Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PISKOLOGI AGAMA

PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK DAN


REMAJA

Disusun oleh

ANDRIYANSAH 1601010095

ANIS UMU ROSIDAH 1601010027

Pendidikan Agama Islam


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
TAHUN PELAJARAN 2019/2020
Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak dan Remaja

A. Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama


Seluruh ilmuwan jiwa berpendapat, yang menjadi keinginan dan
kebutuhan manusia adalah bukan hanya terbatas kebutuhan makan, minum,
pakaian ataupun kenikmatan lainya. Bewrdasarkan penelitian observasi mereka
menyimpulkan bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan
kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini bisa melebihi kebutuhan-
kebutuhan lainya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan
kebutuhan tersebut ialah kebutuhan kodrati, yaitu berupa keinginan untuk
mengabdi atau mencintai dan dicintai tuhan.
Berdasarkan kesimpulan di atas, manusia iongin mengabdikan dirinya
kepada tuhan atau yang dianggap nya sebagai kekuasaan tertinggi. Pernyataan
yang timbul adalah :apakah yang menjadi sumberpokok yang mendasarkan
timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepoada tuhan ? atau “apakah yang
menjadi sumber kejiwaan agama itu?. Untuk memberikan jawaban itu telah
timbulk beberapa teori antara lain:
1. Teori Monistik (Mono = Satu)
Teori ini berpendapat bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah
satu sumber kejiwaan. Kemudian, sumber tunggal manakah yang di maksud
paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu? Timbul beberapa pendapat yang
dikemukakan oleh:
a. Thomas van Aquino
Mengemukakan bahwa yang menjadi sumberkejiwaan agama ialah
berfikir. Manusia bertuhan karena manusia mengunakan kemampuan
berfikirnya dan mendewakan rasio.
b. Fredrick Hegel
Filosof jerman ini berpendapat, Agama adalah suatu pengetahuan yang
sunguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi . Berdasarkan hal
ini, agama semata-mata merupakan hal-hal atau persoalan yang
berhubungan dengan fikiran.
c. Fredrick Schleimacher
Mengemukakan bahwa dengan adanya rasa ketergantungan yang
mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini
menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu
kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan ketergantungan ini
maka timbul konsep tentanmg tuhan. Manusia merasa tak berdaya
menghadapi tantang alam yang selalu dialaminya, Makanya mereka
bergantuing harapan nya kepada kekuasaan yang dianggap mutlak.
d. Rudolf Oto
Mengemukakan bahwa sumber kejiawaan agama adalah rasa kagum
yang berasal the wholly other (yang sma sekali lain). Jika seseorang di
pengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari
yang lain.
e. Sigmund Freud
Mengemukakan bahwa dengan rasa bersalah dan penyesalan kemudian
mereka menebus kesalahan tersebut dengan keinginan memuja terhadap
apa yang mereka lakukan mereka paham bahwa semua nya akan
dikenai pembalasan atas dosanya.
f. William Mac Dougall
Sebagai salah seorang ahli psikologi insting, berpendapat bahwa pada
diri manusia terdapat 14 macam insting, maka agama timbul dari
dorongan insting secara terintegrasi. Namun teori ini banyak di bantah
oleh para ahli psilkologi agama. Alasannya jika agama merupakan
insting, maka setiap orang tanpa harus belajar agama pasti akan
terdorong secara spontan menunaikan kewajiban.

