak masih menghijau dan sering
digunakan oleh para penggembala untuk menggembalakan
ternaknya.
Ketika kemudian kedua orang itu duduk melepas lelah di atas
akar-akar yang menonjol di bawah bayangan teduh pohon
nyamplung itu, semilir angin yang sepoi-sepoi ternyata telah
membuat kedua pejalan kaki itu terkantuk kantuk.
Namun belum sempat kedua pejalan kaki itu menikmati
semilirnya angin lebih lama lagi, tiba-tiba mereka mendengar
derap kaki kuda dari arah Padukuhan induk Tanah Perdikan
Menoreh.
Sambil menggeliat orang yang dipanggil ayah itu mencoba
melongokkan kepalanya memandang ke arah jalan yang menuju
ke padukuhan induk. Tampak debu yang mengepul tinggi
pertanda ada beberapa ekor kuda yang sedang dipacu menuju ke
arah mereka yang sedang duduk-duduk di bawah pohon
nyamplung.
Siapakah mereka, Ayah? bertanya perempuan itu sambil
tetap duduk di tempatnya.
Aku tidak tahu, jawab Ayahnya sambil kembali
menyandarkan punggungnya ke pohon nyamplung.
Mungkin para pengawal Padukuhan induk sedang
nganglang, desis perempuan itu perlahan seolah ditujukan
kepada dirinya sendiri.
Mungkin, jawab Ayahnya acuh saja sambil memejamkan
matanya.
Sementara tiga ekor kuda yang dipacu menyelusuri bulak
panjang yang menghubungkan antara padukuhan induk dengan

62
padukuhan kecil disebelah utara Tanah Perdikan Menoreh itu
telah semakin dekat dengan tempat kedua pejalan kaki itu
beristirahat.
Ketiga penunggang kuda itu memang para pengawal
Padukuhan induk menilik dari ciri-ciri yang mereka kenakan.
Ketika ketiga pengawal itu telah semakin dekat, tampak kerut
merut di wajah mereka yang tegang.
Siapakah mereka itu, Kakang Dama? bertanya salah seorang
pengawal yang bertahi lalat di pipi kirinya sambil memandang ke
arah kedua orang yang duduk terkantuk kantuk di bawah pohon
nyamplung.
Itulah yang sedang aku pikirkan, jawab pengawal yang
bernama Dama itu, Disaat Padukuhan induk dalam keadaan
gawat, kita harus selalu waspada terhadap perkembangan yang
terjadi di sekeliling kita.
Marilah kita mendekat, berkata pengawal yang satunya lagi.
Dengan perlahan mereka menghela kuda-kuda itu mendekati
kedua pejalan kaki yang sedang duduk terkantuk kantuk di atas
tanggul di bawah pohon nyamplung yang tumbuh rimbun di
dekat parit.
Ketika kemudian mereka bertiga sudah berada di bawah
tanggul yang rendah, dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian
meloncat turun dan menambatkan kuda-kuda mereka pada
batang-batang perdu yang mengering di pinggir jalan.
Dama sebagai pengawal yang tertua rasa rasanya tidak sabar
ingin segera mendaki tanggul dan menyapa kedua pejalan kaki
itu. Walaupun wajah kedua orang itu berlumuran debu
bercampur keringat, namun Dama dapat mengenali siapakah
mereka berdua itu.
Empu Wisanata? Bukankah aku berhadapan dengan Empu
Wisanata? hampir berteriak Dama menyapa kedua pejalan kaki
itu sesampainya dia di atas tanggul yang tidak seberapa tinggi,
sedangkan kedua temannya menyusul di belakangnya.
Lelaki tua yang dipanggil Empu Wisanata itu terkejut. Dengan
cepat dia bangkit berdiri sambil tersenyum. Katanya kemudian,
Oh, kiranya para pengawal padukuhan induk Tanah Perdikan

