Anda di halaman 1dari 97

CRITICAL BOOK REVIEW

DOSEN PENGAMPUH: Mahariah,M.Ag

DI SUSUN OLEH : ALYA WIRA MAHARANI


(0301193271)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


ILMU PENDIDIKAN ISLAM

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul CRITICAL BOOK
REVIEW. Panduan penulisan Makalah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh
nilai tugas pada mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam PAI pada program sarjana ilmu
tarbiyah dan keguruan Universitas Islam Negri Sumatra Utara Medan, akhirnya dapat
selesai dengan bantuan bantuan berbagai pihak .oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih.namun penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
memperbaiki tugas makalah ini .

Akhir kata penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan semoga tugas makalah dalam memperkaya Ilmu pendidikan Agama Islam.

Data/identitas buku 1

Prof. Drs. Syafaruddin, M.Pd


Nama Pengarang:
Dra. Hj. Nurgayah Pasha, M.A Mahariah, M.A

Judul Buku: ILMU PENDIDIKAN ISL AM(Melejitkan Potensi Budaya Umat)

Penerbit:

Hijri Pustaka Utama

Tahun terbit: Nopember 2006


Tempat terbit: Jl. Aria Putra No.101 Komplek Bank DutaKedaung, Ciputat, Jakarta Selatan
Data/identitas buku 2

Nama Pengarang: Muhammad Muntahibun Nafis


Judul Buku: Ilmu Pendidikan Islam

Penerbit:teras
Tahun terbit:2011

Tempat terbit: Perum POLRI Gowok Blok D 3 No. 200 Depok Sleman Yogyakarta

Rangkuman buku 1

BAB I

PENDAHULUAN

I
A. TAUHID SEBAGAI LANDASAN ILMU
slam memberikan kedudukan yang sangat tinggi kepada akal manusia. Dengan akalnya
manusia dapat memahami ayatayat Allah, dan membedakan yang baik dan buruk. Pada
gilirannya manusia memiliki status ciptaan Allah yang paling baik. Bahkan keberadaan
umat Islam ditempatkan Allah sebagai umat terbaik di antara umat lain. Umat Islam dituntut
untuk mengamalkan Islam sebagi pedoman hidup dalam segala aspek kehidupan. Umat Islam
harus menjadikan ajaran Islam sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam mewujudkan
potensi dirinya. Dengan begitu umat Islam dapat melahirkan kebudayaan yang monumental
sesuai misi kekhalifahannya di muka bumi.

Islam sebagai agama memiliki ajaran-ajaran yang bersumber dari Allah SWT untuk
keperluan masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Pada
hakikatnya Islam membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi saja, tetapi
mengenai berbagai segi kehidupan manusia yang ajaran-ajarannya bersumber dari Alqur’an
dan Hadis (Nasution, 1979:24).
Pendapat di atas menegaskan bahwa agama Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam
sebagai jalan lurus dan benar bagi umat Islam.

Untuk keselamatan setiap priadi muslim harus mempedomani Islam dalam semua
kegiatannya. Mengapa demikian? Agama Islam atau AdDinul al-Islam adalah agama wahyu.
Sumber ajaran Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada
manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Allah yang mengutus
Muhammad yang membawa petunjuk yang lebih unggul dari agama-agama lain. Sebagai
idiologi (keyakinan) yang menawarkan Islam kaffah (menyeluruh), firman Allah dalam surat
Ash-Shof ayat 9:

‫ق ليظهره على ال ّدين كلّه ولوكره المشركون‬ ّ ‫هو‬


ّ ‫الذى ارسل رسوله با لهد ود ين الح‬

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar
agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang
musyrik membenci“(QS.61:9).

Sebagai agama wahyu yang terakhir, Islam merupakan suatu sistem akidah, syari’ah dan
akhlak yang mengatur segala tingkah laku manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Agama
Islam adalah sebagai pedoman hidup bagi manusia, baik hubungan manusia dengan
Tuhannya, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan dirinya sendiri
maupun hubungan manusia dengan alam dan makhluk lainnya (QS.2;2; 5:3; 3:112).

Islam merupakan agama yang benar dan sempurna di sisi Allah (QS.3:19), karena itu
orang yang mencari pedoman hidupnya selain agama Islam akan memperoleh kerugian
terutama di ‫ود‬kehendak Allah (wahyu) dengan berbuat baik (ihsan) serta penuh keikhlasan
(QS.4:125).

Seorang mukmin haruslah menjadi muslim yang kaffah, di mana seluruh aspek
kehidupannya berada dalam tatanan nilai-nilai Islam, teguh dalam akidah (tauhid) dan
konsisten dalam syari’at Islam (nilainilai Islam) serta memiliki komitmen dalam menerapkan
akhlak Islam (QS.2:208), menuju terbentuknya umat terbaik yang mengamalkan amar ma’ruf
dan melarang nahi munkar. Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 110 :

‫ وتنهون عن المنكر وتؤمنون باهلل‬k‫كنتم خير ا ّم ٍة اخرجت للنّاس تأمرون بالمعروف‬


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS.3:110).

Untuk mencapai kualitas umat terbaik, selain menyuruh kepada kebaikan, melarang yang
jahat (dakwah-pendidikan Islam-plus), maka umat Islam harus konsisten dalam keimanan
tauhid. Al-Maududi (1990:10), menjelaskan “Islam is worldview and an outlook on life. It
based on the recognation of the unity of the creator and our submission to his will. Every
thing originates from the one God and everyone is ultimately responsible to him”. Pendapat
ini menekankan bahwa Islam merupakan pandangan hidup yang didasarkan atas pengakuan
akan keesaan Pencipta (Allah) dan pengabdian manusia sesuai dengan kemauan-Nya. Dalam
hal ini, wahyu (al-qur’an dan Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam merupakan kemauan dan
kehendak Allah yang harus dijadikan pedoman hidup setiap muslim (QS.2:2; 2:147).

Ajaran keesaan Allah atau tauhid menjadi dasar bagi pengetahuan dalam Islam. Setiap
muslim mengawali pengetahuannya dengan menegaskan keesaan Allah SWT. Menurut Al-
Faruqi (1996:32), sebagai prinsip pengetahuan, tauhid adalah pengakuan bahwa Allah
sebagai kebenaran (Al-Haq) itu ada, dan bahwa Dia itu Esa. Hal ini mengimplikasikan bahwa
semua kebenaran, dan keraguan dapat diajukan kepada-Nya, bahwa tidak ada pernyataan
yang tidak boleh diuji. Demikian pula, tidak ada yang tidak boleh dinilai secara pasti. Tauhid
adalah pengakuan bahwa kebenaran bisa diketahui, dan bahwa manusia mampu
mencapainya. Jadi setiap orang yang meragukan kebenaran Allah, dan sebagai sumber
kebenaran hanya Allah SWT adalah perbuatan syirik. Setiap perbuatan pengingkaran akan
kebenaran dan keesaan Allah yang menjadi asal pengetahuan dalam Islam adalah ditolak.
Perbuatan, pandangan dan sikap seperti itu dalam Islam merupakan pengetahuan yang ditolak
karena sesat bahkan menyesatkan. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 48 menegaskan:

ً ‫ان هللا اليغفر ان يّشرك به ويعفر مادون ذلك لمن يّشآء ومن يّشرك باهلل فقد افترى اث ًما عظيما‬
ّ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang
siapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”
(QS.4:48).

Al-Faruqi menjelaskan bahwa prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip, yaitu: (1)
penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, (2) penolakan
kontradiksi-kontradiksi hakiki, (3) keterbukaan bagi bukti yang baru, dan atau bertentangan
(1996:43) .

Prinsip pertama, meniadakan kebohongan dan penipuan dalam Islam, karena prinsip
ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Prinsip ini
melindungi kaum muslim dari pernyataan yang tidak teruji dan tidak dikomfirmasikan
mengenai pengetahuan. Pernyataan yang tidak dikonfirmasikan menurut al-qur’an adalah
zhann atau pengetahuan yang menipu dan dilarang Tuhan (QS.49:12).

Prinsip kedua, yakni tidak ada kontradiksi yang hakiki, melindunginya dari
kontradiksi di satu pihak dan daripada paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi
rasionalisme. Tanpa itu, tidak ada jalan untuk lepas dari skeptisisme, sebab sebuah
kontradiksi tidak akan pernah diketahui. Kalupun terjadi kontradiksi wahyu dengan akal.
Islam tidak hanya menyangkal kemungkinan logis dari kontradiksi seperti itu, tetapi ia juga
menyediakan petunjuk untuk mengatasinya jika ia muncul dalam pemahaman. Akal ataupun
wahyu sama-sama tidak boleh menjadi raja satu atas lainnya. Jika wahyu diunggulkan, maka
tidak akan ada prinsip yang dapat digunakan untuk membedakan antara satu wahyu dengan
wahyu lainnya atau antara dua pernyataan wahyu. Jika wahyu mungkin bertentangan dengan
akal, atau dengan penemuan-penemuan dalam penelitian atau pengetahuan rasional, maka
Islam menyarankan kepada para peneliti/ilmuwan agar meninjau kembali pemahamannya
atas wahyu atau penemuan-penemuan rasionalnya atau kedua-duanya. Dengan demikian,
seorang muslim adalah seorang rasionalis, karena dia menegaskan kesatupaduan antara dua
sumber kebenaran, yaitu wahyu dan akal yang berasal dari Allah SWT.

Prinsip ketiga, tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu; keterbukaan terhadap bukti
baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum muslimin dari fanatisme dan
konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum muslimin
kepada sikap rendah hati intelektual. Akan muncul dalam ungkapan seorang muslim,
penegasannya wallahu a’lam (Allah yang lebih tahu), karena dia yakin kebenaran lebih besar
dari apa yang dapat dikuasainya sepenuhnya di manapun dan saat kapanpun.

Untuk melaksanakan dan menerjemahkan wahyu dalam kehidupan nyata sebagai


perwujudan kepatuhan makhluk terhadap kehendak Allah, maka Allah menempatkan
manusia sebagai makhluk pilihan (QS.33:72). Menurut Al-Faruqi (1984:12), amanat atau
kehendak Tuhan tersebut tidak dapat direalisasikan oleh langit dan bumi merupakan hukum
moral yang menuntut adanya kemerdekaan bagi pengembannya yaitu manusia. Di langit dan
di bumi kehendak Tuhan telah diwujudkanNya dengan sunnatullah (hukum Allah) yang tidak
tertulis sebagaimana terbentang dalam alam semesta (ayat-ayat kauniyah). Keberadaan
ayatayat kauniyah adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat di alam semesta. Di
samping itu, ada tanda-tanda kebesaran Allah yang terkandung di dalam wahyu-wahyu yang
diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang disebut ayat Allah fi al-kitab. Kedua ayat-ayat
ini wajib dipelajari manusia.

Al-Faruqi (1984:24) berpendapat menjadi seorang muslim berarti bahwa di dalam


kesadaran kita senantiasa mengingat Allah. Karena Dia adalah Pencipta dan Hakim.
Seseorang yang menjadi Islam berarti mengerjakan segala sesuatu seperti yang dikehendaki-
Nya dan demi Dia semataa-mata. Segala kebaikan dan kebahagiaan, seperti halnya segala
kehidupan dan energi adalah karunia-karunia-Nya. Di dalam kehidupan Islam, hal-hal ini
diakui dan dipergunakan dengan cara demikian, sementara di dalam pemikiran Islam, Dialah
sebab (cause) yang pertama dan terakhir dari setiap sesuatu. Dengan demikian sifat dan
aktivitas-Nya adalah prinsip-prinsip konsitutif dan regulatif yang pertama dari semua
pengetahuan, baik objek pengetahuan mikrokosmos dari semua atom maupun makrokosmos
bintang-bintang, kedalaman diri sendiri, tingkah laku masyarakat atau perjalanan sejarah.
Pengetahuan Islam memandang objek pengetahuan secara material disebabkan dari
ketakberhinggaan sebagai inisiatif Tuhan yang keluar dari perintah-Nya.

Manusia memiliki kebebasan memilih untuk menyesuaikan kehendaknya dengan


kehendak Tuhan sehingga disebut muslim. Seorang muslim adalah orang yang menerima
petunjuk Tuhan dan menyerahkan diri untuk mengikuti kemauan Ilahi Rabbi. Seorang
muslim adalah orang yang melalui penggunaan akal bebasnya, menerima dan mematuhi
petunjuk Tuhan. Manusia secara potensial dapat memiliki pengetahuan dan
mengembangkannya menjadi ilmu (science) bahkan melahirkan teknologi, karena manusia
dibekali instrumen baik berupa pendengaran, penglihatan maupun akal dan hati sehingga
pengalaman manusia dalam hidupnya telah melahirkan berbagai disiplin ilmu. Kreativitas
manusia dalam pengalaman hidupnya, pendidikan dan latihan telah menghasilkan ilmu
pengetahuan dan metode keilmuan sehingga pengetahuan yang diperolehnya dapat
dipertanggung jawabkan sebagai kebenaran ilmiah dalam batasbatas kemampuan akal.

Allah adalah Maha Pencipta, Pengelola, Pengatur dan Pendidik bagi semua makhluk
atau alam semesta. Banyak nilai-nilai qur’ani yang harus digali oleh setiap muslim tentang
bagaimana kehidupan ini sebagai sistem organisme harus dikelola sesuai dengan kehendak
Allah SWT sebagai Maha Pencipta dan Maha Pengatur termasuk di dalamnya makhluk
manusia. Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi serta segala isi yang ada di dalamnya
dan dengan kekuasaan-Nya, maka Allah SWT mengatur segala urusan (QS.10:3).

Dengan potensi akal pikiran, panca indra, dan hati yang dimilikinya manusia memiliki
kebebasan moral untuk memilih dan menyesuaikan diri (kehendaknya) dengan kehendak
Allah sehingga manusia dalam tabi’atnya sendiri dapat menjadi muslim. Oleh sebab itu,
hanya manusia yang dapat menerima amanah Allah untuk mengelola, mengatur, mengawasi
dan mendayagunakan alam ini sesuai kehendak Allah. Dalam hal ini Allah tidak berkeinginan
terhadap makhluk ciptaan-Nya ini, karena Allah Maha Kaya. Dengan begitu, manusia
diangkat sebagai khalifah baik dalam pengertian sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) maupun
sebagai pemimpin di muka bumi ini (QS.6:165).

Menurut Abdullah (1990:89) tanpa akal proses belajar mengajar tentang pengalaman
baru tidak akan dapat dilaksanakan. Arti “ilmu pengetahuan”, ilmu” dan “ma’rifah”, yang
pertama adalah penyelidikan. Ilmu pengetahuan diawali dari penelitian istilah yang
memungkinkan tingkat pemikiran atau daya pikir manusia”. Kesadaran indra sebagai langkah
awal dalam proses persepsi dan melalui pertimbangan dan pengertian/pengetahuan akan
diperoleh”.

Pengelolaan sumber daya yang ada baik berwujud materi maupun nonmateri, sumber
daya manusia dan teknik-teknik yang dilakukan manusia dalam pengalaman empiris
berkembang dan melahirkan prinsipprinsip organisasi dan manajemen. Perkembangan
kemampuan manusia dalam mengelola sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan hidup.
Dalam berbagai organisasi manusia beraktivitas baik aspek ekonomi, politik, budaya, seni,
maupun pendidikan untuk mengisi keperluan kehidupannya merupakan perilaku manajerial.
Di sini setiap orang adalah manajer dalam kegiatan yang dilakukannya. Salah satu sumber
etika yang fundamental adalah agama. Islam sebagai agama dari Allah merupakan pedoman
hidup yang terdiri dari sistem akidah, syari’ah dan akhlak dapat melandasi perilaku setiap
manajer yang konsisten dengan Islam sebagai pandangan dan pedoman hidupnya. Menurut
Al-Faruqi (1984:78), esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah
tauhid atau pengesaan Tuhan, yaitu sesuatu tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang
Esa, Pencipta yang mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada.

Tauhid merupakan penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan


adalah Pencipta alam dari mana manusia memperoleh pengetahuannya. Objek pengetahuan
adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan (kehendak dan kuasa-Nya). Tuhan
mengetahuinya secara pasti, sebab Dia adalah Penciptanya dan secara pasti pula karena Dia
adalah sumbernya, dan pengetahuan-Nya adalah mutlak dan universal. Dalam konteks ini,
kesempurnaan agama Islam dengan landasan tauhid dan ajarannya yang komprehensif harus
digali seluruh nilai-nilai ajarannya tentang alam semesta sehingga muncul pengetahuan
tentang pengelolaan hidup individu, masyarakat dan organisasi serta kepemimpinan yang
berlangsung di dalamnya. Nilai-nilai Islami tentang penciptaaan kehidupan masyarakat dan
perilaku dapat diaplikasikan dalam pengelolaan organisasi baik organisasi pemerintahan,
bisnis, industri, politik, sosial maupun organisasi pendidikan.

Sebagai makhluk hidup, manusia juga senantiasa memiliki kesadaran diri dan
kemampuan belajar. Bagaimanapun, rangkaian perjalanan waktu pada usia kanak-kanak dari
makhluk manusia, seseorang belajar menguasai pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk mempertahankan kehidupan (survival). Upaya tersebut tidak hanya
membina faktor pisik, tetapi juga psikhis, sosial dan budaya bahkan kombinasi semua elemen
yang mempengaruhi penanaman nilai dalam menuju terbinanya kepribadian seutuhnya.

Senyatanya pendidikan adalah gejala kebudayaan sepanjang perjalanan kehidupan


manusia. Dijelaskan oleh Ornstein dan Levine (1984:324), bahwa sejumlah individu dan
lembaga memainkan sebagaian peran dalam membantu akulturasi dan sosialisasi anak-anak
dan pemuda dalam masyarakat. Tentu saja keluarga menjadi faktor sangat penting bagi
generasi muda, tetapi dalam masyarakat modern di dalamnya mencakup institusi formal juga
memberikan bantuan yang menentukan terhadap apa yang dipelajari anak-anak dan
bagaimana secara baik mempersiapkan fungsi mereka di masyarakat. Sekolah menciptakan
tidak hanya tujuan-tujuan tetapi lembaga lainnya juga membentuk sikap, perilaku dan
pengetahuan anak atau generasi muda”.

B. DIMENSI KEILMUAN PENDIDIKAN ISLAM

Allah adalah Pendidik yang Maha Agung bagi Manusia. Dia Maha Pengasih dan Maha
Penyayang kepada semua makhluk-Nya. Sebagai Pendidik dan Pemberi Yang Maha Agung,
Allah memberikan berbagai fasilitas hidup bagi manusia. Setelah diciptakan dengan
kelengkapan pancaindra, manusia diberi ruh untuk hidup. Allah juga memberikan agama
untuk membimbingnya. Bahkan seluruh alam diperuntukkan bagi kebaikan dan kehidupan
manusia. Perjalanan hidup setiap manusia, bermakna sebagai suatu proses pendidikan yang
panjang dalam mengaktualisasikan potensi setiap pribadi sesuai nilai-nilai, atau kehendak
Allah SWT.
Setiap pendidikan harus secara fundamental didasarkan atas asas filosofis dan ilmiah
sehingga terjamin pencapaian tujuan yakni meningkatkan perkembangan sosio budayanya
bahkan martabat bangsa, kewibawaan dan kejayaan negara (Noorsyam, 1988:28).
Landasan filosofis pendidikan dalam Islam adalah Filsafat Pendidikan Islam, sedangkan
landasan ilmiah pendidikan dalam Islam adalah Ilmu Pendidikan Islam. Karena itu, Orientasi
pendidikan dan pengajaran dalam Islam harus konsisten sepenuhnya kepada orientasi idiologi
Islam (Ahmad, 1960:12). Di sini Islam dipahami sebagai pandangan hidup bukan semata-
mata bersifat ritual. Hal ini memungkinkan tercapainya tujuan yang komprehensif untuk tetap
memelihara keselarasan rohani, jasmani dan akal manusia. Islam universal bukan sekedar
agama individu tetapi sebaliknya menjadi ideologi sempurna yang memberi petunjuk
kehidupan masyarakat universal (Abdullah, 1990:12).
Pemikiran fundamental tentang pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan Islam.
Menurut Daradjat (1987:123) filsafat pendidikan ialah pikiran, pandangan, dan renungan
manusia tentang suatu proses penanaman benih baru atau proses transformasi dan usaha
mengembangkan bakat serta kemampuan seseorang baik kawasan kognitif, afektif,
psikomotorik maupun akhlak-budi pribadi untuk menetapkan status, kedudukan dan
fungsinya dalam alam semesta maupun di akhirat nanti”.
Untuk dunia kontempotrer saat ini, perlu kembali memperkokoh kepedulian untuk menata
letak operasional pendidikan pada akar ideologinya yang humanis (O’Neil, 1981:9). Sebagai
individu yang memiliki kesadaran diri, maka manusia ditugaskan dalam perkembangannya
untuk menyatakan diri dalam eksistensi dan bentuk pandangan dunia, atau filsafat hidupnya.
Pandangan-pandangan ideal manusia terhadap pendidikan secara filosofis (mendalam) berarti
menerapkan filsafat untuk menjawab apa sesungguhnya pendidikan? Dan apa tujuan yang
dicapai dalam pendidikan? Bagaimana cara mencapaia tujuan pendidikan?
Adapun alasan yang diajukan oleh O’Neill (1981) untuk penggunaan istilah ideologi
pendidikan, yaitu : istilah ideologis lebih akademis dan praktis, menggambarkan suatu pola
gagasan yang lebih khusus dan dinamis yang berfungsi sebagai pengarah tindakan moral”.
Meskipun begitu, disadari bahwa ideologi cenderung berkonotasi ketidakberubahan. Karena
itu, ideologi juga mengakar pada sistem filosofis, justru ideologi lebih menggerakkan
aktivitas ketimbang filosofi. Sebagai sistem filosofi, ideologi pendidikan mencakup empat hal
utama, yaitu: (1) Ideologi pendidikan lebih merupakan sistem-sistem gagasan yang umum
atau luas ketimbang kebanyakan filosofis, (2) ideologi mengakar kepada etika sosial (filsafat
moral dan politik) dan hanya memiliki akar yang tidak besar di dalam sistem filsafat yang
lebih abstrak seperti misalnya realisme, idealisme dan pragmatisme, (3) ideologi pendidikan
diniatkan terutama untuk mengarahkan tindakan sosial dan bukan sekedar menjernihkan
ataupun menata pengetahuan, (4) ideologi merupakan sebab sekaligus akibat dari perubahan
sosial yang mendasar.
Di sini istilah ideolgi pendidikan dipergunakan agar mendorong lebih dinamis gerakan
pendidikan dalam pemberdayaan masyarakat, jadi tidak sekedar filsafat yang beraroma
pengetahuan yang sangat abstrak. Bagaimanapun, alasan filsafat untuk menerima kebenaran
bukanlah kepercayaan seperti halnya agama. Akan tetapi ada proses penyelidikan sendiri, dan
pikiran belaka. Filsafat tidak menginginkan seseorang mengurangi keberadaan wahyu, tetapi
tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu”.
Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang penting dalam menentukan dan
menemukan Eksistensinnya dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai
kearifan dan kebajikan. Berfilsafat berarti berfikir, tapi tidak semua berfikikir dapat
dikatagorikan berfilsafat. Berfikir yang dikategorikan filsafat adalah apabila berfikir terrsebut
mengandung tiga ciri yaitu radikal, sistematis dan universal (Gazalba, 1973:43) .
Sebagai usaha untuk memahami alam semesta, makna dan nilainya, maka aktivitas filsafat
adalah berada dalam spektrum berpikir secara mendalam dan komprehensif yang dilakukan
manusia. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol dan tujuan seni adalah kreativitas,
kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi, maka tujuan fialsafat adalah
pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).
Sebagai cara dan tujuan bagi pandangan pendidikan, maka filsafat di sini memberikan
seseorang kemampuan untuk mengejar berbagai masalah yang muncul dari keseluruhan
proses pendidikan, seperti: apa hakikat konsep pendidikan, dan apa argumen-argumen
pentingnya pendidikan, atau penetapan-penetapan nilai dari tujuan pendidikan, sarasaran dan
target pendidikan. Filsafat diterapkan terhadap pendidikan dapat digunakan untuk
mengklarifikasi proses dan hasil pendidikan seperti halnya dimensi individu dan sosial
lembaga pendidikan (Scotter, dkk,1979:38).
Sedangkan ilmu pendidikan sebagai landasan ilmiah pendidikan mengacu kepada fungsi
teori pendidikan. Menurut Abdullah (1991:46) fungsi teori dalam pendidikan adalah menjadi
petunjuk perilaku peserta didik. Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai qur’ani merupakan
pembentuk elemen dasar kurikulum, dan sekolah berkepentingan membawa siswasiswanya
agar sesuai dengan nilai-nilai Islam”. Jadi teori di sini dipahami sebagai prinsip-prinsip yang
membimbing praktek pendidikan Islam (Abdullah, 1991). Pemahaman terhadap manusia
dengan segala potensinya, alam semesta dengan segala isinya dan wahyu (agama) banyak
dijelaskan dalam al-qur’an sebagai konteks pendidikan.
Bagaimanapun, orang-orang yang mempunyai kesadaran budaya tentu tidak mau
pendidikan mengalami marginalisasi (terpinggirkan) karena tidak memiliki landasan kuat
dalam pelaksanaan pendidikan. Karena itu, proses pendidikan sebenarnya bertolak dari
kesadaran teologis yang tertinggi bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk Tuhan
yang paling tinggi dan mulia dibandingkan dengan makhluk lain ciptaannya. Sebab, manusia
memiliki kemampuan mengembangkan dirinya sebagai manusia yang berbudaya.
Kemampuan mengembangkan diri dilakukan melalui interaksi dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Interaksi dengan lingkungan sosial menempatkan
peranan, posisi, tugas dan tanggung jawabnya sebagai makhluk sosial dalam
mengembangkan budaya umat.
Pada sisi lain, karena begitu pentingnya ilmu pengetahuan, alQur’an menyebutkan
perbedaan yang jelas antara orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan orang-orang yang
tidak berilmu pengetahuan. Menurut al-Qur‘an hanya orang-orang yang berakal (berilmu
pengetahuan) yang dapat menerima pelajaran. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Zumar
ayat 9:
‫هل يستوى الّذ ىين يعلمون والّذ ين ال يعلمون انّما يتذ ّكر اولوا اال لباب‬

Katakanlah : “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang


tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.” (Q.S. 39:9)

Ungkapan pertanyaan dalam ayat ini mengandung arti bahwa yang pertama (orang-orang
yang mengetahui) akan dapat mencapai derajat kebaikan; sedangkan yang kedua (orang-
orang yang tidak mengetahui) akan mendapat kehinaan dan keburukan.
Pendidikan sangat diperlukan oleh manusia. Hanya manusia pula yang mengembangkan
pendidikan sebagai produk kebudayaannya. Itu artinya, peranan pendidikan sangat penting
dalam kehidupan manusia, bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan
manusia baik secara individual maupun secara komunal. Dengan kata lain, kebutuhan
manusia terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara.
Dijelaskan oleh Soltis (1968:5) bahwa: Education ought to develop in people the capacity
to recognize the good and worthwhile in life”. Jadi pendidikan seharusnya mengembangkan
kemampuan seseorang untuk mengenali nilai-nilai kebaikandan keluhuran dalam kehidupan.
Itu artinya, seseorang yang mendapatkan pendidikan akan mempu mengenali dan
melaksanakan nilai-nilai kebaikan dan kemuliaan hidup sehingga menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab sebagai makhluk Tuhan, makhluk pribadi dan makhluk sosial.
Semua orang berusaha mencari makna dalam kehidupannya. Hal itu dimaksudkan supaya
setiap orang merasa bermakna dalam eksistensi dirinya, baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan,
makhluk pribadi dan makhluk sosial. Dalam realita kehidupan masyarakat, bangsa dan dunia
setiap orang mencari dan menetapkan tujuan-tujuan hidup dan hubungan dari berbagai
elemen yang lebih bermakna bagi diri, masyarakat dan bangsanya. Manusia berusaha mencari
keharmonisan dari dalam jiwa untuk berusaha memelihara kelangsungan hidup tak terkecuali
dalam era masyarakat post-industrial, atau post modernisme dewasa ini.
Pendidikan menjadi wahana paling krusial dalam memberdayakan manusia post era
modernitas. Sebagai makhluk hidup, manusia juga senantiasa memiliki kesadaran diri dan
kemampuan belajar. Bagaimanapun, rangkaian perjalanan waktu pada usia kanak-kanak dari
makhluk manusia, seseorang belajar menguasai pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk mempertahankan kehidupan (survival). Upaya tersebut tidak hanya pisik,
tetapi juga psikhis, sosial dan budaya bahkan kombinasi semua elemen yang mempengaruhi
nilai dalam berjalan menuju pendidikan yang berdaya dalam membentuk kepribadian
seutuhnya. Di sini pendidikan bermuara kepada peningkatan kadar keterampilan hidup,
membina keimanan atau kepribadian dan mengembangkan pengetahuan setiap pribadi anak
sehingga menjadi masyarakat berbudaya.
Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat adalah wajib dipertanggung
jawabkan. Orang tua memiliki tanggung jawab besar terhadap pertumbuhan, perkembangan
dan kesempurnaan pribadi anak menuju kematangannya. Secara umum, inti tanggung jawab
itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga. Allah
memerintahkan agar setiap orang tua menjaga keluarganya dari siksaan neraka, Allah
berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6:
‫ يايّها الّذين آمنوا قوآ انفسكم واهليكم ناراً ّو قودها النّاس والحجارة‬.....

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu… “(QS.66 : 6).

Dalam pengertian umum pendidikan adalah proses budaya oleh generasi yang mengambil
peran dalam sejarah, walaupun pendidikan merupakan proses budaya masa kini dan membuat
budaya masa depan (Scotter, dkk (1979:37). Begitu pentingnya fungsi pendidikan bagi
pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, sehingga eksistensi suatu bangsa dan kemajuan
peradabannya merupakan hasil dari keberhasilan penyelanggaraan pendidikan. Demikian
pula sejarah kehancuran merupakan akibat dari kegagalan pendidikan dalam menjalankan
fungsinya. Kelangsungan hidup suatu bangsa tidak hanya pada aspek pisik, tetapi sekaligus,
psikhis, sosial dan kultural menjadi tanggung jawab pendidikan.
Pendidikan sebagai proses atau upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah upaya
mengembangkan kemampuan potensi individu sehingga memiliki kemampuan hidup optimal
baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat serta memiliki nilai-nilai moral
religius dan sosial sebagai pedoman hidupnya. Tentu saja, pendidikan juga dipandang sebagai
usaha sadar yang bertujuan dan usaha mendewasakan anak. Kedewasaan intelektual, sosial
dan moral, tidak semata-mata kedewasaan dalam arti fisik. Pendidikan adalah proses
sosialisasi untuk mencapai kompetensi pribadi dan sosial sebagai dasar untuk
mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya dalam mengisi
berbagai peran dan pekerjaan di masyarakat.
Secara makro setidaknya terdapat dua pandangan tentang pendidikan: pertama memandang
pendidikan kurang lebih serupa dengan sekolah, dan yang kedua melihatnya sebagai suatu
proses yang berlangsung selama hidup. Menurut Walton dan Kuethe, ed (1963:6) bahwa: The
school as a social institution, the means of bulding up the acquired powers of human
beings”. Education includes the procesess of teaching and school learning”. Pendidikan di
sekolah menjadi momentum utama dalam menyiapkan generasi muda yang siap bekerja
sebagai ahli dalam ekonomi, pertanian, industri, perbankan, pengusaha, para guru, pegawai
pemerintahan, elit politik, elit agama, dan elit birokrasi.
Pandangan terhadapan pendidikan sebagai lembaga atau sebagai proses sesungguhnya
merupakan satu kesatuan yang bersipat simbiosis. Pendidikan sebagai lembaga (sekolah)
mengakar kepada fungsi tanggung jawab, sedangkan pendidikan sebagai proses mengacu
kepada bentukbentuk kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Perwujudan tanggung jawab dari pelaksana pendidikan adalah diukur dari kegiatan (atau
proses yang dilakukan di sekolah, madrasah dan pesantren). Meskipun sesungguhnya,
sekolah bukanlah satu-satunya agen pendidikan, tetapi rumah tangga atau keluarga dan
masyarakat juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan bagi pendewasaan anak
dalam arti yang sebenarnya.
Pendidikan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga tercapai tujuan
pendidikan yang diharapkan, terutama dalam wujud pembinaan yang integral terhadap
seluruh potensi anak menuju kedewasaan. Dalam konteks pendidikan formal merupakan
pembinaan yang terencana terhadap anak di sekolah tentunya dilakukan oleh guru sebagai
penanggung jawab pendidikan. Konsekuensinya adalah bahwa kelangsungan proses
pendidikan sekolah harus dimulai dengan pengadaan tenaga kependidikan sampai usaha
peningkatan mutu tenaga kependidikan, baik secara personal, sosial maupun profesional
harus benar-benar dipikirkan. Keberadaan tenaga guru sebagai pelaksanaan pendidikan di
lapangan merupakan ujung tombak bagi keberhasilan pendidikan.
Secara esensial, manusia sebagai pribadi atau sebagai anggota masyarakat dan bangsa,
hidup di dalam sosio–budayanya. Aktivitas untuk mewariskan dan mengembangkan
kebudayaan Islam pertama dilakukan terutama dilakukan melalui pendidikan keluarga
muslim. Untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan proses kegiatannya berlangsung
secara efektif maka dibutuhkan adanya landasan filosofis dan landasan ilmiah sebagai asas
normatif dan pedoman pelak-sanaan pembinaan kepribadian anak-anak muslim.
Proses pendidikan Islam yang dilaksanakan terutama di sekolah, madrasah dan
pesantren harus diletakkan dalam kerangka dasar filosofis dan dasar ilmiah. Sebab
pendidikan Islam bukanlah suatu kegiatan spekulatif semata yang dilaksanakan tanpa
pedoman, akan tetapi seluruh proses perencanaan dan kegiatan pendidikan harus mengacu
kepada pedoman filosofis dan pedoman ilmiah yang benar. Kerangka filosofis dari
penyelenggaraan pendidikan Islam dikaji dalam filsafat pendidikan Islam, sedangkan
kerangka keilmuan (ilmiah) dari proses pendidikan Islam dikaji dalam ilmu pendidikan Islam.
Dalam hubungan dengan landasan filosofis bagi pendidikan Islam dapat dipahami
bahwa : pendidikan suatu bangsa merupakan suatu usaha untuk membawa masyarakat ke
tujuan yang dicita-citakannya sebagai bangsa yang menurut pandangannya mengenai
masalah-masalah hidup akan menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin.
Pandangan ini tersusun dalam suatu formula yang dikenal sebagai filsafat negara dan filsafat
bangsa. Filsafat inilah yang menjiwai semua perbuatan, semua kegiatan, semua bentuk
organisasi dan selanjutnya semua alat yang dimaksud untuk membawa kita kepada tujuan
pendidikan Islam”.
Tidak perlu diragukan bahwa ilmu membekali manusia tentang pengetahuan dan
filsafat memberikan hikmah. Fisalafat memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan
pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran. Apa sebenarnya ilmu pendidikan
Islam? Di sini dipahami bahwa, ilmu pendidikan Islam adalah kajian yang memberikan
pengetahuan tentang pendidikan Islam yang sebenarnya”.
Pandangan filosofis tentang pendidikan Islam justru telah melahirkan ilmu pendidikan
Islam. Menurut Al-Syaibany (1979:30) filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan
falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi
dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip
dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan
masalah-masalah pendidikan secara praktis (AsySyaibani, 1979:30).”
Di sisi lain Al-Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas yang
diharapkan dilakukan oleh seseorang filosof pendidikan, antara lain:
a) Merancang dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses usaha-usaha pendidikan pada
suatu bangsa;
b) Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agarberiman kepada Tuhan
dengan segala aspeknya;
c) Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan mengubah cara-cara hidup
mereka ke arah yang lebih baik.
d) Mendidik akhlak, perasaan, seni, dan keindahan pada masyarakatdan menumbuhkan pada
diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan cara-cara mencapai kebenaran tersebut.
Filsof pendidikan harus memiliki pikiran yang benar, jelas dan menyeluruh tentang
wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan, kemanusiaan, pengetahuan
kealaman, dan pengetahuan sosial. Filosof pendidikan harus pula mampu memahami
nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar pada nilai-nilai kebaikan, keindahan, dan
kebenaran.