2. Teori Fakulti (Facully Theory)


Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak
bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur,
antara lain yang dianggap memegang peranan penting dan mempengaruhi
keagamaan adalah fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
a. Cipta (reason)
Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan dan
memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan tertentu. Perasaan
agama dalam intelek ini merupakan suatu kenyataan yang dapat
dilihat, terlebih-lebioh dalam agama modern, peranan, dan fungsi
reson ini sangt menentukan.
b. Rasa (Emotion)
Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam
membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang. Betapa
penting fungsi reason, namun jika digunakan secara berlebihan akan
menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin.
Fungsi reason ini lebih pantas berperan pemikiran mengnai
supranatural saja, sedangkan untuk memberi makna dalam dalam
kehidupan beragama diperlukan penghayatan yang saksama dan
mendalam sehingga ajaran itu sehingga tampak hidup. Jadi yang
menjadi obnjek penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan
anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi
oleh emosi, melainkan sampai berapa jauhkah peranan emosi itu
dalam agama.
c. Karsa (will)
Berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran
agama berdasarkan fungsi kejiwaan. Misalnya orang yang berbuat
sesuatu yang bertentang dengan kehendaknya, maka bearti fungsi
will-nya lemah. Jika tingkah laku keagamaan itu terwujud dalam
bentuk perwujudan yang sesuai denagn ajaran agama selalu
mengimbangi tingkah laku, perbuatan dan kehidupannya sesuai
kehendak tuhan, maka fungsi will-nya kuat.
Sejalan dengan fungsi reason dan emosi maka fungsi will pun tidak
boleh berlebih. Jika hal itu tewrjadi, maka akan terlihat keagamaan
yangb berlebih pula. Keadaan yang demikian akan menyebabkan
penilian masyarakat terhadap agama tidak akan dapat tempat yang
sewajarnya. Ketiganya berfungsi antara lain:
1) Cipta (reason) untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran
suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
2) Rasa (emotion) menimbulkan sikap batin yang seimbang dan
positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
3) Karsa (will) menimbulkan amalan-amalan atau doktrin
keagamaan yang benar dan logis.
d. Beberapa Pemuka Teori Fakulti
1. G.M Straton
Menyatakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama
adalah adanya konflik dalam jiwaan manusia. Keadaan berlawanan
seperti: baik-buruk, moral-inmoral, kefasifan-keaktifan, rasa rendah
diri dan rasa harga diri menimbulkan pertentang dalam diri
manusia.
Jika konflikituy sudah demikian mencekam manusia dan
mempengaruhi kehidupan kejiwaanya, maka manusia itu mencari
itu mencari pertolongan kepada suatu kekuasaan yang tertinggi
(tuhan). Seperti Sigmund Freud berpendapat, bahwa setiap organis
terdapat dua konflik kejiwaan yang mendasar, yaitu:
a). Life-urge: ialah keinginan yang untuk mempertahankan
kelangsungan hidup dari keadaan yang terdahulu agar terus
berlanjut.
b). Death-urge: ialah keinginan untuk kembali pada keadaan
semula sebagai benda mati (anorganis). Selanjutnya,G.M
berpendapat, konflik yang posistif.
Tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan
dorongan dasar (basic-urge), sebagai keadaan yang menyebabkan
timbulnya konflik tersebut.
2. Zakiah Daradjat
Mengemukakan bahwa pada diri manusia itu terdapat
kebutuhan pokok, rohani, jasmani, dan manusia pun mempunyai
suatu kebutuhan akan adanya kebutuhan akan keseimbangan dalam
kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan. Unsur-unsur
keburtuhan yang dikemukakan yaitu:
a) Kebutuhan akan rasa kasih sayang
b) Kebutuhan akan rasa aman
c) Kebutuhan akan rasa harga diri
d) Kebutuhan akan rasa bebas
e) Kebutuhan akan rasa sukses
f) Kebutuhan akan rasa ingin tahu
Oleh karena itu, kebutuhan ini harus disal;urkan untuk
memenuhi pemuasan pembinaan pribadinya. Maka dengan
gabungan ke enam tadi mka manusia sangat memerlukan agama.
3. W.H. Thomas
Mengemukakan yang menjadi suber kejiawaan agama
adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa
manusia, yaitu:
a) Keinginan untuk kesalamatan (security).
b) Keinginan untuk mendapatkan penghargaan (recognation).
c) Keinginan untuk ditanggapi (response).
d) Keinginan akan pengetahuan atau pengalam baru (new
experience).
Keiginan ini menyebabkan manusia mengekplorasi dirinya
untuk mengenal sekelilingnya dan mengembangkan dirinya.
B. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun
demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi
bawaan ini memerlukan pengembanmgan melalui bimbingan dan pemeliharaan
yang mantab, lebih-lebioh usia dini. Sesuai prinsip pertumbuhannya, seorang anka
menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya,
yaitu:
a. Prinsip Biologis
b. Prinsip tanpa daya
c. Prinsip eksplorasi
Pertumbuhan agama pada anak antara lain:
a. Rasa Ketergantungan (sense of Defend)
b. Insting Keagamaan