63
Menoreh. Terima kasih masih mengenal kami. Kami memang
sengaja beristirahat sejenak disini sebelum memasuki padukuhan
induk.
Ketiga pengawal itu segera maju beberapa langkah dan
mengulurkan tangan untuk menyambut salam dari Empu
Wisanata, sedangkan perempuan yang ternyata adalah Nyi Dwani
hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum.
Selamat datang kembali di Tanah Perdikan ini, berkata
Dama setelah masing-masing mencari tempat duduk di bawah
naungan rindangnya pohon nyamplung, Kemanakah kalian
berdua selama ini? Rumah kalian tampak sepi setiap kami
meronda mengelilingi padukuhan induk.
Sejenak Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam sambil
berpaling ke arah Nyi Dwani. Namun Nyi Dwani hanya
menundukkan kepalanya saja tanpa berani memandang ke arah
ayahnya.
Kami memang telah memutuskan untuk menengok keluarga
yang tinggal di ujung kali Keduwang, akhirnya Empu Wisanata
yang menjawab pertanyaan Dama, Sengaja kami pergi dengan
diam-diam karena tidak ingin merepotkan keluarga Ki Rangga
Agung Sedayu. Kami berharap hanya dalam waktu sepekan kami
sudah dapat kembali ke Menoreh. Ternyata rencana kami tidak
berjalan dengan lancar, kami harus tertahan hampir sebulan
lamanya di padepokan yang terletak di ujung kali Keduwang itu
karena suatu urusan.
Dama dan kedua kawannya hanya mengangguk anggukkan
kepala mereka. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin
mereka sampaikan sehubungan dengan kepergian ayah dan anak
itu, namun pertanyaan itu hanya disimpan dalam hati saja justru
mereka tahu bahwa persoalan itu pasti menyangkut persoalan
keluarga.
Apakah Empu Wisanata mengalami kesulitan ketika akan
memasuki Tanah Perdikan ini? bertanya Dama kemudian
setelah sejenak mereka terdiam.
Ya, dengan serta merta Empu Wisanata menjawab, Kami
melihat persiapan pasukan segelar sepapan di padukuhan-

64
padukuhan yang terdekat dari tepian Kali Praga. Bahkan kami
harus berjalan memutar dan tidak berani langsung menuju ke
gerbang utama padukuhan induk.
Dama dan kedua kawannya saling berpandangan sebelum
akhirnya pengawal yang mempunyai tahi lalat di pipi itu
menyahut, Menurut keterangan Ki Jayaraga, ada seorang yang
menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra dan telah
mengumpulkan berbagai perguruan yang sehaluan dengan
dirinya dari seluruh penjuru negeri ini untuk menggempur
Mataram di saat ibu kota Mataram kosong ditinggal para
prajuritnya melawat ke Panaraga.
Empu Wisanata mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
Menurut perhitunganku, ibu kota Mataram tidak mungkin
kosong. Ki Patih Mandaraka adalah seorang yang mumpuni
dalam mengatur siasat. Tidak mungkin ibu kota dibiarkan kosong
sedangkan Panembahan Hanyakrawati berada di istana. Justru
aku yakin itu adalah bagian dari siasat Ki Patih untuk menjebak
orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu.
Para pengawal itu sejenak termangu mangu. Mereka memang
tidak sampai berpikir sejauh itu. Yang mereka dengar ibu kota
Mataram sekarang ini memang sedang kosong sehingga
seandainya ada musuh yang menyerang, mereka dengan leluasa
akan dapat menguasainya. Namun ternyata pendapat Empu
Wisanata itu telah membuka pikiran mereka, memang tidak
mungkin membiarkan ibu kota Mataram dalam keadaan benar-
benar kosong.
Ah, sudahlah, akhirnya Empu Wisanata bangkit dari tempat
duduknya, Kami sudah cukup beristirahat dan akan melanjutkan
perjalanan yang tinggal sejengkal lagi.
Selesai berkata demikian Empu Wisanata berpaling ke arah
Nyi Dwani dan agaknya anak perempuannya itu tanggap dan
segera mengikuti ayahnya berdiri.
Dama dan kawan kawannya pun kemudian ikut bangkit dari
tempat duduk mereka. Sambil mengibas-ngibaskan kain
panjangnya yang terkena debu, Dama pun berkata, Sebaiknya
Empu Wisanata dan Nyi Dwani mampir dulu di rumah Ki Gede.