Bagaimanapun, filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para


perencana pendidikan, guru-guru dan orangorang yang bekerja dalam bidang pendidikan. Hal
tersebut akan mewarnai perbuatan mereka secara arif dan bijak, menghubungkan usaha-usaha
pendidikannya dengan falsafah umum, falsafah bangsa dan negaranya. Pemahaman akan
ideologi atau filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba,
mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara lebih
terarah, praktis dan antisipatif bagi perkembangan budaya Islam ke masa depan.
Di mana posisi ilmu Pendidikan Islam? Ilmu pendidikan Islam adalah kajian tentang
sistem pendidikan Islam secara sistematis, logis, dan objektif dalam rangka menjelaskan
proses atau praktek pendidikan yang berpedoman kepada nilai-nilai Islam. Berbagai fakta,
prinsip, konsep dan teori pendidikan dijelaskan dengan berpedoman kepada al-qur’an dan
sunnah serta ijtihad para pemikir Islam dalam kerangka mengarahkan praktek pendidikan
umat Islam.

C. ILMU PENDIDIKAN ISLAM DAN GURU PROFESIONAL

Umat Islam saat ini telah terlanda penyakit jumud (kebekuan) dan penyakit kemunduran
atau penyakit dekadensi, atheisme, fahamfaham hukum rimba, dengan label kemajuan. Obat
penyembuahan semua penyakit ini dapat diperoleh dari ajaran Islam, bila dipahami cahaya
ilmu dan perkembangannya (Al-Djamali, 1993:13).
Kondisi di atas diperburuk lagi oleh lingkungan pendidikan yang cenderung kurang
kondusif bagi pembentukan kepribadian muslim yang utuh, pribadi taqwa atau pribadi
muslim sejati. Pada saat ini juga anak-anak muslim kehilangan keteladanan dari orang tua.
Sementara ada orang tua yang kehilangan rasa hormat dari anak-anaknya. Di sekolah ada
kecenderungan umum yang menjadi ukuran utama adalah kecerdasan kognitif seseorang,
pendidikan akal dinomorsatukan. Akibatnya, muncul kebanyakan pribadi terpecah (split
personality). Kadang kecerdasan anak lebih tinggi, namun emosinya tidak mumpuni dalam
mencermati dan menilai lingkungan eksternalnya. Banyak yang pintar, kemampuan
kognitifnya tinggi tapi akhlaknya bobrok atau rusak. Banyak ilmuwan yang mengkaji Islam,
tapi tidak diamalkan untuk mengubah keadaan umat kepada keadaan yang lebih baik. Jadi
sebagian ilmuwan muslim yang larut dalam sistem perilaku birokrasi yang tidak terpuji”.
Itu menunjukkan bahwa pendidikan bukan perbuatan yang sembarangan dan tidak dapat
dilakukan secara sambilan oleh setiap orang (Dahlan, dalam Jalal, 1991). Untuk
mengoptimalkan proses dan hasil pendidikan Islam, diperlukan para guru Pendidikan Agama
Islam dan guru-guru muslim yang profesional. Para guru muslim yang menguasai apa yang
diajarkan, terampil mengajarkan ilmu pengetahuan, dan memiliki integritas kepribadian.
Dimensi keilmuan sangat diutamakan dan lebih tinggi beberapa derajat dalam Islam, bahkan
melebihi dimensi keimanan semata. Karena itu, ilmu menjadi sarana meninggikan keimanan.
Firman Allah dalam surat Al-Mujadilah ayat 11:

‫ش ُزوا‬ ُ ‫ ِقي َل ا ْن‬Y‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم  ۖ وَِإ َذا‬


ُ ‫ش ُزوا فَا ْن‬ َ ‫س ُحوا يَ ْف‬
ِ ‫س‬ َ ‫س فَا ْف‬
ِ ِ‫ ِفى ا ْل َم ٰجل‬Y‫س ُحوا‬ َّ َ‫ٰيَٓأ ُّي َها الَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓوا ِإ َذا ِقي َل لَ ُك ْم تَف‬
‫ۚ وهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬
َ   ‫ت‬ ٍ ‫يَ ْرفَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ا ْل ِع ْل َم د ََر ٰج‬

”Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:”berlapanglapanglah


dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan:”berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS.58:11).

Sebagai pendidik, maka guru harus menguasai ilmu yang diajarkan dan terampil mengajar
dan pribadinya dapat diteladani. Langgulung (1988:85) menjelaskan perlu reorientasi
terhadap guru-guru dan pendidikpendidik sesuai dengan konsep pendidikan Islam.
Masyarakat muslim memerlukan guru-guru yang memiliki komitmen keIslaman, kemampuan
akademik dan kesehatan jasmani merupakan kriteria pokok guru muslim. Untuk menciptakan
model guru muslim dilakukan melalui penyelidikan, kurikulum, pendidikan guru, pengabdian
masyarakat dan teknologi pendidikan. Penddikan adalah proses dan jalan panjang mencari
ilmu yang tiada henti, bahkan disediakan fasilitas menuju surga. Rasulullah SAW bersabda
dalam hadisnya yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah:

”...dan barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
memudahkan jalan baginya untuk menuju surga (Al-Hadis)”.

Dari hadis di atas, jelas diisyaratkan bahwa para pelaksana pendidikan, baik pendidik maupun
yang dididik tergolong dalam kelompok orang yang disediakan Allah jalan menuju surga”.
Karena itu, dalam era kontemporer (kekinian) harus diusahakan semakin banyak lembaga
pendidikan Islam yang berkualitas dan unggul. Di dalam konsep, prinsip dan teori pendidikan
Islam benar-benar diaplikasikan oleh para pengelola dan para guru. Ilmu pendidikan Islam
harus mampu mencerahkan para guru muslim dalam memberdayakan pribadi dan masyarakat
Islam di tengah semakin kerasnya persaingan, liberalisme dan tuntutan kerjasama yang baik
serta saling menguntungkan antar dunia Islam dengan dunia Barat”. Dalam salah satu hadis
yang diriwayatkan Ibnu Jarir dan Ibu Munzir, Rasulullah SAW bersabda:
”Taatlah kepada Allah dan takutlah berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah
anak-anak kamu untuk mentaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan.
Karena hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka” (Al-Hadis).

Untuk menciptakan generasi yang berkualitas unggul dalam iman, ilmu dan amal shaleh
(Karya), maka pendidikan yang baik harus diarahkan kepada pendidikan Islam terpadu.
Keseimbangan pembinaan dimensi jasmani, rohani dan akal manusia di dalam proses
pendidikan manusia dalam Islam adalah adanya seleksi terhadap nilai-nilai dan pengetahuan
yang dibutuhkan. Karena keutuhan perkembangan pribadi secara sistematis dipengaruhi oleh
kualitas dan kuantitas pengetahuan yang diperolehnya (Abdullah, 1990)”. Secara substansial,
konsep ilmu (pengetahuan) dan pendidikan (proses) memiliki hubungan yang fungsional
dalam kerangka teoretis dan operasional pendidikan Islam”.
Ilmu pendidikan Islam berarti fakta-fakta yang diungkapkan dan prinsip al-qur’an yang
terkait erat dan membentuk landasan teoriteori pendidikan (Abdullah, 1991:51). Dengan kata
lain, ilmu pendidikan Islam adalah kerangka umum teori pendidikan Islam yang dapat
menerima kontribusi konsep dari ilmu-ilmu lainnya.
Salah satu ilmu yang penting dalam membina keahlian dan kepribadian guru muslim adalah
Ilmu Pendidikan Islam. Demikian halnya, kelangsungan dan perkembangan masyarakat Islam
sepenuhnya memang dipengaruhi oleh pranata-pranata sosial yang ada di dalamnya, termasuk
pendidikan, ekonomi, politik, teknologi serta moral atau etika. Dengan demikian peranan
yang dimainkan oleh lembaga pendidikan formal (sekolah) juga seharusnya fungsional
terhadap eksistensi dan pengembangan pranata sosial lainnya (ekonomi, politik, teknologi,
moral dan etika) umat Islam.
Demikian pula, menurut Jalal (1977:19) Rasulullah SAW telah menunaikan tugasnya secara
lengkap dan sempurna. Tentu banyak yang dapat kita jumpai pengetahuan yang menyangkut
pendidikan tersebar di berbagai tempat dan kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”. Karena itu,
diperlukan pemahaman terhadap ilmu Pendidikan Islam sebagai landasan ilmiah. Hal itu akan
mengantarkan para guru Pendidikan Agama Islam atau guru muslim menjalankan prinsip,
teori dan konsep pendidikan Islam dalam pelaksanaan tugas sehingga jelas apa yang harus
dikerjakan, bagaimana mengerjakan pendidikan dan mengapa serta untuk apa pendidikan
Islam bagi kehidupan individu dan masyarakat muslim. Ilmu Pendidikan Islam harus
dijadikan sebagai landasan ilmiah dalam menjawab persoalan dan permasalahan pendidikan
Islam secara operasional sebagaimana dihadapi para pennyelenggara pendidikan dalam
masyarakat muslim.

D. PENDIDIKAN SEBAGAI SUATU SISTEM

Menurut Ryan, sistem adalah sejumlah elemen (objek, orang, aktivitas, rekaman, informasi dan lain-
lain) yang saling berkaitan dengan proses dan struktur secara teratur, dan merupakan kesatuan
organisasi yang berfungsi untuk mewujudkan hasil yang dapat diamati (dapat dikenal wujudnya)
sedangkan tujuan tercapai. (Ryans, 1982: 63-64). Sedangkan menurut Sanafiah Faisal “istilah sistem
menuju kepada totalitas yang bertujuan dan tersusun dari rangkaian unsur dan komponen”. (Faisal,
1981: 25).

Pada umumnya sistem sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:


1. Terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan (interpendent) antara satu sama lainnya;
2. Berorientasi kepada tujuan (goal oriented) yang telah ditetapkan;
3. Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan tata tertib berbagai kegiatan dan sebagainya.
Sistem adalah suatu kesatuan dari komponen-komponen yang masing-masing berdiri sendiri tetapi
saling terkait satu dengan yang lain, sehingga terbentuk suatu kebulatan yang utuh dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Komponen-komponen yang berada didalam sistem pendidikan sangat
beragam. Noeng Muhadjir (1987) mensistematisasi komponen tersebut dalam tiga kategori, yaitu:

1. Bertolak dari lima unsur dasar pendidikan, meliputi yang memberi, yang menerima, tujuan,
cara/jalan, dan konteks positif.
2. Bertolak dari empat komponen pokok pendidikan, meliputi kurikulum, subjek didik,
personifikasi, dan konteks belajar-mengajar.
3. Bertolak dari tiga fungsi pendidikan, meliputi pendidikan kreastifitas, pendidikan moralitas dan
pendidikan produktifitas.

Selanjutnya Ramayulis (2004: 4-5) membagi pula sistem pendidikan tersebut atas empat unsur,
yaitu:

1. Kegiatan pendidikan yang meliputi: pendidikan diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan,
pendidikan oleh seseorang terhadap orang lain. 2. Binaan pendidikan, mencakup: jasmani, akal, dan
qalbu.
3. Tempat pendidikan, mencakup : rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.
4. Komponen pendidikan mencakup: dasar, tujuan pendidikan, peserta didik, materi, metode,
media dan evaluasi.

Secara umum bahwa pendidikan sebagai suatu sistem dapat diartikan sebagai satu keseluruhan yang
terpadu dari semua satuan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk
mengusahakan terlaksananya proses pendidikan secara optimal dan tercapainya tujuan pendidikan.
Sebagai suatu sistem, pendidikan terdiri dari beberapa unsur atau disebut juga dengan faktor-faktor
pendidikan. Adapun faktor-faktor pendidikan adalah pendidik, anak didik, tujuan pendidikan, alat
pendidikan, dan lingkungan (millieu). Semua faktor atau unsur tersebut tidak bisa dipisahkan, karena
salah satu faktor tidak akan berfungsi dengan baik, manakala tidak didukung oleh berfungsinya
faktor lain dalam mencapai tujuan pendidikan.
Rangkuman buku 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Devinisi Ilmu Pendidikan Islam

Untuk mengetahui arti ilmu pendidikan Islam, maka terlebih dahulu perlu diartikan apa
pendidikan itu. Istilah pendidikan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata "didik" dengan
memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan", 'yang mengandung arti "perbuatan" (hal, cara,
dan sebagainya).1 Istilah pendidikan pada mulanya berasal dari bahasa Yunani yaitu
"paedagogie" yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan "education" yang berarti pengembangan atau
bimbingan.

Dalam wacana ke-Islaman, pendidikan lebih popular dengan istilah tarbiyyah, ta'lim, ta'dib,
riyadloh, irsyad, dan tadris. Dari masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna
tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya
akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu
sebenarnya mewakili istilah yang lain. Implikasinya, dari berbagai literatur Ilmu Pendidikan
Islam, semua istilah itu terkadang digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan
pendidikan Islam.2

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 1.

Sejak dekade 1970-an, sering terjadi diskusi berkepanjangan berkenaan dengan wacana
apakah Islam memiliki konsep tentang pendidikan ataukah tidak. Sementara para ahli
berasumsi, bahwa Islam tidak memiliki konsep, sehingga realisasi dan implementasi sebuah
pendidikan selama ini hanyalah mengadopsi konsep dan sistem pendidikan Barat. Asumsi ini
tentunya tidak boleh dengan serta merta disalahkan, kendatipun tidak bias secara mutlak
diterima. Salah satu argumen yang biasa diajukan mereka adalah, karena sampai sekarang
peristilahan yang secara baku dan konsisten disepakati semua fihak belumlah ada, kecuali
dalam wujud polemik yang tidak berkesudahan.3

Pada tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977, diselenggarakan sebuah Konferensi
Dunia yang pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah. Dalam konferensi (yang
diprakarsai dan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz University) tersebut, dibicarakan
mengenai penggunaan ketiga istilah (tarbiyyah, ta'lim, dan ta'dib) untuk pengertian
pendidikan Islam.4 Salah satu hasil keputusannya, telah dirumuskan pengertian Pendidikan
Islam, sebagai berikut:
The meaning of education in its totality in the context of Islam is inhernt in the connotation of
the term terbiyyah, ta’lim, and ta'dib taken together. What each oh these tearms conveys
concerning man and his society and environment in relation to God is related to the others,
and together they represent the scope of education in Islam, both formal and nonformal.

Maksud pendidikan dalam keseluruhan dalam konteks Islam adalah inhernt dalam konotasi
istilah terbiyyah, ta'lim, dan ta'dib diambil bersama-sama. Apa yang masing-masing di tearms
ini menyampaikan tentang manusia dan lingkungan dan masyarakat-nya dalam hubungan
mereka dengan Allah adalah berhubungan dengan orang lain, dan bersama-sama mereka
mewakili cakupan pendidikan di Islam, baik formal dan nonformal.

1. Perdebatan Devinisi di Tingkat Etimologi

a. Ta'dib

Istilah ta'dib berasal dari akar kata addaba yuaddibu ta'diiban yang mempunyai arti antara
lain: membuatkan makanan, melatih akhlak yang baik, sopan santun, dan tata cara
pelaksanaan sesuatu yang baik. Kata addaba yang merupakan asal kata dari ta'dib, juga
merupakan persamaan kata (muradif) allama yuallimu ta'liman. Muaddib yaitu yaitu
seseorang yang melaksanakan kerja ta'dib disebut juga muallim, yang merupakan sebutan
orang yang mendidik dan mengajar anak yang sedang tumbuh dan berkembang.5

Ta'dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata karma, adab, budi
pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta'dib yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan
peradaban atau kebudayaan, sebaliknya peradaban Ilmu Pendidikan Islam yang berkualitas
dan maju dapat diperoleh melalui pendidikan. Menurut Naquib al-Atas, ta'dib berarti
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga
membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan pengagungan Tuhan.1
Pengertian ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

‫ادبــــني ربــــــى فـــاحســـن تــأديبى‬

"Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku".

Hadits ini memberikan asumsi bahwa kompetensi Mu-hammad sebagai seorang rosul dan
misi utamanya adalah pembinaan akhlak. Sehingga, implikasinya terhadap seluruh aktivitas
pendidikan Islam seharusnya memiliki relevansi dengan peningkatan kualitas budi pekerti
sebagaimana yang diajarkan rosulullah.

Menurut Naquib bahwa kata yang diterjemahkan sebagai mendidik adalah addaba masdarnya
ta'diib, dan berarti pendidikan. Hal ini mempunyai arti yang sama dan ditemu-kan rekanan
konseptualnya da dalam istilah ta'lim, meskipun diakui bahwa cakupan istilah ta'dib lebih
luas dari yang dicakup ta'lim. Dalam artinya yang mendasar, addaba adalah The inviting to a
banquet, undangan kepada suatu perjamuan. Gagasan tentang suatu perjamuan menyiratkan
bahwa si tuan rumah adalah orang yang mulia, sementara hadirin adalah yang di-perkirakan
pantas mendapatkan penghormatan untuk diundang. Oleh karena itu mereka adalah orang-
orang yang bermutu pendidikan dan bisa menyesuaikan diri, baik tingkah laku maupun
keadaannya, sehingga konsep ta'dib (jika diaplikasikan secara sederhana menurut persepsi
Bloom) bukan sekedar mencakup aspek afeksi, melainkan mencakup pula aspek kognisi dan
psikomotorik, kandatipun aspek yang pertama lebih dominant.2

Konsekuensi akibat tidak dikembangkannya istilah ta’dib dalam konsep dan aktivitas
pendidikan Islam menurut Naquib berpengaruh pada tiga hal penting.3 Yaitu: Pertama,
kebiasaan dan kesalahan dalam ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya akan menciptakan
kondisi yang Kedua, yakni gilirannya adab dalam umat. Kondisi yang timbul akibat yang
pertama dan kedua adalah konsekuensi yang Ketiga, serupa bangkitnya pemimpin yang tidak
memenuhi syarat kepemimpinan yang abash di kalangan umat, karena tidak memenuhi
standar moral, intelektual, dan spiritual yang tinggi, yang dibutuhkan bagi suatu
kepemimpinan pengendalian yang berkelanjutan atas urusan-urusan umat oleh pemimpin-
pemimpin seperti mereka yang menguasai seluruh bidang kehidupan.

Ta’dib, sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama), terbagi atas empat macam4 (1)
ta'dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran, yang memerlukan
pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada memiliki
kebenaran tersendiri dan yang dengannya segala sesuatu diciptakan, (2) ta'dib adab al-
khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam pengabdian. Sebagai seorang hamba,
manusia harus mengabdi kepada sang Raja (malik) dengan menempuh tata karama yang
pantas, (3) ta'dib adab al-syari'ah, pendidikan tata krama spiritual dalam syari'ah, yang tata
caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala pemenuhan sya'riah Tuhan akan
berimplikasi pada tata krama yang mulia, (4) ta'dib adab al- shuhbah, pendidikan tata krama
spiritual dalam persahabatan, berupa saling menghormati dan prilaku mulia di antara
manusia.

Menurut Naquib, ta'dib mengacu pada pada pengertian Cilm), pengajaran (ta'lim), dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Sehingga menurutnya ta’dib lebih tepat untuk menunjukkan
pendidikan dalam Islam.10 Nampaknya ia melihat ta'dib sebagai sebuah sistem pendidikan
Islam yang di dalamnya ada tiga sub system, yaitu pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan
(tarbiyah). Jadi tarbiyah dalam konsep Naquib hanya satu sub sistem dari ta'dib.

Kalau kembali melihat ayat 18 surat al-syu'ara' dan al-isra' ayat 24, maka dapat dinyatakan
bahwa tarbiyah dalam ayat itu lebih bersifat fisik-material daripada rohani-spiritual, karena
pendidikan di masa kanak-kanak lebih menonjol dalam bentuk asuhan daripada pembinaan
mental dan rohani. Dalam ayat 18 tersebut lebih nampak bahwa kurang dapat diterima
apabila Musa telah memperoleh didikan mental rohani di tengah keluarga Fir'aun yang
durhaka itu, kecuali hanya sekedar mengasuhnya sampai besar.

10 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 2.

Apabila menggunakan analisa sejarah, maka sebenarnya dapat dilihat kronologis historis
bagaimana penggunaan berbagai kata-kata tersebut. Dalam sejarah peradaban Islam,
semenjak masa Nabi sampai masa keemasannya di tangan Bani Abbas, kata tarbiyah tidak
pernah muncul dalam literatur-literatur pendidikan. Barulah pada abad modern kata ini
mencuat ke permukaan sebagai terjemahan dari kata education dalam bahasa Inggris. Pada
masa klasik, orang hanya mengenal kata ta'dib untuk menunjukkan pendidikan, seperti dalam
hadis, yang artinya: "Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku".

Pengertian semacam ini terus dipakai sepanjang masa kejayaan Islam, hingga semua ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia pada waktu itu disebut adab baik yang
langsung berhubungan dengan Islam seperti fiqh, tafsir, tauhid, ilmu-ilmu bahasa Arab dan
yang lain, maupun yang tidak berhubungan langsung seperti fisika, filsafat, astronoomi,
kedokteran, farmasi dan lainnya. Semua buku-buku yang memuat ilmu-ilmu tersebut dinamai
kutub al-adab, maka terkenallah al-adab al-kabir dan al-adab al-shaghir yang ditulis oleh Ibn
al-Muqaffa' (w. 760 M), seorang ahli pendidikan di masa itu disebut muaddib.n

Kemudian ketika para ulama mennjurus kepada bidang spesialisasi dalam ilmu pengetahuan,
maka peengertian adab menyempit, hanya dipakai untuk menunjuk kesusasteraan dan etika
(akhlak); kosekwensinya ta’dib sebagai konsep pendidikan Islam hilang dari peredaran dan
tidak dikenal lagi. Pada akhirnya ahli pendidik Islam bertemu dengan istilah education pada
abad modem, mereka langsung menerjemahkannya dengan tarbiyah tanpa penyelidikan yang
mendalam. Padahal makna pendidikan Islam tidak sama dengan education yang
dikembangkan di Barat. Dengan demikian populerlah istilah tarbiyah di seluruh dunia untuk
menunjuk pendidikan.12

b. Ta'lim

Istilah ta'lim berasal dari kata dasar "aslama" yang berarti mengajar dan menjadikan yakin
dan mengetahui. Penggunaannya dalam pengajaran, si pengajar berusaha untuk
memindahkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada orang yang menerima atau belajar
dengan jalan membentangkan, memaparkan, dan menjelaskan isi pengetahuan atau ilmu yang
diajarkan itu yang dinamakan dengan "pengertian".13

Menurut Az-zajjaj, kata ta'lim atau allama, mempunyai arti "sebagai cara Tuhan mengajar
Nabi-nabi-Nya". Dalam Al-qur'an surat al-Baqarah ayat 31 dinyatakan:

“Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya". Dalam ayat lain
surat al-alaq ayat 1-5 disebutkan:

"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca), Dia mengajarkan manusia apa
yang tidak diketahuinya".

12 Ibid., bandingkan dengan Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 2.

13 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 3.

Dalam surat an-Naml juga disebutkan, yang artinya; "Berkata (Sulaiman): wahai manusia,
telah diajarkan kepada kami pengertian bunyi burung".

Dari beberpa ayat tersebut, ada beberapa makna yang dapat diambil, di antaranya bahwa kata
'allama mengandung pengertian sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak
sampai pada pembianaan kepribadian. Karena sedikit sekali membina kepribadian Nabi
Sulaiman melalui burung, atau membina kepribadian Adam melalui nama-nama benda.14
Selain itu ta'lim juga berhubungan dengan proses pendidikan, karena dengan ta'lim
(pengajaran) menjadikan seseorang berilmu pengetahuan. Seseorang bisa menjadi berilmu
(mengetahui hakikat sesuatu) melalui proses pengajaran dan pendidikan.15
Ta'lim merupakan kata benda buatan (masdar) yang berasal dari akar kata allama. Sebagian
para pakar menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan ta'lim
diterjemahkan dengan pengajaran. Kalimat allamahu 'ilm memiliki arti mengajarkan ilmu
kepadanya. Pendidika (tarbiyah) tidak saja bertumpu pada domain kognitif, tetapi juga afektif
dan psikomotorik, sementara pengajaran (ta'lim) lebih mengarah pada aspek kognitif seperti
pengajaran mata pelajaran Matematika. Pemadanan kata ini agaknya kurang relevan, sebab
menurut pendapat yang lain dalam proses ta'lim menggunakan domain afektif.16

14 Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006),
him. 26-27.
15 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 4

Dr. Abdul Fattah Jalai (pengarang Min al-Ushul at-Tarba-wiyyah fii al-Islam) berpendapat
bahwa istilah ta'lim lebih luas dibandingkan dengan tarbiyah hanya berlaku pada pendidikan
anak kecil. Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan dan pengusahaan pada fase pertama
pertumbuhan manusia (yang oleh Langeveld disebut dengan pendidikan "pendahuluan"), atau
menurut istilah yang populer disebut fase bayi dan kanak-kanak.17 Pandangan ini didasarkan
pada ayat al-Isra' ayat 24 dan surat asy-syu'ara' ayat 18 yang berbunyi:

"Dan ucapkanlah: Ya Rabbi, kasihanilah mereka berdua sebagaimana (kasihnya) mereka


berdua mendidik aku waktu kecil"

“Fir’aun menjawab: bukankah kami telah mendidikmu di dalam (keluarga) kami waktu kamu
masih kanak-kanak, dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu".

Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta'ilm dengan proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Ia mendasarkan
ini dari surat al-baqarah ayat 31 tentang 'allama Tuhan kepada Adam. Proses transmisi itu
dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma' (nama-
nama) yang diajarkan Tuhan kepadanya.18
Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), hlm. 18-19.

Dalam Q.S Al-baqarah ayat 151 disebutkan: "Dan mengajarkan (yu'allimu) kepadamu al-
Kitab dan al-Hikmah (al-sunnah) serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui". Ayat ini menunjukkan perintah kepada rosul-Nya untuk mengajarkan al-Kitab dan
al-sunnah kepada umatnya. Menurut Muhaimin, pengajaran dalam ayat ini mengandung
teoritis dan praktis, sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan kemahiran
melaksanakan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan kemadharatan.
Pengajaran ini juga mencakup ilmu pengetahuan dan al-hikmah (bijaksana).19 Suatu contoh
guru Matematika, akan berusaha mengajarkan al-hikmah Matematika, yaitu pengajaran nilai
kepastian dan ketetapan dalam mengambil sikap dan tindakan dalam kehidupannya, yang
dilandasi pertimbangan yang rasional dan perhitungan yang matang. Inilah suatu usaha untuk
menguak sunnatullah dalam alam semesta melalui pelajaran Matematika.

Kata ta'lim menurut Abdul Fattah Jalai merupakan proses yang terus menerus diusahakan
manusia sejak lahir. Sehingga satu segi telah mencakup aspek kognisi, dan pada segi lain
tidak mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik. Hal ini ia jadikan dasar ketika menafsiri
ayat 151 di atas,dengan argumentasi bahwa rosul adalah Mu'allim (pendidik). Dalam riwayat
Muslim digambarkan sosok cemerlang kepribadian rosul sebagai seorang mu'allim: 20

“tidak pernah kulihat sebelum dan sesudah-Nya (rosul) yang lebih baik cara mendidiknya
dari pada beliau".
18 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 19.
19 Ibid.
20 Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),
hlm. 6.

Pada akhirnya Fattah memandang proses ta'lim lebih universal dari tarbiyah. Sebab ketika
mengajarkan "tilawah al-Qur'an" kepada kaum muslimin, rosul tidak hanya sekedar terbatas
pada mengajar mereka membaca, melainkan membaca disertai perenungan tentang
pengertian, pamahaman, tanggung jawab dan pananaman amanah. Dari membaca semacam
itu rosul kemudian membawa mereka kepada tazkiyah yakni pensucian dan pembersihan diri
manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri itu berada dalam suasana yang
memungkinkannya dapat menerima hikmah, mempelajari segala yang tidak diketahui dan
yang bermanfaat. Al-Hikmah tidak bisa dipelajari secara parsial dan sederhana, tetapi harus
mencakup keseluruhan ilmu secara integral. Kata al-hikmah berasal dari kata al-ikhkam, yang
berarti keunggulan dalam ilmu, amal, perbuatan, atau di dalamnya semua itu.21

c. Tarbiyah

Dalam leksikologi Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak ditemukan istilah al-tarbiyah, namun
terdapat beberapa istilah kunci yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, nurabbi,
yurbi, dan rabbani. Dalam Mu’jam bahasa Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga akar
kebahasaan,22 yaitu:

• Rabba, yarbu, tarbiyah: yang memiliki makna "tambah" (;zad) dan "berkembang" (nama).
Pengertian ini juga didasarkan QS. ar-Rum ayat 39: "dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikanagar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah." Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan proses menumbuhkan dan
mengembangkan apa yang ada pada diri pesertadidik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun
spiritual.

• Rabba, yurbi, tarbiyah: yang bermakna "tumbuh" (nasya'a) dan menjadi besar atau dewasa
(tara’ra’a). Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untk menumbuhkan dan
mendewasakan peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.

• Rabba, yarubbu, tarbiyah: yang memiliki makna memperbaiki (ashlaha), menguasai urusan,
memelihara dan merawat, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki,
mengatur, dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Artinya, pendidikan (tarbiyah)
merupakan usaha untk memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki, dan mengatur
kehidupan, peserta didik, agar ia dapat survive lebih baik dalam kehidupannya.

Kata kerja rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad SAW,23 seperti
terlihat dalam Al-Qur'an dan Hadist Nabi. Dalam Al-Qur'an kata ini digunakan dalam
susunan sebagai berikut:
"Ya Tuhan, sayangilah keduanya (ibu bapakku) sebagaimana mereka telah mangasuhku
(mendidikku) sejak kecil." (QS. 17 Al-Isra' 24)

Dalam bentuk kata benda, kata "rabba” ini digunakan juga untuk "Tuhan", mungkin karena
Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, dan bahkan mencipta.
Dalam ayat yang lain kata ini digunakan dalam susunan sebagai berikut:

"Berkata (Fir'aun kepada Nabi Musa), Bukankah kami telah mengasuhmu (mendidikmu)
dalam keluarga kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan tinggal bersama kami beberapa
tahun dari umurmu."

Dari ayat tersebut, dapatlah dimengerti pandangan yang diungkapkan Naquib al-
Atas,"tarbiyah" secara semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat
dipakai kepada spesies yang lain, seperti mineral, tanaman, dan hewan. Selain itu tarbiyah
berkonotasi material; ia mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan,
mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah pertumbuhan,
membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang, dan menjinakkan.24

Dalam pandangan Ahmad Warson ia mengemukakan bahwa tarbiyah berarti namaa (tumbuh)
dan zaadu (bertambah).25

24 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm, 2,

25 Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: tnp 1984), hlm. 1565.

Menurut Ibnu Mansur bentuk tarbiyah dengan bentuk lain dari akar kata raba dan rabba
maknanya sama dengan akar kata ghadza dan ghadzwa yang menurut al-Alma'i dan al-
Jauhari berarti memberi makan, memelihara, dan mengasuh.26 Menurut Ibnu Mansur kata-
kata ini dapat mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh, seperti anak-anak dan tanaman,
dan sebagainya.

Menurut Fahr al-Razi, istilah rabbayani tidak hanya mencakup ranah kognitif, tetapi juga
afektif. Sementara Sayyid Qutb menafsirkan ayat tersebut sebagai pemeliharaan jasmani anak
dan menumbuhkan mentalnya. Dua pendapat ini memberikan gambaran bahwa istilah
tarbiyah mencakup tiga domain pendidikan, yaitu kognitif (cipta), afektif (rasa), dan
psikomo-torik (karsa) dan dua aspek pendidikan jasmani dan rohani.27

Prof. Muhammad Alhiyah al-Abrasyi dan Prof. Mahmud Yunus berpandangan bahwa istilah
tarbiyah dan ta'lim dari segi makna istilah maupun aplikasinya memiliki perbedaan mendasar,
mengingat dari segi makna istilah tarbiyah berarti mendidik, sementara ta'lim berarti
mengajar, dua istilah yang secara substansial tidak bisa disamakan.28 Menurut kedua pakar
tersebut, perbedaan mendidik dan mengajar sangatlah mendasar. Mendidik berarti
mempersiapkan pesertadidik dengan segala macam cara, supaya dapat mempergunakan
tenaga dan bakatnya dengan baik, sehingga mencapai kehidupan yang sempurna dalam
masyarakat. Oleh sebab itu tarbiyah mencakup pendidikan jasmani, pendidikan akal, akhlak,
perasaan, keindahan, dan kemasyarakatan. Sementara ta'lim merupakan salah satu (bagian)
dari pendidikan yang bermacam-macam itu. Dalam ta'lim, guru mentransfer ilmu, pandangan
atau pikiran kepada peserta didik menurut metode yang sesuai, sedangkan dalam tarbiyah
peserta didik turut terlihat membahas, menyelidiki, mengupas, serta memikirkan soal-soal
yang sulit dan mencari jalan untuk mengatasi kesulitan itu dengan tenaga dan pikirannya
sendiri. Oleh sebab itu ta'lim merupakan tarbiyah al-'aql, bagian dari tarbiyah, dengan tujuan
supaya peserta didik mendapatkan ilmu pengetahuan atau kepandaian. Sedangkan tarbiyah
mengarahkan peserta didik supaya hidup berilmu, beramal, bekerja, bertubuh sehat, berakal
cerdas, berakhlak mulia, dan pandai di tengah-tengah masyarakat.5

Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. hlm. 3.
Abdul Mu jib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), hlm. 12.

