Disusun oleh
ANDRIYANSAH 1601010095
1
Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 70.
pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan
memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut.
Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu ia tak mau
berdoa lagi.
Dua contoh di atas menunjukkan, bahwa anak itu sudah menunjukkan pemikiran
yang kritis, walaupun bersifat sederhana, menurut penelitian pikiran kritis baru
timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. Di usia tersebut,
bahkan anak kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang korektif. Di sini
menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek
yang bersifat kongkret.
2. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia
perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka
akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat
pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak
telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan
yang mereka pandang dan kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang
mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-
kanakan (Childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian
mengganggu pertumbuhan keagamaannya.
3. Anthromorpbis
Pada umumnya konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil
pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan
bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek
kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap
bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari
dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat
yang gelap.
Surga terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak
menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung kerumah-
rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6 tahun
menurut penelitian Praff, pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut:
Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak
makan tetapi hanya minum embun. Konsep ke-Tuhanan yang demikian itu
mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.
pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak
kanak mereka. Scbaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami
kesukaran. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat
ritualis (praktek) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari
tingkat perkembangan agama pada anak-anak
5. Imitailf
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan
yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan
shalat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan,
baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa
menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat
peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahastswa di
salah-satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat
pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik
kematangan agama yang kekal. Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak
semata-mata berdasarkan yang mereka peroleh sejak kecil namun pendidikan
keagamaan (religlous paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah
laku keagamaan (religious bebaviour) melalui sifat meniru itu.
6. Rasa beran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang
terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum terhadap keindahan lahiriah saja.
Hal ini merupakan langkah pertama ddari pernyataan kebutuhan anak akan
dorongan untuk mengenai sesuatu yang baru(New experience. Rasa kagum
mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takub.
c. Pertimbangan Sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh acanya pertimbangan
sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara
pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan
pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan
materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
Hasil penyelidikan Emest Harms terhadap 1789 remaja Amerika antara usia
18- 29 tahun menunjukkan bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan hagi
kepentingan keuangan, kesejahteraan, kebahagian, kchormatan diri dan
masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akhirat dan
keagamaan hanya sekitar 36%, masalah sosial 5,8%.
d. Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha
untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga
mencakupi:
1) Selfdirective, taat terhadap agama atau moral berdasarkan
pertimbangan pribadi
2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kntik
3) Saive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama
4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral
5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan mon
masyarakat
e. Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakar
sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan
agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
Howard Bell dan Ross berdasarkan penelitiannya terhadap remaja di
Maryland terungkap hasil sebagai benkut:
1) Remaja yang taat (kegereja secara teratur)..... 45%
2) Remaja yang sesekali dan tidak sama sekali
3) Minat terhadap: Ekonomi, keuangan, materil dan sukses pribadi
4) Minat terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial 21%
f. Ibadah
1) Pandangan para remaja terhadap ajaran agama Ibadah dan masalah doa
sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky
menunjukkan:
a) 148 siswi dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka tidak
pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangkan sisanya
(128) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 di antaranya
secara alami (tidak melalui pengajaran resmi).
b) 31 orang di antara yang mendapat pengalaman keagamaan
melalui proses alami itu mengungkapkan acdanya perhatian
mereka terhadap keajaibanyang menakjubkandibalik keindahan
alam yang mereka nikmati.
2) Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan
sebagai berikut:
a) 42% tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali
b) 33% mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin
c) Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka
d) 27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka
meredakan kesusahan yang mereka derita
e) 18 % mengatakan bahwa sembahyang nenyebabkan mereka
menjadi senang sesudah menunaikannya.
f) 11% mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung
jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.
g) 4% mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang
mengandung arti yang penting
Jadi hanya 17% mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk
berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap
bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi
F. Konflik dan Keraguan
Dari sampel yang diambil W.Starbuck terhadap mahasiswa Middleburg
College , tersimpul bahwa : dari remaja usia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142
mahasiswa yang mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang
mereka terima, cara penerapan, keadaan lembaga keagamaan dan para pemuka
agama.
Dari analisis hasil penelitian W. Starbuck mnemukan penyebab timbulnya
keraguan itu antara lain adalah faktor:
1. Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
2. Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi dan alirn keagamaan yang
kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya.
Pengaruh ini dapat menjadi penyebab timbulnva keraguan para remaja
Demikian pula tindak-tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti
tuntutan agama
3. Pernyataan Kebutuhan Manusia
Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada dan
dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini
maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu
merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. la terdorong untuk
mempelajari ajaran agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang
sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul keraguan.
4. Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya
akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.
Misalnya seorang remaja Protestan akan merasa ragu melihat situasi dan
ajaran Katolik yang sangat berbeda dengan apa yang biasa diterimanya.
5. Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang
dimilikinya akan membawa pengaruh sikapnya terhadap ajaran agama.
Remaja yang terpelajar akan menjadi lebih kritis terhadap ajaran agamanya,
terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi
jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang
dianutnya itu secara lebih rasional.
6. Percampuran antara Agama dan Mistk
Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur 2 agama dengan
mistik. Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tak
disadari tindak keagamaan vang mereka lakukan ditopangi oleh praktek
kebatinan dan mistik. Penyatuan unsur ini mcrupakan suatu dilema yang
kabur bagi para remaja. Selanjutnya secara individu sering pula terjadi
keraguan yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai:
a) kepercayan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinga terutama
(dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan scbagai Trinitas
b) Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-
tempat suci agama.
c) Alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi Salib dan rosario dalam
Kristen
d) Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan.
e) Pemuka agama, Biarawan dan Biarawati
f) Perbedaan aliran dalam keagamaan, Sekte (dalam agama Kristen), atau
mazhab (Islam).
Keragu-raguan yang demikian akan menjurus ke arah munculnva konflik
dalam diri para remaja sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara
mana yang baik dan yang buruk serta antara yang benar dan yang salah.
Konfik ada beberapa macam di antaranya:
a) Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
b) Konfik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macan agama atau
ide keagamaan serta lembaga keagamaan.
c) Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau
sekularisme
d) Konflik yang teradi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan
kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk lahi.
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja, sebenarnya banyak
tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik
batin yang terjadi dalam diri. Usia remaja memang dikenal sebagai usia
rawan. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Secara fisik remaja mengalami pertumbuhan yang pesat,
dan sudah menyamai fisik orang dewasa. Namun pesatnya pertumbuhan fisik
itu belum diimbangi setara oleh perkembangan psikologisnya. Kondisi seperti
itu menyebabkan remaja mengalami kelabilan
Secara fisik remaja suclah berpenampilan dewasa, teapi secara psikologis
belum. Ketidakseimbangan ini menjadikan remaja menempatkan remaja
dalam suasana kehidupan batin terombang-ambing (strum und drang). Untuk
mengatasi kemelut batin itu, maka seyogyaanva mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan. Para remaja membutuhkan tokoh pelindung yang
mampu diajak berdialog dan berbagi rasa. Selain itu mereka pun
mengharapkan adanya pegangan hidup sebagai tempat bergantung.
Dalam upaya mengatasi kegalauan batin ini, para remaja cenderung untuk
bergabung dalam peer group (teman sebaya), untuk saling berbagi rasa dan
pengalaman. Di luar itu kebutuhan remaja akan sosok pelindung mendorong
mereka untuk memilih sosok idola. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan
emosionalnya, maka para remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika dan
estetika. Dalam kaitan ini pula sebenarnya nilai-nilai agama dapat diperankan
sebagai bimbingan rohaniah.
Namun demikian dalam kenyataannya, apa yang dialami oleh remaja
selalu berbeda dengan apa yang mercka inginkan. Nilai-nilai ajaran agama
yang diharapkan dapat mengisi kekosongan batin mereka terkadang tidak
sepenuhnya sesuai dengan harapan. Sejalan dengan perkembangan
inteleknya, remaja sering dibingungkan oleh acanya perbedaan aacan agama
yang mereka terima. Secara logika remaja berpegang pada prinsip, bahwa bila
agama merupakan ajaran yang bersumber dari Tuhan yang Esa, mengapa
dalam informasi mereka terima dijumpai berbagai perbedaan.
Adanya mazhab, sekte dan aliran dalam agama dan masing-masing
pendukungnya mengklaim akan kebenarannya. Di pihak lain, tak jarang pula
mereka jumpai para tokoh dan pemimpin agama yang semula mereka
idolakan menampilkan perilaku yang kurang terpuji. Semua itu dapat
menimbulkan kebingungan serta tumbuhnya benih-benih keraguan tehadap
agama yang mereka anut.
Sikap kritis terhadap lingkungan memang sejalan dengan perkembangan
intelektual yang dialami para remaja. Bila persoalan itu gagal diselesaikan
maka para remaja cenderung untuk memilih jalan sendiri. Dalam situasi yang
demikian itu, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terkuak lebar.