65
Tentu Ki Jayaraga akan sangat gembira menyambut kedatangan
kalian berdua.
Terima kasih, sahut Empu Wisanata, Kami memang
berencana demikian. Semoga tenaga kami yang tidak seberapa ini
dapat membantu menjaga keamanan di lingkungan sekitar
tempat tinggal kami.
Demikianlah akhirnya mereka pun kemudian berpisah. Ketiga
pengawal itu segera meneruskan perjalanan mereka meronda ke
daerah Tanah Perdikan sebelah utara. Sementara Empu Wisanata
dan Nyi Dwani dengan langkah satu-satu kembali menyusuri
bulak panjang di bawah siraman sinar Matahari sore yang mulai
meredup menuju ke padukuhan induk.
Dalam pada itu di Kepatihan, Ki Rangga Agung Sedayu dan
Pandan Wangi telah diterima menghadap oleh Ki Patih
Mandaraka di ruangan khusus, sedangkan kedua Putut yang
mengawani perjalanan mereka berdua telah di tempatkan di
bangunan penjagaan samping untuk sekedar melepaskan lelah.
Setelah menanyakan keselamatan mereka berdua selama
dalam perjalanan menuju Mataram, dengan menarik nafas
dalam-dalam, Ki Patih pun berkata, Agaknya orang yang
menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu telah
mendapat laporan melalui petugas sandinya tentang perjalanan
kalian. Untunglah Yang Maha Agung masih melindungi kalian
semua.
Demikianlah Ki Patih, jawab Ki Rangga sambil menyembah,
Namun masih ada hal yang membuat hamba penasaran.
Siapakah kedua orang bercaping yang menolong kami di tepian
kali Opak itu?
Ki Patih tertawa perlahan mendengar pertanyaan Ki Rangga.
Jawabnya kemudian, Bagaimana mungkin aku tahu, sedangkan
kalian yang mengalami peristiwa itu sendiri tidak tahu siapa
mereka.
Ampun Ki Patih, cepat-cepat Ki Rangga menyela, Bukan
maksud hamba untuk menanyakan hal ini kepada Ki Patih.
Namun menilik kemampuan kedua orang bercaping yang
membantu kami di tepian Kali Opak itu, mereka berdua pasti
bukan dari lingkungan orang kebanyakan.

66
Ki Patih mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki
Rangga. Namun kemudian sambil tersenyum Ki Patih berkata,
Sudahlah. Dari manapun mereka berasal itu tidak penting. Yang
jelas mereka telah berhasil melaksanakan tugasnya.
Ki Rangga tertegun mendengar kalimat terakhir dari Ki Patih.
Sambil mengangkat kepalanya, sejenak dipandanginya Ki Patih
yang ternyata juga sedang memandanginya sehingga dengan
tergesa-gesa Ki Rangga pun kemudian segera menundukkan
kepalanya dalam-dalam.
Agaknya pandangan mata Ki Rangga yang penuh dengan
tanda tanya itu terbaca oleh Ki Patih. Sehingga akhirnya Ki Patih
pun tidak dapat mengelak lagi, Memang akulah yang telah
menyuruh mereka berdua untuk turun gunung dan membantu Ki
Rangga. Selama ini mereka berdua itu lebih senang menyepi di
gunung-gunung dan hutan-hutan sunyi. Aku telah memberi
pengertian kepada mereka bahwa sebaik-baiknya menjalani
sebuah laku tapa itu adalah tapa ngrame. Hati kita, jiwa kita tetap
dalam kedudukannya sebagaimana seorang pertapa yang tidak
tergoyahkan oleh nafsu duniawi, namun raga kita, badan kita ini
akan selalu berbuat untuk kebaikan umat dan menolong sesama
sebagaimana seorang satria yang selalu tampil di depan dalam
membela kebenaran kejujuran dan keadilan. Itulah yang disebut
seorang Satriya Pinandita.
Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi hanya saling
pandang ketika Ki Patih telah menyebutkan bahwa kedua orang
bercaping itu ternyata adalah utusan Ki Patih Mandaraka. Tapi
siapakah sebenarnya kedua orang itu? Mereka berdua masih
menunggu keterangan lebih lanjut dari Ki Patih.
Sementara itu Matahari masih menyisakan sinarnya walaupun
sangat lemah. Sejenak kemudian ketika Matahari telah benar-
benar terbenam, terdengar suara panggilan untuk menunaikan
kewajiban kepada Yang Maha Agung dari arah Masjid Kepatihan.
Marilah, berkata Ki Patih kemudian sambil bangkit berdiri,
Kita hentikan sejenak pembicaraan ini. Setelah makan malam,
kita akan benar-benar membicarakan persoalan yang
menyangkut keamanan ibu kota Mataram ini dengan sungguh-
sungguh.

