Anda di halaman 1dari 16

Perkembangan Ilmu Jiwa Agama Pada Manusia

(Tugas ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Psikologi Agama)

Dosen Pengampuh: Dedi Sahputra Napitupulu, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 5

Alya Wira Maharani (0301193271)

Rudi Luqman (031193203)

Rahmat Akbarsyah (0301192133)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2022
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kami ini pada tepat waktu. Adapun tujuan dari
penulisan dari makalah ini untuk memenuhi tugas dosen mata kuliah Psikologi Agama.
Selain itu, tugas ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi
kami selaku penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dedi Sahputra Napitupulu, M.Pd
selaku dosen mata kuliah Psikologi Agama yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kami sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari, tugas yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan tugas
kami ini.

Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, April 2022

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama


B. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
C. Perkembangan Agama Pada Anak-anak
D. Sifat-sifat Agama Pada Anak-anak

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan
yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini
memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih
pada usia dini.

Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religious. Adapula
yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan.
Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah
berada pada tahap kematangan.

Dalam makalah ini akan membahas tentang tahapan pertumbuhan dan perkembangan jiwa
keagamaan pada anak.

B. Rumusan Masalah
a. Apa saja Teori tentang Sumber Kejiwaan Agama ?
b. Bagaimana Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak ?
c. Bagaimana Perkembangan Agama pada Anak-anak ?
d. Apa saja sifat-sifat Agama pada Anak-anak ?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui teori tentang sumber kejiwaan agama


2. Untuk mengetahui timbulnya jiwa keagamaan pada anak
3. Untuk mengetahui perkembangan agama pada anak-anak
4. Untuk mengetahui sifat-sifat agama pada anak-anak
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama

Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa yang menjadi
keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum,
pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan hasil riset dan observasi
mereka mengambil kesimpulan bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan
kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya,
bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan
kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencita dan dicintai Tuhan.

Berdasarkan kesimpulan di atas manusia ingin mengabdikan dirinya kepada Tuhan atau
sesuatu yang dianggapnya sebagai Zat yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Keinginan itu
terdapat pada setiap kelompok, golongan atua masyarakat manusia dari yang paling primitive
hingga yang paling modern.1

Pernyataan yang timbul adalah : apakah yang menjadi sumber pokok yang mendasarkan
timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan itu? Atau dengan kata lain
“Apakah yang menjadi sumber kejiwaan agama itu”?

Untuk memberikan jawab itu telah timbul beberapa teori antara lain :
1. Teori Monistik : (Mono=Satu)

Teori monistik berpendapat, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah
satu sumber kejiwaan. Selanjutnya sumber tunggal manakah yang dimaksud yang paling
dominan sebagai sumber kejiwaan itu timbul beberapa pendapat, yaitu yang dikemukakan
oleh :

a. Thomas Van Aquino

1
. Muhibinsyah, “Psikolgi Perkembangan Dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2010), hlm. 40-41.
Sesuai dengan masanya Thomas Aquino mengemukakan, bahwa yang menjadi
sumber kejiwaan agama itu, ialah berpikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan
kemampuan berpikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir
manusi itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang
di mana para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.

b. Fredrick Hegel

Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Thomas Van Aquino, maka
filosof Jerman ini berpendapatk agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh
benar dan tempat kebenaran abadi.

2. Teori Fakulti (Faculty Theory)

Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia tidak bersumber pada suatu faktor
yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsure, antara lain yang dianggap memegang
peranan penting adalah : fungsi cipta (reason), rasa (emotion) dan karsa (will).

Demikian pula perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan
oleh tiga fungsi tersebut :2

1) Cipta (reason) berperanan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu
agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
2) Rasa(emotion) menimbulkansikap batin yang seimbang dan positif dalam
menghayati kebenaran ajaran agama.
3) Karsa (will) menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar
dan logis.

Salah satu tokoh yang menggunakan teori ini adalah Zakiah Daradjat.

Zakiah Daradjat

Dr. Zakiah Daradjat berpendapat bahwa pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok.
Beliau mengemukakan, bahwa selain dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani manusia
pun mempunyai suatu kebutuhan akan adanya kebutuhan akan keseimbangan dalam
kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan.

Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu :

2
. Zakiah Darajat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), hlm. 35.
1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang; kebutuhan yang menyebabkan manusia
mendambakan rasa kasiha. Sebagai pernyataan tersebut dalam bentuk negatifnya
dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya : mengeluh, mengadu, menjilat
kepada atasan mengambinghitamkan orang dan lain sebagainya.
Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan ini maka akan timbul gejala psiko-somatis
misalnya ; hilang nafsu makan, pesimis, keras kepala, kurang tidur dan lain-lain.
2. Kebutuhan akan rasa aman; kebutuhan yang mendorong manusi mengharapkan
adanya perlindungan. Kehilangan rasa aman ini akan mengakibatkan manusia sering
curiga, nakal, mengganggu, membela diri, mengguakan jimat-jimat dan lain-lain.
Kenyataan dalam kehidupan ialah adanya kecenderungan manusia mencari
perlindungan dari kemungkitan gangguan terhadap dirinya, misalnya: system
perdukunan, pertapaan dan lain-lain.
3. Kebutuhan akan rasa harga diri, kebutuhan yang bersifat individual yang
mendoron manusia agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. Dalam
kenyataan terlihat mislnya; sikap sombong, ngambek, sifat sok tahu dan lain-lain.
Kehilangan rasa harga diri ini akan mengakibatkan tekanan batin, misalnya sakit jiwa:
delusi dan illusi.
4. Kebutuhan akan rasa bebas: kebutuhan yang menyebabkan seseorang bertindak
secara bebas, untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega.
5. Kebutuhan akan rasa sukses: kebutuhan manusia yang menyebabkan ia
mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil
karyanya. Jika kebutuhan akan rasa sukses ini ditekan, maka seseorang yang
mengalami hal tersebut akan kehilangan harga dirinya.
6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal); kebutuhan yang menyebabkan
manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. Jika kebutuhan ini diabaikan akan
mengakibatkan tekanan batin, oleh karena itu kebutuhan ini harus disalurkan untuk
memenuhi pemuasan pembinaan pribadinya.3

Menurut Dr. Zakiah Darajat selanjutnya gabungan dari keenam macam kebutuhan tersebut
menyebabkan orang memerlukan agama. Melalui agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat
disalurkan. Dengan melaksanakan ajaran agama secara baik maka kebutuhan akan rasa kasih
saying, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa ingin tahu akan terpenuhi.

3
. Abu Ahmadi, Munawar Sholeh, “Psikologi Perkembangan”, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005),
hlm. 1-7.
B. TIMBULNYA JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK

Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan
yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini
memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih
pada usia dini. Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya maka seorang anak menjadi dewasa
memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu :

1). Prinsip Biologis

Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak
tanduknya ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan
kata lain ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk
instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara
maksimal.

2). Prinsip tanpa daya

Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru
dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia
sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.

3).Prinsip Eksplorasi

Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir
baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi
mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan
serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya. Kesemuanya
itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan melalui pentahapan. Demikian juga
perkembangan agama pada diri anak.4

Timbulnya Agama Pada Anak

Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religious. Adapula
yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan.

4
. Zakiah Darajat, “Ilmu Jiwa Agama”, hlm. 46.
Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah
berada pada tahap kematangan.

Masalah tersebut marilah kita kemukakan beberapa teori mengenai pertumbuhan agama
pada anak itu antara lain :

1. Rasa ketergantungan (Sense of Depende)

Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia
dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan
(security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat
tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan
kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam
ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu
kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.

2. Instink Keagamaan

Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya
instink keagamaan. Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi
kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Misalnya
instink social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru
berfungsi setgelah naka dapat bergaul dan berkembang untuk berkomunikasi. Jadi instink
social itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan. 5

C. PERKEMBANGAN AGAMA PADA ANAK-ANAK

Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase
(tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religios on Children ia mengatakan bahwa
perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu :

1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)

Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3 – 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep
mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat
perkembangan ini akan menghayati konsep ke Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan

5
. Heti. “Sikap Keberagamaan dan Prilaku Altruisme Mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati
Bandung Angkatan 2000”. (Bandung : UIN Bandung 2000), hlm, 2-3.
intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga
dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh
dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.

2. The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)

Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia (masa usia)
adolesense. Pada masa ini die ke Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga
keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan
pada anak di dasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep
Tuhan yang formalis. Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang
pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan
mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan
penuh minat.

3. The Individual Stage (Tingkat Individu)

Pada tingkat ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan
perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga
golongan, yaitu :

a. Konsep ke Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi


sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luas.
b. Konsep ke Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang
bersifat personal (perorangan)
c. Konsep Ke Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos
humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap
tingkatan dipengaruhi oleh factor intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern
berupa pengaruh luar yang dialaminya.6

D. SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK-ANAK

Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-
anak. Sesuai dengan cirri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh

6
. Muhammad Ichsan Thaib, “Perkembangan Jiwa Agama Pada Masa Remaja”. Substantia.
Vol. 2, No. 2. Oktober 2015, hlm. Abstrak
mengikuti pola ideas concept on outhority, ide keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh
factor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah
melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan
mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang
sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh
terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian
ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka
pelajari dan para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima
ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas :7

1. Unreflective ( Tiak mendalam)

Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak 73 % mereka
menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang
mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan
demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan tanpa
kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya
saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk
akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki
ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.

Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu :


a. Suatu peristiwa seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan
selalu mengabulkan permintaan hamba-Nya. Kebetulan seorang anak lalu di depan
sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi berbentuk kerucut.
Sekembalinya ke rumah ia langsung berdoa kepada Tuhan untuk apa yang diingininya
itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka itu ditegur. Ibunya berkata bahwa
dalam berdoa tak boleh seseorang memaksakan Tuhan untuk mengabulkan barang
yang diinginkannya itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung mengemukakan
pertanyaan : “ Mengapa “?
b. Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan
sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak
itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada

7
. Zakiah Darajat, “Ilmu Jiwa Agama”, hlm. 69.
di daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak
itu ia tak mau berdoa lagi.8
Dua contoh diaatas menunjukkan bahwa anak itu sudah menunjukkan pemikiran
yang kritis, walaupun bersifat sederhana, menurut penelitian pikiran kritis baru timbul
pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. Di usia tersebut, bahkan anak
kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang korektif. Di sini menunjukkan
bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat
kongkret.
2. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia
perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka
tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula
egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah
menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka
pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih
sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan
memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian menganggu pertumbuhan
keagamaannya.
3. Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil
pengalamannya ke kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan
bahwa konsep ke Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek
kemanusiaan.
Melalui konsep yang berbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa
perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan
menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang
gelap.
Surge terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa
Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai
layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6 tahun menurut penelitian Praff,
pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut :

8
. Zakiah Darajat, “Ilmu Jiwa Agama”, hlm. 74-75.
Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak
makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi
masing-masing.9
4. Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian
besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan
berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas
lalu hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di
masa selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa
banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang
dilaksanakan pada masa anak-anak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia dewasa
banyak mengalami kesuburan. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara
keagamaan yang bersifat ritualis (praktek) merupakan hal yang berarti dan merupakan
salah satu cirri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
5. Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang
dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat
misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik
berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap,
bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini
merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.10
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa di salah satu
perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat pendidikan agama
dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama yang
kekal.
Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak semata-mata berdasarkan yang mereka
memperoleh sejak kecil namun pendidikan keagamaan (religious paedagogis) sangat

9
. Soesilowindradini, “Psikologi Perkembangan (Masa Remaja)”. (Surabaya : Usaha Nasional, 2000), hlm. 132-
137.
10
. Jalaludin Rahmat, “Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi)”. (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2008), hlm. 53.
mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan (religious behavior) melalui sifat
meniru itu.
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada
anak.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam
keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten.
Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan
yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada
anak-anak. Sesuai dengan cirri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak
tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority, ide keagamaan pada diri mereka
dipengaruhi oleh factor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena
anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri
mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan
orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan
kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan
prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran
agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dan
para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima
ajaran. Banyak teori yang mengemukakan perkembangan agama pada anak atau
remaja. Namun, sejatinya sama tujuannya yaitu untuk mendapatkan kebenaran agama
yang hakiki.

B. Saran

Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan pembaca agar menambah wawasan
tentang proses pendidikan islam dalam mengembangkan fitrah beragama. Dalam
penulisan ini masih banyak kekurangan – kekurangan untuk itu penulis berharap
dapat di beri masukan, kritik, saran yang bersifat membangun.

DAFTAR PUSTAKA
Mohammad Muchlis Solichin, 2007, Fitrah: Konsep dan Pengembanganya dalam
Pendidikan Islam, Jurnal Tadris, Vol 2 No 2

Muhibinsyah, 2010, “Psikolgi Perkembangan Dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : Remaja

Rosdakarya,

Zakiah Darajat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), hlm. 35.

Abu Ahmadi, Munawar Sholeh, “Psikologi Perkembangan”, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005),

hlm. 1-7.

Zakiah Darajat, “Ilmu Jiwa Agama”, hlm. 46.

Heti. “Sikap Keberagamaan dan Prilaku Altruisme Mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati

Bandung Angkatan 2000”. (Bandung : UIN Bandung 2000), hlm, 2-3.

Muhammad Ichsan Thaib, “Perkembangan Jiwa Agama Pada Masa Remaja”. Substantia.

Vol. 2, No. 2. Oktober 2015, hlm. Abstrak

Zakiah Darajat, “Ilmu Jiwa Agama”, hlm. 69.

Zakiah Darajat, “Ilmu Jiwa Agama”, hlm. 74-75.

Soesilowindradini, “Psikologi Perkembangan (Masa Remaja)”. (Surabaya : Usaha Nasional,


2000), hlm. 132-137.

Jalaludin Rahmat, “Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi)”. (Bandung : Remaja Rosdakarya,

2008), hlm. 53.

Anda mungkin juga menyukai