Tarbiyah juga diartikan dengan "proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik
(rabbani) kepada peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam
memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ke-taqwaan, budi pekerti, dan
kepribadian yang luhur". Sebagai proses, tarbiyah menuntut adanya perjenjangan dalam
transformasi ilmu pengetahuan, mulai dari pengetahuan yang mendasar menuju pengetahuan
yang lebih tinggi dan sulit.6 Paradigma ini diambil dari Q.S Ali Imran 79, yang artinya:
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab
dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya".
Hadis Nabi memperkuat hal ini dengan pernyataan:

"Jadilah rabbani yang penyantun, memiliki pemahaman, dan berpengetahuan. Disebut


rabbani karena mendidik manusia dari pengetahuan tingkat rendah menuju pada tingkat
tinggi". (HR.Bukhari dari Ibnu Abbas)

Ada dua pemikiran yang menguatkan pandangan bahwa tarbiyah lebih luas cakupannya,31
yaitu:

"Proses menyampaikan (transformasi) sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang


dilakukan tahap demi tahap sebatas pada kesanggupannya".
Dari pemikiran ini, ada lima key word (kata kunci) yang dapat dianalisis, yaitu:    

1. Menyampaikan (al-tabligh). Pendidikan dianggap sebagai usaha penyampaian,


pemindahan, dan transformasi dari orang yang tahu (pendidik) kepada orang yang tidak tahu
(peserta didik) dan dari orang dewasa kapada orang yang belum dewasa.

2. Sesuatu (al-syai). Maksud dari "sesuatu" di sini adalah kebudayaan, baik material maupun
nonmaterial (ilmu pengetahuan, seni, estetika, etika, dan lain-lain) yang harus diketahui dan
diinternalisasikan oleh peserta didik.

3. Sampai pada batas kesempurnaan (ila kamalihi). Maksudnya adalah bahwa proses
pendidikan itu berlangsung terus menerus tanpa henti, sehingga peserta didik memperoleh
kesempurnaan, baik dalam pembentukan karakter dengan nilai-nilai tertentu maupun
memiliki kompetensi tertentu dengan ilmu pengetahuan.

4. Tahap demi tahap {syay fa syay). Maknanya adanya transformasi ilmu pengetahuan dan
nilai dilakukan dengan berjenjang menurut tingkat kedewasaan peserta didik, baik secara
biologis, psikologis, social, maupun spiritual.

5. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti'dadihi). Makna yang terkandung yaitu dalam
proses transformasi pengetahuan dan nilai itu harus mengetahui tingkat peserta didik, baik
dari sisi usia, kondisi fisik, psikis, sosisl, ekonomi dan sebagainya, agar dalam tarbiyah ia
tidak mengalami kesulitan dan hambatan.

Ada kekurangan dari pemikiran ini, yaitu proses pendidikan didominasi oleh pendidik dengan
kurang memberi ruang dan waktu untuk mengaktualisasikan dirinya. Dalam aliran
pendidikan, pemikiran ini masuk dalam kategori empirisme. Hal ini terjadi karena pendidik
kurang memperhatikan kemampuan, potensi, dan kecenderungan yang ada pada diri peserta
didik. Seakan-akan peserta didik adalah manusia yang tidak dibekali apa-apa, tidak ada
potensi apapun, sehingga pendidik adalah segalanya bagi peserta didik. Implikasi logisnya
bahwa adalah peserta didik bagai sebuah robot yang deprogram oleh pendidik, secara
determenistik yang hidup atau matinya robot berada pada tangan pendidik. Hal ini akan
mengakibatkan adanya penghambatan kreativitas dan inovasi peserta didik yang seharusnya
dapat tumbuh berkembang secara normal, karena pendidik memang bertujuan untuk
memberikan sesuatu yang relevan dengan masa depan peserta didik nantinya. Namun
demikian, segi positif yang dapat ditangkap dari pemikiran ini, yaitu adanya pelestarian nilai-
nilai, budaya, dan ilmu pengetahuan dari generasi ke generasi dengan semakin bertambahnya
kualitas dan kuantitasnya pada dinamika zaman sekarang ini. Karena akan terjadi
kemandegan bahkan kemunduran ke-budayan dan peradaban peserta didik yang disebabkan
belum ditransformasikannya berbagai bentuk kebudayaan dan peradaban yang hakiki.

Pemikiran yang kedua adalah:32

"Proses mengembangkan (aktualisasi) sesuatu yang dilakukan tahap demi tahap sampai pada
batas kesempurnaan".

Dari pemikiran ini ada lima Key Word (kata kunci) yang dapat dianalisa, yaitu:    ,

1. Mengembangkan (insya'). Pendidikan dipandang sebagai usaha menumbuhkan,


mengembangkan, dan mengaktualisasikan potensi peserta didik, yang dilakukan oleh
pendidik.

2. Sesuatu (al-syay). Makna yang terkandung adalah beberapa potensi dasar manusia, seperti
al-fitrah (citra asli), al-hayah (vitality), al-thab’u (tabiat), al-jibillah (konstitusi), al-sajiyah
(bakat), al-sifat (sifat-sifat), sehingga berbuah pada al-amal (prilaku).

3. Tahap demi tahap (halan fa halan). Maknanya adalah, segala upaya yang dilakukan untuk
mengaktualisasikan potensi itu harus bertahap, agar secara psikologis peserta didik tidak
merasa ditekan atau didominasi oleh pendidiknya. Sehingga hal ini memerlukan pendekatan
yang bersifat persuasif dalam pelaksanaan proses pendidikan.

4. Sampai pada batas kesempurnaan (ila hadd al-tamam). Maksudnya adalah dalam proses
aktualisasi potensi peserta didik diperlukan waktu yang lama, sehingga seluruh potensinya
benar-benar teraktual secara maksimal.

5. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti'dadihi). Maksudnya adalah dalam proses
aktualisasi peserta didik itu harus mengetahui tingkat peserta didik, baik dari sisi usia, kondisi
fisik, psikis, social, ekonomi dan sebagainya, agar dalam tarbiyah itu ia tidak merasa
'terjajah'. Jangan sampai ia 'dewasa' sebelum waktunya, sehingga ia tidak dapat menikmati
masa kecilnya. Ia tidak bermain sebagaimana kebanyakan anak kecil, sekalipun ia
mengetahui pengetahuan seperti orang dewasa.
Asumsi yang terbangun dalam pemikiran kedua ini, adalah manusia lahir memiliki potensi
unik yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga diketahui masing-masing perbedaan
individu (al-furuq al-fardiyyah). Semua potensi itumasih bersifat potensial yang harus
diaktualisasikan melalui usaha pendidikan. Berdasarkan pemahaman itu, tugas pendidikan
cukup menumbuhkan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan berbagai potensi peserta
didiknya. Pendidik tidak perlu mencetak peserta didiknya menjadi ini dan itu, apalagi
usahanya itu tak seiring dengan potensi dasarnya. Ia cukup menumbuhkembangkan daya cita,
rasa dan karsanya dengan tidak mengubah potensi dasarnya. Apabila potensi yang
mengaktual pada peserta didik itu merupakan potensi yang buruk dan jahat, maka tugas
pendidik adalah mencarikan sublimasi yang bisa mengalihkan perkembangan potensi itu,
sehingga yang mengaktual potensi baiknya.33

Dari pemikiran seperti ini, dapat dilihat adanya sisi kekurangan yaitu peserta didik tidak
memiliki standar kebudayaan, nilai dan ilmu pengetahuan yang merata. Sebab kegiatan
pendidikan difokuskan pada pengembangan potensi internal peserta didik. Hasil kebudayaan
dan peradaban masa lalu diabaikan begitu saja, tanpa diturunkan kepada generasi berikutnya.
Namun sisi kelebihan yang didapat adalah terdapat relevansi antara apa yang diberikan oleh
pendidik dengan kebutuhan dan keinginan peserta didik. Fungsi pendidik hanya merupakan
fasilitator terhadap penumbuhan dan pengembangan potensi peserta didik untuk meraih
harapan dan kebutuhan yang diinginkan.34

2. Pengertian secara terminologi

Pengertian pendidikan Islam cukup beraneka ragam dan bermacam-macam yang sudah
dinyatakan para pakar pendidikan Islam, sebagaimana berbagai pendapat dalam dataran
etimologi. Syed Muhammad al-Nuquib al-Attas memberikan konsep yaitu: "sekiranya kita
ditanya, apakah pendidikan itu?, maka dapat dikemukakan sebuah jawaban sederhana:
pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia".35 Ada tiga hal
unsur pokok pembentuk pendidikan yang dapat diambil dari jawaban tersebut, yaitu: proses,
kandungan, dan penerima. Maknanya adalah: "proses" adalah penanaman sebuah pendidikan
yang mengandung sebuah metode dan adanya sistem yang komperhensif dengan cara
bertahap dan berkelanjutan. Dan "sesuatu" di sini dimaksudkan pada kandungan, nilai yang
ditanamkan yaitu berupa ilmu yang haqiqi dan diyakini kebenarannya yang sesuai dengan
konsep yang ada dalam agama Islam yang tercermin dalam al-Qur'an. Hal ini didasarkan dari
asumsi bahwa semua ilmu bersumber dan datang dari Allah SWT. Sedangkan "diri manusia"
adalah penerima proses dan kandungan tersebut yang tak lain adalah perserta didik.

Menurut Muhammad SA. Ibrahim (kebangsaan Bangladesh pendidikan Islam adalah: Islamic
education in true sense of the lern, is the system of education whice enable a man to lead his
life according to the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in accordance whit
tenets of Islam (pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu system
pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan
ideology Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajran
Islam).36 Dalam paradigma ini dapat dimaknai bahwa pendidikan Islam merupakan suatu
system, yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang saling terkait. Misalnya system
akidah, syariah dan akhlak, yang meliputi domain afektif, kognitif, dan psikomotorik, yang
keberartian satu unsur terpengaruh dari keberartian unsure yang lain. Pendidikan Islam juga
dilandaskan atas ideologi Islam, dengan harapan bahwa proses pendidikan yang dilakukan
tidak bertentangan dengan nilai dasar ajaran Islam.
Sedangkan dalam pandangan Muhammad Athiyah al-Abrasyi, pendidikan Islam adalah
sebuah proses untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan
berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya),
teratur fikirannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik lisan atau tulisan.37
Menurut Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam.38 Dari pengertian ini, pendidikan ditopang dengan adanya tiga unsur
pokok; Pertama, harus ada usaha yang berupa bimbingan bagi pengembangan potensi jasmani
dan rohani secara berimbang, Kedua, adanya usaha yang dilakukan itu harus berdasarkan atas
ajaran Islam. Ketiga, usaha itu bertujuan agar peserta didik memiliki kepribadian utama
menurut ukuran Islam (kepribadian muslim).

Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani mendevinisi-kan pendidikan Islam dengan proses


mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribandi, masyarakat dan alam sekitarnya,
dengan cara pengajaran sebagaai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-
profesi masyarakat. Al-Syaibani lebih menekankan pada perubahan tingkah laku, dari yang
buruk menuju yang baik, dari yang minimal menuju yang maksimal, dari yang potensial
menuju yang aktual, dan dari yang pasif menuju yang aktif. Di sini akhirnya pengajaran
dijadikan sebagai sarana dalam proses perubahan tingkah laku tersebut, yang mencakup dua
level perubahan yaitu, pada tingkat individu (etika personal), yang menghasilkan kesalehan
individual, dan lebih dari itu mencoba supaya dapat mencakup tingkatan yang lebih luas yaitu
kesalehan sosial, hasil dari etika masyarakat (sosial).7

Ada yang berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan usaha menumbuhkan dan
membentuk manusia muslim yang sempurna dari segala aspek yang bermacam-macam aspek
seperti kesehatan, akal, keyakinan, kejiwaan, akhlak, kemau-an, daya cipta dalam semua
tingkat pertumbuhan yang disinari oleh cahaya Islam dengan berbagai metode yang
terkandung di dalamnya. Pendapat ini diungkapkan oleh seorang guru besar Islam Ilmu
Sosial Universitas Muhammad bin Su'ud di Riyadh Saudi Arabia, yaitu Miqdad Yeljin.8

Lebih luas lagi yaitu pendapat dari guru besar pendidikan Islam di Tnisia, Muhammad Fadhil
al-Jamali yang mengajukan pengertian pendidikan Islam dengan upaya mengembangkan,
mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik pada
level akal, perasaan maupun perbuatan.41 Dari pengertian ini dapat diambil sebuah makana
bahwa sebuah pendidikan bertumpu pada tiga unsur pembentuknya, yaitu Pertama, adanya
proses dalam aktivitas pendidikan denga mengembangkan, mendorong, dan mengajak peserta
didik untuk lebih maju dari kehidupan sebelumnya. Peserta didik yang tidak memiliki
pengetahuan dan pengalaman apa-apa dibekali dan dipersiapkan dengan seperangkat
pengetahuan agar ia mampu meres-pon dengan baik. Kedua, Seluruh usaha dalam proses
pendidikan berlandaskan pada nilai-nilai luhur dan mulia. Peningkatan pengetahuan dan
pengalaman harus dibarengi dengan peningkatan kualitas akhlak. Ketiga, upaya pendidikan
menjurus pada semua kecenderungan-kecenderungan, kemampuan, yang dibawa peserta
didik, dari seluruh domain pendidikan, kognitif (akal), afektif (perasaan), dan psikomotorik
(perbuatan).

Dalam buku al-Tarbiyah wa al-Ta'lim al-Qur'an al-Karim diartikan bahwa pendidikan Islam
merupakan proses pendekatan manusia kepada tigkat kesempurnaan dan mengembangkan
kemampuannya.9 Devinisi ini sebagaimana dijelaskan Jalaludin Rahmat, mempunyai tiga
makna pendidikan, Pertama, pendidikan merupakan sebuah proses untuk membantu
pencapaian tingkat kesempurnaan, yaitu manusia yang mencapai tingkat keimanan dan
berilmu (QS. al-Mujadalah: 11), yang disertai kualitas amal saleh (QS. al-Mulk: 2), Kedura,
pendidikan merupakan sebuah model, maka rosulullah sebagai uswah hasanah yang sudah
dijamin Allah (QS. al-Ahzab: 21, al-Qalam: 4), dan Ketiga, perlu disadari bahwa pendidikan
Islam harus mempertimbangkan pembawaan manusia yang mempunyai potensi baik
sekaligus buruk, (QS. al-Syams: 7-8) sifat lemah (QS. al-Nisa': 28), terburu-buru (QS. al-
Anbiya': 37), keluh kesah (QS. al-Ma'aarij: 19), ruh yang ditiupka Allah pada saat
penyempurnaan penciptaannya (QS. Shad: 72). Pendidikan Islam harus berusaha
menumbuhkan, membangkitkan, meningkatkan potensi-potensi yang baik tersebut, dan
semaksimal mungkin meminimalisir berkembangnya potensi-potensi yang buruk. Pada tahun
1960 diadakan seminar pendidikan Islam se-Indonesia, yang ahirnya merumuskan bahwa
pendidikan Islam merupakan bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut
ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi
berlakunya semua ajaran Islam.43

Beberapa hal yang dapat diambil sebagai benang merah dari seluruh pendapat, pandangan
tentang pengertian pendidikan Islam di atas, bahwa pendidikan Islam merupakan proses
trans-internalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya
pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, pengarahan, dan
pengembangan potensi-potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di
dunia dan akhirat, jasmani dan rohani. Bimbingan tersebut dilakukan secara sadar dan terus-
menerus dengan disesuaikan fitrah dan kemampuan, baik secara individu, kelompok,
sehingga ia mampu menghayati, memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh-
menyeluruh dan komperhensif.

B. Ruang Lingkup Pendidikan Islam

Menurut pandangan H.M. Ari f in, pendidikan Islam mempunyai ruang lingkup mencakup
kegiatan-kegiatan kependidikan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan
dalam bidang atau lapangan hidup manusia yang meliputi:44

1. Lapangan hidup keagamaan, agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma-
norma ajaran agama Islam.
2. Lapangan hidup berkeluarga, agar berkembang menjadi keluarga yang sejahtera.
3. Lapangan hidup ekonomi, agar dapat berkembang menjadi sistem kehidupan yang bebas
dari penghisapan manusia oleh manusia.
4. Lapangan hidup kemasyarakatan, agar terbina masyarakat yang adil dan makmur di bawah
ridlo dan ampunan-Nya.
5. Lapangan hidup politik, agar tercipta sistem demokrasi yang sehat dan dinamis sesuai
dengan ajaran Islam.
6. Lapangan hidup seni dan budaya, agar menjadikan hidup manusia penuh keindahan dan
kegairahan yang tidak gersang dari nilai-nilai moral agama.        
7. Lapangan hidup ilmu pengetahuan, agar perkembangan menjadi alat untuk mencapai
kesejahteraan hidup umat manusia yang dikendalikan oleh iman.

Apabila menggunakan paradigma dan asumsi dari ungkapan rasul yang menganjurkan untuk
menuntut ilmu dari ayunan sampai liang lahat dan menuntut ilmu itu adalah kewajiban pria
dan wanita, maka ruang lingkup pendidikan Islam tidak mengenal bats umur dan perbedaan
jenis kelamin bahkan tempat dan masa.
Pendidikan sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Karena di dalamnya
banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik langsung maupun tidak langsung.
Adapun segi-segi dan fihak-fihak yang terlibat dalam pendidikan Islam sekaligus menjadi
ruang lingkup pendidikan Islam adalah:45

1. Perbuatan mendidik itu sendiri.


Yang dimaksud dengan perbuatan mendidik di sini adalah seluruh kegiatan, tindakan atau
perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu mengahdapi atau mengasuh
peserta didik. Dengan istilah yang lain yaitu sikap atau tindakan menuntun, membimbing,
memberikan pertolongan dari seorang pendidik kepada peserta didik menuju kepada tujuan
pendidikan Islam. Dalam perbuatan mendidik ini sering disebut dengan istilah tahzib.

2. Dasar dan tujuan pendidikan Islam


Yaitu landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan Islam.
Semua hal yang masuk dalam proses pendidikan harus bersumber dan berlandaskan dasar
tersebut. Dengan dasar dan sumber ini, peserta didik akan dibawa sesuai dengan dasar dan
sumbernya.

3. Peserta didik
Yaitu fihak yang merupakan obyek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena
segala tindakan pendidikan diarahkan pada tujuan dan cita-cita pendidikan Islam.

4. Pendidik
Secara singkat dapat dikatakan sebagai subyek pelaksana proses pendidikan. Pendidik akan
dapat membawa suatu pendidikan pada baik dan buruknya, sehingga peranan pendidik dalam
keberhasilan pendidikan sangat menentukan.

5. Materi dan kurikulum pendidikan Islam


Yaitu bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman pendidikan, yang sudah tersusun secara
sistematis dan terstruk-tur untuk disampaikan dalam proses pendidikan kepada peserta didik.

6. Metode pendidikan Islam


Yaitu cara dan pendekatan yang dirasa paling tepat dan sesuai dalam pendidikan untuk
menyampaikan bahan dan materi pendidikan kepada pesrta didik. Metode digunakan untuk
mengolah, menyusun, dan menyajikan materi pendidikan, supaya materi dapat dengan mudah
diterima dan ditangkap oleh peserta didik sesuai dengan karakteristik dan tahapan peserta
didik.

7. Evaluasi pendidikan Islam


Yaitu cara-cara yang digunakan untuk menilai hasil pendidikan yang sudah dilakukan. Pada
pendidikan Islam, umumnya tujuan tidak semuanya dapat dicapai seketika dan sekaligus,
melainkan melalui proses dan pentahpan tertentu. Dengan evaluasi, pendidikan dapat
dilanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi namun harus melihat apakah sebuah tujuan yang
sudah ditargetkan pada suatu tahap atau fase sudah tercapai dan terlaksana.

8. Alat-alat pendidikan Islam


Yaitu alat-alat yang digunakan selama proses pendidikan dilaksanakan, agar tujuan
pendidikan dapat tercapai secara tepat.
9. Lingkungan pendidikan Islam Keadaan-keadaan dan tempat-tempat yang ikut berpengaruh
dalam pelaksanaan serta keberhasilan suatu pendidikan.

C. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam

Ilmu pendidikan Islam memiliki arti dan peranan penting dalam kehidupan manusia,
dikarenakan fungsi yang dimiliki Ilmu Pendidikan Islam. Adapun beberapa fungsi tersebut
adalah:

1. Al-Dilalah, yaitu bahwa ilmu pendidikan Islam melakukan pembuktian toeri-teori


kependidikan Islam, yang merangkum aspirasi atau cita-cita Islam yang harus diikhtiarkan
agar menjadi kenyataan.

2. Al-Ikhbar, yaitu bahwa Ilmu Pendidikan Islam memberikan bahan-bahan informasi tentang
pelaksanaan pendidikan dalam segala aspeknya bagi pengembangan ilmu pengetahuan
pendidikan Islam tersebut. Ia memberikan bahan masukan (input) kepada ilmu ini.
Mekanisme proses kepandidikan Islam dari segi operasional dapat dipersamakan dengan
proses mekanisme yang berasal dari penerimaan (input), lalu diproses dalam kegiatan
pendidikan (dalam bentuk kelembagaan atau non-kelembagaan yang disebut truput),
kemudian berakhir pada output (hasil yang diharapkan). Dari hasil yang diharapkan itu
timbul umpan balik (feed back) yang mengoreksi bahan masukan (input). Mekanisme proses
semacam ini berlangsung terus menerus selama proses kependidikan terjadi. Semakin banyak
diperoleh bahan masukan (input) dari pengalaman operasional itu, maka semakin
berkembang pula Ilmu Pendidikan Islam.

3. Al-Khisabah, yaitu bahwa Ilmu pendidikan Islam berfungsi sebagai pengoreksi (korektor)
terhadap teori-teori yang terdapat dalam Ilmu pendidikan Islam itu sendiri, sehingga
pertemuan antara teori dan praktek akan semakin nyata, dan hubungan keduanya akan
semakin bersifat interaktif (saling mempengaruhi).

Untuk dapat lebih jelas dalam memahami ketiga fungsi tersebut, lihat skema berikut:

Skema pendidikan tersebut memberikan gambaran bahwa input (bahan masukan) menjadi
titik tolak pertama dalam proses berjalannya sebuah pendidikan. Dalam sebuah lembaga
pendidikan, semakin banyak input seperti informasi, maka semakin baik pengaruhnya bagi
kemajuan lembaga pendidikan tersebut. Sehingga, kekurangan-kekurangan yang selama ini
terjadi, dengan adanya berbagai input yang diperoleh terkait keberlangsungan pendidikan dan
pembelajarannya akan terselesaikan dengan baik. Ketika proses mata rantai skema tersebut
masih bisa berjalan, maka dinamika dan perkembangan sebuah lembaga pendidikan masih
terwujud, sebaliknya ketika skema tersebut tidak berjalan, maka stagnasi atau kemandegan
akan terjadi.

Memperhatikan hal tersebut, maka Ilmu Pendidikan Islam perlu dipelajari setiap muslim,
yang berkeinginan agar pendidikan yang diselenggerakan dapat berlangsung lancar dan
mencapai sasarannya. Mengenai perlunya mempelajari Ilmu Pendidikan Islam ini, H.M.
Arifin menyatakan sebagai berikut:10
. Pendidikan sebagai usaha membentuk pribadi manusia harus melalui proses yang panjang,
dengan resultan (hasil) yang tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda dengan
membentuk benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pembuatnya.

Dalam proses pembentukan tersebut diperlakukan suatu perhitungan yang matang dan hati-
hati berdasarkan pandangan dan fikiran atau teori yang tepat, sehingga kegagalan atau
kesalahan-kesalahan langkah pembentuknya terhadap peserta didik dapat dihindarkan. Oleh
karena itu lapangan tugas dan sasaran pendidikan adalah makhluk yang sedang tumbuh dan
berkembang yang mengandung berbagai kemungkinan. Bila terjadi salah bentuk, maka akan
sulit memperbaikinya.

• Pendidikan Islam pada hususnya yang bersumberkan nilai-nilai agama Islam di samping
menanamkan atu membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut, juga
mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai Islam yang
melandasinya adalah merupakan proses ikhtiariyah secara pedagogis mampu
mengembangkan hidup peserta didik ke arah kedewasaan atau kematangan yang bermanfaat
baginya. Oleh karena itu usaha ini tidak dapat hanya berdasarkan atas trial and error (coba-
coba) atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidik tanpa dilandasi dengan teori-teori
kependidikan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pedagogis.

• Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan oleh Allah dengan tujuan untuk
mensejahterakan dan membahagiakan hidup dan kehidupan umat manusia di dunia dan
akhirat, baru akan mempunyai arti fungsional dan aktual dalam diri manusia bilaman
dikembangkan melalui proses kependidikan yang sistematis. Oleh karena itu teori-teori
pendidikan Islam yang disusun secara sistematis merupakan kompas bagi proses tersebut.    

• Ruang lingkup kependidikan Islam adalah mencakup segala bidang kehidupan manusia di
dunia di mana manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih-benih yang
buahnya akan dipetik di akhirat nanti, maka pembentukan sikap dan nilai-nilai amaliah dalam
pribadi manusia baru dapat efektif bilaman dilakukan melalui proses kependidikan yang
berjalan di atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan kependidikan.

• Teori-teori, hipotesa dan asumsi-asumsi kependidikan yang bersumberkan ajaran Islam


sampai kini masih belum tersusun secara ilmiah meskipun bahan-bahan bakunya telah
tersedia, baik dalam kitab suci Al-Qur'an, Al-Hadits maupun qaul ulama. Untuk itu
diperlukan penyusunan secara sistematis yang didukung dengan hasil penilaian yang luas. []

BAB II

DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus
mempunya tempat lan-dasan berpijak yang baik dan kuat. Sehingga pendidikan Islam sebagai
suatu upaya membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan dan
perumusan tujuan pendidikan Islam diarahkan. Dari sini dasar adalah merupakan landasan
untuk berpijaknya sesuatu, yang akan memberikan arah yang jelas kepada tujuan yang
hendak diraih. Setiap negara, mempunyai dasar pendidikannya sendiri sebagai cerminan
falsafah hidup yang dianutnya, sehingga dari sini suatu pendidikan disusun. Dan karenanya
sistem pendidikan suatu negara menjadi berbeda dikarenakan perbedaan falsafah hidup yang
dianutnya.
Beberapa contoh di antaranya, Negara Malaysia yang mendasarkan pendidikannya kepada
prinsip-prinsip Rukun-negara yang merupakan refleksi falsafah hidup bangsa Malaysia.
Prinsip-prinsip Rukun-negara yaitu11:

Kepercayaan kepada Tuhan Kesetiaan kepada Raja dan Negara Keluhuran Perkembangan
Kedaulatan Undang-undang Kesopanan dan Kesusilaan

Contoh lain yaitu Negara Islam Pakistan yang mendasarkan pendidikannya pada Islam,
sehingga diputuskan oleh Menteri Pendidikan Islam Pakistan pada bulan November 1947,
yang memutuskan: (1), Education should be based on the Islamic conception of universal
brotherhood of man, social democracy and social justice, (2), It should be compulsery for
student to learn the fundamental principles to their religion, (3), There should be proper
integration of spiritual, social, ang vocational elements in education.12

Penentuan dasar ini memiliki urgensi untuk13:

1. Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai.


2. Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar-mengajar, yang di
dalamnya termasuk materi, metode, media, sarana, dan evaluasi.
3. Menjadi standard an tolok ukur dalam evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah
mencapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum.

A. Dasar Ke-Islaman

Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari
sumber yang sama yaitu Al-Qur'an dan hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam
pemahaman para ulama' dan lain sebagainya.14 Dengan versi lain pendidikan Islam secara
umum memiliki enam dasar (di sini ada berbagai versi dan pendapat) dalam pandangan Sa'id
Ismail Ali sebagaiman dikutip Hasan Lang-gulung.15 Yaitu: Al-Qur'an, Al-Sunnah, Kata-
kata sahabat (madzhab sahabi), kemaslahatan umat/sosial (mashlahah al-mursalah), tradisi
atau adapt ('urf), dan hasil pemikiran para ahli dalam Islam (ijtihad). Keenam dasar
pendidikan Islam tersebut didudukkan secara hierarkhis, dengan arti bahwaa sumber utama
dan pertama adalah al-Qur'an kemudian dasar-dasar yang selanjutnya.

1. Al-Qur'an

Al-Qur'an dijadikan sumber pertama dan utama dalam pendidikan Islam, karena nilai absolut
yang terkandung di dalamnya yang datang dari Tuhan. Umat Islam sebagai umat yang
dianugerahkan Tuhan suatu kitab Al-Qur'an yang lengkap dengan segala petunjuk yang
meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal. Apabila diamati secara mendalam,
prosentase akan ajaran-ajaran yang berkenaan dengan keimanan (aqidah) tidak banyak
porsinya dibandingkan dengan prosentase akan ajaran tentang amal perbuatan. Hal ini
menunjukkan bahwa amal itulah yang banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan
manusia hubungannya dengan Tuhan, dirinya sendiri, sesama manusia (masyarakat), alam
sekitarnya dengan makhluk lainnya kesemuanya masuk dalam ruang lingkup amal saleh
(syariah), namun bukan berarti menafikan urgensi keimanan dalam Islam. Dengan kata lain
bahwa al-Quran mencakup dua aspek besar dalam kehidupan manusia, yakni aqidah dan
syari'ah.
Nilai esensi dalam al-Qur'an selamanya abadi dan selalu relevan pada setiap waktu dan
zaman, yang terjaga dari perubahan apapun. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut
masalah interpretasi mengenai nilai-nilai instrumental dan menyangkut masalah tehnik
operasional. Sehingga pendidikan Islam yang ideal sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai
dasar al-Qur'an tanpa sedikitpun menyimpang darinya. Hal ini diperlukan karena ada dua isi
penting yang diperlukan dalam sebuah pendidikan, yaitu mencakup sejarah pendidikan Islam
dan nilai-nilai normatif pendidikan Islam.16

Muhammad Fadhil al-Jamali menyatakan bahwa pada dasarnya merupakan perbendaharaan


besar untuk kebudayaan manusia, khususnya dalam segi spiritualitas. Ia juga merupakan
Kitab Pendidikan kemasyarakatan, moral, dan spiritual. Hal ini dipertegas oleh al-Nadwi
yang berpandangan bahwa pendidikan dan pengajaran umat Islam haruslah bersumberkan
dari Aqidah Islamiyah yang berdasar dari al-Qur'an dan hadits.17

Dalam al-Qur'an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan
kegiatan atau usaha pendidikan. Misalnya saja kisah Luqman dalam mengajari anaknya
(QS.Lukman: 12-19). Cerita ini menggariskan prinsip dalam materi pendidikan yang terdiri
dari masalah iman, akhlak, ibadah, social, dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan
tujuan hidup dan tentang nilai sesuatu kegiatan dan amal saleh. Hal ini mengindikasikan
bahwa tujuan hidup harus match dengan tujuan hidup itu sendiri.18

2. As-Sunnah

Dasar kedua dalam pendidikan Islam adalah as-Sunnah. Menurut bahasa sunnah adalah
tradisi yang biasa dilakukan atau jalan yang dilaui (al-Thoriqoh al-Maslukah) baik yang
terpuji maupun yang tercela. Al-Sunnah adalah sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi SAW,
berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau ketetapannya dan yang lain itu. Amalan yang
dikerjakan rosul dalam proses perubahan sikap sehari-hari menjadi sumber pendidikan Islam,
karena Allah telah manjadikan-nya teladan bagi umatnya. Sunnah juga berisi aqidah dan
syariah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa.
Sehingga rosul manjadi guru dan pendidik utama.

Orang yang mengkaji kepribadian rosul, akan menemukan bahwa beliau benar-benar
pendidik yang agung, dengan metode pendidikan yang luar bisa, bahkan para pakar
pendidikan Islam menyebutkan dan memberikan predikat "The Prophet Muhammad was the
first citizen of this nations, its teacher and its guide".9

Robert L. Gullick dalam bukunya Muhammad the Educator menyatakan: "Muhammad betul-
betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan
yang lebih besar, serta melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan
budaya Islam, serta revolusi sesuatu yang mempunyai tempo yang tak tertandingi dan gairah
yang menantang. Dari sudut pragmatis, seseorang yang mengangkat prilaku manusia adalah
seorang pangeran di antara para pendidik.10
Dalam usahanya, Nabi sebagai guru dan pendidik yang utama dapat diketahui melalui:

a. Menggunakan rumah al-Arqam Ibn Arqam


b. Memanfaatkan tawana perang untuk mengajar baca tulis.
c. Dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Yang
kesemuanya ini adalah dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam.
Corak Pendidikan Islam yang diturunkan dari sunnah Nabi Muhammadnadalah:

1. Disampaikan sebagia rahmat lil ‘alamin (rahmat bagi semua alam), yang ruang lingkupnya
tidak sebatas spesies manusia, tetapi juga makhluk biotik dan abiotik lainnya. (QS.al-Anbiya':
107-108)
2. Disampaikan secara utuh dan lengkap, yang memuat berita gembira dan peringatan pada
umatnya. (QS. Saba': 28)
3. Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak (QS. al-Baqarah: 119), dan
terpelihara outentitasnya. (QS. al-Hijr: 9)
4. Kehadirannya sebagai evaluator yang mampu mengawasi dan senantiasa bertanggung
jawab atas aktivitas pendidikan (QS. asy-Syura: 48, al-Ahzab: 45, al-Fath: 8)
5. Perilaku Nabi tercermin sebagai uswah hasanah yang dapat dijadikan figuratau suri
tauladan (QS. al-Ahzab: 21), karena perilakunya dijaga Allah (QS. an-Najm: 3-4), sehingga
beliau tidak pernah maksiat.
6. Dalam masalah tehnik operasional dalam pelaksanaan pendidikan Islam diserahkan penuh
pada umatnya. Strategi, pendekatan, metode, dan tehnik pembelajaran diserahkan penuh pada
ijtihad umatnya, selama tidak menyalahi aturan pokok dalam Islam. Imam Muslim
meriwayatkan dari Anas dan Aisyah: "antum a’lamu bi umur al-dunyakum” (engkau lebih tau
terhadap urusan duniamu).