67
Hamba Ki Patih, hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan
Wangi menjawab.
Ketika Ki Patih kemudian beranjak menuju ke ruang dalam, Ki
Rangga dan Pandan Wangi pun kemudian mengundurkan diri.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke Masjid Kepatihan
yang terletak di samping kanan dari bangunan induk istana
Kepatihan.
Sambil berjalan menuruni tlundak pendapa samping, Pandan
Wangi berkata, Kakang, apakah tidak sebaiknya kita
membersihkan diri dulu di pakiwan?
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekelilingnya. Katanya kemudian,
Wangi, di dekat Masjid Kepatihan engkau akan menjumpai
pakiwan khusus untuk perempuan. Engkau dapat
menggunakannya sebelum memasuki Masjid.
Pandan Wangi mengangguk anggukkan kepalanya. Jawabnya
kemudian, Baiklah Kakang kalau begitu. Aku ikut Kakang saja
langsung ke Masjid.
Marilah, ajak Ki Rangga sambil mengayunkan langkahnya.
Ketika kemudian mereka telah selesai menunaikan
kewajibannya selaku hamba yang bersyukur kepada Penciptanya,
Ki Patih Mandaraka pun kemudian mengajak Ki Rangga Agung
Sedayu dan Pandan Wangi makan malam bersama di ruang
khusus bagian dalam istana Kepatihan.
Menurut berita yang dibawa para prajurit sandi yang bertugas
di Menoreh, demikian Ki Patih memulai pembicaraan setelah
selesai santap malam, Orang yang menyebut dirinya
Panembahan Cahya Warastra itu akan mengumpulkan seluruh
perguruan yang sudah tergabung dalam pasukannya sore ini.
Belum ada kepastian kapan mereka akan menyeberang Kali Praga
dan menyerbu ibu kota Mataram.
Ampun Ki Patih, Ki Rangga menyela sambil menyembah,
Berapakah jumlah prajurit yang berada di ibu kota Mataram?
Kita harus segera membuat perhitungan.
Ki Patih tersenyum sambil mengangguk angguk. Katanya
kemudian, Ki Rangga, pasukan cadangan yang ditugaskan untuk

68
menjaga keamanan kota lebih dari cukup, Ki Patih berhenti
sejenak, kemudian lanjutnya, Memang disengaja, yang bertugas
meronda di ibu kota dan sekitarnya hanya beberapa prajurit
berkuda saja. Demikian juga regol-regol telah di kurangi
penjaganya dengan tujuan untuk memberikan kesan seolah olah
ibu kota Mataram sedang kosong. Tapi sebenarnya pasukan
cadangan telah disiagakan di barak-barak. Mereka dilarang
melakukan kegiatan di luar barak tanpa seijin Perwira yang
bertugas.
Ki Rangga dan Pandan Wangi saling pandang sejenak. Tampak
kerut merut di kening keduanya semakin dalam. Namun setelah
mereka menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari rencana
Ki Patih untuk mengelabuhi Panembahan Cahya Warastra,
keduanya pun kemudian mengangguk anggukkan kepala sambil
menarik nafas dalam-dalam. Rasa rasanya dada mereka yang
selama ini pepat telah menjadi sedikit longgar begitu
mendengarkan keterangan dari Ki Patih.
Nah, berkata Ki Patih kemudian, Malam ini kita harus
menyeberang ke Menoreh, dan ini menjadi tugasmu Ki Rangga.
Ki Rangga sejenak tertegun. Menyeberangi Kali Praga di
malam hari serta harus melewati penjagaan para pengikut
Panembahan Cahya Warastra yang bersiaga di seberang Kali
Praga bukanlah pekerjaan mudah. Maka kemudian katanya,
Ampun Ki Patih. Di seberang Kali Praga telah dijaga oleh para
pengikut Panembahan Cahya Warastra. Bagaimana kita
menyeberang tanpa ketahuan oleh mereka?
Berenang, jawab Ki Patih sambil tersenyum.
Berenang? tanpa sesadarnya Ki Rangga mengulang kata-kata
Ki Patih. Bahkan Pandan Wangi yang selama ini hanya
mendengarkan sambil menundukkan kepalanya telah
mengangkat wajahnya sambil memandang ke arah Ki Patih
dengan terheran heran.
Ya, berenang, jawab Ki Patih mantap, Dengan berenang
apalagi menyelam beberapa jengkal di bawah permukaan air Kali
Praga, aku yakin akan sulit untuk diketahui oleh musuh. Kita
akan mengambil di tempat yang jarang digunakan untuk
penyeberangan sehingga pengawasan disitu agak longgar.