Tak jarang para remaja mengambil jalan pintas untuk mengatasi kemelut
batin yang mereka alami itu. Dalam kondisi seperti itu, biasanya peer group
ikut berperan dalam menentukan pilihan. Pelarian batin ini terkadang turut
menjebak mereka ke arah perbuatan negatif dan merusak. Kasus narkoba,
kebrutalan, maupun tindak kriminal mrupakan bagian dari kegagalan remaja
menemukan jalan hidup yang dapat menentramkan gejolak batinnya.
Bila tindakan serupa dilakukan, remaja akan terbelit dalam situasi kemelut
kehidupan batin yang baru. Di satu sisi, sebagai makhluk ciptaan Tuh an
mereka dibekali potensi keberagamaan. Benih-benih itu tetap akan terpelihara
dalam dirinya yng berperan dalam menumbuhkanrasa kesadaran beragama.
Tetapi di pihak lain mereka sudah melakukan berbagai tindakan yang
menyalahi tuntunan ajaran agama. Dua kutub yang bertentangan ini
menimbulkan rasa bersalah atau rasa berdosa pada diri remaja.
Adapun penyelesaian yang mungkin dilakukan sangat tergantung dari
kemampuan memilih. Bila tingkat rasa bersalah dan berdosa yang lebih
dominan, biasanya remaja cenderung untuk kembali mencari jalan “
pengampunan”. Sebaliknya bila perilaku menyimpang dianggap sebagai
"pembenaran", maka keterlibatan merecka akan semakin besar. Tindakan
yang diistilahkan "sudah kepalang basah" akan mendorong mereka terbiasa
dengan pekerjaan tercela itu.
Menghadapi gejala seperti ini pula, nilai-nilai ajaran agama sebenarnva
dapat difungsikan. Tokoh dan pemuka agama memiliki peran strategis dalam
mengatasi kemelut batin remaja, bila mereka mampu melakukan pendekatan
yang tepat. Sebaliknya bila gagal, maka kemungkinan yang terjadi adalah
para remaja akan menjauhkan diri dari agama mencari agama baru, atau rujuk
ke nilai-nilai agama yang dianutnya dan mengubah sikap menjadi lebih taat.
Dalam konteks ini tampaknya pemuka dan pendidik agama perlu
merumuskan paradigma baru dalam menjalankan tugas bimbingannya.
Setidaknya bimbingan keagamaan bagi para remaja perlu dirumuskan dengan
berorientasi pada pendekatan psikologi perkembangan yang serasi dengan
karakteristik yang dimiliki remaja. Dengan demikian nilai-nilai ajaran agama
tidak lagi hanya terbatas pada informasi ajaran yang bersifat normatif dan
hitam putih. Ajaran agama tidak hanya menampilkan dosa dan pahala, atau
sorga dan neraka, maupun siksa dan ganjaran.
Lebih dari itu, ajaran agama mampu menampilkan nilai-nilai yang
berkaitan dengan peradaban manusia secara utuh. Didalamnya terkemas
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara berimbang. Pada aspek kognitif
nilai-nilai ajaran agama diharapkan dapat mendorong remaja untuk
mengembangkan kemampuan intelektualnya secara optimal. Sedangkan
aspek afektif diharapkan nilai-nilai ajaran agama dapat memperteguh sikap
dan perilaku keagamaan. Demikian pula aspek psikomotor diharapkan akan
mampu menanamkan keterikatan dan keterampilan lakon keagamaan.
Berangkat dari pendekatan itu, diharapkan para remaja akan melihat
bahwa agama bukan hanya sekedar lakon ritual semata. Lebih dari itu mereka
juga akan ikut disadarkan bahwa ruang lingkup ajaran agama juga mencakup
peradaban manusia dan perlindungan dan pemeliharaan terhadap makhluk
Tuhan. Nilai-nilai ajaran agama menjadi terkait dengan upaya peningkatan
kualitas sumber dava insani yang dibutuhkan untuk meningkatkan harakat
dan martabat manusia secara individu maupun manusia pada umumnya.
Melalui pendekatan dan pemetaan nilai-nilai ajaran agama yang lengkap
dari utuh seperti itu, setidaknya akan memberi kesadaran baru bagi remaja,
bahwa agama bukan sebagai alat pemasung kreativitas manusia, melainkan
sebagai pendorong utama. Dengan demikian diharapkan remaja akan
dimotivasi untuk mengenal ajaran agama dalam bentuk yang sebenarnya.
Agama yang mengandung nilai-nilai ajaran yang sejalan dengan fitrah
manusia, universal, dan bertumpu pada pembentukan sikap akhlaq mulia.