C. Perkembangan Agama pada Anak-anak


Menurut penelitian Ernest Harms ia mengatakan perkembangan anak-
anakitu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1. Tingkat Dongeng (The fairyTale Stage)
2. Tingkat Kenyataan (Tingkat Kenyataan)
3. Tingkat Indiviodu (The Individual)
Dorongan untuk mengabdi yang ada pada diri manusia .pada hakikat
merupakan sumber keagaaman yang fitri.Untuk menjaga kemurnian
fotensi agama.
Konsep ajaran Islam menegaskan bahwa pada hakikatnya penciptaan jin dan
manusia adalah untuk menjadi pengabdi yang setia kepada penciptanya (Q.51:56).
Agar tugas dan tanggung jawab dapat diwujudkan secara benar, maka Tuhan
mengutus Rasul-Nya sebagai pemberi pengajaran, contoh dan teladan. Dalam
estafet berikutnya risalah kerasulan ini diwariskan kepada para ulama. Tetapi
tanggung jawab utamanya dititikberatkan pada kedua orangtua. Dipesankan Rasul
bahwa, bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu dorongan untuk mengabdi
kepada Penciptanya. Namun benar tidaknya cara dan bentuk pengabdian yang
dilakukannya, sepenuhnya tergantung dari kedua orangtua masing- masing.

Pernyataan ini menunjukkan, bahwa dorongan keberagamaan merupakan


faktor bawaan manusia. Apakah nantinya setelah dewasa seseorang akan menjadi
sosok penganut agama yang taat, sepenuhnya tergantung dari pembinaan nilai-
nilai agama oleh kedua orangtua. Keluarga merupakan pendidikan dasar bagi
anak-anak, sedangkan lembaga pendidikan hanyalah sebagai pelanjut dari
pendidikan rumah tangga. Dalam kaitan dengan kepentingan ini pula terlihat
peran strategis dan peran sentral keluarga dalam meletakkan dasar-dasar
keberagamaan bagi anak-anak.

Sigmund Frued bahkan menempatkan bapak sebagai sosok yang memiliki


peran penting dalam menumbuhkan agama pada anak. Melalui konsep father
image (citra kebapaan), ia merintis teorinya tentang asal mula agama pada
manusia. Menurutnya keberagamaan anak akan sangat ditentukan oleh sang bapa.
Tokoh bapa ikut menentukan dalam menumbuhkan rasa dan sikap keberagamaan
seseorang anak. Dalam pandangan anak, memang bapa menjadi tokoh panutan
yang diidolakan.Kebanggaan anak terhadap bapa demikian kuat dan berpengaruh,

hingga ikut menumbuhkan citra dalam dirinya.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk beragama.


Namun keberagamaan tersebut memerlukan bimbingan agar.dapat tumbuh dan
berkembang secara benar. Untuk itu anak-anak memerlukan tuntunan dan
bimbingan, sejalan dengan tahap perkembangan yang mereka alami. Tokohyang
paling menentukkan dalam menumbuhkan rasa keberagaman itu adalah kedua
orangtuanya.