3. Kata-kata Sahabat (Madzhab Sahabi)

Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi SAW. Dalam keadaan beriman dan
mati dalam keadaan beriman juga. Para sahabat memiliki karakteristik yang unik
dibandingkan dengan kebanyakan orang. Fazlur Rahman berpendapat bahwa karakteristik
sahabat antara alin: (1) tradisi yang dilakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah
dengan sunnah Nabi, (2) Kandungan yang khusus dan aktual tradisi sahabat sebagian besar
produk sendiri, (3) Unsur kreatif dari kandungan merupakan ijtihad personal yang telah
mengalami kristalisasi dalam ijma', yang disebut dengan madzhab sahabi (pendapat sahabat).
Ijtihad ini tidak terpisah dari petunjuk Nabi terhadap sesuatu yang bersifat spesifik, dan (4)
Praktek amaliah sahabat identik dengan ijma' (konsensus umum).19

Upaya sahabat dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran
dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar misalnya, mengumpulkan mushaf dalam
satu mushhaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanan
masyarakat dari pemurtadan dan memerangi pembangkang dari pembayaran zakat.
Sedangkan yang dilakukan Umar bin Khattab sehingga ia disebut sebagai bapak revolusioner
terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah Islam, dan memerangi
kezaliman menjadi salah satu model dalam membangun strategi dan perluasan pendidikan
Islam dewasa ini. Sedang Ustman bin Affan berusaha untuk menyatukan sistematika berfikir
ilmiah dalam menyatukan susunan Al-Qur'an dalam satu mushhaf, yang berbeda antara satu
mushhaf dengan mwsWia/lainnya. Sementara Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan
konsep-konsep kependidikan seperti bagaiman seyogianya etika peserta didik terhadap
pendidiknya, bagaimana ghirah pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya.20

4. Kemaslahatan Umat/Sosial (Mashlahah al-Mursalah)

Mashlahah al-Mursalah adalah menetapkan undang-undang, peraturan dan hokum tentang


pendidikan dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash dengan
pertimbangan kemashlahatan hidp bersama, dengan bersendikan asas menarik kemashlahatan
dan menolak kemudha-ratan. Mashlahah al-Mursalah dapat diterapkan jika ia benar-benar
dapat menarik mashlahah dan menolak mudharat melalui penyelidikan terlebih dahulu.
Ketetapannya bersifat umum, bukan untuk kepentingan perseorangan serta tidak bertentangan
dengan nash.u

Para ahli pendidikan berhak menentukan undang-undang atau peraturan pendidikan Islam
sesuai dengan kondisi lingkungan di mana ia berada. Ketentuan yang dicetuskan berdasarkan
mashlahah al-mursalah dengan memiliki tiga kriteria: (1) apa yang dicetuskan benar-benar
membawa kemashlahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan
analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijasah) dengan foto pemiliknya; (2) kemaslahatan
yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh
lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi, misalnya perumusan undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional di Negara Islam atau di nagara yang penduduknya mayoritas muslim;
(3) keputusan yang diambil tida bertentangan dengan nilai dasar Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Misalnya perumusan tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan
manusia di muka bumi.15

5. Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat ('Urf)

Tradisi ('urf/adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan
yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa
merasa tenang dalam melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang
sejahtera. Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multikompleks dan
dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai
pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat dipertahankan sejauh
di dalam diri mereka terdapat nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tradisi yang tidak lagi
mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya.16

Dalam konteks tradisi ini, masing-masing tradisi masyarakat muslim memiliki corak tradisi
unik, yang berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lain. Sekalipun mereka
memiliki kesamaan agama, tetapi dalam hidup berbangsa dan bernegara akan membentuk ciri
unik. Dengan asumsi seperti ini, maka ada penyebutan Islam universal dan Islam lokal.17
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acu and alam pelaksanaan pendidikan
Islam. Penerimaan tradisi ini memiliki beberapa syarat, yaitu: (1) tidak bertentangan dengan
ketentuan nash pokok, baik al-Qur'an dan sunnah; (2) tradisi yang Islam universal adalah
Islam yang diajarkan Allah dan rasul-Nya sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial
dan diberlakukan untuk semua lapisan, misalnya menutup aurat bagi muslim dan muslimah.
Sedangkan Islam lokal adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan budaya masyarakat setempat,
sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti bagaimana bentuk menutup aurat
itu, apa memakai celana, kebaya, jubah atau yang lain. Ibid

berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak
mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemunduran.18

6. Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)

Setelah jatuhnya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir, berakhirlah masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidun dan digantikan oleh Dinasti Umayyah. Pada masa ini Islam telah meluas
sampai ke Afrika Utara bahkan ke Spanyol. Perluasan daerah kekuasaan ini diiukuti oleh
ulama' dan guru atau pendidik. Akibatnya terjadi pula perluasan pusat-pusat pendidikan yang
tersebar di kota-kota besar seperti: (1) Makkah dan Madinah (hijaz); (2) Bashrah dan Kuffah
(Iran); (3) Damsyik dan Palestina; (4) Fustat (Mesir). Implikasi dari berdirinya pusat-pusat
pendidikan tersebut, adalah terjadinya perkembangan baru dalam realitas pendidikan, sebagai
akibat interaksi, asimilasi, dan akulturasi nilai-nilai budaya daerah yang ditaklukkan dengan
nilai-nilai Islam. Hal ini berrati perlu adanya pemikiran ulang secara komperhensif tentang
cara mengatasi problem-problem baru yang timbul, dan di sinilah perlunya sebuah
"Ijtihad".19

Ijtihad adalah istilah para ahli fiqh (fuqaha') yang berakar dari kata jahada yang berarti al-
masyaqqah (yang sulit) dan badzl al- wus'i wa thaqati (pengerahan kesanggupan dan
kekuatan). Sa'id al-Taftani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (kearah yang
membutuhkan kesungguhan), yaitu pengerahan segala kesanggupan dan kesungguhan serta
kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya.20 Istilah lain
menyebutkan bahwa ijtihad adalah berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki
ahli syari'at Islam untuk menetapkan/menentukan suatu hukum syari'at Islam dan hal- hal
yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur'an dan sunnah.21

Beberapa Imam fiqh yang tergolong mujtahid seperti al-Auza'i, Abu Hanifah dan Imam
Malik, pada waktu itu merasa perlu untuk memecahkan permasalahan yang timbul sebagai
akibat terjadinya interaksi nilai-nilai budaya adat istiadat yang berbeda dengan menggunakan
ijtihad. Dengan demikian ijtihad dapat digunakan sebagi sumber pendidikan karena sesuai
dengan hikmah Islam. Hal ini disebabkan karena al-Qur'an dan sunnah masih banyak
mengandung arti yang umum, sehingga para ahli hukum menggunakan ijtihad untuk
menetapkan hukum tersebut.22

Ijtihad dalam aplikasinya dapat meliputi seluruh aspek ajaran Islam, termasuk di dalamnya
aspek pendidikan. Karena

20Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), hlm. 43.

21 Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,. Cet. keenam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006),
him. 21. Bandingkan dengan Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004),
him. 51. Ijtihad ini dirasa penting karena Al-Qur'an dan Hadits banyak mengandung arti yang
masih umum, maka para ahli hukum Islam menggunakan Ijtihad untuk menentukan sebuah
hukum. Ijtihad ini sangat terasa sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi dan beranjaknya
Islam mulai keluar dari Arab. Sehingga memang situasi dan kondisi yang sudah berbeda
dengan tanah Arab. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 17.

22 Ramayulis,, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 17.

pada prinsipnya ijtihad diaplikasikan dalam hal-hal yang terus berkembang yang perlu
penalaran atau pemikiran ulang yang lebih komperhensif dalam dinamika kehidupan
masyarakat. Dan pendidikan merupakan satu aspek kehidupan yang sangat urgen dalam
masyarakat, yang akan senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan zaman yang
semakin bergerak maju dengan cepat. Akibatnya dengan sangat mendesak perlu adanya suatu
jalan penghubung yang dapat menghantarkan aspek-aspek pendidikan seperti isi atau materi,
metode, system dan yang lainnya ini pada dunianya yang semakin maju agar dapat membawa
masyarakat kepada sebuah peradaban yang lebih manusiawi dan Islami. Sebagai realisasi
ajaran Islam dari al-Qur'an dan sunnah yang masih global, demi tercapainya tujuan
pendidikan Islam.

Dari pengertian di atas, maka ijtihad menjadi sangat penting dan diperlukan dalam dunia
pendidikan, dan ketika terlihat gejala adanya pendidikan yang masih mempertahankan status-
quo, jumud (kemandegan), stagnan, dan statis. Urgensi dari perlunya aplikasi ijtihad adalah
untuk dinamisasi, inovasi, dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan
yang lebih berkualitas. Ijtihad tidak berarti dekonstruksi nilai-nilai, budaya da tatanan lama
yang sudah ada, malainkan merekonstruksi atau memelihara "yang lama" yang baik (al-
qadim ash-shalih) dan mengambil tatanan "yang baru" yang lebih baik (al-jadid al-ashlah).
Sehingga Rasulullah memberi sebuah apresisi yang relevan kepada pelaku ijtihad, bila
mereka benar malakukannya baik dataran isi dan prosedurnya, maka mereka mendapatkan
dua pahala, tetapi apabila mengalami kesalahan maka ia mendapatkan satu pahala, yaitu
karena kesungguhan yang sudah dilakukkannya (HR. Bukhari Muslim dan Amr ibn ash).21

B. Dasar Pelaksanaan Pendidikan Islam di Indonesia

Dasar pendidikan di suatu negara disesuaikan dengan dasar falsafah negaranya. Oleh
karenanya pendidikan Islam di Indonesia selain berdasarkan pada dasar-dasar tersebut, agar
lebih dapat diaplikasikan dalam masyarakatnya harus berdasarkan pada falsafah hidup bangsa
Indonesia, dan perundang-undangan yang berlaku yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan pendidikan di berbagai lembaga
pendidikan (formal, non-formal maupun in-formal) yang masih memungkinkan.22

Adapun dasar-dasar tersebut adalah:

1. Dasar Ideal
Dasar ideal adalah dasar dari falsafah negara, yaitu Pancasila, dengan sila pertamanya
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung pengertian bahwa seluruh bangsa Indonesia
harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau dengan kata lain haruslah beragama dan
berTuhan. Dasar ideal ini merupakan sumber kebenaran dan kekuatan (kebenaran universal)
yang akan disepakati oleh semua fihak, dan dapat mengantarkan kepada apa yang menjadi
tuju a bersama tersebut. Dasar ini telah menjadi standar nilai bersama yang nantinya akan
mamapu menjadi evaluator seluruh kegiatan dan proses pendidikan. Sehingga nilai ini
nantinya akan berlaku secara umum (general pattern), yang menjadi nilai-nilai inti atau ideal
(ideal core values).

2. Dasar Struktural
Dasar struktural pendidikan di Indonesia adalah UUD 1945, "mencerdaskan kehidupan
bangsa...". Perwujudan tujuan tersebut tertuang dalam amandemen pasal 31 UUD 1945 yang
berupa Pasal 31 ayat (1) sampai ayat (5) yang berbunyi:25

a. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.


b. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
c. Pemerintah menyelenggarakan dan mengusahakan satu sistem pendidikan nasionl yang
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
d. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta anggaran dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
e. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat.

3. Dasar Operasional
Untuk dasar ini, pada saat sekarang terletak pada UU No 20 Sistem Pendidikan Nasional
tahun 2003, yang terkenal dengan UU SISDIKNAS tahun 2003 yang menjadi penjabaran
pasal 31 tersebut di atas. Dalam undang-undang tersebut telah dengan jelas mengamanatkan
program wajib belajar minimal sampai jenjang pendidikan dasar. Setiap warga negara wajib
mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pemerintah baik Pusat maupun Daerah wajib
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara sesuai dengan
bakat, minat, tingkat kecerdasan, dan kemampuannya tanpa diskriminasi, minimal setara
dengan Standar Nasional Pendidikan. Selain undang-undang SISDIKNAS tersebut, terdapat
pula beberapa undang-undang yang selama ini menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Di
antara dasar tersebut adalah Undang-Undang RI No 4 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-undang ini telah menjadi dasar yang sangat tinggi nilainya bagi peningkatan kualitas
pendidik berikut dengan kesejahteraannya. Sebagai seorang pendidik disyaratkan harus
memenuhi berbagai kualifikasi akademik, sertifikasi, dan kompetensi sebagai upaya
peninggakatan mutu pendidikan yang dijalankan. Selain undang-undang Guru dan Dosen, ada
juga contoh lain perundang-undangan yang menaungi pendidikan Islam di Indonesia
misalnya Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Peraturan Menteri No.ll tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Jadi, dasar operasional ini
merupakan penjabaran-pen-jabaran dari dasar idela dan struktural, yang akan mengatur
pelaksanaan pendidikan di Indonesia secara lebih mendetail. Dan pada akhirnya, akan
muncul produk-produk undang-undang yang lain yang menjadi penafsiran dasar idela dan
struktural tentang pendidikan. Sehingga dengan adanya aspek hukum yang baku dalam
pendidikan akan mewujudkan konstruks manajemen pendidikan yang terukur, tersistem,
transparan dan terpola dengan baik.

C. Landasan Pemikiran Pendidikan Islam

Landasan pemikiran pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang terbentuk


sebagai aktualisasi dan realisasi dari dasar-dasar pendidikan Islam di atas. Hasan Langgulung
memberikan pemikiran dengan mengajukan enam macam landasan, yang kemudian ada
beberapa ahli pendidikan yang menambahkan satu landasan algi sebagai sebuah
penyempurnaan. Satu landasan ini ditambahkan dengan tujuan agar segala proses pendidikan
yang dilakukan dapat bernafaskan dan bernuansa Islami, sehingga dapat bernilai ubudiyah.26

1. Landasan Historis
Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan masa lalu, baik
dalam bentuk undang-undang maupn peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh
masa sekarang akan lebih bermakna dan mencerahkan. Dasar ini juga dapat dijadikan acuan
untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan
kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh.
Sebagai contoh kalau pada masa dulu masyarakat bangsa Arab sangat gemar bersastra, maka
pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini, sebab sastra selain
menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat
bangsa.23 Dasar ini memberikan persiapan kepada pendidik dengan hasil-hasil pengalaman
masa lalu.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 62-63.
Bandingkan dengan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 44.

2. Landasan Sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosial budaya, yang dengannya itu
pendidikan dilaksanakan. Dasar ini dapat dapat berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi
belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output
pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang tidak kehilangan konteks atau tercerabut dari akar masyarakatnya.24
Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Dasar
ini berupa kerangka budaya, di mana pendidikannya bertolak dan bergerak seperti
memindahkan budaya, memilih dan mengembangkannya.25

3. Landasan Ekonomi
Dasar ini akan memberi perspektif tentang potensi-potensi manusia, keuangan, materi,
persiapan yang mengatur sumber keuangan dan bertanggung jawab terhadap anggaran
pembelanjaan.30 Dalam masa sekarang ini dapatlah dikatakan bahwa pendanaan merupakan
salah satu faktor yang menetu-kan akan maju mundurnya suatu pendidikan yang
dilaksanakan.

4. Landasan Politik dan Administrstif


Dasar yang memberi bingkai ideologis, yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk
mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama.31 Dasar politik menjadi
penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Dasar ini
juga berguna menentukan kebijakan umum dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama,
bukan hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna
untuk memudahkan pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancer
tanpa ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.32

5. Landasan Psikologi
Dasar yang memberi informasi tentang watak peserta didik, pendidik, motivasi dan inovasi
peserta didik, karakter, metode terbaik dalam praktek, pengukuran dan penilaian bimbingan
dan penyuluhan, tenaga administrasi dan sumber-daya manusia yang lain. Dasar ini juga
dapat berfungsi untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dan kepuasan batiniah pelaku
pendidikan, agar mereka mampu maningkatkan prestasi dan kompetensi dengan cara yang
baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang tenang, damai dan indah
di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan itu senantiasa terjadi
dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi pengembangan lembaga pendidikan.26

Ibid., bandingkan dengan Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,, hlm.
44.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 62.

6. Landasan Filosofis
Dasar yang memberikan kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem yang
mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.27 Bagi
masyarakat yang sekuler, dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan, sebab filsafat
bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat
religius, dasar ini hanya sekedar menjadi bagian dari cara berfikir di bidang pendidikan
secara sistemik, radikal, dan universal yang asasnya diturunkan dari nilai ilahiyah.28

7. Landasan Religius
Dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Urgensi dasar ini terletak
pada tujuannya agar seluruh proses bahkan hasil dari pendidikan Islam dapat bermakna.
Konstruksi agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pendidikan yang lain yang
sudah disebutkan si atas. Agama menjadi frame bagi semua dasar pendidikan. Aplikasi dasar-
dasar yang lain merupakan realisasi diri yang bersumberkan agama dan bukan sebaliknya.
Dengan tujuan yang hendak dicapai adalah adanya tindakan kependidikan dapat dinilai
ibadah, sebab ibadah merupakan aktualisasi diri (self actualization) yang paling ideal dalam
pendidikan Islam.36

BAB III

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam

Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa al-umur bi maqashidiha, bahwa setiap tindakan
dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Adagium ini
menunjukkan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai,
bukan semata-mata berorientasi pada sederetan materi. Sehingga tujuan pendidikan Islam
terlebih dahulu harus dirumuskan, sebelum komponen-komponen yang lain.1

Pandangn objective oriented (berorientasi pada tujuan) • mengajarkan bahwa tugas seorang
pendidik pada dasarnya bukan hanya mengajarkan ilmu atau kecakapan tertentu pada peserta
didiknya saja, namun juga merealisir atau mencapai tujuan suatu pendidikan. Menurut Zakiah
Darajat tujuan itu sendiri adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau
kegiatan selesai. Sedangkan HM Arifin, tujuan itu bisa jadi menunjukkan futuritas (masa
depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha
melalui proses tertentu.29

Tujuan merupakan sasaran, arah, yang hendak dituju, dicapai dan sekaligus menjadi pedoman
yang memberi arah bagi segala aktivitas dan kegiatan pendidikan yang sudah dilakukan.
Dengan kata lain, tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mangarahkan
usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain.
Tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha, agar kegiatan dapat berfokus pada apa yang
dicita-citakan, dan yang terpenting lagi dapat memberi penilaian atau evaluasi pada kegiatan-
kegiatan dari usaha pendidikan.30Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk
tetap dan statis, namun ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang,
mencakup seluruh aspek kehidupan.31 Sehingga al-Abrasy berpendapat melalui syairnya:
"setiap sesuatu mempunyai tujuan yang diusahakan untuk dicapai, seseorang bebas
menjadikan pencapaian tujuan pada taraf yang paling tinggi".32

T.S.Eliot menyatakan bahwa pendidikan yang^amat penting itu, tujuannya haruslah diambil
dari pandangan hidup, sehingga jika pendidikan Islam, maka rumusan tujuan pendi-dikaitnya
haruslah diambil dari Islam pula.33 Beberapa perbedaan tujuan yang ada di berbagai Negara
dan filosof dapat dinyatakan sebagai berikut:34

• Sparta, negara ini mempunyai tujuan pendidikan mempersiapkan laki-laki yang kuat
jasmaninya dalam peperangan dan fasih pembicaraannya di majelis.

• Athena, tujuan pendidikannya adalah mempersiapkan individu-individu supaya menjadi


individu yang utuh (the exelence man as man). Maksudnya yaitu supaya seseorang itu
mampu berdiri sendiri dan harmonis dalam tingkah lakunya serta seimbang pula antara
kekuatan jasmani dan rohaninya, serta baik akhlaknya baik perkataan maupun perbuatannya.

• Jepang Modern, pendidikan di negara ini bertujuan untuk menghasilkan pegawai-pegawai


yang ikhlas dan setia kepada kerajaan, dan mempergunakan ilmu pengetahuan yang diperoleh
untuk kepentingan Kerajaan.

• Amerika Serikat, yang menjadi pelopor sistem demokrasi liberal di dunia, mengetengahkan
tujuan pendidikan pada tebentuknya manusia warga negara yang demokratis dan warga
negara yang baik serta memiliki efisiensi social dan kehidupan ekonomi yang bermutu. Dari
sini nampak bahwa rumusan manusia ideal yang hendak dibentuk melalui proses
kependidikan adalah manusia yang berjiwa demokratis, taat kepada peraturan perundang-
undangan Negara selaku warga Negara serta memiliki kompetensi dalam mengelola
kehidupan ekonomi yang bernilai cukup tinggi.35

Adapun beberapa filosof memberikan formulasi tujuan sebuah pendidikan, di antaranya:

• Aristoteles, bahwa tujuan pendidikan ialah mempersiapkan akal untuk memperoleh ilmu
pengetahuan, sebagaimana bumi disiapkan untuk tumbuh-tumbuhan dan tanaman.

• Immanuel Kant, pendidikan bertujuan untuk mengangkat manusia kepada kesempurnaan


yang mungkin dicapai.

• Herbert Spenser, tujuan yang hendak dicapai dari sebuah pendidikan ialah mempersiapkan
manusia supaya dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.

Pada dasarnya tujuan pendidikan Islam sejalan dengan tujuan misi Islam itu sendiri, yaitu
mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah. Selain itu, ada
dua sasaran pokok yang akan dicapai oleh pendidikan Islam tadi, kebahagiaan dunia dan
kesejahteraan akhirat, memuat dua sisi penting. Dan ini dipandang sebagai nilai lebih
pendidikan Islam dibandingkan pendidikan lain secara umum.36

Istilah tujuan atau sasaran atau maksud dalam bahsa Arab dinyatakan dengan ghayat, ahdaf
dan maqashid. Sedangkan dalam bahsa Inggris dinyatakan dengan goal, purpose atau
objective atau aim. Secara umum istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang sama,
yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu tjuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak
dicapai melalui upaya atau aktifitas.37

Dalam realitas para pemikir dan ahli pendidikan Islam, para ahli pendidikan Islam belum ada
kesepakatan dalam merumuskan tujuan pendidikan secara bulat. Di antaranya rumusan tujuan
oleh Imam Ghazali yaitu38: (1) insan peripurna yang bertujuan mendekatkan diri kepada
Allah SWT; (2) insan paripurna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat, karena itu berusaha mengajar manusia agar mampu mencapai tujuan yang
dimaksudkan tersebut.

Al-Attas menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Sedangkan
Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang
berkepribadian muslim.39 Mahmud Yunus dalam bukunya merumuskan tujuan pendidikan:
"mendidik anak-anak, pemuda/ pemudi dan orang dewasa, supaya menjadi seorang muslim
sejati, beriman teguh, beramal shalih dan berakhlak mulia, sehingga salah seorang anggota
masyarakat yang sanggup hidup di atas kaki sendiri, mengabdi kapada Allah dan berbakti
kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan semua umat manusia.40

Ibnu Khaldun memberikan pendapatnya bahwa tujuan pendidikan ada dua: (1) Tujuan
keagamaan, ialah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah
menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan ke atasnya; (2) Tujuan ilmiah yang bersifat
keduniaan, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan
atau persiapan untuk hidup.14

Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Najid berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah untuk mendapatkan keridlaan Allah dan mengusahakan penghidupan. Menurut
Musthafa Amin, tujuan pendidikan Islam adalah memeprsiapkan seseorang bagi amalan
dunia dan akhirat. Abdullah Fayad merumuskan dua tujuan pendidikan Islam, yaitu: (1)
persiapan untuk hidup akhirat; (2) membentuk perorangan dengan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan untuk menunjang kesuksesan hisup di dunia. Al-Abrasy memberikan rumusan
tujuan secara umum, yaitu: (1) pembentukan akhlak mulia; (2) persiapan untuk kehidupan
dunia dan akhirat; (3) persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi
pemanfaatannya. Keterpaduan antara agama dan ilmu akan dapat membawa manusia kepada
kesempurnaan; (4) menumbuhkan roh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk
mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu; (5)
mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia mudah mencari
rezeki.41

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), him. 26., lihat juga dalam
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 71, dan
juga Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, M.Si., Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2006), hlm. 81.

Munir Mursi memandang bahwa tujuan yang hendak dicapai dari pendidikan adalah manusia
sempurna. Menurt Abdul Fatah Jalai tujuannya adalah terwujudnya manusia sebagai hamba
Allah. Namun menurut Quthb, tujuan umum pendidikan adalah manusia yang taqwa.42

Sementara itu menurut Konggres pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad,
menyebutkan:

"Education aims at the balanced growth of total personality of man through of man's spirit,
intellect, the rational self, feeling and bodile sense. Education should, therefore, cater for the
growth of man in all its aspect, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific,
linguistic, both individually and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies
in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community
and humanity at large".
Artinya:
bahwa pendidikan Islam haruslah bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia
yang menyeluruh, secara seimbang, melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional,
perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam
segala aspeknya, seperti spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, dan bahasa secara
individu maupun kolektif. Mendorong semua aspek kearah kebaikan dan mencapai
kemakmuran. Tujuan akhirnya adalah dengan perwujudan ketundukan yang sempurna kepada
Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.43

Ada juga yang memberikan uraian bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi menjadi lima
bagian, pendapat ini menurut Fadlil al-Jamaly,18 yaitu:

• Mengenalkan manusia akan perannya di antara sesama makhluk dan tanggung jawab
pribadinya di dalam hidup ini.
• Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup
bermasyarakat.
• Mengenalkan manusia akan ala mini dan mengajar mereka untuk mengetahui hikmah
diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari
alam tersebut.
• Mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan untuk beribadah
kapada-Nya.

Sedangkan Muhtar yahya merumuskan tujuan pendidikan dengan memberikan pemahaman


ajaran-ajaran Islam pada peserta didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana
misi Rosulullah sebagai pengemban perintah menyempurnakan akhlak manusia, untuk
memenuhi kebutuhan kerja (QS. an-Nahl: 97, al-An'am: 132) dalam rangka menempuh hidup
bahagia dunia dan akhirat (QS. al-Qashash: 77).19

Menurut al-Ghazali, seperti yang dikutip Fathiyah Hasan Sulaiman, menerangkan bahwa
tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi, yaitu: (1) insan purna yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah; (2) insan purna yang bertujuan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagian di sini menurut al-Ghazali adalah
menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang semestinya. Kebahagiaan yang lebih
memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.44

Abd al-Rasyid ibn Abd al-Aziz dalam bukunya al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Thuruq
Tadrisiha, menukil pendapat para ahli seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ihwan
Shafa, ia memformulasikan tujuan pendidikan Islam dengan: (1) adanya kedekatan (taqarrub)
kepada Allah melalui pendidikan akhlak; (2) menciptakan individu untuk memiliki pola pikir
yang ilmiah dan pribadi yang dapat mengintegrasikan antara agama dengan ilmu serta amal
shaleh, guna memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai dimensi kehidupan.45

Ali ashraf menawarkan tujuan pendidikan Islam dengan22: "terwujudnya penyerahan mutlak
kepada Allah, pada tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya". Tujuan
umum itu merupakan kristalisasi dari tujuan khusus pendidikan Islam, yaitu:

• Mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam, serta mengembangkan


pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern.
• Membekali anak muda dengan berbagai pengetahuan dan kebijakan, baik pengetahuan
praktis, kekuasaan, kesejahteraan, lingkungan social, dan pembangunan nasional.
• Mengembangkan kemampuan pada diri peserta didik untuk menghargai dan membenarkan
superioritas kom-peratif kebudayaan dan peradaban Islami di atas semua kebudayaan lain.
• Memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman iamjinatif, sehingga kemampuan kreatif
dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah.
• Membantu peserta didik yang sedang tumbuh untuk belajar berfikir secara logis dan
membimbing proses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep
tentang pengetahuan yang dituntut.
• Mengembangkan wawasan relasional dan lingkungan sebagaimana yang dicita-citakan
dalam Islam, dengan melatih kebiasaan yang baik.
• Mengembangkan, menghaluskan, dan memperdalam kemampuan berkomunikasi dalam
bahasa tulis dan bahasa lisan.

Dari seluruh formulasi tujuan pendidikan Islam di atas, dapatlah diambil sebuah benang
merah tiujuan pendidikan Islam adalah bahwa terbentuknya insan kamil yang di dalamnya
memiliki wawasan kaffah agar mampu menjelaskan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan,
dan pewaris Nabi.23 Dalam versi yang lain, Muhammad Iqbal yang dikutip Dawam Raharjo,
memberikan kriteria insan kamil dengan insane yang beriman yang di dalam dirinya terdapat
kekuatan, wawasan, perbuat-an, dan kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin
dalam pribadi Nabi berupa karimah. Tahapan untuk mencapai insan kamil itu diperoleh
melalui ketaatan terhadap hukum-hukum Allah, penguasaan ini sebagai bentuk tertinggi
kesadaran diri tentang pribadi dan kekhalifahan Ilahi.46

Dalam versi Thalhah Hasan, terminology insan kamil disebut dengan insan kaffah dengan
prasayarat adanya tiga dimensi,25 yaitu:

• Dimensi religius, yaitu manusia merupakan makhluk yang mengandung berbagai misteri
dan tidak dapat direduksi-kan kepada faktor materi semata-mata. Dengan demikian manusia
bisa dicegah untuk diajadikan anggota, atomat, dan robot yang diprogramkan secara
determinitis, tetapi tetap mempertahankan kepribadian, kebebasan akan martabatnya. Cara
mengangkatnya adalah dengan menjadikan ia bernilai secara spiritual dan agama, yang
karenanya manusia berbeda satu dengan yang lain.
• Dimensi budaya, manusia merupakan makhluk etis yang mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab terhadap kelestarian dunia seisinya. Dalam dimensi ini, manusia
mendapatkan dasar untuk mempertahankan keutuhan kepribadiannya dan mampu mencegah
arus zaman yang membawa pada disintegrasi dan fragmentasi yang selalu mengancam
kehidupan manusia.
• Dimensi ilmiah, yang mendorong manusia untuk selalu bersikap obyektif dan realistis
dalam menghadapi tantangan zaman, serta berbagai kehidupan manusia terbina untuk tingkah
laku secara kritis dan rasional, serta berusaha mengembangkan keterampilan dan kreativitas
berpikir.

B. Tahap-tahap Tujuan Pendidikan Islam

Dalam dinamika kehidupan manusia, akan terjadi keterbatasan yang terikat oleh ruang dan
waktu, sehingga rumusan tujuan pendidikan tidak dapat melampaui batas-batas kehidupan
itu. Artinya, kondisi psikis serta lingkungan ia berada, selalu menjadi perhatian dan
penekanan dalam perumusan tujuan pendidikan. Konsekuensinya, perumusan tujuan
pendidikan akan menjadi terbuka dan berjenjang atau bertahap. Terbuka artinya, bahwa
rumusan tujuan pendidikan bisa terus diperluas dan disempurnakan. Sedangkan berjenjang
berarti dapat disesuaikan dengan tuntutan yang bersifat insidental, instrumental, maupun
mental.47 Berawal dari sini maka beberapa ahli memberikan pandangan mengenai tahap-
tahap dalam tujuan pendidikan.

Abu Ahmadi berpandangan bahwa tahap-tahap dalam tujuan pendidikan Islam meliputi27:
(1) Tujuan tertinggi atau tujuan terakhir; (2) Tujuan Umum; (3) Tujuan khusus; (4) Tujuan
sementara. Demikian juga Zakiyah Darajat juga membagi tahap tujuan pendidikan Islam
menjadi empat48, dengan perincian: (1) Tujuan umum; (2) tujuan akhir; (3) Tujuan
sementara; (4) Tujuan operasional.

Dari beberapa pembagian tersebut, pada dasarnya tahap tujuan pendidikan Islam mencakup
empat tahapan, yaitu:

1. Tujuan umum, ialah tujuan yang hendak dicapai dari seluruh kegiatan pendidikan, baik
dengan pengajaran dan yang lainnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang
meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Tujuan umum ini
berbeda dalam setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang
sama. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar pada pribadi seseorang
yang sudah dididik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah, sesuai dengan
tingkat-tingkat tersebut.

2. Tujuan akhir, ialah tujuan yang disandarkan pada akhir hidup manusia, karena pendidikan
Islam berlangsung selama manusia masih hidup. Tujuan umum yang berupa insan kamil
dengan pola takwa misalnya, dapat mengalami perubahan naik turun, bertambah berkurang,
dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan dan pengalaman dapat
mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam berlaku selama hidup untuk
menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara, dan mempertahankan tujuan
pendidikan yang telah dicapai. Orang yang bertaqwa dalam bentuk insan kamil, masih perlu
mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-
kurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur dan berkurang, meskipun pendidikan oleh diri
sendiri dan bukan dalam pendidikan formal.

3. Tujuan sementara, ialah tujuan yang akan dicapai setelah peserta didik diberi sejumlah
pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Tujuan
operasional dalam bentuk semisal tujuan instruksional yang dikembangkan menjadi tujuan
instruksional umum dan khusus (TIU dan TIK), dapat dianggap tujuan sementara dengan
sifat yang agak berbeda. Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola taqwa sudah
kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana, sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah
kelihatan pada pribadi peserta didik. Tujuan pendidikan Islam seolah-olah merupakan sebuah
lingkaran, yang pada tingkat paling rendah mungkin merupakan suatu lingkaran kecil.
Semakin tinggi tingkatan pendidikannya, lingkaran tersebut semakin besar. Tetapi sejak dari
tujuan pendidikan tingkat permulaan, bentuk lingkarannya sudah harus kelihatan. Bentuk
inilah yang menggambarkan insane kamil itu. Dan di sinilah barangkali perbedaan tujuan
pendidikan Islam dibandingkan dengan pendidikan yang lain. Contoh aplikasinya dalam
pendidikan misalnya, sejak tingkat taman kanak-kanak dan Sekolah Dasar, gambaran insane
kamil itu hendaknya sudah terpolakan. Bentuk insan kamil dengan pola taqwa harus kelihatan
dalam semua tingkat pendidikan Islam. Oleh karena itu semua lembaga pendidikan Islam
harus mampu merumuskan tujuan pendidikan Islam sesuai dengan tingkat jenis
pendidikannya.
4. Tujuan Operasional, yaitu tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan
pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah
dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebutlah tujuan operasional.
Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini disebut tujuan instruksional yang
selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan khusus (TIU dan TIK).
Tujuan instruksional ini merupakan tujuan pengajaran yang direncanakan dalam unit-unit
peangajaran. Dalam tujuan operasional ini lebih ditekankan kemampuan dan keterampilan
peserta didik dari pada sifat penghayatan dan kepribadian, misalnya dapat berbuat, terampil
melakukan, lancer mengucapkan dan sebagainya.

