Anda di halaman 1dari 3

Pemuda bukan Sekedar Mannequin Bangsa

Tahun ini, tujuh puluh empat tahun setelah “jangkar” dari ekspedisi beratus-ratus
tahun dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta. Hanya 29 kata yang tersurat dalam teks
proklamasi, namun ke-29 kata itu mempunyai beribu-ribu makna tersirat tentang arti dari
perjuangan, pengorbanan, keberanian, kecermatan, dan persatuan. Saat itulah titik puncak
dari arti perjuangan dan pengorbanan selama ratusan tahun untuk menjadi bangsa yang
merdeka membawa cita-cita perjuangan dengan tangannya sendiri. Ada banyak pemuda yang
berdiri di belakang layar teks proklamasi, mereka yang merelakan masa mudanya demi kata
“merdeka”.
Wacana Indonesia emas 2045 terus bergulir. Tepat seratus tahun Indonesia bangkit di
ranjang sendiri menikmati kehangatan kebebasan dari sabang sampai merauke. Optimisme
tinggi pada sebuah puncak kejayaan dengan membawa harta karun berharga. Harta karun
berharga tersebutlah y6ang digadang menjadi modal untuk kelangsungan bangsa dan negara
ini kedepannya. Harta karun yang disebutkan adalah bonus demografi. Pada tahun 2045
kelak, Indonesia memiliki 70% penduduk usia produktif yang menjadikannya sebuah
“hadiah” bagi kelangsungan hidup negara Indonesia. Lalu siapakah yang termasuk dalam
agen indonesia emas ini? Jawabannya adalah pemuda Indonesia.
Mengingat agen utama Indonesia emas 2045 adalah pemuda, pertanyaannya adalah
“bagaimana pemuda saat ini?” Setelah hampir tujuh puluh empat tahun menjadi bangsa yang
merdeka, marilah kita bertafakur sejenak bagaimana keadaan para pemuda bangsa ini. Berapa
banyak pemuda yang mati bukan tertebas pedang atau tertembak penjajah di medan perang
melainkan karena narkoba, minuman keras, seks bebas dan tawuran. Sungguh ironi ketika
sebagian pemuda sibuk dengan bagaimana cara mengharumkan nama bangsa namun masih
banyak pula yang merusakkan dirinya. Kehilangan followers lebih dipermasalahkan daripada
kehilangan jati dirinya, norma adatnya dan jiwa pancasilanya.
Berganti-ganti sistem pendidikan namun seperti angin bertiup saja, tak ada peubahan
signifikan. Tentunya kita tidak dapat menyalahkan pemerintah dalam hal ini. pemerintah
telah berpikir keras bagaimana mewujudkan pendidikan yang berkarakter, bermoral dan
berbudaya. Media sosial seolah menjadi dunia dalam dunia. Banyak sekali anak muda yang
mencoba melarikan diri dari dunia nyatanya yang kejam penuh dengan bullying, kekerasan,
paksaan, dan masalah perbedaan. Mereka mencoba mencari dunia baru, namun dalam dunia
media sosialpun sama kejamnya. Kemana mereka harus pergi? Ketika dunia nyata dan dunia
virtual mengacuhkannya. Akhirnya narkoba dan minuman keras tak terelakan dan berbagai
dampak pengrusakkannya timbul. Ketika terjadi seperti itu yang ada hanya saling tuding
mengkambing-hitamkan satu sama lain.
Perbedaan-perbedaan seolah menjadikan sebuah benteng pemisah dalam
bersosialisasi. Dahulu Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dan lainnya meneriakkan
semangat persatuan tanpa memandang warna kulit, suku, agama, dan ras, namun sekarang
terdengar hujatan dan kebencian pada sesama pemuda diteriakkan. Nilai-nilai tepa salira,
musyawarah, dan mufakat kemana? Dimana ikrar kebhinekaan untuk kemerdekaan? Apa
kabar semangat rawe-rawe rantas malang-malang tuntas? Apakah pertanyaan-pertanyaan itu
terjawab hanya cukup menjadi caption dalam gambar pada sosial medianya tanpa wujud
yang nyata.
Ada pula pemuda yang memiliki prestasi sangat banyak, lalu bersekolah di sekolah
terbaik namun bercita-cita berkerja di luar negeri dengan alasan gaji. Jika banyak yang seperti
ini maka mau dibawa kemana kemudi Indonesia. Buat apa teori-teori tebal yang mereka
hafalkan tapi tidak untuk diamalkan. Indonesia lebih membutuhkan daripada negara diluar
sana dengan gaji tinggi.
Saatnya kita pupuk dan hidupkan generasi penerus bangsa untuk Indonesia emas
2045. Pendidikan adalah sentral dari upaya menghidupkan kembali, menanamkan, dan
menginfiltrasi semangat layaknya pemuda-pemuda pejuang terdahulu. Pendidikan yang
mengutamakan nurani daripada nilai dan materi. Pendidikan yang mengajarkan betapa indah
hidup dalam harmony perbedaan yang akan meniadakan bullying hanya karena “kamu
berbeda”. Pendidikan yang memastikan tolak ukur keberhasilannya bukan hanya dari
seberapa banyak jumlah sarjana atau doktor tapi seberapa manfaat ilmu yang diberikan.
Pendidikan bukan hanya mempertontonkan pemuda-pemudanya layaknya mannequin etalase
bermake-up tebal tapi pendidikan yang menghidupkan nurani kebangsaan menyumbangsih-
kan pikiran, tenaga, dan perbuatan.
Orang tua menjadi benteng pertama dan terakhir menghadapi kacaunya dunia. Ajaran
agama yang kuat dapat membentengi pemuda dari pengaruh buruk globalisasi. Lingkungan
masyarakat juga harus turut merangkul jiwa muda karena dengan pelukan dari lingkungannya
maka akan semakin kuat dan percaya diri untuk tidak terjerumus ke dalam narkoba, minuman
keras, dan seks bebas. Semua pihak turut andil memberi perhatian pada para pemudanya agar
semakin kreatif inovatif berkarya sesuai kemampuan dan bidangnya. Sebuah bangsa yang
kuat adalah bangsa yang pemudanya berwatak ksatria hebat.
Kini 26 tahun sebelum Indonesia emas 2045. Sudah waktunya para pemuda bangkit
dari tidurnya. Berbakti pada Indonesia, mencintai perbedaan dan meresapi pancasila. Tidak
butuh banyak status atau caption pada dinding media sosial tentang Indonesia. Semangatlah
pemuda seperti ratusan tahun silam. Jika tak bisa menyumbangkan emas medali setidaknya
perbaiki diri jauhi dari merusakkan diri sendiri. Teruslah bergeliat dalam karya jangan pasif
dan apatis. Indonesia membutuhkan pemuda yang berinovasi untuk terus bergerak bukan
sekedar mannequin di depan layar kotak yang apatis terhadap nasib negaranya.

Anda mungkin juga menyukai