D. Sifat-sifat Agama pada Anak-anak

Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat


agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama
pada anak-anak rumbuh mengikuti pola ideas concept on outbority. Ide
keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, maksudnya konsep
keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal
tersebut dapat dimengerti karena anak sejak muda telah melihat, mempeelajari
hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-
apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang
sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agaama. Orang tua mempunyai
pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki.
Dengan demikin kataatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang
menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru
mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran tersebut. Berdasarkan
hal itu maka bentuk dan sifat afgama pada diri anak dapat dibagi atas:

1. Unreflective (Tidak Mendalam)


Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri
anak 73% mereka mengangap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu
aekolah bahan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klausmemotong
jenggotnya untuk membuat bantal.1 Dengan demikian anggapan mereka terhadap
ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang
mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan
mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kacang kurang masuk
akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang
memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari
orang lain

Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu:

a. Suatu peristiwa seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa


Tuhan selalu mengabulkan permintaan hambanya. Kebetulan seorang anak
lalu di depan sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi
berbentuk kerucut. Sekembalinya ke rumah ia langsung berdoa kepada
Tuhan untuk apa yang dingininya itu. Karena hal itu diketahui oleh
ibunya, maka ia ditegur. Ibunya berkata bahwa dalam berdoa tak boleh
seseorang memaksakan Tuhan untuk mengabulkan barang yang
diingininya itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung
mengemukakan pertanyaan: "Mengapa"?
b. Scorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat
menggerakkan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka

1
Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 70.
pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan
memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut.
Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu ia tak mau
berdoa lagi.
Dua contoh di atas menunjukkan, bahwa anak itu sudah menunjukkan pemikiran
yang kritis, walaupun bersifat sederhana, menurut penelitian pikiran kritis baru
timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. Di usia tersebut,
bahkan anak kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang korektif. Di sini
menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek
yang bersifat kongkret.

2. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia
perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka
akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat
pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak
telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan
yang mereka pandang dan kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang
mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-
kanakan (Childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian
mengganggu pertumbuhan keagamaannya.

3. Anthromorpbis
Pada umumnya konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil
pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan
bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek
kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap
bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari
dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat
yang gelap.
Surga terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak
menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung kerumah-
rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6 tahun
menurut penelitian Praff, pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut:

Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak
makan tetapi hanya minum embun. Konsep ke-Tuhanan yang demikian itu
mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.

4. Verbalis dan Ritualis


Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak- anak
sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal
secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang
mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan
kepada mereka. Sepintas lalu kedua hal tersebut kurang ada hubungannya dengan
perkembangan agama pada anak di masa sclanjutnya tetapi menurut penyelidikan
hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia
dewasanva, Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena

pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak
kanak mereka. Scbaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami
kesukaran. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat
ritualis (praktek) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari
tingkat perkembangan agama pada anak-anak

5. Imitailf
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan
yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan
shalat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan,
baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa
menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat
peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahastswa di
salah-satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat
pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik
kematangan agama yang kekal. Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak
semata-mata berdasarkan yang mereka peroleh sejak kecil namun pendidikan
keagamaan (religlous paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah
laku keagamaan (religious bebaviour) melalui sifat meniru itu.

6. Rasa beran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang
terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum terhadap keindahan lahiriah saja.
Hal ini merupakan langkah pertama ddari pernyataan kebutuhan anak akan
dorongan untuk mengenai sesuatu yang baru(New experience. Rasa kagum
mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takub.

E. Perkembangan Jiwa Keagamaan opada Remaja

1. Perkembangan Rasa Agama


Dalam pembagian tahap perembangan manusia, maka masa remaja
menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja
mencangkup masa: Juvenilitas (adolescantium), pubertas dan nubilitas.
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada
para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para
remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para
remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor
perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut
W.Starbuck adalah:
a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-
kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran
agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada
masalah kebudayaan, sosia, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukkan:
1) 85% remaja Katolik Romawi tetap taat menganut ajaran agamanya
2) 40% remaja Protestan tetap taat terhadap ajaran agamnanya
Dari hasil ini dinyatakan selanjutnya, bahwa agama yang ajarannya ber
sifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap
taat pada ajaran agamanya Sebaliknya agama yang ajarannya kurang
konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudalh merangsang
pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak
meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan
pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.
b. Perkembangan Perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial,
etis dan estesis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang
terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan relijius akan cenderung mendorong
dirinya lebih dekat ke arah hidup yang relijius pula. Sebaliknya bagi remaja
yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih
mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa
kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super,
remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.
Dalam penyelidikannya sekitar tahun 1950-an, Dr. Kinsey
mengungkapkan bahwa 90% pemuda Amerika telah mengenal masturbasi,
homo seks dan onani.