C. Aspek-aspek Tujuan Pendidikan Islam

Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Majid 'Irsan al-Kaylani, tujuan pendidikan
Islam bertumpu pada empat aspek,29 yaitu: (1) tercapainya pendidikan tauhid dengan cara
mempelajari ayat Allah dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus); (2)
mengetahui ilmu Allah melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya; (3)
mengetahui kekuatan (qudrah) Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan
kreativitas makhluk-Nya; (4) mengetahui apa yang diperbuat Allah (sunnatullah) tentang
realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.

Aspek tujuan pendidikan Islam menurut Abd al-Rahman Shaleh Abd Allah dalam bukunya
Educational Theory, a Qur'anic Outlook meliputi empat hal,30 yaitu:

• Tujuan jasmaniyah (al-ahdaf al-jismiyyah)


Tujuan pendidikan Islam perlu dikaitkan dengan tugas manusia selaku khalifah di muka bumi
yang harus memiliki kemampuan jasmani yang sehat, keterampilan - keterampil-an fisik,
disamping rohani yang teguh. Dan juga untuk membentuk manusia muslim yang sehat dan
kuat jasmaninya serta memiliki keterampilan yang tinggi. Hal ini didasarkan pada pendapat
Imam Nawawi yang menafsirkan "al-qawy" sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh
kekuatan fisik (QS. al-Baqarah: 247, al-Anfal: 60)

• Tujuan rohaniyah (al-ahdaf al-ruhiyyah)


Perhatian dari tujuan ini terkait dengan kemampuan manusia menerima agama Islam yang
inti ajarannya adalah keimanan dan ketaatan kepada Allah, dengan tunduk dan patuh kepada
nilai-nilai moralitas yang diajarkan-Nya (cita-cita ideal dalam al-Qur'an, QS. Ali Imran: 19)
dan mengikuti teladan rosulullah. Muhammad Qutb berasumsi bahwa tujuan pendidikan
ruhiyyah mengandung pengertian "ruh" yang merupakan mata rantai pokok yang
menghubungkan antara manusia dengan Allah, dan pandidikan Islam harus bertujuan untuk
membimbing manusia sedemikian rupa sehingga ia selalu tetap berada di dalam hubungan
dengan-Nya. Beberapa indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua (QS. al-
Baqarah: 10), berupaya memurnikan dan mensucikan diri manusia secara individual dari
sikap negatif (QS. al-Baqarah: 126), dan dari sinilah penyebutan tazkiyah (purification) dan
hikmah (wisdom).

• Tujuan akal (al-ahdaf al-qliyyah)


Tujuan ini bertumpu pada pengambangan intelegensia (kecerdasan) yang ada dalam otak
manusia. Agar dapat memahami dan menganalisis fenomena-fenomena ciptaan Allah di
jagad raya ini. Alam dan isinya merupakan sebuah buku besar yang harus dijadikan obyek
pembacaan dan pengamatan serta renungan akal pikiran manusia sehingga akan diperoleh
ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang dan maju. Firman Allah yang
mendorong pendidikan akal terdapat kurang lebih sekitar 300 kali. Dengan melalui observasi
dengan pancaindera, manusia dapat dididik untuk menggunakan akal kecerdasannya untuk
meneliti, menganalisis keajaiban ciptaan Allah di dalam alam semesta yang berisi khazanah
ilmu pengetahuan yang menjadi bahan pokok pemikiran yang analisis-kritis untuk
dikembangkan manuju bentuk-bentuk teknologi dan hasil lain yang lebih maju. Dalam
pendidikan aqal ini ada beberapa tahapan penting, yaitu: (a) pencapaian kebenaran ilmiah
(ilm al-yacjin) (QS. al-Takatsur: 5); (b) pencapaian kebenaran empiris ('ain al-yaqin) (QS. al-
Takatsur: 7); dan (c) pencapaian kebenaran metaempiris atau filosofis (haqq al-yaqin)
(QS.^al-Waqi'ah: 95)

• Tujuan sosial (al-ahdaf al- ijtima'iyyah)


Tujuan sosial ini merupakan pembentukan kepribadian yang utuh dari rih, tubuh dan akal.
Adanya identitas dan eksistensi individu tercermin sebagai manusia yang hidup pada
masyarakat yang plural (majemuk). Tujuan ini sangat penting eksistensinya karena manusia
sebagai khalifah Tuhan di bumi, harus memiliki kepribadian yang utama dan seimbang.
Sehingga manusia tidak akan mungkin menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat.
Individu merupakan bagian integral dari anggota kelompok di dalam keluarga dan
masyarakat, atau sebagai anggota keluarga dan pada waktu yang sama sebagai anggota
masyarakat. Kesesuaiannya dengan data-data sosial diperoleh dari individu-individu. Maka
persaudaraan dianggap sebagai salah satu kunci konsep sosial dalam Islam yang
menghendaki setiap individu memperlakukan individu yang lain dengan cara-cara tertentu.
Dan di sinilah konsep etika, akhlak, dan moral Islam berperan penting.

Keserasian antara individu dengan masyarakat tidak mempunyai sifat yang kontradiktif antar
tujuan sosial dan tujuan individual. "Aku" dan "kami" merupakan pernyataan yang tidak
boleh berarti kehilangan "aku"-nya. Pendidikan menitikberatkan perkembangan karakter-
karakter yang unik, agar manusia mampu beradaptasi dengan standar masyarakat bersama-
sama dengan cita-cita yang ada padanya. Keharmonisan yang seperti inilah yang merupakan
karakteristik pertama yang akan dicari dalam tujuan pendidikan Islam.

Dari keseluruhan aspek maupun tahapan dalam pendidikan Islam tersebut, akan menjadi lebih
baik, apabila keseluruhan dapat terinternalisasikannya tiga ranah atau domain yang digagas
oleh Benyamin S. Bloom,31 yaitu:
• Kognitif, meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan pengetahuan dan
perkembangan keterampilan atau kemampuan.
• Afektif meliputi perubahan-perubahan dari segi sikap mental, perasaan dan kesadaran.
• Psikomotorik, meliputi perubahan-perubahan dari segi bentuk-bentuk tindakan motorik.

Dalam sebuah proses pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dari seluruh kegiatan pendidikan
merupakan kristalisasi dan internalisasi nilai-nilai yang ingin direalisasikan dalam pribadi
setiap peserta didik. Tujuan ini haruslah komperhensif mancakup semua aspek, serta
terintegrasi dalam pola kepribadian ideal yang bulat dan utuh. Adapun aspek tersebut di
antaranya:49

1. Tujuan normatif, yaitu tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma yang mampu
mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diinternalisasi. Misalnya:

a. Tujuan formatif yang bersifat memberikan kemampuan untuk memberikan persiapan dasar
yang korektif.
b. Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang
benar dan yang salah.
c. Tujuan determinatif yang bersifat memberi kemampuan untuk mengarahkan diri pada
sasaran-sasaran yang sejajar dengan proses kependidikan.
d. Tujuan integrative yang bersifat memberi kemampuan untuk memadukan fungsi psikis
(pikiran, perasaan, ke-mauan, ingatan, dan nafsu) ke arah tujuan umum.
e. Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan
yang telah diperoleh dalam pengalaman pendidikan.

2. Tujuan fungsional, tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk
memfungsikan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh,
sesuai dengan yang ditetapkan. Tujuan in meliputi:

a. Tujuan individual, yang sarannya pemberian kemampuan individual untuk mengamalkan


nilai-nilai yang telah diinternalisasikan ke dalam pribadi berupa moral, intelektual, dan skill.
b. Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan pengalaman nilai-nilai ke
dalam kehidupan sosial, interpersonal, dan interaksional dengan orang lain dalam
masyarakat.
c. Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk berprilaku sesuai
dengan tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis),
dorongan sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan dorongan biologis
(biogenetis).
d. Tujuan professional, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk mengamalkan
keahliannya, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

3. Tujuan operasional, tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial, Menurut


Langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu:

a. Tujuan umum (tujuan total). Menurut Kohnstam dan Guning, tujuan ini mengupayakan
bentuk manusia kamil, yaitu manusia yang dapat menunjukkan keselarasan dan
keharmonisan antara jasmani dan rohani, baik dalam segi kejiwaan, kehidupan individu,
maupun untuk kehidupan bersama yang menjadikan integritas ketiga inti hakikat manusia.
b. Tujuan khusus, yang merupakan indikasi tercapainya tujuan umum. Yaitu tujuan
pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita
pembangunan suatu bangsa, tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat
kemampuan peserta didik, seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta
didik untuk bekal hidupnya setelah ia tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk
ke jenjang pendidikan berikutnya.
c. Tujuan tak lengkap, ini berkaitan dengan kepribadian manusia dari satu aspek saja, yang
berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, misalnya kesusialaan, keagamaan, keindahan,
kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya. Setiap aspek ini mendapatkan giliran
penanganan (prioritas) dalam usaha pendidikan atau maju bersama-sama secara terpisah.
d. Tujuan insidental (tujuan seketika), tujuan yang timbul karena kebetulan, bersifat sesaat,
misalnya mengadakan sholat jenazah ketika ada orang yang meninggal.
e. Tujuan sementara, tujuan yang ingin dicapai pada fase-fase tertentu dari tujuan umum,
seperti fase anak yang tujuan belajarnya adalah membaca dan menulis, fase manula yang
tujuan belajarnya adalah membekali diri untuk menghadap ilahi, dan sebagainya.
f. Tujuan intermedier, berkaitan dengan penguasaan suatu pengetahuan dan ketrampilan demi
tercapainya tujuan sementara, misalnya anak belajar membaca, manulis, berhitung, dan
sebagainya.
Komponen-komoponen tujuan di atas tidak hanya berfokus pada tujuan yang bersifat teoritis,
tetapi juga tujuan praktis yang sasarannya pada pemberian kemampuan praktis peserta didik.
Sehingga setelah ia mendapatkan sebuah proses pendidikan tertentu, ia akhirnya dapat
mengaplikasikannya dengan penuh tanggung jawab, sesuai kompetensi yang dimilikinya.

Dalam Islam, orientasi sebuah pendidikan akan mengacu pada minimal empat aspek,33 yaitu:

• Berorientasi pada tujuan dan tugas pokok manusia. Manusia hidup di alam semesta ini
tentunya tidak karena kebetulan atau sia-sia saja. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan
tugas tertentu, yaitu sebagai 'abd dan kholifah.fi ardh. Untuk itu pendidikan Islam harus
mampu mengantarkan memformulasikan sistem pendidikannya ke arah pencapaian tugas dan
fungsi manusia diciptakan di dunia.

• Berorientasi pada sifat dasar dan alami (nature) manusia. Manusia diciptakan Tuhan dengan
dibekali berbagai fitrah

yang memiliki kecenderungan pada hanif lewat tuntunan agama-Nya. Sehingga pola
pendidikan harus mampu mengembangkan fitrah insaniyah tersebut sesuai dengan kapasitas
yang dimilikinya.

• Berorientasi pada tuntutan masyarakat dan zaman, yang berupa pelestarian nilai-nilai
budaya yang telah melembaga dalam kehidupan bermasyarakat, maupun pemenuhan terhadap
tuntutan kebutuhan hidupnya dalam menghadapi dinamika perkembangan modern yang
penuh dengan akselerasi.

• Orientasi kehidupan ideal Islami, yang mengandung nilai bahwa sistem pendidikan Islam
harus mampu menyeim-bangkan dan memadukan antara kepentingan hidup dunia dan
akhirat. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup tersebut menjadi daya
tangkal terhadap pengaruh-pengaruh neagatif dan berbagai gejolak kehidupan yang
menghambat ketentraman dan ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial,
kultural, ekonomis maupun ideologi dalam kehidupan pribadi manusia.

Untuk dapat memformulasikan sebuah tujuan dalam pendidikan yang adaptip dan kompetitif,
maka harus mengacu pada beberapa prinsip di bawah ini,34 yaitu:

• Prinsip universal (syumuliyyah). Yaitu prinsip yang memandang bahwa pendidikan


merupakan sebuah realisasasi dan implementasi dari seluruh aspek yang dihadapi manusia.
Di antaranya aspek agama (ibadah, akhlak, dan muamalah), aspek manusia sendiri (jasmani,
rohani, dan nafsu), masyarakat dengan tatanan kehidupannya, dan adanya realitas dunia dan
hidup itu sendiri. Implikasinya terhadap formulasi tujuan pendidikan yaitu akan membuka,
mengembangkan, dan mendidik seluruh dimensi pribadi manusia dan segala modalitasnya,
dan meningkatkan kondisi kebudayaan, social, ekonomi, politik sebagai problem solving
dalam dinamika kehidupan dan cita-cita yang luhur.

• Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun wa iqtishadiyah). Yaitu keseimbangan


seluruh aspek kehidupan manusia, berbagai kebutuhan individual dan komunitas, serta
tuntutan pelestarian nilai-nilai budaya masa lalu dengan perkembangan nilia-nilai budaya
masa kini, serta berusaha memadukannya guna menjembatani problematika kehidupan
manusia.
• Prinsip kejelasan (tabayun). Sebuah prinsip yang di dalamnya terdapat ajaran dan hukum
yang berfungsi memberikan kejelasan terhadap kejiwaan manusia (qalb, akal, dan hawa
nafsu) dan hokum dari problem yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan, kurikulum, dan
metode pendidikan secara jelas dan sistematis.

• Prinsip tak bertentangan, yaitu prinsip yang di dalamnya tidak ada pertentangan antara
berbagai unsur dan cara pelaksanaan sistem pendidikan yang direncanakan, namun dapat
berjalan secara harmonis dan simultan dan saling mendukung.

• Prinsip realisme dan dapat dilaksanakan, yaitu tidak adanya sifat khayalan dalam
kandungan materi dan program pendidikan, tidak berlebih-lebihan, serta adanya kaidah yang
pragtis realistis dan sesuai dengan fitrah, situasi dan kondisi seperti sosioekonomi,
sosiopolitik, dan sosiokultural, serta kemampuan peserta didik.

• Prinsip pembahan yang diingini, yaitu adanya perubahan struktur manusia yang meliputi
jasmaniyah, ruhaniyah, nafsuniyah, serta perubahan kondisi psikologis, sosiologis,
epistimologis, paragigma, intelegensi, nilai-nilai, sikap peserta didik untuk mencapai
dinamisasi kesempurnaan pendidikan.

• Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu, yaitu dengan tetap mempertimbangkan dan


memperhatikan pluralitas peserta didik, baik berupa ciri-ciri, kebutuhan, intelegensia,
kebolehan, minat, sikap, tahap pematangan jasmani, akal, emosi, sosial, dan semua aspek
yang ada secara serasi dan seimbang. Asumsi yang dibangun adalah bahwa semua individu
"tidak sama" dengan yang lainnya.

• Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pada pelaku
pendidikan serta lingkungan di manapun pendidikan itu dilaksanakan. Hal ini dilakukan
dalam rangka memperkaya seluruh metode yang digariskan oleh ajaran agama.

Selain prinsip di atas, Hilda Taba memberi pandangan sendiri mengenai formulasi tujuan
pendidikan Islam, yaitu prinsip-prinsip pokok dalam rumusan tujuan pendidikan.35

Rumusan tersebut adalah: (1) rumusan tujuan hendaknya meliputi aspek bentuk tingkah laku
yang diharapkan (proses mental) dan bahan yang berkaitan dengannya (produk); (2) tujuan-
tujuan yang kompleks harus ditata secara mapan, analitis, dan spesifik, sehingga tampak jelas
bentuk-bentuk tingkah laku yang diharapkan; (3) formulasi harus jelas untuk pembentukan
tingkah laku yang diinginkan dengan kegiatan belajar tertentu; (4) tujuan tersebut pada
dasarnya bersifat developmental yang mencerminkan arah yang hendak dicapai; (5) formulasi
harus realistis, dan hendaknya memasukkan terjemahan ke dalam kurikulum dan pengalaman
belajar; (6) tujuan harus mencakup segala aspek perkembangan peserta didik yang menjadi
tanggung jawab sekolah. []

BAB IV

PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Dalam perspektif Islam, tujuan pendidikan Islam yaitu mengabdi kepada Allah. Pengabdian
tersebut sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amal perbuatan sehari-hari,
guna mencapai derajat taqwa di sisi-Nya. Sehingga iman dan taqwa merupakan dua dimensi
yang tidak dapat dipisahkan yang dicita-citakan pendidikan Islam. Para ahli memberikan
pandangan dengan ungkapan lain yang seringkali digunakan yaitu konsep insan kamil, dan
menurut Muhaimin merupakan insan yang memiliki dimensi religius, budaya, dan ilmiah.50

Seorang pendidik tidak hanya mentransfer keilmuan (knowledge), tetapi juga


mentrasformasikan nilai-nilai (value) pada peserta didik. Untuk itu, guna merealisasikan
tujuan pendidikan, manusia sebagai khalifah yang punya tanggung jawab mengantarkan
manusia ke arah tujuan tersebut, cara yang ditempuh yaitu menjadikan sifat-sifat Allah sebagi
bagian dari kepribadiannya. Beberapa bentuk nilai-nilai itu adalah nilai etika, pragmatis, nilai
effect sensorik dan nilai religius.

Dalam realitas pendidikan, proses internalisasi dan transformasi pengetahuan dan nilai pada
peserta didik secara integral merupakan tugas yang cukup berat bagi pendidik, di tengah
dinamika kehidupan masyarakat yang kompleks. Hal ini dilatarbelakangi akan banyaknya
kasus-kasus dalam realitas masyarakat yang merendahkan bahkan melecehkan eksistensi dan
peran seorang pendidik baik ketika di lingkungan sekolah, di luar sekolah, maupun dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Dalam konteks pendidikan Islam, terminologi "pendidik" sering disebut dengan murabbi,
mu'allim, mu'addib, ataupun mursyid, dan terkadang dengan gelar seperti ustadz dan syekh.
Dan masih banyak lagi pemakaian kata-kata yang lain dalam pendidikan secara umum, yang
pada hakikat maknanya sama dengan "pendidik". Walupun demikian, dalam konteks Islam,
istilah-istilah tersebut mempunyai tempat yang berbeda antara satu dengan yang lain, dalam
khazanah keilmuan Islam.2

A. Devinisi Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik dalam konteks Islam, sering disebut dengan murabbi, mu'allim, dan mu'addib, yang
pada dasarnya mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimat, walaupun
dalam situasi tertentu mempunyai kesamaan makna. Kata murabbi berasal dari kata rabba,
yurabbi, kata mu'allim berasal dari kata 'allama, yu'allimu, sedangkan kata muaddib berasal
dari addaba, yuaddibu sebagaimana sebuah ungkapan: "Allah mendidikku, maka Ia
memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan".

Pendidik dalam pendidikan Islam pada hakikatnya adalah orang-orang yang bertangggung
jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi dan
kecenderungan yang ada pada peserta didik, baik yang mencakup ranah afektif, kognitif,
maupun psikomotorik. Dalam ungkapan Moh. Fadhil al-Jamali, pendidik adalah orang yang
mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik, sehingga terangkat derajat
kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki manusia. Sedangkan dalam
bahasa Marimba, pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban sebagai
pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab
tentang pendidikan peserta didik.51 Menurut al-Aziz, pendidik adalah orang yang
bertanggung jawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai agama dan berupaya menciptakan
individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.

Pendidik berarti pula orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada
peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat
kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri
dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah, dan mampu melakukan tugas
sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.4

Pendidikan Islam menggunakan tujuan sebagai dasar untuk menentukan pengertian pendidik,
disebabkan karena pendidikan merupakan kewajiban agama, dan kewajiban hanya dipikulkan
kepada orang yang telah dewasa. Kewajiban itu pertama-tama bersifat personal, dalam arti
bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan dirinya sendiri. Kemudian meningkat
pada dataran sosial yang berarti bahwa setiap orang bertangggung jawab atas pendidikan
orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. al-Tahrim 6:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka".

Dari ayat tersebut juga dapat diambil sebuah makna, bahwa pendidik pertama dan utama
adalah orang tua dan keluarga, yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan
anak-anaknya, karena sukses tidaknya anak akan sangat bergantung pengasuhan, perhatian,
dan pendidikan orang tua-nya. Sehingga suksesnya anak juga merupakan suksesnya orang tua
dan keluarga.

Pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban
agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan yang
menyerahkan tanggung jawab dan amanat pendidikan adalah agama, dan wewenang pendidik
dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat adalah setiap
orang dewasa. Ini berarti bahwa pendidik merupakan sifat yang lekat pada setiap orang
karena tanggung jawabnya atas pendidikan.52

Namun demikian, ketika orang tua merupakan pendidik pertama dan utama terhadap anak-
anaknya sebagaimana penjelasan di atas, dalam realitanya banyak sekali dijumpai orang tua
yang tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa guna mendidik anak-anaknya. Selain
karena tingkat kesibukan kerja, tingkat efektivitas dan efisiensi pendidikan tidak akan baik
jika pendidikan hanya dikelola secara alamiah. Dalam konteks ini anak lazimnya dimasukkan
ke dalam lembaga sekolah, yang karenanya definisi pendidik di sini adalah mereka yang
memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di
sekolah. Penyerahan peserta didik ke sebuah lembaga sekolah tertentu, bukan berarti
tanggung jawab orang tua bergeser dan berpindah kepada sekolah, namun orang tua tetap
mempunyai andil yang besar dalam proses pembinaan dan pendidikan anaknya.53

Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua. Hal ini di sebabkan karena secara
alami anak-anak pada masa-masa awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan
ibunya. Dari merekalah anak mulai mengenal pendidikannya. Dasar pandangan hidup, sikap
hidup, dan keterampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada di tengah orang tuanya.
Sedangkan pendidikan di lembaga pendidikan persekolahan disebut dengan guru, yang
meliputi guru madrasah, atau sekolah sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah, dan
sampai dosen-dosen di perguruan tinggi, kyai di pondok pesantren, dan lain sebagainya.
Namun guru bukan hanya menerima amanat dari orang tua yang memerlukan bantuan untuk
mendidiknya.7

B. Kedudukan Pendidik dalam Pendidikan Islam


Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan ilmu,
pembinaan akhlak mulia, dan memperbaiki akhlak yang kurang baik. Kedudukan tinggi
pendidik dalam Islam banyak di nyatakan dari beberapa teks, di antaranya disebutkan:

"Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pecinta, dan janganlah kamu
menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak".

Ada juga teks lain yang menyatakan: "Tinta seorang ilmuwan (yang menjadi guru) lebih
berharga dari pada darah para syuhada". Bahkan Islam menempatkan seorang pendidik
setingkat dan sederajat dengan rosul. Al-syauki bersyair:

"Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja
merupakan seorang rasul".8

Hal ini ditambahkan oleh al-Ghazali yang menukil beberapa teks hadits yang berkenaan
dengan keutamaan seorang pendidik. Paradigma yang nampak dari al-Ghazali yaitu bahwa
pendidik merupakan orang-orang besar (great individuals) yang aktivitasnya lebih baik dari
pada ibadah setahun (analisa secara mendalam makna QS. al-Taubah: 122). Dari beberapa
pandangan ulama', al-ghazali berasusmsi bahwa pendidik merupakan pelita (siraj) segala
zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya (nur)
keilmuan dan keilmiahannya. Apabila dunia tanpa ada pendidik, niscaya manusia seperti
binatang, sebab: "pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan
(baik binatang buas maupun binatang jinak) kepada sifat insaniyah dan ilahiyah".9

C. Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam

Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya, karena tugas
mulia dan berat yang dipikul hamper sama dan sejajar dengan tugas seorang rosul. Dari
pandangan ini, dapat difahami bahwa tugas pendidik sebagai warosat al-anbiya'r yang pada
hakekatnya mengemban misi rahmat lil 'alamin, yaitu suatu misi yang mengajak manusia
untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudian misi itu dikembangkan pada suatu upaya
pembentukan karakter kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal sholeh dan bermoral
tinggi. Dan kunci untuk melaksanakan tugas tersebut, seorang pendidik dapat berpegangan
pada amar ma'ruf nahi munkar, menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran
misi Iman, Islam, dan Ihsan, kekuatan yang dikembangkan oleh pendidik adalah
individualitas, social dan moral (nilai-nilai agama dan moral).54

Dalam pandangan al-Ghazali, seorang pendidik mempunyai tugas yang utama yaitu
menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.55 Hal ini karena pada dasarnya tujuan
utama pendidikan Islam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, kemudian
realisasinya pada kesalehan sosial dalam masyarakat sekelilingnya. Dari sini dapat
dinyatakan bahwa kesuksesan seorang pendidik akan dapat dilihat dari keberhasilan
aktualisasi perpaduan antara iman, ilmu dan amal saleh dari peserta didiknya setelah
mengalami sebuah proses pendidikan.

Abdurrahman an-Nahlawy menyebutkan tugas pendidik yaitu: Pertama, berfungsi penyucian,


dalam arti bahwa pendidik berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembangan
fitrah peserta didik. Kedua, berfungsi pengajaran yakni pendidik bertugas
menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan (knowledge), dan nilai-nilai
(value) agama kepada peserta didik.56

Dari pandangan di atas, tanggung jawab seorang pendidik adalah mendidik individu (peserta
didik) supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syari'at-Nya, mendidik diri supaya
beramal shaleh, dan mendidik masyarakat untuk saling me-nasehati dalam melaksanakan
kebenaran, saling menasehati agar tabah dalam mengahadapi kesusahan, beribadah kepada
Allah serta menegakkan kebenaran. Tanggung jawab itu bukan hanya sebatas tanggung jawab
moral pendidik terhadap peserta didik, namun lebih dari itu pendidik akan mempertanggung
jawabkan atas segala tugas yang dilaksanakannya kepada Allah SWT.13 Sebagaimana teks
hadits menyatakan:

"Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rosulullah bersabda: masing-masing kamu adalah
penggembala dan masing-masing bertanggung jawab atas gembalanya; pemimpin adalah
penggembala, suami adalah penggembala terhadap anggota keluarganya, dan istri adalah
penggembala di tengah-tengah rumah tangga suaminya dan terhadap anaknya. Setiap orang di
antara kalian adalah penggembala, dan masing-masing bertanggung jawab atas apa yang
digembalanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikan dengan guru (gu dan ru) yang berarti "digugu
dan ditiru". Dikatakan "digugu" (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang
memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat
kehidupan ini. Dikatan "ditiru" (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang
karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta
didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar transformasi ilmu
(knowledge) tetapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya pada peserta
didiknya. Pada tataran ini terjadi sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar
oleh peserta didik) dan yang dilakukannya (dilihat oleh peserta didik).57 Dengan kata lain
tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga sebagai motif ator dan fasilitator proses belajar,
yaitu relasi dan aktualisasi sifat-sifat ilahi manusia dengan cara aktualisasi potensi peserta
didik untuk mengimbangi kelemahan dan kekurangan yang dimiliki.58 Keaktifan peserta
didik sangat ditekankan dalam proses belajar, sekalipun keaktifan itu dari stimulus yang
dilakukan oleh kreativitas dan inovatifitas pendidik.

Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan
tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga
pendidik bisa menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga
negara, dan pendidik sendiri. Antar tugas keguruan atau kependidikannya dan tugas lainnya
harus ditempatkan menurut proporsi dan dan prioritasnya.

Kadang kala seseorang terjebak dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang yang
mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer ofknowledge) kepada
orang lain sudah dikategorikan sebagai seorang pendidik. Pada dasarnya tugas pendidik tidak
hanya berkutat pada hal itu saja, namun lebih luas lagi juga bertanggung jawab mengelola
(sebagai manager of learning), mengarahkan (director of learning), memfasilitasi, dan
merencanakan (the planner of future society)

dan mendesain program (desainner) yang akan dijalankan dengan baik. Dari sini tugas dan
fungsi pendidik dapat disimpulkan dengan:
1. Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan
melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian
setelah program dilaksanakan.

2. Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan
dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakannya.

3. Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri,


peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut
upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program
pendidikan yang dilakukan.    -    .

Rustiyah menjabarkan peranan pendidik dalam interaksi pendidikan, yaitu:16

3. Motivator, yakni memberikan dorongan dan semangat agar siswa mau giat belajar.
4. Organisator, yakni mengorganisasikan kegiatan belajar peserta didik maupun pendidik.
5. Manusia sumber, yaitu ketika pendidik dapat memberikan informasi yang dibutuhkan
peserta didik, baik berupa pengetahuan (kognitif), ketrampilan (afektif) maupun sikap
(psikomotorik).

Dalam realisasi tugas tersebut, maka para pendidik dituntut untuk memiliki seperangkat
prinsip keguruan atau kependidikan,59 yaitu:
• Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memperhatikan akan adanya kesedihan,
kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan anak didik atau backround mereka.
• Membangkitkan, memotifasi peserta didiknya agar gairah dan semangat.
• Menumbukan bakat dan sikap anak didik yang baik.
• Mengatur proses proses belajar mengajar yang kondusif.
• Memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses
mengajar.
• Adanya keterkaitan humanistik dalam proses belajar mangajar.

Tugas-tugas pendidik dalam pendidikan Islam ini, dirumuskan oleh Muhaimin dengan
penggunaan beberapa istilah seperti ustadz, mu'allim, murabbi, mursyid, mudarris, dan
muaddib, dalam tabel berikut ini18

Tabel Karakteristik Tugas Pendidik dalam Pendidikam Islam


N
PENDIDIK KARAKTERISTIK DAN TUGAS
O
Orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang
melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen
1 Ustadz
terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta continuous
improvement
Orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya
Mu'allim dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan
2
praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu
pengetahuan, internalisasi, serta implementasi
(amaliah)
Orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik
agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan
Murabbi
3 memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan
malapetaka bagi dirinya masyarakat dan alam
sekitarnya
Orang yang mampu menjadi model atau sentral
Mursyid
4 identifikasi diri atau menjadi pusat panutan, teladan,
dan konsultan bagi peserta didiknya
Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan
informasi serta memperbaharui pengetahuan dan
Mudarris keahliannya secara berkelanjutan, serta berusaha
5
mencerdaskan peserta didiknya, memberantas
kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya
Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk
Muaddib
6 bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang
berkualitas di masa depan

Berdasarkan tabel di atas, tugas-tugas pendidik terlihat amat berat, karena tidak saja hanya
melibatkan kemampuan ranah kognitif belaka, namun juga integrasi dengan ranah afektif dan
psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat ditentukan oleh seberapa banyak tugas yang
telah dilaksanakan, sekalipun terkadang profesionalismenya itu tidak berimplikasi secara
signifikan terhadap penghargaan yang diperolehnya.

D. Syarat dan Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam

Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan


(relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta
dengan atasannya. Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik.
Demikian pula jabatan pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan
dilaksanakan oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus
sama, namun secara intrinsic mempunyai kesamaan konten yang berlaku secara umum.
Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.60

Al-Ghazali merumuskan kode etik pendidik dengan 17 bagian,61 yaitu:

1. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan hati dan sikap yang terbuka dan
tabah.
2. Bersikap penyantun dan penyayang (QS. Ali Imron: 159).
3. Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak.
4. Menghindari dan menghilangkan sifat angkuh terhadap sesama (QS. al Najm: 32).
5. Bersifat merendah ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat (QS. al-Hijr: 88).
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.
7. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQnya rendah, serta
membinanya sampai pada taraf maksimal.
8. Menghilangkan sifat marah.
9. Memperbaiki sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang
kurang lancer bicaranya.
10. Meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik yang belum mengerti
mengetahui atau memahami.
11. Berusaha memperhatikan pernyataan-pernyataan peserta didik walaupun pernyataan itu
tidak bermutu.
12. Menerima kebenaran dari peserta didik yang membantahnya.
13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun kebenaran itu
datangnya dari peserta didik.
14. Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan (QS. al-
Baqarah: 195).
15. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus menerus mencari informasi untuk
disampaikan kepada peserta didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah
(QS. al-Bayyinah: 5).
16. Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardlu kifayah (kewajiban kolektif seperti ilmu
kedokteran, psikologi, ekonomi dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardlu 'ain
(kewajiban individual seperti aqidah, syari'ah dan akhlak).
17. Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan kepada peserta didik (QS. al-Baqarah:
44, as-Shaf: 2-3).

Al-Kanani (w. 733 H) mengemukakan prasyarat seorang pendidik atas tiga macam, yaitu: 
(1) yang berkenaan dengan dirinya sendiri; 
(2) yang berkenaan dengan pelajaran atau materi; 
(3) yang berkenaan dengan murid atau peserta didiknya.

Pertama: syarat-syarat pendidik yang berhubungan dengan dirinya sendiri, yaitu:

• Hendaknya pendidik senantiasa insaf akan pengawasan Allah terhadapnya, dalam segala
perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah
kepadanya.
Karenanya ia tidak menghianati amanat itu, malah ia tunduk dan merendahkan diri kepada
Allah SWT.

• Hendaknya pendidik memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya


adalah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-
orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.

• Hendaknya pendidik bersifat zuhud, artinya ia mengambil dari rezeki dunia hanya untuk
sekedar memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya secara sederhana. Ia hendaknya
tidak tamak terhadap kesenangan dunia, sebab sebagai orang yang berilmu, ia lebih mengerti
daripada orang awam kesenangan itu tidak abadi.

• Hendaknya pendidik tidak berorientasi duniawi semata, dengan menjadikan ilmunya


sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise, atau kebanggaan atas orang lain.

• Hendaknya pendidik menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syar'i, dan
menjauhi situasi yang

bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga
dirinya di mata orang banyak. Sebagaimana firman Allah QS.al-Baqarah: 172: Yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah".

• Hendaknya pendidik memelihara syiar-syiar Islam, seperti melaksanakan sholat berjamaah


di masjid, mengucapkan salam, serta menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar. Dalam
melakukan semua itu hendaknya ia bersabar dan tegar dalam menghadapi celaan dan cobaan.
Sebagaiman firman Allah QS. al-Baqarah: 153: Yang artinya: "Hai orang-orang yang
beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar".

• Pendidik hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik dengan
lisan maupun perbuatan, seperti membaca al-qur'an, berdzikir, dan sholat tengah malam. Hal
ini sesuai dengan firman Allah QS. Hud: 114.

• Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang
banyak dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk. Sebagai pewaris Nabi sudah
sepantasnya seorang pendidik untuk memperlihatkan akhlak yang terpuji, sebagaimana peran
yang dimainkan oleh rosul dalam menghadapi umatnya (sebagai teladan dan panutan).

• Pendidik hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat,
seperti beribadah, mem-

baca dan menulis. Ini berarti bahwa seorang pendidik harus selalu pandai memanfaatkan
segala kondisi sehingga hari-harinya tidak ada yang terbuang.

• Pendidik hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang
yang lebih rendah daripadanya, baik kedudukan atau usianya. Artinya seorang pendidik
hendaknya selalu bersikap terbuka terhadap masukan apapun yang bersifat positif,
konstruktif, dan dari manapun datangnya.

• Pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun, dan mengarang dengan memperhatikan


keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.

Kedua: syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogies-


didaktis), yaitu:

• Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya guru bersuci dari hadas dan kotoran
serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan syari'at.

• Ketika keluar dari rumah, hendaknya guru selalu berdo'a agar tidak sesat dan menyesatkan,
dan terus berdzikir kepada Allah sampai ke tempat pendidikan.ini menegaskan bahwa
sebelum mengajarkan ilmunya, seorang pendidik sepantasnya untuk mensucikan hati dan
niatnya.

• Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh
semua murid. Artinya, ia harus berusaha agar apa yang akan disampaikannya hendaklah
diperkirakan dapat dinikmati oleh seluruh siswanya dengan baik.

• Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur'an agar
memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmallah.
• Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan
kepentingannya yaitu tafsir al-Qur'an, kemudian hadits, ushul al-din, ushul fiqh, dan
seterusnya. Barangkali untuk seorang pendidik pemegang materi umum, hendaklah selalu
mendasarkan materi pelajarannya dengan al-Qur'an dan hadits, dan jika perlu mencoba
meninjaunya dari kacamata Islam.

• Hendaknya pendidik selalu mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras, hingga
membisingkan ruangan, tidak pula terlalu rendah hingga tidak terdengar oleh peserta didik.

• Hendaknya pendidik menjaga ketertiban proses pendidikan dengan mengarahkan


pembahasan pada obyek tertentu. Artinya dalam memberikan materi, seorang pendidik
memperhatikan tata cara penyampaian yang baik (sistematis), sehingga apa yang
disampaikan akan mudah dicerna oleh peserta didik.

• Pendidik hendaknya menegur peserta didik yang tidak menjaga kesopanan dalam kelas,
seperti menghina teman, tertawa keras, tidur, berbicara dengan teman atau tidak menerima
kebenaran. Ini berarti bahwa seorang pendidik dituntut untuk selalu menanamkan dasar-dasar
akhlak terpuji dan sopan santun baik di dalam ruangan ataupun di luar ruangan belajar.

• Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahsan, menyampaikan pelajaran,


dan menjawab

pertanyaan. Apabila ia ditanya tentang sesuatu yang ia tidak tahu, hendaklah ia mengatakan
bahwa ia tidak tahu. Hal ini menegaskan bahwa seorang pendidik tidak boleh bersikap pura-
pura tahu. Sedangkan diri rosul saja tidak pernah menjawab pertanyaan yang beliau tidak
tahu dengan jawaban yang diterka-terka, tetapi beliau hanya menjawab dengan "la adriy"
(saya tidak tahu). Sebab jika seseorang mencoba menjawab dalam ketidaktahuannya ia akan
dikategorikan sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan.

• Terhadap peserta didik yang baru, hendaknya pendidik bersikap wajar dan menciptakan
suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.
Dengan arti lain, pendidik harus berusaha mempersatukan hati peserta didiknya antara satu
dengan lainnya.

• Di setiap akhir proses pendidikan handaknya pendidik mengakhiri denga kata-kata wallohu
a'lam (Allah yang Maha tahu) yang menunjukkan keihlasan kepada Allah. Hal ini bermaksud
agar setelah proses belajar mengajar berlangsung, seorang pendidik hendaklah menyerahkan
kembali segala urusannya kepada Allah.

• Pendidik hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak disukainya. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi pelecehan ilmiah dan sebaliknya akan terjadi hal yang
sifatnya untuk memuliakan ilmu dalam proses belajar mengajar.

Ketiga: kode etik di tengah-tengah para peserta didiknya,antara lain:

• Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu,
menghidupkan syara' menegakkan kebenaran, dan menghilangkan kebathilan serta
memelihara kemashlahatan umat.
• Pendidik hendaknya tidak menolak untuk mengajar peserta didik yang tidak mempunyai
niat tulus dalam belajar. Sebagian ulama' memang pernah berkata "kami memang pernah
menuntut ilmu dengan tujuan bukan karena Allah, sehingga guru menolak kecuali jika niat
kami menuntut ilmu karena Allah". Kata-kata itu hendaknya diartikan bahwa pada akhirnya
niat menuntut ilmu itu harus karena Allah. Sebab kalau niat tulus ini disyaratkan pada awal
penerimaan peserta didik, maka peserta didik akan mengalami kesulitan.    .    .

• Pendidik hendaknya mencintai para peserta didiknya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Artinya seorang pendidik hendaknya menganggap bahwa peserta didiknya itu adalah
merupakan bagian dari dirinya sendiri (bukan orang lain).

• Pendidik hendaknya memotivasi peserta didiknya untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
Sebagaimana sebuah pernyataan yang mulia: "tuntutlah ilmu itu sekalipun sampai ke negeri
cina”. Dari pernyataan ini mengandung makna bahwa menuntut ilmu itu tidak ada batasnya,
kapan, dan di manapun tempatnya.

• Pendidik hendaknya menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar
peserta didiknya dapat dengan mudah memahami materi. Artinya seseorang pendidik harus
memahami kondisi peserta didiknya dan mengetahui tingkat kemampuannya dalam
berbahasa.

• Pendidik hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang


dilakukannya. Hal ini dimaksudkan agar guru selalu memperhatikan tingkat pemahaman
peserta didiknya, dan perkembangan keilmuan yang diperolehnya.

• Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya.

• Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi kemashlahatan peserta didiknya, baik


dengan kedudukan maupun dengan hartanya. Apabila peserta didiknya sakit, hendaknya ia
menjenguknya, dan apabila kehabisan bekal, hendaknya ia membantunya. Hal ini
menggambarkan bahwa seorang pendidik dianjurkan memperlakukan anaknya sendiri,
dengan penuh kasih sayang.

• Pendidik hendaknya selalu memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual,


maupun akhlaknya. Murid yang shaleh akan menjadi "tabungan" bagi pendidik, di dunia dan
akhirat.

Dari konsep syarat kode etik pendidik yang telah dikembangkan al-Kanani tersebut, dapat
diambil sebuah makna terdalamnya yaitu bahwa seorang pendidik harus menekankan
perhatian, kasih sayangnya, dan lemah lembut terhadap peserta didik, seolah-olah mereka
adalah anaknya sendiri. Hal ini kelihatannya didasarkan pada ungkapan: "Sesungguhnya saya
dan kamu laksana bapak dengan anaknya". Implikasi rasa kasih sayang ini adalah adanya
usaha yang maksimal dari pen-didik dalam proses pembelajaran, untuk benar-benar dapat
meningkatkan dan mengembangkan potensi dan kemampuan peserta didik demi masa depan
dan kehidupan peserta didik yang disayanginya.

Konsep etika tersebut hampir sama dengan yang dikembangkan oleh Ibnu Jama'ah, yang
dikutip oleh Abd al-Amir Syams al-Din, dengan membagi etika pendidik menjadi tiga
macam,62 yaitu:
• Etika yang terkait dengan dirinya sendiri. Seorang pendidik dalam etika ini aling tidak
memiliki dua etika, yaitu: (1) memiliki sifat-sifat keagamaan (dininyah) yang baik, meliputi
patuh dan tunduk terhadap syari'at Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib
maupun yang sunnah; senantiasa membaca al-Qur'an, berdzikir baik dengan hati maupun
lisan, memelihara wibawa Nabi Muhammad; memelihara prilaku lahir dan batin; (2)
memiliki sifat-sifat.dan akhlak yang mulia (akhlacjiyah), seperti menghias diri (tahalli)
dengan memelihara diri, khusyu', rendah hati, menerima apa adanya, zuhud, dan memiliki
daya dan hasrat yang kuat.

• Etika terhadap peserta didiknya. Dalam bagian ini pendidik minimal memiliki dua sifat,
yaitu: (1) sifat sopan santun (iadabiyah), yang terkait dengan akhlak yang mulia seperti di
atas; (2) sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyah).

• Etika dalam proses belajar mengajar. Dalam bagian etika ini pendidik minimal juga harus
memiliki dua etika, yaitu:

(1) sifat-sifat'memeudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah); (2) sifat-sifat


seni, yaitu seni mengajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak cepat merasa
bosan.

Dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyah al-Abrasyi menentukan kode etik pendidik
dalam pendidikan Islam sebagai berikut:22

• Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi


peserta didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri.

• Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam
interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar mengajar.

Pola komunikasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan tiga macam, yaitu komunikasi
sebagai aksi (interaksi searah), komunikasi sebagai interaksi (interaksi dua arah) dan
komunikasi sebagai transaksi (interaksi multiarah). Tentunya untuk mewujudkan tujuan
pendidikan Islam yang maksimal harus digunakan komunikasi yang transaksi, sehingga
suasana belajar menjadi lebih aktif antara pendidik dan peserta didik, antara peserta didik dan
pendidik, dan antara peserta didik dengan peserta didik.

• Memperhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi pelajaran


harus diukur dengan kadar kemampuannya. Sabda Nabi:

"Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan pada posisinya, berbicara dengan
seseorang sesuai dengan kemampuan akalnya". (HR. Abu Bakar ibn al-Syakhir)

Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya
memprioritaskan anak yang memiliki IQ tinggi. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian,
dan kesempurnaan. Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal yang
di luar kewajibannya.    

Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan yang lainnya (menggunakan pola
integrated curriculum). Memberi bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa
depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidiknya.
Ali bin Abi Thalib berkata:

"Didiklah anak kalian dengan pendidikan, karena mereka diciptakan untuk zaman yang
berbeda dengan zaman kalian”.

• Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan
mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk
menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Dalam literatur yang lain seperti dalam Ilmu pendidikan Islam Prof. Ramayulis, disebutkan
beberapa syarat pendidik,23 yaitu: (1) beriman; (2) bertaqwa; (3) ikhlas; (4) berakhlak; (5)
berkepribadian yang integral (terpadu); (6) bertanggung jawab; (7) cakap; (8) keteladanan;
(9) memiliki kompetensi kependidikan yang mencakup: kompetensi kepribadian, kompetensi
penguasaan atas bahan pengajaran, dan kompetensi dalam metode dan pendekatan dalam
pendidikan.

E. Keutamaan Mengajar

Pendidik merupakan faktor penting dalam proses pendidikan, sehingga peranannya dapat
mempengaruhi keberhasilan sebuah pendidikan. Dalam Islam, seorang pendidik sangatlah
dihargai dan dihormati kedudukannya. Firman Allah dalam QS. al-Mursalat: 11:
Sabda Rasul SAW:

“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-qur’an dan mengajarkannya". (HR.
Bukhari).

"Allah meningkatkan derajat orang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat".

Sabda Rasulullah SAW: yang artinya; " Tinta para ulama lebih tinggi nilainya dari pada
darah para syuhada". (HR. Abu Daud dan Turmudzi)

Gambaran lain tentang keutamaan seorang pendidik adalah sebagaimana pandangan Imam al-
Ghazali yang men-sinyalir sebuah teks yang berbunyi:24

Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkan kepada
manusia, maka ia diberikan pahala tujuh puluh orang siddiq (orang yang selalu benar,
membenarkan Nabi, seumpama Abu Bakar)". Nabi Isa AS. Bersabda: "Barang siapa berilmu
dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut “orang besar" di segala penjuru langit".
Nabi bersabda: "Sebaik-baiknya pemberian dan hadiah ialah kata-kata hikmat. Engkau
dengar lalu engkau simpan baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim,
engkau ajari dia. Perbuatan demikian mempunyai ibadah setahun". Nabi bersabda pula:
"Bahwasannya Allah, Malaikat-malaikatnya, isi langit dan bumi sampai kepada semut yang
di dalam lubang dan ikan di dalam laut, semuanya berdoa kebajikan kepada orang yang
mengajarkan manusia”. Nabi bersabda pula: "Tiadalah orang muslim memberi faedah kepada
saudaranya, yang lebih utama dari kabar yang-baik yang disampaikannya, kemudian
disampaikan pula kepada orang lain". Nabi bersabda: "Sepatah kata kebajikan yang didengar
oleh seorang muslim lalu diajarkannya dan diamalkannya, adalah lebih baik baginya daripada
ibadah setahun".
Pada suatu hari rosul ke luar berjalan-jalan, lalu melihat dua majlis. Yang satu mereka berdoa
kepada Allah dengan sepenuh hati, yang satu lagi mengajar manusia. Maka Nabi bersabda:
"Adapun mereka itu memohon kepada Allah, jika dikehendaki-Nya maka dikabulkan-Nya.
Jika tidak maka ditolak-Nya. Sedang mereka yang satu majlis lagi, mengajarkan manusia dan
aku ini diutus untuk mengajar". Kemudian

Nabi menoleh ke majlis orang yang mengajar, lalu duduk bersama mereka, Nabi bersabda:
"Rahmat Allah kepada khalifah-khalifahku". Para sahabat bertanya: "siapakah khalifah-
khalifah itu wahai rasulullah? "rasul menjawab: "mereka yang menghidupkan sunnahku dan
mengajarkan kepada hamba Allah". Umar ra. berkata: "Barangsiapa mengajarkan suatu
hadits, lalu diamalkan orang, maka baginya pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang
yang mengamalkannya". Ibnu Abbas ra. juga berkata: "Orang yang mengajar kebajikan
kepada orang banyak, diminta ampunkan dosanya oleh segala sesuatu sehingga ikan di dalam
laut". Imam al-Ghazali mengemukakan tentang mulianya pekerjaan mengajar, beliau berkata:
"Maka seseorang yang alim mau mengamalkan apa yang telah diketahuinya, maka ialah yang
dinamakan dengan seorang yang besar di semua kerajaan langit. Dia adalah seperti matahari
yang menerangi alam-alam yang lain, dia mempunyai cahaya dalam dirinya, dan dia adalah
seperti minyak wangi yang mewangikan orang lain, karena ia memang wangi. Siapa-siapa
yang memiliki pekerjaan mengajar,ia telah memilih pekerjaan yang besar dan penting, maka
dari itu hendaklah ia mengajar tingkah lakunya dan kewajiban-kewajibannya.25

Dari berbagai keterangan tersebut di atas, dapatlah difahami bahwa betapa besar dan mulia
pekerjaan seorang pendidik atau orang yang mempunyai ilmu pengetahuan. Karena memang
dengan ilmu pengetahuan dapat mengantarkan manusia agar selalu berfikir dan mengamati,
dan menganalisa fenomena yang ada pada alam (ayat kauniyah), sehingga akan membawa
manusia pada jarak yang semakin dekat dengan penciptanya yaitu Allah. Selain itu dengan
jalan berfikir dan bekal akal, manusia dapat menghasilkan berbagai teori dan ilmu yang dapat
berguna bagi kehidupan manusia sendiri.

Pendidikan Islam sangat sarat dengan konsepsi dan nilai ketuhanan yang memiliki berbagai
keutamaan. Abd. Al-Rahman al-Nahlawi menggambarkan orang yang berilmu diberi
kekuasaan menundukkan alam semesta demi kemaslahatan manusia. Sehingga orang yang
berilmu (pendidik) dalam kehidupan masyarakat dipandang sebagai orang yang bermartabat
tinggi.26

Namun demikian, bagi orang yang berilmu atau pendidik, sudah semestinya dan menjadi
suatu kewajiban untuk mengajarkan dan mengamalkan apa yang sudah diketahui dan
dipelajari. Sehingga nabi memberikan rambu-rambu bagi orang yang tidak mengajarkan
ilmunya dengan suatu peringatan, yaitu:

"Barang siapa yang menyembunyikan ilmunya maka Tuhan akan mengekangnya dengan
kekangan api neraka". (HR. Ibnu Majah)

Sehingga seberapa pun pengetahuan atau ilmu yang diketahuinya tetap memiliki konsekuensi
untuk mengajarkannya. Dorongan ini terbukti dari ungkapan sebuah teks yang berbunyi:

"Sampaikanlah dariku walaupun cuma satu ayat".

Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa pemahaman yaitu27


• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perintah yang wajib dilaksanakan, dan barang
siapa mengelak dari kewajiban ini akan mendapatkan konsekuensi tersendiri.

• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perbuatan yang terpuji dan mendapatkan pahala
yang berlimpah dari Allah.

• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah merupakan amal kebajikan jariyah yang akan
mengalir pahala selama ilmu yang diajarkan tersebut masih diamalkan orang yang belajar
tersebut.

• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah amal kebajikan yang dapat mendatangkan
maghfirah dari Allah.

• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perbuatan yang sangat mulia, karena mengolah
organ manusia yang mulia. []

BAB V

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Dalam pandangan Islam, sebenarnya manusia telah ditempatkan sebagai makhluk yang
termulia dari semua makhluk yang ada di jagat raya ini. Firman Allah SWT:

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat, sesungguhnya Aku hendak


menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (Q.S. 2:30).

Firman Allah SWT. yang artinya; "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya". (Q.S. 25:4). Ayat ini menunjukkan bahwa dari segi kejadian
(bentuk) dan dari segi kedudukan manusia lebih mulia dari makhluk lain. Selanjutnya dalam
surat AI-A'laq dijelaskan pula tentang penciptaan manusia ini sebagaimana firman Allah
SWT:

"Bacalah dengan menyebut Tuhanmu yang mencintakan. Dia telah mencintakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak mereka
ketahui, sudahlah! sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat
dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhan tempat kembalimu". (Q.S. 86:1-8).

Ayat di atas, menerangkan bahwa ada tiga macam ciri manusia yaitu:1

1. Manusia itu dijadikan dari a'laq (segumpal darah),


2. Manusia mempunyai daya untuk berilmu,
3. Manusia dapat menjadi diktator apabila ia bersifat congkak dan tidak memerlukan lagi
Sang Penciptanya (Allah SWT).

Murthada Mutahhari melukiskan gambaran AI-Qur'an tentang manusia sebagai berikut:2 Al-
Qur'an mengambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya
di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya
ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya
maupun alam semesta, serta karunia keunggulan terhadap alam semesta, langit dan bumi.
Manusia dipusa-kai ke arah kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan. Kemajuan
mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidakmampuan yang kemudian bergerak ke arah
kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali jika mereka dekat
dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan
belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki keluhuran dan martabat naluriah.
Motivasi dan pendorong mereka dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Akhirnya
mereka dapat secara leluasa memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada
mereka, namun pada saat yang sama, mereka menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.

Sayyid Qutb menafsirkan "khalqan akhar" pada QS. 23:12-14 sebagai berikut: "Manusia
dijadikan sebagai makhluk yang unik (khalqan akhar) ketika proses pertumbuhan biologinya
sudah sempurna dalam rahim ibunya. Ketika itu janin tidak lagi mengalami perkembangan
unsur-unsur biologis, dalam arti pertumbuhan kerangka tubuh. Manusia pada saat itu sudah
siap memasuki tahap kejadiannya yang baru, yang membedakannya dari hewan. Yang
membawa manusia ke tahap kejadi-anya yang unik dan baru itu adalah ditiupkannya roh ke
dalam dirinya.3 Masalah ini semakin dapat difahami dengan adanya firman Allah SWT
dalam surat lain.

"Kemudian Dia menyempurnakan dan menitipkan ke dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya


dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur". (Q.S. 34:9).

Ayat di atas menjelaskan bahwa dengan adanya roh itu manusia dapat memiliki pendengaran
(al-Samu') penglihatan (,al-Abshar) dan perasaan dalam hati (al-Afidah) yang menjadi ciri-
ciri khas makhluk manusia.

Hadits Nabi berikut menjelaskan lebih lanjut waktu penghembusan roh tersebut dalam ayat di
atas.

"Sesungguhnya kamu diciptakan dalam kandungan ibu empat puluh hari mani, kemudian
selama itu pula segumpalan darah, kemudian selama itu pula gumpalan daging, kemudian
dikirimkan oleh Tuhan Malaekat dan ia menghembuskan ke dalam jasad itu roh." (H.R.
Bukhari)

Harun Nasution memberikan komentar sebagai berikut: "Yang menarik perhatian dari
perkembangan penciptaan manusia seperti dijelaskan oleh ayat dan hadits adalah maksudnya
jiwa kedalam. janin, setelah yang tersebut akhir ini mengalami perkembangan seratus dua
puluh hari dalam kandungan ibu. Selama empat bulan setelah sperma dan ovum bersatu, janin
dengan demikian belum mempunyai jiwa. Janin baru merupakan tubuh yang hidup dan belum
menjadi manusia dalam arti sebenarnya. Janin sebelum masuknya jiwa itu dengan kata lain
baru merupakan calon manusia.4

Selanjutnya Harun Nasution mengatakan sebagai berikut: "Manusia dalam konsep Islam
jadinya tersusun dari tiga unsur: tubuh, hayat dan jiwa. Kalaulah hayat telah tak ada, tubuh
pun mati dan jiwa meninggalkan tubuh yang mati itu. Di sini jiwa berpisah dari tubuh dan
pergi kembali ke alam im-materi menunggu hari penghitungan di hadapan Tuhan. Alam
rohani tempat jiwa menunggu itu biasa disebut alam barzah.
Unsur tubuh dan hayat menyebabkan manusia sama dengan binatang, dan unsur roh (jiwa)
menyebabkan manusia berbeda dengan binatang. Unsur roh inilah yang menyebabkan
manusia mempunyai akal, penglihatan, pendegaran, perasaan dan hati nurani.

Berkenaan dengan masalah ini Al-Atas menyebutkan manusia sebagai "binatang rasional".
Rasional berarti mengacu pada nalar yang merumuskan makna-makna melibatkan pemikiran
perbendaan dan penjelasan. Di dalam Islam di samping "aql" ada "qalb” keduanya substansi
rohaniah yang dapat memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan.5

Dengan keutamaan yang diberikan Tuhan kepada manusia dari makhluk lain, manusia
dibebani dengan tugas yang cukup berat tetapi mulia yaitu menjadi khalifah Allah di muka
bumi. Fungsi khalifah tidak lain adalah merupakan amanah yang mengakibatkan adanya
tanggung jawab. Firman Allah SWT. yang artinya: "Sesungguhnya Tuhan menjadikan
manusia di bumi ini sebagai khalifah." (Q.S.2:30).

Semua ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh manusia tersebut di atas harus diperhatikan oleh
seorang pendidik dalam menghadapi peserta didiknya, karena pengetahuan tentang itu
mendasari pandangan guru agama tentang muridnya, sehingga dalam proses pendidikan ia
tidak menekankan pada unsur jasad dan hayat saja tetapi lengkap dengan unsur roh lainnya.

Dengan berpijak pada paradigma "belajar sepanjang masa", maka istilah yang tepat untuk
menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta
didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-
orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia
kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan
tidak hanya di sekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat,
seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.6

Pada dasarnya peserta didik merupakan "raw material" (bahan mentah) di dalam proses
transformasi yang disebut pendidikan. Berbeda dengan komponen-komponen lain dengan
sistem pendidikan karena kita menerima "material" ini sudah setengah jadi, karena memang
peserta didik dalam Islam memiliki sebuah fitrah yang dianugerahkan oleh Allah. Sedangkan
komponen-komponen pendidikan lain dapat dirumuskan dan disusun sesuai dengan keadaan
fasilitas dan kebutuhan yang ada.

Namun demikian membicarakan peserta didik, sesungguhnya. kita membicarakan hakikat


manusia yang memerlukan bimbingan. Para ahli psikologi mempunyai pandangan yang
berbeda terhadap manusia. Aliran psikonalisis beranggapan bahwa tingkah laku manusia
pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam yang mengontrol kekuatan
psikologis yang sejak semula ada dalam diri individu. Manusia tidak lagi bebas untuk
menentukan nasibnya, sebab tingkah laku manusia semata-mata digerakkan untuk
memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya. Aliran humanistik beranggapan bahwa
manusia senantiasa dalam, proses untuk wujud (becoming) namun tidak pernah selesai dan
tidak pernah sernpurna. Tingkah laku manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan
untuk memuaskan dirinya sendiri namun oleh rasa tanggung jawab sosial dan kebutuhan
untuk mencapai sesuatu. Aliran behaviorisme beranggapan bahwa t;ngkah laku manusia
merupakan reaksi dari rangsangan yang datang dari luar dirinya. Manusia ditentukan oleh
lingkungan karena proses interaksi terus menerus antar individu dengan lingkungannya.
Hubungan interaksi itu diatur oleh hukum-hukum belajar, pembiasaan (conditioning) dan
peniruan.63

Sama halnya dengan teori Barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu
sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam
mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi tersebut memberi arti bahwa
peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang
lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga,
murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat
sekitarnya, dan umat beragama mSnjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.64

Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali disebut dengan "murid" atau thalib. Secara
etimologi, murid berarti "orang yang menghendaki". Sedangkan menurut arti terminologi,
murid adalah "pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pem bimbing spiritual
(murrsyid)". Sedangkan thalib secara bahasa berarti "orang yang mencari", sedang menurut
istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras menempa dirinya
untuk mencapai derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik
pada sekolah tingkat dasar dan menengah sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut
dengan mahasiswa (thalib).65

Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat
peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat
peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan, Beberapa hal yang perlu
dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:66

Pertama, peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga
metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak
patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya,
sehingga peserta didik kehilangan dunianya. Peserta didik yang kehilangan dunianya, maka
menjadikan kehampaan hidup di kemudian hari.

Kedua, peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu
semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima hierarki
kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf
dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut
memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs),
meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan,
keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Pemenuhan kebutuhan manusia
memiliki tingkat kesulitan yang hierarkis. Kebutuhan yang berada pada hierarki paling bawah
akan mudah dicapai oleh semua manusia, namun kebutuhan yang berada pada hierarki paling
atas tidak semua dicapai oleh manusia. Pemenuhan kebutuhan yang dapat mengakibatkan
kepuasan hidup adalah pemenuhan metakebutuhan, sebab pemenuhan kebutuhan ini untuk
pertumbuhan yang timbulnya dari luar diri (eksternal). Sedangkan, pemenuhan kebutuhan
dasar hanya diakibatkan kekurangan yang berasal dari dalam diri (internal). Sekalipun
demikian, masih ada kebutuhan lain yang tidak terjangkau kelima hierarki kebutuhan itu,
yaitu kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan. Individu yang melakukan ibadah
sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab akhir
dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.
Ketiga, peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik
perbedaan yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang
meliputi, jasmani, inteligensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mengaruhinya.
Dalarn teori psikologi, terdapat tiga bagian tentang individu: (1) seperti semua orang lain,
yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang sama satu dengan yang lain (2) Seperti
sejumlah orang lain, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara anak
yang umum (kecerdasannya rata-rata) dengan yang khusus (sangat cerdas/bodoh); (3) seperti
tidak seorang lain pun, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara
individu satu dengan yang lain.

Keempat, peserta didik dipandang sebagai kesatuan system manusia. Sesuai dengan hakikat
manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun
terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).

Kelima, peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang
dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas
sendiri (swadaya) dan kreativitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak
memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengarkan saja.

Keenam, peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai


pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana
proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan
peserta didik. Kadar

kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia atau periode perkembangannya, karena
usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik,
baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis.

Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa periodesasi manusia pada dasarnya dapat
dibagi menjadi lima tahapan, yaitu:11

1. Tahap asuhan (usia 0-2 tahun), yang lazim disebut fase neonatus, dimulai kelahiran sampai
kira-kira usia dua tahun. Pada tahap ini, individu belum memiliki kesadaran dan daya
intelektual, ia hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis
melalui air susu ibunya. Pada fase ini belum dapat diterapikan interaksi edukasi secara
langsung, karena itu proses edukasi dapat dilakukan dengan cara:

• Memberi azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri ketika baru lahir (HR- Abu Ya'la
dari Husain bin Ali); Azan dan iqamah ibarat password untuk membuka sistem syaraf rohani
agar anak teringat dengan apa yang dulu di alam arwah diberi perjanjian oleh Allah SWT
(QS. al-Araf. 172); memberi nama yang baik sebaik nama-nama Allah yang tertuang dalam
asma al-husna (HR. Baihaqie);

• Memotong aqiqah, dua kambing untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi
perempuan. Pemotongan ini, selain menunjukkan rasa syukur kepada Allah, juga sebagai
lambang atau simbol pengorbanan dan kepedulian sang orang tua terhadap kelahiran bayinya,
agar anaknya nanti menjadi anak saleh dan menuruti keinginan baik orang tuanya;
• Memberi nama yang baik, yaitu nama yang secara psikologis mengingatkan atau berkorelasi
dengan perilaku yang baik, misalnya nama asma’al-husna, nama-nama nabi, nama-nama
sahabat, nama-nama orang yang saleh, dan sebagainya

• Membiasakan hidup yang bersih, suci dan sehat;

• Memberi ASI sampai usia dua tahun. ASI selain memiliki komposisi gizi yang sesuai
dengan kebutuhan bayi, juga menambah keakraban, kehangatan, dan kasih sayang sang ibu
dengan bayinya atau sebaliknya. Kekurangan akan ASI dapat mengakibatkan perilaku
negatif, seperti tidak menuruti perintah orang tua, karena secara psikologi, hubungan mereka
tidak akrab. Perhatikan Firman Allah SWT: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan." (QS. al-
Baqarah: 233);

• Memberikan makanan dan minuman yang halal dan bergizi (thayyib), (QS. al-Baqarah:
168), dan membiasakan hidup bersih dan suci. Kekurangan ASI dan hidup suci dan bersih,
akan mengakibatkan buruk bagi perkembangan paedagogis dari psikologis bagi anak.

2. Tahap pendidikan jasmani dan pelatihan pancaindra (usia 2-12 tahun), yang lazim disebut
fase kanak-kanak (al-thifl/shabi), yaitu mulai masa neonatus sampai pada masa polusi (mimpi
basah). Pada tahap ini, anak mulai memiliki potensi-potensi biologis, paedagogis, dan
psikologis. Karena itu, pada tahap ini mula, diperlukan adanya pembinaan, pelatihan
bimbingan, pengajaran, dan pendidikan yang disesuaikan dengan bakat (QS.ar-Rum: 30),
minat (QS. al-Kahfi: 29), dan kemampuannya (QS.Hud: 93). Proses pembinaan dan pelatihan
lebih efektif lagi bila anak telah menginjak usia sekolah dasar. Hal tersebut karena pada fase
ini, anak mulai aktif dan memfungsikan potensi-potensi indranya walaupun masih pada taraf
pemula. Proses edukasi dapat diterapkan dengan penuh kasih sayang. Perintah dan larangan
disajikan dalam bentuk cerita-cerita yang menarik dan memberikan kesimpulan untuknya,
serta melatih anak untuk melakukan aktivitas positif yang dapat membiasakan dirinya dengan
baik bila kelak menginjak fase berikutnya, pepatah Arab menerangkan:

"Barangsiapa yang membiasakan sesuatu (di hari mudanya), maka ia akan terbiasa olehnya
(di hari tuanya) ".

Tugas pendidikan pada fase ini adalah menumbuhkan potensi-potensi indra dan psikologis,
seperti pendengaran, penglihatan, dan hati nurani. Tugas orang tua adalah bagaimana mampu
merangsang pertumbuhan berbagai potensi tersebut, agar anaknya mampu berkembang secara
maksimal. Firman Allah SWT: "Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam
keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan la memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati
sanubari agar kamu mau bersyukur." (Q.S. an-Nahl: 78).

Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan melatih hidup yang baik, seperti dalam
berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan, dan berperilaku. Pembiasaan
ini terutama pada aspek-aspek afektif (ial-infi'a-li), sebab jika aspek ini tidak dibiasakan
sedini mungkin maka ketika masa dewasanya akan sulit dilakukan; dan pengenalan aspek-
aspek doktrinal agama, terutama yang berkaitan dengan keimanan, melalui metode cerita dan
uswah hasanah.

3. Tahap pembentukan watak dan pendidikan agama (usia 12-20 tahun).


Fase ini lazimnya disebut fase tamyiz, yaitu fase di mana anak mulai mampu membedakan
yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Atau, fase baligh (disebut juga
mukallaf) di mana ia telah sampai berkewajiban memikul beban taklif dari Allah SWT.

Usia ini anak telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya, sehingga ia diberi beban
tanggung jawab (taklif), terutama tanggung jawab agama dan sosial. Menurut al-Taftazani,
fase ini dianggap sebagai fase yang mana individu mampu bertindak menjalankan hukum,
baik yang terkait dengan perintah maupun larangan. Seluruh perilaku mukallaf harus
dipertanggungjawabkan, karena hal itu akan berimbas pada pahala dan dosa.

Fase ini juga ditandai dengan adanya dua hal, yaitu: Pertama, pemahaman, dicapai dengan
adanya pendayagunaan akal, karena dengan akal seseorang memiliki kesadaran penuh dalam
bertindak. Individu yang tidak memiliki pemahaman yang cukup maka ia tidak terkena beban
taklif, seperti anak kecil, orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur dan pingsan dan
orang yang tersalah; Kedua, kecakapan (al-ahliyyah), yaitu dipandang cakap melaksanakan
perintah, sehingga perbuatan apa saja yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan dan
memiliki implikasi hukum. Kecakapan terbagi atas dua macam, yaitu: (1) Kecakapan
melaksanakan (ahliyyah ada'), yaitu kecakapan bertindak hukum yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun
negatif. Kecakapan ini disyaratkan 'aqil (berakal), baligh (sampai umur), dan cerdas dalam
memahami titah Tuhan; dan (2) Kecakapan kewajiban (iahliyyah wujub), yaitu kecakapan
untuk menerima kewajiban-kewajiban hukum dan hak-haknya." Pada tahap ini, anak
mengalami perubahan biologis yang drastis, postur tubuh hampir menyamai orang dewasa
walaupun taraf kematangan jiwanya belum mengimbanginya. Pada tahap ini, anak
mengalami masa transisi, masa yang menuntut anak untuk hidup dalam kebimbangan, antara
norma masyarakat yang telah melembaga agaknya tak cocok dengan pergaulan hidupnya
sehari-hari, sehingga ia ingin melepaskan diri dari belenggu norma dan susila masyarakat
untuk mencari jati dirinya, ia ingin hidup sebagai orang dewasa, diakui dan dihargai, tetapi
aktivitas yang dilakukan masih penuh kekanak-kanakan, sehingga acap kali orang tua masih
mengikat dan membatasi, kehidupannya agar nantinya dapat mewarisi dan mengembangkan
hasil yang diperoleh orang tuanya. Proses edukasi fase ini adalah memberikan suatu model,
mode dan modus yang Islami pada anak tersebut, sehingga ia mampu hidup "remaja" di
tengah-tengah masyarakat tanpa meninggalkan kode etis Islaminya. Tugas pendidikan adalah
mengubah persepsi konkret peserta didik menuju pada persepsi yang abstrak, misalnya
persepsi mengenai ide-ide ketuhanan, alam akhirat, dan sebagainya. Pengembangan ajaran-
ajaran normatif agama melalui institusi sekolah, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif,
afektif, maupun psikomotorik. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: Perintahlah anak-anak
kalian melakukan shalat ketika ia berusia tujuh tahun, dan pukullah ia jika meninggalkannya
apabila berusia sepuluh tahun, dan pisahkan ranjangnya" (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-
Hakim dari Abd Allah ibn Amar). Hadis di atas mengisyaratkan bahwa usia tujuh tahun
merupakan usia mulai berkembangnya kesadaran akan perbuatan baik dan buruk, benar dan
salah, sehingga Nabi SAW. memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik shalat kepada
anak-anaknya. Ketika usia sepuluh tahun, tingkat kesadaran anak akan perbuatan baik dan
buruk, benar dan salah mendekati sempurna, sehingga Nabi SAW. memerintahkan orang tua
untuk memukul anaknya yang meninggalkan shalat. Makna memukul di sini tidak berarti
bersifat biologis, seperti memukul kepala atau anggota tubuh lainnya, melainkan bersifat
psikologis, seperti menggugah kesadaran atau menjatuhkan mentalnya.