69
Bagaimana dengan buaya-buaya kerdil yang sering tampak di
tempat-tempat yang agak dalam? bertanya Pandan Wangi yang
sedari tadi diam saja. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di
Menoreh, dia hafal betul dengan keadaan Kali Praga.
Ki Patih tersenyum sambil memandang Pandan Wangi.
Jawabnya kemudian, Jangan kawatir. Ada semacam ramuan
yang akan membuat binatang-binatang air itu menyingkir bila
mencium aroma ramuan itu. Sebelum turun ke air, semua orang
wajib melumuri tubuhnya dengan ramuan itu.
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi meng-
angguk angguk. Terbayang dalam benak mereka, rintangan yang
sangat berat yang harus mereka dilalui. Tidak hanya buaya-buaya
kerdil itu yang dapat membahayakan keselamatan mereka,
namun juga para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang
telah menunggu mereka di tepian dengan senjata terhunus.
Baiklah, berkata Ki Patih Mandaraka selanjutnya, Kita perlu
Ki Tumenggung Tirtayudha untuk hadir disini. Ki Tumenggung
Tirtayudha adalah perwira yang membawahi Prajurit
Jalamangkara, prajurit yang mempunyai kemampuan sangat
khusus, yaitu mampu bergerak di air dengan kemampuan yang
luar biasa. Sedangkan di darat mereka adalah prajurit-prajurit
tangguh tanggon yang mampu menyerang dengan cepat
kemudian menyingkir dengan cepat pula.
Ki Rangga Agung sedayu dan Pandan Wangi sejenak termangu
mangu mendengarkan keterangan Ki Patih. Ki Rangga memang
pernah mendengar rencana untuk membentuk sepasukan
prajurit Jalamangkara yang mempunyai kemampuan bertempur
di bawah air. Mereka bergerak bagaikan ikan dan mampu
bertahan di bawah air dengan menggunakan alat khusus. Namun
sejauh ini Ki Rangga belum pernah bertemu dengan para prajurit
Jalamangkara, apalagi dengan Ki Tumenggung Tirtayudha.
Ki Patih agaknya mengerti jalan pikiran kedua tamunya. Maka
katanya kemudian, Aku telah menyuruh seorang prajurit jaga
untuk memanggil Tumenggung Tirtayudha agar hadir disini.
Belum selesai Ki Patih melanjutkan kata katanya, tiba-tiba
terdengar suara seseorang mengucapkan salam. Sejenak
kemudian seorang yang berperawakan sedang dengan kumis tipis

70
melintang di atas bibirnya telah memasuki ruang khusus tempat
Ki Rangga dan Pandan Wangi menghadap Ki Patih. Setelah
menyembah terlebih dahulu, orang itupun kemudian duduk
beberapa jengkal di sebelah Ki Rangga menghadap Ki Patih
Mandaraka.
Nah, inilah Ki Tumenggung Tirtayudha itu, berkata Ki Patih
sambil tersenyum. Orang yang disebut Tumenggung Tirtayudha
itu segera menganggukkan kepalanya kearah Ki Rangga dan
Pandan Wangi.
Segera saja Ki Rangga dan Pandan Wangi membalas anggukan
Ki Tumenggung Tirtayudha itu.
Ki Tumenggung Tirtayudha, berkata Ki Patih kemudian,
Apakah pasukanmu sudah siap? Malam ini kita akan
menyeberang ke Menoreh.
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi menoleh ke
arah Ki Tumenggung Tirtayudha, Tumenggung yang usianya
tidak terpaut jauh dengan Ki Rangga Agung Sedayu sendiri.
Sambil melakukan sembah, Ki Tumenggung Tirtayudha pun
kemudian menjawab, Ampun Ki Patih. Pasukan Jalamangkara
sudah siap untuk sewaktu waktu digerakkan. Tinggal menunggu
titah dari Ki Patih.
Ki Patih mengangguk anggukkan kepalanya, kemudian
katanya sambil menoleh ke arah Ki Rangga Agung Sedayu, Ki
Rangga, malam ini kita akan menyeberang ke Menoreh. Tugas
pasukan Jalamangkara adalah bergerak dengan senyap kemudian
menghancurkan para pengikut Panembahan Cahya Warastra
yang berjaga di tepian sebelah barat Kali Praga, Ki Patih
berhenti sejenak kemudian lanjutnya, Ki Rangga dan Ki
Tumenggung Tirtayudha masing-masing akan membawa
sepasukan parajurit Jalamangkara untuk menyeberang di tempat
yang tidak diperhitungkan oleh para pengikut Panembahan
Cahya Warastra. Kalian harus berpacu dengan waktu. Hancurkan
para pengawas musuh yang ada di tepian barat Kali Praga tanpa
suara. Jangan sampai para pengawas itu sempat melontarkan
isyarat ke padukuhan terdekat yang dijadikan landasan para
pengikut Panembahan Cahya Warastra.