c. Pertimbangan Sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh acanya pertimbangan
sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara
pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan
pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan
materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
Hasil penyelidikan Emest Harms terhadap 1789 remaja Amerika antara usia
18- 29 tahun menunjukkan bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan hagi
kepentingan keuangan, kesejahteraan, kebahagian, kchormatan diri dan
masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akhirat dan
keagamaan hanya sekitar 36%, masalah sosial 5,8%.
d. Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha
untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga
mencakupi:
1) Selfdirective, taat terhadap agama atau moral berdasarkan
pertimbangan pribadi
2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kntik
3) Saive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama
4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral
5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan mon
masyarakat
e. Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakar
sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan
agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
Howard Bell dan Ross berdasarkan penelitiannya terhadap remaja di
Maryland terungkap hasil sebagai benkut:
1) Remaja yang taat (kegereja secara teratur)..... 45%
2) Remaja yang sesekali dan tidak sama sekali
3) Minat terhadap: Ekonomi, keuangan, materil dan sukses pribadi
4) Minat terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial 21%
f. Ibadah
1) Pandangan para remaja terhadap ajaran agama Ibadah dan masalah doa
sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky
menunjukkan:
a) 148 siswi dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka tidak
pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangkan sisanya
(128) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 di antaranya
secara alami (tidak melalui pengajaran resmi).
b) 31 orang di antara yang mendapat pengalaman keagamaan
melalui proses alami itu mengungkapkan acdanya perhatian
mereka terhadap keajaibanyang menakjubkandibalik keindahan
alam yang mereka nikmati.
2) Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan
sebagai berikut:
a) 42% tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali
b) 33% mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin
c) Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka
d) 27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka
meredakan kesusahan yang mereka derita
e) 18 % mengatakan bahwa sembahyang nenyebabkan mereka
menjadi senang sesudah menunaikannya.
f) 11% mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung
jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.
g) 4% mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang
mengandung arti yang penting
Jadi hanya 17% mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk
berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap
bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi
F. Konflik dan Keraguan
Dari sampel yang diambil W.Starbuck terhadap mahasiswa Middleburg
College , tersimpul bahwa : dari remaja usia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142
mahasiswa yang mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang
mereka terima, cara penerapan, keadaan lembaga keagamaan dan para pemuka
agama.
Dari analisis hasil penelitian W. Starbuck mnemukan penyebab timbulnya
keraguan itu antara lain adalah faktor:
1. Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
2. Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi dan alirn keagamaan yang
kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya.
Pengaruh ini dapat menjadi penyebab timbulnva keraguan para remaja
Demikian pula tindak-tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti
tuntutan agama
3. Pernyataan Kebutuhan Manusia
Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada dan
dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini
maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu
merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. la terdorong untuk
mempelajari ajaran agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang
sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul keraguan.
4. Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya
akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.
Misalnya seorang remaja Protestan akan merasa ragu melihat situasi dan
ajaran Katolik yang sangat berbeda dengan apa yang biasa diterimanya.
5. Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang
dimilikinya akan membawa pengaruh sikapnya terhadap ajaran agama.
Remaja yang terpelajar akan menjadi lebih kritis terhadap ajaran agamanya,
terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi
jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang
dianutnya itu secara lebih rasional.
6. Percampuran antara Agama dan Mistk
Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur 2 agama dengan
mistik. Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tak
disadari tindak keagamaan vang mereka lakukan ditopangi oleh praktek
kebatinan dan mistik. Penyatuan unsur ini mcrupakan suatu dilema yang
kabur bagi para remaja. Selanjutnya secara individu sering pula terjadi
keraguan yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai:
a) kepercayan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinga terutama
(dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan scbagai Trinitas
b) Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-
tempat suci agama.
c) Alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi Salib dan rosario dalam
Kristen
d) Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan.
e) Pemuka agama, Biarawan dan Biarawati
f) Perbedaan aliran dalam keagamaan, Sekte (dalam agama Kristen), atau
mazhab (Islam).
Keragu-raguan yang demikian akan menjurus ke arah munculnva konflik
dalam diri para remaja sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara
mana yang baik dan yang buruk serta antara yang benar dan yang salah.
Konfik ada beberapa macam di antaranya:
a) Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
b) Konfik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macan agama atau
ide keagamaan serta lembaga keagamaan.
c) Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau
sekularisme
d) Konflik yang teradi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan
kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk lahi.
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja, sebenarnya banyak
tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik
batin yang terjadi dalam diri. Usia remaja memang dikenal sebagai usia
rawan. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Secara fisik remaja mengalami pertumbuhan yang pesat,
dan sudah menyamai fisik orang dewasa. Namun pesatnya pertumbuhan fisik
itu belum diimbangi setara oleh perkembangan psikologisnya. Kondisi seperti
itu menyebabkan remaja mengalami kelabilan
Secara fisik remaja suclah berpenampilan dewasa, teapi secara psikologis
belum. Ketidakseimbangan ini menjadikan remaja menempatkan remaja
dalam suasana kehidupan batin terombang-ambing (strum und drang). Untuk
mengatasi kemelut batin itu, maka seyogyaanva mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan. Para remaja membutuhkan tokoh pelindung yang
mampu diajak berdialog dan berbagi rasa. Selain itu mereka pun
mengharapkan adanya pegangan hidup sebagai tempat bergantung.
Dalam upaya mengatasi kegalauan batin ini, para remaja cenderung untuk
bergabung dalam peer group (teman sebaya), untuk saling berbagi rasa dan
pengalaman. Di luar itu kebutuhan remaja akan sosok pelindung mendorong
mereka untuk memilih sosok idola. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan
emosionalnya, maka para remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika dan
estetika. Dalam kaitan ini pula sebenarnya nilai-nilai agama dapat diperankan
sebagai bimbingan rohaniah.
Namun demikian dalam kenyataannya, apa yang dialami oleh remaja
selalu berbeda dengan apa yang mercka inginkan. Nilai-nilai ajaran agama
yang diharapkan dapat mengisi kekosongan batin mereka terkadang tidak
sepenuhnya sesuai dengan harapan. Sejalan dengan perkembangan
inteleknya, remaja sering dibingungkan oleh acanya perbedaan aacan agama
yang mereka terima. Secara logika remaja berpegang pada prinsip, bahwa bila
agama merupakan ajaran yang bersumber dari Tuhan yang Esa, mengapa
dalam informasi mereka terima dijumpai berbagai perbedaan.
Adanya mazhab, sekte dan aliran dalam agama dan masing-masing
pendukungnya mengklaim akan kebenarannya. Di pihak lain, tak jarang pula