1. Tahap kematangan (usia 20-30 tahun).


Pada tahap ini, anak telah beranjak menjadi dewasa, yaitu dewasa dalam arti sebenarnya,
mencakup kedewasaan biologis, sosial, psikologis, dan kedewasaan religius. Pada fase ini,
mereka sudah mempunyai kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan
untuk menentukan masa depannya sendiri. Oleh karena itu, proses edukasi dapat dilakukan
dengan memberi pertimbangan dalam menentukan teman hidupnya yang memiliki ciri
mukafaah (ideal) dalam aspek agama, ekonomi, sosial, dan sebagainya (HR. Bukhari-Muslim
dari Abu Hurairah). Pemilihan pasangan hidup yang ideal akan mencetak calon pendidik di
rumah tangga kelak yang bertanggung jawab atas pendidikan anak kandung di rumah.

2. Tahap kebijaksanaan (usia 30 - meninggal).

Menjelang meninggal, fase ini lazimnya disebut fase azm al-'umr (lanjut usia) atau syuyukh
(tua). Pada tahap ini, manusia telah menemukan jati dirinya yang hakiki, sehingga
tindakannya penuh dengan kebijaksanaan yang mampu mernberi naungan dan perlindungan
bagi orang lain. Proses edukasi bisa dilakukan dengan cara mengingatkan agar mereka
berkenan sedekah atau zakat bila ia lupa (QS. ali Imran: 92) serta mengingatkan harta dan
anak yang dimiliki agar selalu diclarma-baktikan kepada agama, negara, dan masyarakat
sebelum menjelang hayatnya.

Peserta didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap,
dan tingkah lakunya, sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan
tersebut. Akan tetapi, dalarn proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas antara
keduanya sulit ditentukan, karena adanya saling mengisi dan saling membantu, saling meniru
dan ditiru, saling memberi dan menerima informasi yang dihasilkan, akibat dari komunikasi
yang dimulai dari kepekaan indra, pikiran, daya aspersepsi, dan keterampilan untuk
melakukan sesuatu yang mendorong internalisasi dan individualisasi pada diri individu
sendiri. Bahkan Battle dan Robert L. Shannon menyatakan bahwa keberhasilan pendidik
dalam proses pendidikan adalah apabila ia telah mencapai hasil yang paling tinggi, yaitu
peserta didiknya telah menjadi guru mereka sendiri yang terbaik, yang dengan sadar
membuat kondisi untuk mengubah tingkah laku mereka ke arah tujuan mereka sendiri.
Pendidik yang baik senantiasa berusaha untuk mengeluarkan dirinya dari peranan mengajar
yang membuat peserta didik mengasumsikan peran itu untuk diri mereka sendiri.

B. Sifat-sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya
dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali,
yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman," merumuskan sebelas pokok kode etik peserta
didik, yaitu:12

1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang
rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli)
(perhatikan QS. al-An'am: 162, al-Dzariyat: 56).

2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (QS. adh-


Dhuha: 4). Artinya, belajar tak
semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga belajar ingin berjihad melawan
kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan Allah dan
manusia.

3. Bersikap tawadlu' (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan
itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.

4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus
dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.

5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun untuk
duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat
mendekatkan diri kepada Allah, sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan
mendatangkan permusuhan antarsesamanya.

6. Belaj ar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret)
menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu 'ain menuju ilmu yang
fardlu kifayah (QS. al-Insyiqaq: 19).

7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga
peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini,
spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus
(QS. al-Insyirah: 7).

8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan
objektivitas dalam memandang suatu masalah.

9. Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah
SWT, sebelum memasuki ilmu duniawi.

10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat
dapat membahagiakan, menyejahterahkan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.

11. Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit
terhadap dokternva, mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh
pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti
kesenian yang baik.

Menurut Ibnu Jamaah, yang dikutip oleh Abd al-Amr Syams al-Din, etika peserta didik
terbagi atas tiga macam,67 yaitu: (1) terkait dengan diri sendiri, meliputi membersihkan hati,
memperbaiki niat atau motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud
(tidak materialistis), dan penuh kesederhanaan; (2) terkait dengan pendidik, meliputi patuh
dan tunduk secara utuh, memuliakan, dan menghormatinya, senantiasa melayani kebutuhan
pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman darinya; (3) terkait dengan pelajaran,
meliputi berpegang teguh secara utuh pada pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya
tanpa henti, mempraktikkan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh suatu ilmu.
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang
merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan.68 Syarat yang
dimaksud sebagaimana dalam syairnya:

"Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat; aku akan
menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras,
sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (kontinu)".

Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat pencari ilmu adalah mencakup enam
hal, yaitu:69

Pertama, memiliki kecerdasan (dzaka'); yaitu penalaran, imajinasi, wawasan (insight),


pertimbangan, dan daya-»penye-suaian, sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat
dan tepat. Kecerdasan kemudian berkembang dalam tiga definisi, yaitu: (1) kemampuan
menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (2)
kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti
memahami, berpendapat, mengontrol, dan mengkritik; dan (3) kemampuan memahami
pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.

Jenis-jenis kecerdasan meliputi: (1) kecerdasan intelektual yang menggunakan otak kiri
dalam berpikir linear; (2) kecerdasan emosional, yang menggunakan otak kanan/intuisi dalam
berpikir asosiatif, (3) kecerdasan moral, yang menggunakan tolok ukur baik buruk dalam
bertindak; (4) kecerdasan spiritual, yang mampu memaknai terhadap apa yang dialami
dengan menggunakan otak unitif; (5) kecerdasan qalbiyah atau ruhaniyah yang puncaknya
pada ketakwaan diri kepada Allah SWT. Kelima kecerdasan ini harus dimiliki oleh peserta
didik sebagai persyaratan pertama dan utama dalam mencapai keberhasilan pendidikannya.

Kedua, memiliki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi dalam
mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang diperolelmya. Hasrat ini menjadi
penting sebagai persyaratan dalam pendidikan, sebab persoalan manusia tidak sekadar
mampu (qudrah) tetapi juga mau (iradah). Simbiotis antara mampu (yang diwakili
kecerdasan) dan mau (yang diwakili hasrat) akan menghasilkan kompetensi dan kualifikasi
pendidikan yang maksimal.

Maksud motivasi (motivation) pendidikan di sini adalah keseluruhan dorongan, keinginan,


kebutuhan, dan daya yang sejenis yang mengarahkan prilaku dalam pendidikan. Motivasi
pendidikan juga diartikan satu variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan
faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola,
mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran pendidikan. Dalam
pendidikan, motivasi berfungsi sebagai pendorong kemampuan, usaha, keinginan,
menentukan arah, dan menyeleksi tingkah laku pendidikan. Kemampuan adalah tenaga,
kapasitas, atau kesanggupan untuk melakukan suatu perbuatan, yang dihasilkan dari bawaan
sejak lahir atau merupakan hasil dari pengalaman. Usaha ialah penyelesaian suatu tugas
untuk mencapai keinginan. Sedangkan keinginan adalah satu harapan, kemauan, atau
dorongan untuk mencapai sesuatu atau untuk membebaskan diri dari suatu perangsang yang
tidak menyenangkan.

Motivasi belajar dalam Islam tidak semata-mata untuk memperoleh: (1) berprestasi, yaitu
dorongan untuk mengatasi tantangan, untuk maju, dan berkembang; (2) berafiliasi, yaitu
dorongan untuk berhubungan dengan orang lain secara efektif, (3) berkompetensi, yaitu
dorongan untuk mencapai hasil kerja dengan kualitas tinggi; dan (4) berkekuasaan, yaitu
dorongan untuk memengaruhi orang lain dan situasi, tetapi lebih dari itu, belajar memiliki
motivasi beribadah, yang mana dengan belajar seseorang dapat mengenal (ma'rifah) pada
Allah SWT, karena Dia hanya mengangkat derajat bagi mereka yang beriman dan berilmu
(QS. al-Mujadilah: 11, az-Zumar: 9)'. -

Ketiga, bersabar dan tabah (ishtibar) serta tidak mudah putus asa dalam belajar, walaupun
banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis, sosiologis, politik,
bahkan administratif. Sabar merupakan inti dari kecerdasan emosional. Banyak orang yang
memiliki kecerdasan intelektual yang baik, tetapi tidak dibarengi oleh kecerdasan emosional
(seperti sabar ini) maka ia tidak memperoleh apa-apa.

Sabar adalah menahan (al-habs) diri, atau lebih tepatnya mengendalikan diri, yaitu
menghindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas, marah, dan kekacauan terutama dalam
proses belajar. Sabar juga meliputi menghindari maksiat, melaksanakan perintah, dan
menerima cobaan dalam proses pendidikan (QS. ali Imran: 200). Menurut al-Ghazali, sabar
terkait dengan dua aspek, yaitu: Pertama, fisik (badani), yaitu menahan diri dari kesulitan dan
kelelahan badan dalam belajar. Dalam kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka
dan memikul beban yang berat; Kedua, psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari natur dan
tuntutan hawa nafsu yang mengarahkan seseorang meninggalkan pertimbangan rasional
dalam mencari ilmu.

Salah satu kelebihan Nabi Khidhir dibandingkan dengan Nabi Musa adalah bahwa Nabi
Khidhir mengetahui suatu peristiwa yang belum terjadi. Sebagaimana yang dilukiskan QS. al-
Kahfi ayat 65-72 bahwa kunci pengetahuan Nabi Khidhir yang tidak dimiliki Nabi Musa
adalah sabar, sehingga berkali-kali Nabi Khidhir mengatakan: "Sesungguhnya kamu sekali-
kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." Dalam kisah ini, sabar menjadi kunci bagi
kecerdasan individu dalam memperoleh pengetahuan, yang oleh temuan dewasa ini disebut
dengan kecerdasan emosional. Nabi Khidhi memperoleh ilmu ladunni, dengan mengetahui
hal-hal yang gaib atau belum terjadi, disebabkan oleh kesabarannya. Kesabaran (sebagai inti
kecerdasan emosional) mengantar kesuksesan individu, sekalipun tidak melupakan jenis
kecerdasan yang lain.

Keempat, mempunyai seperangkat modal dan sarana (ibulghah) yang memadai dalam belajar.
Dalam hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi penting, yang digunakan untuk
kepentingan honor pendidik, membeli buku dan peralatan sekolah, dan biaya pengembangan
pendidikan secara luas.

Perolehan ilmu bukan didapat secara gratis, karena profesionalisme pendidikan melibatkan
sejumlah kegiatan dan sarana yang membutuhkan biaya. Bahkan akhir-akhir ini, sekolah
yang mahal adalah sekolah yang diminati oleh masyarakat. Memang benar, dari sudut
material, investasi yang dikucurkan untuk dana pendidikan tidak akan memperoleh laba yang
besar, bahkan boleh jadi merugi. Namun secara spiritual, justru inilah investasi yang hakiki
dan abadi yang dapat dinikmati untuk jangka panjang dan masa depan di akhirat (perhatikan
QS, an-Nisa': 95, al-Anfal: 72, at-Taubah: 20, 41, 44, 81, 88, 111).

Kelima, adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah pengertian
(misunderstanding) terhadap apa yang dipelajari, Dalam belajar, seseorang dapat melakukan
metode autodidak, yaitu belajar secara mandiri tanpa bantuan siapa pun. Sekalipun demikian,
pendidikan masih tetap berperan pada peserta didik dalam menunjukkan bagaimana metode
belajar yang efektif berdasarkan pengalaman sebagai seorang dewasa, serta yang terpenting,
pendidik sebagai sosok yang perilakunya sebagai suri teladan bagi peserta didik. Dalam
banyak hal, interaksi pendidikan tidak dapat digantikan dengan membaca, melihat dan
mendengar jarak jauh, tetapi dibutuhkan face to face antara kedua belah pihak yang
didasarkan atas suasana psikologis penuh empati, simpati, atensi, kehangatan, dan
kewibawaan.

Keenam, masa yang panjang (thuivl al-zaman), yaitu belajar tiada henti dalam mencari ilmu
(no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian sampai liang
lahat). Syarat ini berimplikasikan bahwa belajar tidak hanya di bangku kelas atau kuliah,
tetapi semua tempat yang menyediakan informasi tentang pengembangan kepribadian,
pengetalman, dan keterampilan adalah termasuk juga lembaga pendidikan.

C. Dimensi-dimensi Peserta Didik

Suatu hal yang sangat perlu juga diperhatikan oleh seorang pendidik dalam, membimbing
peserta didiknya adalah "kebutuhan peserta didik". Al-Qussy membagi pula kebutuhan
manusia dalam, dua kebutuhan pokok yaitu: (1) Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani
seperti: makan, minum, seks dan sebagainya; (2) Kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan
rohaniah.16

Selanjutnya ia membagi kebutuhan rohaniah kepada 6 (enam) macam yaitu: (1) Kebutuhan
kasih sayang (2) Kebutuhan akan rasa aman (3) Kebutuhan akan rasa harga diri (4)
Kebutuhan akan rasa bebas (5) Kebutuhan akan sukses (6) Kebutuhan akan suatu kekuatan
pembimbing atau pengendalian diri manusia, seperti pengetahuan-pengetahuan lain yang ada
pada setiap manusia yang berakal.

Law head membagi kebutuhan manusia sebagai berikut:17

1. Kebutuhan jasmani, seperti makan, minum, bernafas, perlindungan, seksual, kesehatan dan
lain-lain.
2. Kebutuhan rohani, seperti kasih sayang, rasa aman, penghargaan, belajar, menghubungkan
diri dengan dunia yang lebih luas (mengembangkan diri), mengaktualisasikan dirinya sendiri
dan lain-lain.
3. Kebutuhan yang menyangkut jasmani rohani, seperti istirahat, rekreasi, butuh supaya
setiap potensi-potensi fisik dapat dikembangkan semaksimal mungkin, butuh agar setiap,
usaha/ pekerjaan sukses dan lain-lain.
4. Kebutuhan sosial seperti supaya dapat diterima oleh teman-temannya secara wajar, supaya
dapat diterima oleh orang yang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya, guru-gurunya dan
pemimpin-pemimpinnya, seperti kebutuhan untuk memperoleh prestasi dan posisi.
5. Kebutuhan yang lebih tinggi sifatnya (biasanya dirasakan lebih akhir) merupakan tuntutan
rohani yang mendalam yaitu, kebutuhan untuk meningkatkan diri yaitu kebutuhan terhadap
agama.

Kedua kutipan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan yang paling essensial adalah
kebutuhan terhadap agama. Agama dibutuhkan karena manusia memerlukan orientasi dan
obyek pengabdian dalam hidupnya. Oleh karena itu tidak ada seorang pun yang tidak
membutuhkan agama.
Para ahli tafsir seperti: Mohamma Hijazi, Sayyid Muhammad Husin al-Thaba Thabai, dan
Mushafa al Maraghi, mempunyai pendapat yang sama bahwa fitrah beragama pada
hakekatnya adalah kebutuhan manusia. Oleh karena itu para ahli menyebut bahwa manusia
itu adalah makhluk yang beragama (homo religius)”.  para ahli psikologi membahas pula
secara ilmiah hubungan manusia dengan agama. Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa
Kebutuhan-kebutuhan peserta didik di atas harus diperhatikan oleh setiap si pendidik,
sehingga peserta didik tumbuh dan berkembang serta mencapai kematangan psikis dan pisik.
Pendidik agama di samping ia memperhatikan kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis
ataupun kebutuh pada masa kanak-kanak pertama (dua sampai enam tahun) mungkin si anak
menanyakan tentang Tuhan (rupa-Nya, tempat-Nya dan ke-kuasaan-Nya). Mulai umum lebih
kurang 7 tahun pertanyaan anak-anak terhadap Tuhan telah berganti dengan cinta dan hormat
dan hubungannya dipengaruhi oleh rasa percaya dan iman. Dan pada masa akhir kanak-kanak
(10-12 tahun) fungsi Tuhan bagi si anak telah meningkat. Tuhan sebagai penolong baginya
dalam menghadapi dorongan jahat dan tidak baik dalam hatinya, serta Tuhan akan
menolongnya melindungi yang lemah, terutama jika ia merasa lemah dan kekurangan.
Gambaran Allah yang seperti itu akan menolong si anak dalam kesukaran dan penderitaan.
Dan pada umur remaja, kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat, tetapi
kadang-kadang akan menjadi berkurang, yang terlihat pada ibadahnya yang kadang-kadang
rajin dan kadang-kadang malas. Perasaannya kepada Tuhan tergantung pada perubahan emosi
yang sedang dialaminya. Kadang-kadang ia sangat membutuhkan Tuhan terutama ketika
mereka akan menghadapi bahaya, takut akan gagal atau merasa berdosa. Tapi kadang-kadang
ia kurang membutuhkan Tuhan, ketika merasa senang riang dan gembira. Yamani
mengemukakan bahwa tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat ber-fikir dan daya
penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali
alam sekitarnya di samping rasa ketakutan terhadap rasa kegarangan dan kebengisan alam itu.
Hal inilah yang mendorong insan tadi untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat
melindungi dan pembimbingannya di saat-saat yang gawat. Insan primitif telah menemukan
apa yang dicarinya pada gejala alam itu sendiri, berangsur-angsur dan silih berganti menuj
gejala-gejala alam tadi sesuai dengan penemuannya dan menetapkannya ke dalam jalan
kehidupannya. Dengan demikian timbullah penyembahan terhadap api, matahari, bulan, atau
benda-benda lainnya dari gejala-gejala alam tersebut.

Kebutuhan primer dan sekunder seperti dijelaskan di atas, maka penekanannya adalah
memenuhi kebutuhan anak didik terhadap agama karena ajaran agama yang sudah, dihayati,
diyakini dan diamalkan oleh anak didik, akan dapat mewarnai seluruh aspek kehidupannya.
Setiap pendidik yang mengabaikan kebutuhan terhadap agama ini hanya akan mampu meraih
sebagian kecil dari kepribadiannya, atau bahkan usahanya akan sia-sia sama sekali sebab
pendidikan yang tidak memperhatikan kebutuhan tersebut tidak akan dapat menjamah
psikologi manusiawi yang terdalam.

Selain kebutuhan-kebutuhan di atas, ada aspek penting lain pada peserta didik yang harus
diperhatikan dalam sebuah proses pendidikan. Aspek tersebut adalah potensi peserta didik.
Potensi itu menurut Munawar Khalil sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis, disebutkan
bahwa potensi sebagai hidayah yang bersifat umum dan khusus yaitu:19

• Hidayah Wujdaniyah yaitu potensi manusia, yang berujud insting atau naluri yang melekat
dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi ini.

• Hidayah Hissyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk
kemampuan indrawi sebagai penyempurna hidayah pertama.
• Hidayah Aqliah yaitu potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas. Dengan
potensi akal ini manusia mampu berpikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan
sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.

• Hidayah Diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa
keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis
dalam al-Qur'an dan Sunnah.

• Hidayah Taufiqiyah yaitu hidayah sifatnya khusus. Sekalipun agama telah di turunkan
untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam
kendali agama. Untuk itu, agama menuntut agar manusia selalu diberi petunjuk yang lurus
berupa hidayah dan taufiq agar manusia selalu berada dalam keridhaan Allah.

Quraish Shihab berpendapat bahwa untuk menyukseskan tugas-tugasnya selaku khalifah


Tuhan dimuka bumi, Allah memperlengkapi makhluk ini dengan potensi-potensi tertentu
antara lain:20

• Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda. Hal
ini tergainbar dalam firman Allah SWT: Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama
benda seluruhnya". (Q.S. Al-Baqarah: 231)

• Ditundukkan bumi, langit, dan segala isinya: binatang-binatang, planet dan sebagainya oleh
Allah kepada manusia (Q.S. Al-Khasiah: 12-13).

• Potensi akal pikiran serta panca indra (Q.S. Al Mulk: 23).

• Kekuatan positif untuk merubah corak kehidupan manusia ini (Q.S.13:11)

Disamping potensi yang bersifat di atas, manusia dilengkapi dengan potensi yang bersifat
negatif yang merupakan kelemahan manusia. Kelemahan pertama adalah potensi untuk
terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan syetan, seperti yang digambarkan dengan godaan
syetan kepada adam dan hawa, sehingga keduanya melupakan peringatan Tuhan untuk tidak
mendekati pohon terlarang (Q.S. Thaha: 15-27). Kelemahan kedua, banyak masalah yang tak
dapat dijangkau oleh pikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, serta banyak
hal yang menyangkut manusia.

Dalam Hasan Langgulung bahwa pada prinsipnya potensi manusia menurut pandangan Islam
tersimpul pada sifat-sifat Allah (asma'ul husna) yang berjumlah 99 buah. Sebagai contoh sifat
al-ilm yang dimiliki Allah, maka manusiapun memiliki sifat tersebut, dengan sifat itu
manusia senantia berupaya untuk mengetahui sesuatu. Untuk mengaktifkan potensi ini, maka
Allah menjadikan alam dan isinya termasuk diri manusia sebagai ayat Allah yang harus
dibaca dan dianalisa.21

21 Ibid., him. 103. Namun demikian, bukan berarti kemampuan manusia sama tingkatannya
dengan kemampuan Allah. Hal ini disebabkan karena perbedaan hakikat keduanya. Manusia
memiliki keterbatasan. Dari keterbatasan ini menjadikan manusia sebagai mahluk yang
memerlukan bantuan untuk memenuhi keinginannya. Keadaan ini menyadarkan manusia
akan keterbatasannya dan ke Maha kuasaan Allah. Dengan potensi yang terbatas ini,
dimanapun. manusia, kapan-pun dan dalam keadaan bagimanapun diharapkan tetap ada
jalinan rohani, zikir kepada Allah dan tidak boleh putus, mengingat manusia adalah ciptaan
Allah yang dependen pada Yang Maha Pencipta.

Karena adanya potensi yang positif dan negatif serta keterbatasan manusia, sebagai
penyempurnaan nikmat Tuhan kepada makhluk-Nya, dianugrahkanlah kepadanya oleh Tuhan
yang mengetahui hakikat manusia petunjuk-petunjuk yang disesuaikan dengan hakikat itu,
serta disesuaikan pula dengan fungsinya selaku khalifah di muka bumi, yaitu potensi untuk
senantiasa condong pada fitrah yang hanif. Sebagaimana firman Allah SWT:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah tetaplah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah,
(itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Q.S. Al-Rum: 30)

Pengertian fitrah yang ditunjukkan ayat di atas memberi pengertian bahwa manusia didptakan
Allah dengan naluri beragama tauhid yaitu Islam. Namun dalam pengembangan selanjutnya,
Hasan langulung, memberi pengertian fitrah yang lebih luas yaitu pada pengertian dasar yang
dimiliki oleh setiap manusia. Potensi tersebut merupakan embrio semua kemampuan manusia
yang memerlukan penempaan lebih lanjut dari lingkungan insani maupun non insani untuk
bisa berkembang. Untuk mengaktulisasikan potensi yang dimilikinya tersebut manusia
memerlukan bantuan orang lain yaitu pendidikan.22

Menurut Widodo Supriyono, manusia merupakan makhluk multidimensional yang berbeda


dengan makhluk-makhluk lainnya. Secara garis besar ia membagi manusia pada dua dimensi
yaitu dimensi fisik dan rohani. Secara rohani, manusia mempunyai potensi kerohanian yang
tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu
(ulil albab), dapat berpikir/merenung, mempergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa,
mengingat atau mengambil pelajaran, mendengar kebenaran firman Tuhan, dapat berilmu,
berkesenian, dapat menguasai teknologi tepat guna dan terakhir manusia lahir ke dunia telah
membawa fitrah.70

Zakiah Daradjat, membagi manusia kepada tujuh dimensi pokok yang masing-masingnya
dapat dibagi kepada dimensi-dimensi kecil. Ketujuh dimensi tersebut adalah: dimensi fisik,
akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan sosial kemasyarakatan. Semua dimensi
tersebut harus ditumbuh kembangkan melalui pendidikan Islam.24    

1. Dimensi Fisik (jasmani)

Fisik atau jasmani terdiri atas organisme fisik, organisme fisik manusia lebih sempurna
dibandingkan organisme-organisme makhluk-makhluk lainnya. Pada dimensi ini, proses pen-
ciptaan manusia memiliki kesamaan dengan hewan ataupun tumbuhan, sebab semuanya
termasuk bagian dari alam. Setiap alam biotik, memiliki unsur material yang sama, yakni
terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air. Hasil penelitian telah membuktikan bahwa jasad
manusia, tersusun dari sel-sel yang ber-

bentuk dari bagian-bagian yang disebut organel yang tersusun dari molekul-molekul senyawa
unsur-unsur kimiawi yang terdapat di bumi. Namun manusia merupakan makhluk biotik yang
unsur-unsur pembentukan materialnya bersifat profesional antara keempat unsur tersebut
sehingga manusia disebut sebagai makhluk yang sempurna dan terbaik pen-cipannya. Firman
Allah: "Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya"
(Q.S. At-Tiin: 4)

Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik (tidak bidup). Ia akan hidup jika diberi
energi kehidupan yang bersifat fisik (thaqat al-jismiyah). Energi kehidupan ini lazimnya
disebut nyawa. Karena nyawa manusia hidup, ibnu Maskawaih menyebut energi tersebut
dengan al-hayat (daya hidup). Sedangkan at-Ghazali menyebutnya dengan ruh jasmaniyah
(ruh material), daya hidup ini merupakan vitalitas ini tergantung sekali kepada konstruksi
fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah,
daging, tulang sumsum, kulit, rambut dan sebagainya.

Dengan ini manusia dapat bernafas, merasa sakit, haus lapar, panas, dingin, keinginan seks
dan sebagainya. Jadi aspek jasmani ini memiliki dua natur yaitu natur kongkrit berupa tubuh
kasar yang tampak dan natur abstrak berupa nyawa yang menjadi sumber kehidupan tubuh.
Aspek abstrak jasmani inilah yang mampu berinteraksi dengan aspek rohani manusia.

Dalam pelaksanaan pendidikan jasmani di dalam al-Qur'an dan hadits ditentukan prinsip-
prinsip tentang pendidikan jasmani di antaranya: Firman Allah SWT: "Bersihkanlah
pakaianmu, jauhkanlah kejahatan" (Q.S. al-Mudatsir: 4-5),

Firman Allah SWT: "Siapkan bagi mereka sesanggupmu suatu kekuatan" (al-Anfal: 60) Juga
firman Allah SWT: "Makan dan minumlah dan jangan kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak suka orang-orang yang berlebih-lebihan". (al-a'raf: 31) juga firman Allah SWT:
"Ibu-ibu baruslah menyusukan anak-anaknya dua tahun penuh". (al-Baqarah: 233) Sabda
Rasulullah SAW: "Cukuplah dosa manusia bahwa ia menyia-nyiakan orang yang barus
diberinya makan”. (Abu Daud, al-Nasa'i dan al-Mukmin). Juga Sabda Nabi SAW: "Jika
anjing menjilat bejana kamu bendaklah ia menyiramnya kemudian dibasuhinya tujuh kali".
Sabda Rasulullah SAW: "Jika seseorang kamu minum janganlah ia bernafas dalam bejana".
Juga sabda Rasuluflah SAW: "Jika kamu mendengar berita ta'un di suatu negeri maka
janganlah kamu memasukinya dan jika kamu berada di suatu negeri (sedang taun datang ke
situ) janganlah kamu keluar dari negeri itu”. Juga sabda Rasulullah SAW: "Kami adalah
suatu kaum yang tidak makan kecuali kalau sudah lapar dan kalau kami makan kami tidak
kenyang". Juga' sabda Rasulullah SAW: "Anak Adam tidak mengisi suatu bejana yang lebik
buruk dari pada perutnya”. Juga sabda Rasuluflah SAW: "Berobatlah, sebab yang
menciptakan penyakit juga menciptakan obat”. (H.R. Ahmad). Juga sabda Rasulullah SAW:
"Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebik disukai oleh Allah, daripada orang mukmin
yang lemah". Juga sabda Rasuluflah SAW: "Ajarkanlah kepada anak-anak kalian renang,
melempar lembing (tombak) dan menunggang kuda". Juga Sabda Rasulullah SAW:
"Kebersihan itu adalah sebagian dari iman”.

Mendidik jasmani dalam Islam, memiliki dua tujuan sekaligus yaitu: pertama, membina
tubuh sehingga mencapai pertumbuhan secara sempurna. Kedua, mengembangkan energi
potensial yang dimiliki manusia berlandaskan fisik, sesuai dengan perkembangan fisik
manusia.

2. Dimensi Akal

AI-Ishfahani, membagi akal manusia kepada dua macam yaitu:


• Aql al-Matbbu’, yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah sebagai fitrah illahi. Akal
ini menduduki posisi yang sangat tinggi, namun demikian, akal ini tidak akan bisa
berkembang dengan baik secara optimal, bila tidak dibarengi dengan kekuatan akal lainnya,
yaitu aql al-masmu’.

• Aql al-masmu', yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat
dikembangkan oleh manusia. Akal ini bersifat aktif dan berkembang sebatas kemampuan
yang dimilikinya lewat bantuan proses perinderaan, secara bebas. Untuk mengarahkan agar
akal ini tetap berada dijalan Tuhannya, maka keberadaan akan masmu' tidak dapat
dilepaskan.

Sedangkan fungsi akal manusia terbagi kepada enam yaitu:

• Akal adalah penahan nafsu. Dengan akal manusia dapat mengerti apa yang tidak
dikehendaki oleh amanat yang dibebankan kepadanya sebagai kewajiban.

• Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi sesuatu baik
yang tampak jelas maupun yang tidak jelas.

• Akal adalah petunjuk yang dapat membedakan hidayah dan kesesatan.

• Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan.

• Akal adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.

• Akal adalah daya ingat mengambil dari yang telah lampau untuk masa yang akan dihadapi,
la menghimpun semua pelajaran diri apa yang pernah terjadi untuk menghadapi apa yang
akan terjadi, la menyimpan, mewadahi, memulai dan mengulangi semua pengertian itu. Akal
dapat memahami setiap perintah kebajikan dan memahami setiap larangan mengenai
kejahatan.

Meskipun demikian kemampuan akal cukup terbatas. Pada dimensi ini, akal memerlukan
bantuan al-qalb. Sebab dengan al-qalb tersebut, manusia dapat merasakan eksistensi arti
immaterial dan kemudian menganalisanya lebih lanjut.

Dalam dunia pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia atau peserta didik
dikenal dengan istilah kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya
knowing, berarti mengetahui. Dalarn arti yang luas kognisi ialah peroleh, penataan dan
penggunaan pengetahuan. Kognitif sebagai salah satu peranan psikologis yang berpusat di
otak meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan.

Mendidik akal, tidak lain adalah mengaktualkan potensi dasamva. Potensi dasar itu sudah ada
sejak manusia lahir, tetapi masih berada dalam alternatif: berkembang menjadi akal yang
baik, atau sebaliknya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dengan pendidikan yang
baik, akal yang masih berupa potensi akhirnya menjadi akal yang siap dipergunakan. Se-
baliknya, membiarkan potensi akal tanpa pengarahan yang positif, akibatnya bisa fatal.
Karenanya pendidikan akal memiliki arti yang penting dibatasi pandangan akal itu. Dengan
demikian tenaga akal itu akan terhindar dari cengkraman hal-hal yang gaib yang tidak bisa
dijangkaunya. Islam memberi kemungkinan kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang
gaib, tapi itu merupakan kemampuan roh, sedangkan akal hanya mampu menangkap dan
menghayati hal-hal yang kon-krit yang dapat ditangkap oleh indra. Maka dalam Islam sumber
pengetahuan dan kebenaran itu bukan dari akal, karena banyak hal lain yang, tidak dapat
dijangkau oleh akal.

Adapun tujuan pendidikan akal, berdasarkan semangat Islam secara utuh, adalah akal yang
sempurna menurut ukuran ilmu dan takwa. Dengan kata lain, setelah mengalami pendidikan
dalam arti yang luas, akal seseorang diharapkan mencapai tingkat perkembangan yang
optimal, sehingga mampu berperan sebagaimana yang diharapkan, yaitu untuk berpikir dan
berzikir.

Dalam. AI-Qur'an tidak kurang dari 300 kali Allah memperingatkan manusia untuk
menggunakan akalnya dalam memperhatikan alam semesta. Di antaranya adalah seperti
firman Allah SWT:

"Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu
ditundukkan (untukmu) terdapat dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benarbenar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mempergunakan akal".
(Q.S. An-Nahl: 12)

Melalui ayat di atas, Allah mengajak manusia untak mengembangkan dan mempergunakan
akalnya semaksimal mungkin untuk mengenal dan memanfaatkan alam semesta untuk
kepentingan hidupnya. Dengan dasar ini, jelaslah bahwa materi dalam pendidikan akal adalah
seluruh alam ciptaan Allah meneliti sekalian makhluk-Nya dengan penuh kesempurnaan,
memberi indikasi bahwa tujuan akal yang sebenarnya adalah untuk meyakini, mengakui dan
mempercayai eksistensi Allah. Inilah yang merupakan ciri khas pendidikan Islam, yaitu
internalisasi (penanaman) dan transformasi (pembentukan) nilai-nilai ilahi ke dalam diri
peserta didik.

3. Dimensi Keberagamaan    ,

Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang
percaya adanya Tuhan) atau disebut juga homoreligious artinya makhluk yang beragama.
Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada
diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal, Kebutuhan
ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan.
Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk
mencintai dan dicintai Tuhan.