71
Ki Rangga dan Ki Tumenggung mengangguk anggukkan
kepala mereka. Keduanya sudah mendapat gambaran bagaimana
mereka harus membawa pasukannya menyeberang Kali Praga
tanpa diketahui oleh lawan dan kemudian sekaligus
menghancurkan mereka.
Sementara Pandan Wangi yang hanya menjadi pendengar
telah terusik. Tanpa sesadarnya dia telah mengangkat wajahnya
dan memandang ke arah Ki Patih yang justru sedang
memandanginya sambil tersenyum. Agaknya Ki Patih telah
menduga apa yang tersirat dalam dada anak perempuan satu
satunya Ki Gede Menoreh itu.
Pandan Wangi, berkata Ki Patih akhirnya, Engkau tidak aku
tugaskan untuk ikut menyeberang dengan berenang bersama Ki
Rangga, Ki Patih berhenti sejenak sambil mencoba melihat
kesan yang tersirat di wajah Pandan Wangi, tampak seleret rona
merah menghias wajah perempuan setengah baya itu. Sambil
menahan senyum, Ki Patih pun kemudian melanjutkan kata
katanya, Aku telah menerima laporan dari prajurit sandi yang
bertugas di tepian sebelah timur, mereka telah mengadakan
hubungan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan serta beberapa
kawan kawannya. Tugasmu adalah bergabung dengan mereka.
Tunggulah isyarat dari Ki Rangga maupun Ki Tumenggung. Jika
tepi barat Kali Praga telah dibersihkan dari para pengikut
Panembahan Cahya Warastra, tugas kalian adalah melumpuhkan
para tukang satang yang ada di sebelah timur tepian Kali Praga,
kemudian dengan menggunakan rakit-rakit yang ada, kalian
dapat menyusul Ki Rangga menyeberang ke Menoreh.
Tanpa disadarinya Ki Rangga telah menarik nafas dalam-
dalam mendengar keterangan Ki Patih Mandaraka, walaupun
sebelumnya Ki Rangga telah menduga bahwa tidak mungkin
Pandan Wangi akan diikut sertakan dalam gerakan pasukan
Jalamangkara, namun tak urung hatinya merasa lega begitu Ki
Patih telah menjatuhkan titah.
Baiklah, berkata Ki Patih selanjutnya, Gerakan penyusupan
kalian ke tepi barat Kali Praga ada kemungkinannya akan
diketahui oleh pihak lawan. Tidak menutup kemungkinan para
pengawas lawan akan berhasil mengirimkan isyarat ke
padukuhan terdekat sehingga pasukan lawan akan berdatangan