mereka jumpai para tokoh dan pemimpin agama yang semula mereka
idolakan menampilkan perilaku yang kurang terpuji. Semua itu dapat
menimbulkan kebingungan serta tumbuhnya benih-benih keraguan tehadap
agama yang mereka anut.
Sikap kritis terhadap lingkungan memang sejalan dengan perkembangan
intelektual yang dialami para remaja. Bila persoalan itu gagal diselesaikan
maka para remaja cenderung untuk memilih jalan sendiri. Dalam situasi yang
demikian itu, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terkuak lebar.
Tak jarang para remaja mengambil jalan pintas untuk mengatasi kemelut
batin yang mereka alami itu. Dalam kondisi seperti itu, biasanya peer group
ikut berperan dalam menentukan pilihan. Pelarian batin ini terkadang turut
menjebak mereka ke arah perbuatan negatif dan merusak. Kasus narkoba,
kebrutalan, maupun tindak kriminal mrupakan bagian dari kegagalan remaja
menemukan jalan hidup yang dapat menentramkan gejolak batinnya.
Bila tindakan serupa dilakukan, remaja akan terbelit dalam situasi kemelut
kehidupan batin yang baru. Di satu sisi, sebagai makhluk ciptaan Tuh an
mereka dibekali potensi keberagamaan. Benih-benih itu tetap akan terpelihara
dalam dirinya yng berperan dalam menumbuhkanrasa kesadaran beragama.
Tetapi di pihak lain mereka sudah melakukan berbagai tindakan yang
menyalahi tuntunan ajaran agama. Dua kutub yang bertentangan ini
menimbulkan rasa bersalah atau rasa berdosa pada diri remaja.
Adapun penyelesaian yang mungkin dilakukan sangat tergantung dari
kemampuan memilih. Bila tingkat rasa bersalah dan berdosa yang lebih
dominan, biasanya remaja cenderung untuk kembali mencari jalan “
pengampunan”. Sebaliknya bila perilaku menyimpang dianggap sebagai
"pembenaran", maka keterlibatan merecka akan semakin besar. Tindakan
yang diistilahkan "sudah kepalang basah" akan mendorong mereka terbiasa
dengan pekerjaan tercela itu.
Menghadapi gejala seperti ini pula, nilai-nilai ajaran agama sebenarnva
dapat difungsikan. Tokoh dan pemuka agama memiliki peran strategis dalam
mengatasi kemelut batin remaja, bila mereka mampu melakukan pendekatan
yang tepat. Sebaliknya bila gagal, maka kemungkinan yang terjadi adalah
para remaja akan menjauhkan diri dari agama mencari agama baru, atau rujuk
ke nilai-nilai agama yang dianutnya dan mengubah sikap menjadi lebih taat.
Dalam konteks ini tampaknya pemuka dan pendidik agama perlu
merumuskan paradigma baru dalam menjalankan tugas bimbingannya.
Setidaknya bimbingan keagamaan bagi para remaja perlu dirumuskan dengan
berorientasi pada pendekatan psikologi perkembangan yang serasi dengan
karakteristik yang dimiliki remaja. Dengan demikian nilai-nilai ajaran agama
tidak lagi hanya terbatas pada informasi ajaran yang bersifat normatif dan
hitam putih. Ajaran agama tidak hanya menampilkan dosa dan pahala, atau
sorga dan neraka, maupun siksa dan ganjaran.
Lebih dari itu, ajaran agama mampu menampilkan nilai-nilai yang
berkaitan dengan peradaban manusia secara utuh. Didalamnya terkemas
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara berimbang. Pada aspek kognitif
nilai-nilai ajaran agama diharapkan dapat mendorong remaja untuk
mengembangkan kemampuan intelektualnya secara optimal. Sedangkan
aspek afektif diharapkan nilai-nilai ajaran agama dapat memperteguh sikap
dan perilaku keagamaan. Demikian pula aspek psikomotor diharapkan akan
mampu menanamkan keterikatan dan keterampilan lakon keagamaan.
Berangkat dari pendekatan itu, diharapkan para remaja akan melihat
bahwa agama bukan hanya sekedar lakon ritual semata. Lebih dari itu mereka
juga akan ikut disadarkan bahwa ruang lingkup ajaran agama juga mencakup
peradaban manusia dan perlindungan dan pemeliharaan terhadap makhluk
Tuhan. Nilai-nilai ajaran agama menjadi terkait dengan upaya peningkatan
kualitas sumber dava insani yang dibutuhkan untuk meningkatkan harakat
dan martabat manusia secara individu maupun manusia pada umumnya.
Melalui pendekatan dan pemetaan nilai-nilai ajaran agama yang lengkap
dari utuh seperti itu, setidaknya akan memberi kesadaran baru bagi remaja,
bahwa agama bukan sebagai alat pemasung kreativitas manusia, melainkan
sebagai pendorong utama. Dengan demikian diharapkan remaja akan
dimotivasi untuk mengenal ajaran agama dalam bentuk yang sebenarnya.
Agama yang mengandung nilai-nilai ajaran yang sejalan dengan fitrah
manusia, universal, dan bertumpu pada pembentukan sikap akhlaq mulia.

Anda mungkin juga menyukai