Dalam pandangan Islam, sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, jiwa yang
mengakui adanya zat yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak yaitu Allah SWT. Sejak di
dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah tuhannya. Pandangan
ini bersumber pada firman Allah SWT:

"Dan (ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini
Tuhanmu?. "Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi", (kami
lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Allah)". (Q.S. al-A'raf:
172)
Muhammad Hasan Hamshi, menafsirkan fitrah pada ayat di atas dengan ciptaan Allah, yaitu
bahwa manusia dicipta-kan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid.
Pandangan tersebut diperkuat oleh Syeh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang
berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Demikian juga Abu Ala al-Muadudi
menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi'i (human nature).

Islam memandang ada suatu kesamaan di antara sekian perbedaan manusia. Kesamaan itu
tidak pernah akan berubah karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar beriman
(aqidah tauhid) kepada Allah. Aqidah tauhid merupakan fitrah (sifat dasar) manusia sejak
misaq dengan Allah. Sehingga manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat
dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.

Pandangan Islam terhadap fitrah inilah yang membedakan kerangka nilai dasar pendidikan
Islam dengan yang lain. Dalam, konteks makro, pandangan Islam terhadap kemanusiaan ada
tiga implikasi dasar yaitu: Pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa
depan, di mana pendidikan diarahkan untuk mengembangkan fitrah seoptimal mungkin
dengan tidak mendikotomikan materi. Kedua, tujuan (ultimate goal) pendidikan, yaitu
muttaqin yang akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai abdullah dan
khalifah sekaligus. Ketiga, muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan spesialisasi
dengan metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia.

Manusia adalah hasil dari proses pendidikan yang mempunyai tujuan tertentu. Tujuan
pendidikan akan mudah tercapai kalau ia mempunyai kesamaan dengan sifat-sifat dasar dan
kecenderungan manusia pada obyek-obyek tertentu. Menurut Abdurrahman Shaleh Abdullah,
praktek kependidikan yang tidak dibangun di atas dasar konsep yang jelas tentang sifat dasar
manusia pasti akan gagal.

Berkaitan dengan sifat dasar inilah pendidikan Islam dirumuskan untuk membentuk insan
muttaqin yang memiliki keseimbangan dalam segala hal berdasarkan iman yang mantap
untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

4. Dimensi Akhlak

Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan Islam adalah Ahlak.
Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebih-lebihan kalau
kita katakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian

Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik
adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh
agama. Sehingga nilai-nilai, akhlak-akhlak, keutamaan akhlak dalam masyarakat Islam
adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama. Sehingga seorang muslim tidak
sempurna agamanya bila akhlaknya tidak baik. Hampir-hampir filosof-filosof pendidikan
Islam sepakat, bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Sebab bahwa
pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Sebab salah satu tujuan tertinggi pendidikan
Islam adalah pembinaan ahlak al-karimah.

Menurut Iman al-Ghazali, bahwa akhlak yang disebutnya dengan tabiat manusia dapat dilihat
dalam dua bentuk, yaitu: (1) tabiat-tabiat fitrah, kekuatan tabiat pada asal kesatuan tubuh dan
berkelanjutan selama hidup. Sebagian tabiat tersebut lebih kuat dan lebih lama dibandingkan
dengan tabiat lainnya. Seperti tabiat syahwat yang ada pada manusia sejak ia dilahirkan, lebih
kuat dan lebih sulit diluruskan dan diarahkan dibanding tabiat marah. (2) Akhlak yang
muncul dari suatu perangai yang banyak diamalkan dan ditaati, sehingga menjadi bagian dari
adat kebiasaan yang berurat berakar pada dirinya.

Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena iman
dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang mulia. Maka
akhlak dalam Islam bersumber pada iman dan taqwa dan mempunyai tujuan langsung, yang
dekat yaitu harga diri dan tujuan jauh, yaitu ridha Allah SWT.

Adapun ciri akhlak Islam antara lain: (1) bersifat menyeluruh (universal). Akhlak Islam
adalah suatu metode (minhaj) yang sempurna, meliputi seluruh gejala aktifitas biologis
perseorangan dan masyarakat. Meliputi segala hubungan manusia dalam segala segi
kehidupannya, baik hubungan dengan Tuhan, dengan manusia, mabluk lainnya dan dengan
alam. (2) Ciri-ciri keseimbangan Islam dengan ajaran-ajaran dan akhlaknya menghargai
tabiat manusia yang terdiri dari berbagai dimensi memperhatikan seluruh tuntutannya dan
kemaslahatan dunia dan akhirat. (3) Bersifat sederhana. Akhlak dalam Islam berciri
kesederhanaan dan tidak berlebihan pada salah satu aspek. Ciri ini memastikan manusia
berada pada posisi pertengahan, tidak berlebih lebihan dalam suatu urusan dan tidak pula
bakhil. (4) Realistis. Akhlak Islam sesuai dengan kemampuan manusia dan sejalan dengan
naluri yang sehat. Islam tidak membebankan manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya
dan dalam batas-batas yang masuk akal. (5) Kemudahan. Manusia tidak dibebani kecuali
dalam‘batas-batas kesanggupan dan kekuatannya, ia tidak dianggap bertanggung jawab dari
akhlak (moral) dan syara' kecuali jika berada dalam keamanan, kebebasan dan kesadaran akal
yang sempurna. (6) Mengikat kepercayaan dengan amal, perkataan dan perbuatan dan teori
dan praktek. (7) Tetap dalam dasar-dasar dan prinsip-prinsip akhlak umum. Akhlak Islam
kekal sesuai dengan zaman dan cocok untuk segala waktu, ia tidak tunduk pada perubahan
dan pertukaran sesuai dengan hawa nafsu.

Pembentukan akhlak yang mulia merupakan tujuan utama pendidikan Islam. Hal ini dapat
ditarik relevansinya dengan tujuan Rasulullah diutus oleh Allah:"Bahwasanya saya diutus
untuk menyempurnakan budi pekerti". (HR. Bukhari).

Tujuan dari pendidikan ahlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral
baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai,
bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain
pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (iai-
fadhilah). Berdasarkan tujuan ini, maka setiap saat, keadaan, pelajaran, akifitas, merupakan
sarana pendidikan akhlak. Dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan
akhlak di atas segala-galanya.

Pendidikan akhlak dalam. Islam telah dimulai sejak anak dilahirkan, bahkan sejak dalam
kandungan. Perlu disadari bahwa pendidikan akhlak itu terjadi melalui semua segi
pengalaman hidup, baik melalui penglihatan, pendengaran dan pengalaman atau perlakuan
yang diterima atau melalui pendidikan dalam arti yang luas. Pembentukan akhlak dilakukan
setahap demi setahap sesuai dengan irama pertumbuhan dan perkembangan, dengan
mengikuti proses yang alami.

5. Dimensi Rohani (Kejiwaan)


Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting, dan memiliki pengaruh
dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Pen-
ciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah meniupkan sebagian ruh ciptaan-
Nya.

Firman Allah SWT:

"Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya
ruh-Ku, maka tunduk sujudlah kamu kepadanya". (Q.S. al-Hajr: 29)

Sehubungan dengan ayat di atas al-Ghazali menjelaskan: Insan adalah makhluk yang
diciptakan dari tubuh yang dapat dilihat oleh pandangan dan jiwa yang bisa ditanggapi oleh
akal dan bashirah. Tetapi tidak dengan panca indera. Tubuhnya dikaitkan dengan tanah dan
ruhnya pada nafs atau diri/jiwanya. Allah maksudkan ruh itu ialah apa yang kita ketahui
sebagai jiwa atau an-nafs".

AI-Ghazali membagi roh kepada dua bentuk: (1) al-ruh, yaitu daya manusia untuk mengenal
dirinya sendiri, mengenal tuhannya dan mencapai ilmu pengetahuan, sehingga- dapat
menentukan manusia berkepribadian, berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus
penggerak bagi manusia dalam melaksanakan perintah Allah SWT; (2) al-nafs yang berarti
panas alami yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf manusia, la,
sebagai tanda adanya kehidupan pada diri manusia. Al-nafs dalam konteks ini diistilahkan
dengan nyawa (al-hayat), yang membedakan manusia dengan benda mati, tapi tidak
membedakannya dengan makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan, karena sama-sama
memiliki al-nafs. Akan tetapi berbeda pada tingkat esensial antara al-nafs, manusia sebagai
makhluk mulia, dengan makhluk lainnya yang sama-sama memiliki al-nafs.

Sedangkan Al-Shari'ati menyebut roh yang ditiupkan kepada manusia adalah the spirit of
God (rub Ilahi). Roh ini bersifat metafisis (gaib), dinamis, menghidupkan dan "luhur" di atas.
Dengan sifatnya yang dinamis, memungkinkan manusia untuk meraih derajat yang setinggi-
tingginya. Atau menjerumuskan diri pada derajat yang serendah-rendahnya. Manusia
memiliki kehendak bebas (the freedom of will) untuk mendekatkan diri ke kutub "Roh Ilahi"
atau, ke arah kutub "tanah".

Firman Allah SWT:

"Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (Q.S. Al-Syamsu: 7-10)

Berdasarkan ayat di atas dapat dilihat bahwa roh manusia itu bisa berkembang ke taraf yang
lebih tinggi apabila manusia berusaha ke arah itu. Menurut al-Ghazali jalan ke arah itu adalah
dengan peningkatan iman, amal dan mempererat hubungan yang terus menerus dengan Allah
SWT, melalui ibadah terus menerus, zikir, tilawah al-Qur'an dan doa atau dengan kata, lain
melalui peningkatan keberagamaan. Dengan memperbanyak ibadah maka rohani manusia
akan mencapai kebahagiaan dan ketentraman yang tiada taranya.

Setiap manusia dalam hidupnya menginginkan kebahagiaan dan pada hakikatnya setiap
usaha, yang dilakukan oleh manusia, adalah dalam rangka mewujudkan kebahagiaan tersebut.
Berbagai usaha telah dilakukan manusia untuk mencari kebahagiaan. Dengan akal, ilmu
pengetahuan, teknologi dan berbagai fasilitas telah berhasil, diciptakan manusia, untuk
menunjang kehidupannya, namun kebahagiaan tetap tidak diperoleh. Malahan berbagai
fasilitas tersebut dapat menimbulkan berbagai problema dan kesulitan. Secara fisik materiil
kebututan manusia terpenuhi, namun secara mental spiritual mengalami pendangkalan.
Padahal dimensi mental spiritual inilah yang mampu menjamin kebahagiaan manusia. Islam
dengan enam pokok keimaman (arkanul iman), dan lima pokok ajarannya (iarkamul Islam)
memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi kejiwaan dan memelihara keseimbangannya
serta menjamin ketentraman batin.

Oleh karena itu maka dalam rangka terlaksana usaha untuk mewujudkan kebahagiaan
tersebut adalah dengan pendidikan agama. Yang dimaksud dengan pendidikan agama tidak
hanya upaya untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan agama, tapi sekaligus upaya
untuk menanamkan nilai keagamaan dan membentuk sikap keagamaan sehingga menjadi
bagian dari kepribadian mereka.

6. Dimensi seni (keindahan)

Seni adalah ekspresi roh dan daya manusia yang mengandung dan mengungkapkan
keindahan. Seni adalah bagian dari hidup manusia. Allah telah menganugerahkan kepada
manusia berbagai potensi rohani maupun indrawi (mata, telinga dan lain sebagainya). Seni
sebagai salah satu potensi rohani, maka nilai seni dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai
dengan kecenderungannya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya,
tanpa adanya batasan yang ketat kecuali yang digariskan Allah.
Firman Allah SWT:

"Maha Suci Allah dari segala kekurangan dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan". (Q.S. AI-Nahl: 1)

Sebagai manifestasi dan refieksi dari kehidupan manusia, maka seni merupakan sarana bagi
manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan
melaksanakan fungsi kekhalifahannya di atas dunia ini. Jadi tujuan seni bukanlah untuk seni,
tapi memiliki tujuan jangka panjang yaitu kebahagiaan spiritual dan material manusia di
dunia dan di akhirat serta menjadi rahmat bagi segenap alam di bawah naungan keridhaan
Allah SWT.

Dimensi seni (keindahan) pada diri manusia tidak boleh diabaikan. Sebaliknya perlu
ditumbuhkan, karena keindahan itu akan menggerakkan batinnya, memenuhi relung-relung
hatinya, meringankan beban kehidupan yang kadang menjemukan, dan menjadikan
merasakan keberadaan nilai-nilai, serta lebih mampu menikmati keindahan hidup.

Keberadaan seni dalam Islam telah diperlihatkan langsung oleh Allah SWT lewat tuntunan-
Nya yaitu al-Qur'an, nilai keindahan al-Qur'an yang maha mulia menunjukkan kehadiran
Ilahi dalam objek pengetahuan manusia. Karena al-Qur'an adalah ekspresi kebijaksanaan dan
pengetahuan Allah, tuntunan dan petunjuk-Nya, kehendak dan perintah-Nya. Keindahan al-
Qur'an dapat dilihat dari segi kekuatan teksnya untuk menundukkan dan mengatasi setiap
perbandingan maupun dari segala sastranya, merupakan bukti ke-ilahian. Hal inilah yang
merupakan kemukjizatan al-Qur'an. Sebuah mukjizat yang bersifat universal. Ia ditunjukkan
kepada seluruh manusia di setiap masa dan setiap orang mampu untuk menangkap dan
mengapresiasikannya jika ia mempunyai pembawaan yang kuat untuk merasakan keindahan.
Firman Allah SWT:

"Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan". (AI-Nahl: 5)

Ayat tersebut menjelaskan hikmah dan manfaat binatang. Kemudian pada ayat berikutnya
Allah SWT berfirman:

"Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali
ke kandang dan ketika kami melepaskannya ke tempat pengembalaan”. (Q.S. AI-Nahl: 6)

Ayat ini mengingatkan sisi keindahan yang mengingatkan keindahan Rabbani yang
digambarkan langsung oleh Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.

Islam tidak hanya mengajak manusia untuk merasakan keindahan, mencintai dan
menikmatinya, tapi juga menekankan agar manusia mengungkapkan perasaan dan kecintaan
itu yang juga merupakan suatu keindahan.

Nilai keindahan sangat erat kaitannya dengan keimanan. Semakin tinggi tingkat keimanan
seseorang, ia semakin mampu untuk menyaksikan dan merasakan keindahan yang dicipta-kan
Allah di alam. Seorang mukmin juga mendntai keindahan, karena Rabbnya mencintai yang
indah. Allah itu indah dan mencintai yang indah. Seni bagi seorang mukmin adalah sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan keimanan, bukan menjadi sesuatu
yang dapat menimbulkan kelalaian dan kesombongan yang dibenci oleh Allah dan manusia.
Oleh karena, itu seorang pendidik hendaklah mampu mengarahkan peserta didiknya untuk
dapat mengembangkan dimensi seni, baik dalam bentuk bimbingan untuk merasakan dan
menghayati nilai-nilai seni yang ada pada alam ciptaan Allah (qur'any dan kauniy), maupun
memotivasi mereka agar mampu mengungkapkan nilai-nilai seni tersebut sesuai dengan bakat
dan kemampuan mereka masing-masing.

7. Dimensi Sosial

Seorang manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah mahluk sosial.
Keserasian antar individu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial
dan tujuan individu. Dalam Islam tanggung jawab tidak terbatas pada perorangan, tapi juga
social sekaligus. Tanggung jawab perorangan pada pribadi merupakan asas, tapi ia tidak
mengabaikan tanggung jawab sosial yang merupakan dasar pembentuk masyarakat.

Setiap individu adalah bagian dari kelompoknya. Kelompok terkecil dalam masyarakat
adalah keluarga. Individu merupakan bagian integral dari anggota kelompok di dalam
masyarakat atau keluarga, atau sebagai anggota keluarga dan pada waktu yang sama, sebagai
anggota masyarakat. Kelompok yang paling penting dan besar pengaruhnya adalah keluarga.
Karena Perkembangan dimensi sosial telah dimulai semenjak lahir. Dalam perkembangan
sosial, setiap individu menempatkan dirinya di antara banyak individu lainnya. Maka agen
sosialisasi bagi seorang anak adalah ibu dan bapaknya. Setiap orang tua harus menyadari
bahwa setiap interaksinya dengan anak merupakan kesempatan-kesempatan baik untuk
menanamkan benih-benih penyesuaian sosial dan pembentukan watak yang dapat
menghasilkan buah, sesuatu yang sangat berharga dalam interaksi kemanusiaan. Sebelum
anak menyadari dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, stimulan sosial yang diberikan sangat
berpengaruh terhadap pembentukan jiwa sosial selanjutnya. Bahkan kecepatan perkembangan
sosial anak tergantung pada pemeliharaan sebelum lahir, yaitu bagaimana reaksi orang-orang
di sekitarnya terutama orang tua baik yang disadari atau tidak disadari terhadap
keberadaannya, .dan kemudian dilanjutkan pendidikan setelah lahir.

Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi dan politik
dalam rangka aqidah Islam yang betul dan ajaran-ajaran dan hukum-hukum agama yang
dapat meningkatkan iman, taqwa, takut kepada Allah dan mengerjakan ajaran-ajaran
agamanya yang mendorong kepada produksi, menghargai waktu, jujur, ikhlas dalam
perbuatan, adil, kasih sayang, ihsan, mementingkan orang lain, tolong menolong, setia
kawan, menjaga kemaslahatan umum, cinta tanah air dan lain-lain lagi bentuk akhlak yang
mempunyai nilai sosial.

Didalam al-Qur'an dan hadits ditemukan prinsip-prinsip tentang pendidikan sosial. Sabda
Rasulullah SAW:

"Perumpamaan orang-orang beriman yang saling cinta, tolong menolong, dan kasih sayang di
antara mereka adalah bagaikan suatu tubuh. Bila salah satu bagian dan tubuh kita itu
merasakan kesakitan, maka seluruh tubuh akan merasakannya pula dengan menderita demam,
dan tidak dapat tidur".

Ikatan kemasyarakatan yang kuat mendorong setiap orang untuk berbuat menolong,
sesamanya, bila ditimpa musibah dan kemalangan. Perbuatan demikian merupakan
pencerminan keimanan seseorang, seperti tercermin dalam ungkapan Nabi melalui sabdanya:

"Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Maka ditanyakan oleh para sahabat:
"Siapakah ia, ya Rasulullah ? " Beliau menjawab: "Orang yang tidur kekenyangan, sedangkan
tetangganya kelaparan, padahal ia mengetahuinya".

Masyarakat yang baik menurut pengertian Islam, adalah masyarakat yang ikut merasakan
kesulitan-kesulitan orang lain. Tumbuhlah kemudian rasa cinta dan solider terhadap
sesamanya. Yang kaya harus menolong yang miskin, sedangkan orang yang kuat harus
menolong kepada yang lemah. Disebutkan oleh Rasulullah SAW, tentang dasar-dasar
solidaritas sosial:

"Barang siapa yang membebaskan seorang mukmin dari suatu kesukaran (musibah), maka
Allah akan membebaskan dirinya dari kesukaran-kesukaran hari kiamat". "Barang siapa yang
meringankan bebannya di dunia dan akhirat". "Barang siapa yang menutupi cacat (kejelekan)
orang Islam, maka Allah akan menutupi cacatnya di dunia dan di akhirat". "Sesungguhnya
Allah akan menolong hamba-Nya selama bamba-Nya itu suka menolong saudaranya".

Solidaritas sosial mengandung pengertian yang dalam, baik yang menyangkut rasa mencintai
dan merasakan kepada penderitaan orang lain, berusaha meringankan beban yang dipikul
mereka, sampai menyangkut sikap menutupi kelemahan dan cacat dalam tubuh mereka.
Sikap ini tidak mungkin timbul bila keimanan tidak tumbuh dalam diri seorang muslim.
Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: yang artinya: ''Tidak beriman salah seorang dari
kalian, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri".
Demikianlah sistem pendidikan Islam, diharapkan dapat membentuk peserta didik yang
beriman, yang memiliki pribadi utama dan seimbang dalam keseluruhan dimensi kehidupan
peserta didik. Selaras dan seimbang karena segenap dimensi dan potensi yang ada padanya
bekerja dan berfungsi sesuai dengan batas kemampuan masing-masing.

D. Keutamaan Belajar

Belajar merupakan sebuah proses penting dal'am kehidupan manusia, karena memang adanya
manfaat yang nyata dan besar dalam mengembangkan potensi yang terkandung dalam setiap
diri manusia. Sehingga tidak heran jika Islam sangat menaruh perhatian akan urgensi belajar
bagi setiap manusia, bahkan Islam telah mewajibkan untuk belajar.

Imam al-Ghazali memandang bahwa belajar merupakan sebuah kegiatan yang mulia dan
terpuji. Ia menyandarkan pendapatnya ini pada sebuah teks QS. at-Taubah: 122 yang
berbunyi:25

"Mengapa tidak pergi tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama".

Ada beberapa teks yang menyatakan:26

• Artinya: "Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah
kepadanya jalan ke surga".

• Artinya: "Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya kepada penuntut ilmu,


tanda rela dengan usahanya itu".

• Artinya: "Bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi mempelajari suatu bab dari ilmu
adalah lebih baik baginya dari dunia dan isinya".

• Artinya: "Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim laki-laki dan perempuan".

• Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar ra. Nabi bersabda: "Menghadiri majlis
orang berilmu, lebih utama daripada mendirikan shalat seribu rakaat, mengunjungi seribu
orang sakit dan bertakziah seribu jenazah". Lalu orang bertanya: "Wahai rasulullah, dari
membaca Al-Qur'an?" Maka Nabi menjawab: "Adakah berguna al-Qur'an itu selain dengan
ilmu?"

Artinya: "Barang siapa meninggal dunia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam,
maka antara dia dengan nabi-nabi dalam surga sejauh satu tingkat".

• Berkata Ibnu Mubarak ra.: "Aku heran orang yang menutut ilmu, bagaimana ia mau
membawa dirinya kepada kemuliaan".

• Abu Darda' berkata: "Lebih suka saya mempelajari satu masalah daripada beribadah satu
malam".

• Ia menambahkan: "Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada
kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh, tak ada kebajikan padanya".
• Ia berkata juga: "Barang siapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan jihad, maka
adalah dia orang yang kurang pikiran dan akal".

• Atha' berkata: "Majelis ilmu pengetahuan itu menutupkan tujuh puluh majelis yang sia-sia".

• Imam Asy-Syafi'i berkata: "Menuntut ilmu itu lebih utama daripada berbuat ibadah
sunnah".

Dari beberapa teks tersebut, dapatlah diambil pemahaman bahwa belajar mempunyai peranan
yang penting'-dalam kehidupan manusia, karena dengan belajar orang bisa pandai, ia dapat
mengetahui sesuatu yang sebelumnya ia belum mengetahui dan memahaminya. Dan selain
belajar merupakan perbuatan yang mulia, ia juga dinilai suatu ibadah di-hadapan Allah.
Selain itu masih banyak lagi keutamaan orang yang berilmu dan menuntut ilmu.

Sehingga tidak heran apabila ada teks yang menyatakan bahwa ilmu yang merupakan hal
terpenting dalam tujuan sebuah pendidikan, teks itu adalah:

"Barangsiapa menghendaki dunia, maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa menghendaki


akhirat hendaklah dengan ilmu pula, dan barangsiapa yang mengendaki keduanya, maka
haruslah dengan ilmu".

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahwani, ٨١٦٨٦^^ Fuad. Al-Tarbiyah fi al-Islam. Kairo: ‫ه‬،٩٢ al-Ma'arif, tt.


Al-Ghazali. Ihya 'Ulumuddin, Jus II. tnp., tnt., tt
Al~Ghazaii. Ihya 'Ulumuddin, Jus III. tnp., tnt., tt
Al-Zarnuzi. Burhan al-Islam, Ta'lirn al-Muta'allim fi Thariq al-Ta'allum. Surabaya: Salim
Nabhan, tt. 
Arifin, Prof., HM., M.Ed. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003.

Arifin, Muzayyin, Prof. H., M. Ed. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Busro, Muhtarom, Drs. Shorof Praktis; Metode Krapyak. Yogyakarta: Menara Kudus, 2003.
Darjat, Zakiyah, Dr. dkk. Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Daryanto, Drs. H.M. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Rieneka Cipta, 2005.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Bandung: Gema
Risalah Press, 1989.
Jalaluddin, Dr., dan Said, Usman, Drs. Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Langgulung, Hasan, Prof., Dr. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988.
Mujib, Abdul, Dr., M.Ag., dan Mudzakkir, Jusuf, Dr.,M.Si.
Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Munardji, H. Drs., M.Ag. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Ilmu, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. tnp., Yogyakarta, 1984.
Ramayulis, Prof, Dr. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1998.
Ramayulis, Prof, Dr. Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat. Jakarta: Kalam Mulia, 2004.
Soebahar, Abd. Halim, Drs. H., MA. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia, 2002.
Suryabrata, Sumadi, Drs. B.A., M.A., Ed.S., Ph.D. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Press, 2004.
Tafsir, Ahmad, Dr. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, cet. keenam. Bandung: PT.
Rosda Karya, 2005.
Uhbiyati, Nur, Hj., Dra. Ilmu Pendidikan Islam I. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Uhbiyati, Nur, Hj., Dra. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Zuhairini, Dra, dkk,. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Bumi Aksara, 2004.
Zaini. Landasan Kependidikan. Yogyakarta: Mitsaq Pustaka, 2011.

1Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), hlm. 20.

2Abd. Halim Soebahar., Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),
hlm. 4.

3Ibid.

4Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 20-21.

5Ibid.

6Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), hlm. 12-13.

7Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), him. 25-26, bandingkan dengan Munardji, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta:
Bina Ilmu 2004), hlm. 8.

8Munardji, Ilmu pendidikan Islam., hlm. 7.

9Ibid., hlm. 26-27.

10Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I (Bandung: Pustaka Setia, 1998), him. 17.

11Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), him. 12.

12Ibid., hlm. 12-13.

13Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), hlm. 31.

14Jalaluddin, dan Said Usman, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep

15dan Perkembangan Pemikirannya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 37.

16Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam

17(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 33-38.


18Zakiyah darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. keenam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006),
him. 20, dan bandingkan dengan Munardji, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu,
2004), hlm. 50.

19Ibid., hlm. 40.

20Ibid.

21Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam

22(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm, 43.

23Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,, hlm. 44

24Ibid., hlm. 46.

25Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 62.

26Ibid., bandingkan dengan Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 62.

27Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam

28Mulia, 2004), hlm. 62.

29Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), him. 65.,
dan perjelas dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 23.

30Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), hlm. 71.

31Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta:

32Bumi Aksara, 2006), hlm. 29.

33Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, cet. keenam

34(Bandung: PT. Rosda Karya, 2005), hlm. 46.

35Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 119.

36Lebih jelas lihat dalam Jalaluddin, dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38-39.

37Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, cet. Keempat, 2004), hlm. 65.

38Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 53.

39Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, cet. keenam (Bandung: PT. Rosda
Karya, 2005), hlm. 46.
40Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 53-54.

41Ramayulis, 1998, Ibid, him. 26, lihat juga dalam Ramayulis, 2004, Ibid., hlm. 72.

42Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, cet. keenam

43(Bandung: PT. Rosda Karya, 2005), hlm. 47-48.

44Ibid., hlm. 80.

45Ibid., hlm. 81.

46Ibid., hlm. 85.

47Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),
hlm. 20.

48Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006),
hlm. 30-33, bandingkan dengan Abdul Halim Soebahar, Wawasan., hlm. 20-21.

49Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), him. 75. Bandingkan dalam Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam
(Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 115.

50Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), him. 83.

51Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 85.

52Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 86.

53Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 88.

54Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 88.

55Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu, him. 90, bandingkan

56dengan Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 63.

57Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 90

58Munardji, Ilmu Pendidikan Islam., hkm. 63.

59Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu, him. 91, bandingkan dengan Munardji, Ilmu, him.
46 dan Ramayulis, Ilmu, 1998, Ibid, hlm. 45

60Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam., him.

61. 97-98, perjelas dalam Munardji, Ilmu., hlm. 69.

62Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 98


63Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), him. 48-49. Nampaknya
pandangan ahli psikologi di atas menurut Lang-gulung dipengaruhi oleh pemikiran filsafat
atau setidak-tidaknya memiliki kecenderungan-kecenderungan yang dipengaruhi berbagai

64faktor yang tidak senantiasa dapat dibuktikan secara empirik walaupun metodologi yang
digunakan tidak keluar dari metodologi ilmiah.

65Ibid, him. 104. Istilah murid atau thalib ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna
daripada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang
secara sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan
bahwa istilah murid dan thalib menghendaki adanya keaktifan pada peserta didik dalam
proses belaiar mengajar, bukan pada pendik. Namun, dalam pepatah dinyatakan: "tiada tepuk
sebelah tangan". Pepatah ini mengisyaratkan adanya active learning bagi peserta didik dan
active teaching bagi pendidik, sehingga kedua belah pihak menjadi

66"gayung bersambung" dalam proses pendidikan agar tercapai hasil secara maksimal.

67Ibid, hlm. 115.

68Ibid.

69Ibid., hlm. 116-119. Lihat dalam Burhan al-Islam al-Zamuzi, Ta'lim al-Muta’allim ft
Thariq al-Ta'allum (Surabaya: Salim Nabhan, tt), hlm. 15.

70Ibid., hlm, 107.


Unknown di 10:06 AM

Kelebihan buku

Buku 1:

Menurut saya kelebihan buku 1 itu


Pendapat di atas menegaskan bahwa agama Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam
sebagai jalan lurus dan benar bagi umat Islam.

Untuk keselamatan setiap priadi muslim harus mempedomani Islam dalam semua
kegiatannya. Mengapa demikian? Agama Islam atau AdDinul al-Islam adalah agama wahyu.
Sumber ajaran Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada
manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Allah yang mengutus
Muhammad yang membawa petunjuk yang lebih unggul dari agama-agama lain. Sebagai
idiologi (keyakinan) yang menawarkan Islam kaffah (menyeluruh), firman Allah dalam surat
Ash-Shof ayat 9:
Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar
Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik
membenci“(QS.61:9).
Sebagai agama wahyu yang terakhir, Islam merupakan suatu sistem akidah, syari’ah dan
akhlak yang mengatur segala tingkah laku manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Agama
Islam adalah sebagai pedoman hidup bagi manusia, baik hubungan manusia dengan
Tuhannya, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan dirinya sendiri
maupun hubungan manusia dengan alam dan makhluk lainnya (QS.2;2; 5:3; 3:112).
Islam merupakan agama yang benar dan sempurna di sisi Allah (QS.3:19), karena itu orang
yang mencari pedoman hidupnya selain agama Islam akan memperoleh kerugian terutama di
akhirat (QS.3:85). Seorang muslim harus mengislamkan (menyerahkan dirinya) kepada
kehendak Allah (wahyu) dengan berbuat baik (ihsan) serta penuh keikhlasan (QS.4:125).
Sistem adalah suatu kesatuan dari komponen-komponen yang masing-masing berdiri sendiri
tetapi saling terkait satu dengan yang lain, sehingga terbentuk suatu kebulatan yang utuh
dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Komponen-komponen yang berada didalam sistem
pendidikan sangat beragam. Noeng Muhadjir (1987) mensistematisasi komponen tersebut
dalam tiga kategori, yaitu:
Bertolak dari lima unsur dasar pendidikan, meliputi yang memberi, yang menerima, tujuan,
cara/jalan, dan konteks positif.
Bertolak dari empat komponen pokok pendidikan, meliputi kurikulum, subjek didik,
personifikasi, dan konteks belajar-mengajar.
Bertolak dari tiga fungsi pendidikan, meliputi pendidikan kreastifitas, pendidikan moralitas
dan pendidikan produktifitas.

Buku 2:

Pendidikan Islam pada hususnya yang bersumberkan nilai-nilai agama Islam di samping
menanamkan atu membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut, juga
mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai Islam yang
melandasinya adalah merupakan proses ikhtiariyah secara pedagogis mampu
mengembangkan hidup peserta didik ke arah kedewasaan atau kematangan yang bermanfaat
baginya. Oleh karena itu usaha ini tidak dapat hanya berdasarkan atas trial and error (coba-
coba) atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidik tanpa dilandasi dengan teori-teori
kependidikan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pedagogis.

Kelemahan buku
Buku 1:

Secara umum bahwa pendidikan sebagai suatu sistem dapat diartikan sebagai satu
keseluruhan yang terpadu dari semua satuan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan
yang lainnya untuk mengusahakan terlaksananya proses pendidikan secara optimal dan
tercapainya tujuan pendidikan. Sebagai suatu sistem, pendidikan terdiri dari beberapa unsur
atau disebut juga dengan faktor-faktor pendidikan. Adapun faktor-faktor pendidikan adalah
pendidik, anak didik, tujuan pendidikan, alat pendidikan, dan lingkungan (millieu). Semua
faktor atau unsur tersebut tidak bisa dipisahkan, karena salah satu faktor tidak akan berfungsi
dengan baik, manakala tidak didukung oleh berfungsinya faktor lain dalam mencapai tujuan
pendidikan.

Buku 2

Kelemahan buku 2 ini bahwa Ada kelemahan dari pemikiran ini, yaitu proses pendidikan didominasi
oleh pendidik dengan kurang memberi ruang dan waktu untuk mengaktualisasikan dirinya. Dalam
aliran pendidikan, pemikiran ini masuk dalam kategori empirisme. Hal ini terjadi karena pendidik
kurang memperhatikan kemampuan, potensi, dan kecenderungan yang ada pada diri peserta didik.
Seakan-akan peserta didik adalah manusia yang tidak dibekali apa-apa, tidak ada potensi apapun,
sehingga pendidik adalah segalanya bagi peserta didik. Implikasi logisnya bahwa adalah peserta didik
bagai sebuah robot yang deprogram oleh pendidik, secara determenistik yang hidup atau matinya
robot berada pada tangan pendidik. Hal ini akan mengakibatkan adanya penghambatan kreativitas
dan inovasi peserta didik yang seharusnya dapat tumbuh berkembang secara normal, karena
pendidik memang bertujuan untuk memberikan sesuatu yang relevan dengan masa depan peserta
didik nantinya. Namun demikian, segi positif yang dapat ditangkap dari pemikiran ini, yaitu adanya
pelestarian nilai-nilai, budaya, dan ilmu pengetahuan dari generasi ke generasi dengan semakin
bertambahnya kualitas dan kuantitasnya pada dinamika zaman sekarang ini. Karena akan terjadi
kemandegan bahkan kemunduran ke-budayan dan peradaban peserta didik yang disebabkan belum
ditransformasikannya berbagai bentuk kebudayaan dan peradaban yang hakiki.

B. Terlalu banyak materi yang di sampai membuat si pembaca tidak tertarik

BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
Dua buku di atas menjelaskan pendidikan agama islam namun di buka utama sedikit
yang di bahas dan kurang di pahami sedang-kan buku kedua menambahkan isi dari
buku yang pertama supaya lengkap penjelasannya.

Anda mungkin juga menyukai