72
bagaikan lebah yang diganggu sarangnya dan pertempuran di tepi
barat Kali Praga pun tidak mungkin dielakkan lagi.
Ampun Ki Patih, Ki Tumenggung Tirtayudha menyela,
Bukankah tujuan kita menyeberang ke tepi barat itu untuk
mengalihkan tempat pertempuran keluar dari ibu kota
Mataram?
Engkau benar, Ki Tumenggung. Namun sebenarnyalah aku
menginginkan sebuah kejutan bagi orang yang menyebut dirinya
Panembahan Cahya Warastra itu. Setelah melumpuhkan para
pengikutnya yang berjaga di tepi barat Kali Praga, begitu
Matahari terbit, kita akan menyerbu padukuhan yang dijadikan
landasan para pengikut Cahya Warastra itu.
Ki Tumenggung Tirtayudha mengangguk anggukkan
kepalanya. Sementara Ki Rangga segera menghaturkan sembah
sambil berkata, Ampun Ki Patih. Kita memerlukan berpuluh
puluh rakit untuk menyeberangkan pasukan cadangan yang
sekarang masih berada di barak-barak.
Ya, jawab Ki Patih cepat, Sementara kalian berdua
menyeberang ke tepian sebelah barat, aku sendiri yang akan
memimpin pasukan cadangan dan sebagian pasukan dari
Kadipaten dan Kademangan-Kademangan yang tidak jadi
diberangkatkan ke Panaraga karena keadaan kesehatan mereka
yang kurang memenuhi syarat waktu itu untuk ikut bertempur
ataupun karena suatu hal yang lain, namun sekarang mereka
telah siap untuk terjun ke medan perang sedahsyat apapun.
Ki Rangga dan Ki Tumenggung hampir bersamaan telah
menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukkan
kepala. Ki Patih ternyata telah memperhitungkan semua itu
dengan cermat. Pasukan cadangan yang ada di ibu kota Mataram
sengaja disimpan di barak-barak dan tidak diperkenankan untuk
keluar menampakkan diri kecuali ada ijin khusus dari
Perwiranya. Demikian juga pasukan-pasukan yang tidak jadi
dikirim ke Panaraga karena keadaan kesehatan mereka atau
suatu hal yang lain, kini telah siap untuk diturunkan ke medan
pertempuran.
Kesan yang tampak di ibu kota Mataram memang sangat
lemah, gumam Ki Rangga dalam hati, Penjagaan dibuat

73
sedemikian rupa sehingga terlihat lemah. Hanya beberapa
penjaga yang terlihat di gerbang Timur dan gerbang Barat.
Sedangkan prajurit yang meronda pun hanya tiga atau empat
orang dengan berkuda. Berbeda dengan biasanya yang terdiri
dari lima belas sampai dua puluh prajurit berkuda.
Ampun Ki Patih, berkata Ki Tumenggung Tirtayudha
membuyarkan lamunan Ki Rangga, Kapankah pasukan
Jalamangkara diperkenankan bergeser ke tepian Kali Praga untuk
memulai pergerakan menyusup ke daerah lawan?
Sejenak Ki Patih menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan
Ki Tumenggung Tirtayudha. Jawabnya kemudian, Wayah sirep
uwong pasukan Jalamangkara sudah harus di tepian sebelah
timur Kali Praga. Kalian berdua harus memilih tempat yang
terpisah jauh dan akan dipandu oleh para prajurit sandi yang
telah mengenal daerah sepanjang tepian Kali Praga, Ki Patih
berhenti sejenak untuk mengambil nafas, kemudian lanjutnya,
Sementara pasukan cadangan ditambah dengan pasukan yang
tidak jadi berangkat ke Panaraga, mungkin jumlahnya mendekati
dua Bregada, secara berangsur angsur akan bergerak secara
berkelompok agar tidak banyak menarik perhatian, sudah harus
tiba di tepian sebelum tengah malam.
Bagaimana dengan rakit-rakit itu, Ki Patih? bertanya Ki
Rangga dengan nada sedikit ragu-ragu. Menyeberangkan
pasukan sejumlah hampir dua bregada memerlukan sekitar
delapan puluh buah rakit.
Ki Patih tersenyum mendengar pertanyaan Ki Rangga.
Jawabnya kemudian sambil tetap tersenyum, Kita bersyukur
bahwa Panembahan Cahya Warastra telah berbaik hati
membuatkan kita rakit-rakit yang tersimpan di tepian sebelah
barat Kali Praga. Rencananya rakit-rakit itu akan digunakan oleh
para pengikut Cahya Warastra itu untuk menyeberang ke
Mataram pada saat penyerbuan tiba. Adalah tugas Ki Rangga dan
Ki Tumenggung untuk melumpuhkan para penjaganya dan
sekaligus menguasai rakit-rakit itu untuk selanjutnya didorong ke
tepian sebelah timur sebagai sarana mengangkut pasukan kita,
sampai di sini Ki Patih berhenti sejenak sambil berpaling ke arah
Pandan Wangi. Kemudian lanjutnya, Dan itu adalah tugasmu

74
Pandan Wangi. Engkau akan dibantu oleh Glagah Putih bersama
kawan kawannya.
Mereka yang hadir di ruangan itu hampir bersamaan telah
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Agaknya para prajurit
sandi Mataram telah mendapatkan keterangan yang lengkap
tentang keadaan di tepian sebelah barat Kali Praga.
Apakah masih ada sesuatu yang membuat kalian ragu-ragu
atau kurang jelas? bertanya Ki Patih setelah sejenak mereka
yang berada di ruangan itu terdiam.
Ki Rangga yang duduk bersila tepat di depan Ki Patih segera
beringsut setapak maju. Sambil menyembah katanya kemudian,
Ampun Ki Patih. Setelah pertemuan ini selesai, ijinkanlah
hamba bersama dengan Ki Tumenggung untuk menemui pasukan
Jalamangkara di barak mereka. Kami berdua masih memerlukan
waktu untuk menjelaskan rencana kita kepada para pemimpin
prajurit agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam melaksanakan
rencana sesuai petunjuk Ki Patih.
Ki Patih tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
Jawabnya kemudian, Memang demikianlah seharusnya Ki
Rangga. Namun ingat, gerakan kita ini adalah bersifat sangat
rahasia. Hanya para pemimpin prajurit sajalah yang wajib
mengetahui arah gerakan kita. Untuk selanjutnya, para prajurit
akan diberi penjelasan yang lebih mendalam setelah kalian
berada di tepian sebelah timur Kali Praga.
Hamba, Ki Patih, hampir berbareng Ki Rangga dan Ki
Tumenggung menjawab.
Kunci keberhasilan rencana kita ini adalah kerahasiaan,
berkata Ki Patih selanjutnya, Masing-masing pihak harus
menjaga kerahasiaan rencana ini. Walaupun kepada orang
terdekat kita, istri atau anak misalnya, kalau mereka tidak ada
hubungannya dengan rencana ini, atau mereka memang tidak
berhak untuk mendengar rencana ini, jangan sampai rencana ini
diceritakan kepada mereka.
Ketiga orang yang menghadap itu hanya mengangguk
anggukkan kepala mereka tanpa berkata sepatah kata pun.
Sementara dari arah Masjid Kepatihan terdengar suara panggilan
yang mendayu-dayu memanggil umat manusia untuk

75
menunaikan kewajiban menyembah kepada Sang Pencipta alam
semesta.
Sejenak Ki Patih berdiam diri sambil mendengarkan suara
panggilan untuk menunaikan kewajiban kepada Yang Maha
Agung itu sampai selesai.
Nah, berkata Ki Patih kemudian, Kita masih mempunyai
waktu beberapa saat untuk mempersiapkan diri. Pergunakanlah
waktu sebaik baiknya. Jangan menampakkan kesibukan yang luar
biasa yang dapat memancing pertanyaan bagi orang-orang yang
tidak ada hubungannya dengan rencana ini, sehingga
kemungkinan kebocoran rencana kita ini sampai ke telinga
musuh dapat dihindari,
Setelah selesai memberikan pesan pesannya, Ki Patih pun
segera bangkit berdiri, sedangkan ketiga orang itu dengan
tergopoh-gopoh segera berjongkok sambil menyembah.
Hamba bertiga mohon diri, Ki Patih, berkata Ki
Tumenggung Tirtayudha mewakili ketiga orang yang menghadap
itu.
Baiklah, jawab Ki Patih, Lakukan tugas kalian masing-
masing dengan penuh kesungguhan dan rasa pengabdian yang
tinggi terhadap kelangsungan kejayaan negeri ini.
Demikianlah akhirnya, setelah tidak ada lagi hal-hal yang
perlu disampaikan, Ki Patih Mandaraka pun kemudian
mengijinkan ketiga orang yang menghadap itu untuk
mengundurkan diri. Sementara Ki Patih telah bersiap siap pergi
ke Istana Panembahan Hanyakrawati untuk melaporkan rencana
penyeberangan ke Menoreh mendahului menyerang Panembahan
Cahya Warastra dan para pengikutnya.

bersambung ke TADBM jilid 405
Diupload di http://cersilindonesia.wordpress.com


76

Anda mungkin juga menyukai