Anda di halaman 1dari 7

Menurut Jalaluddin (2004:53-63) dan juga Ramayulius (2004:25- 37), hampir seluruh ahli psikologi

sependapat bahwa apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia bukan hanya terbatas pada
kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan hasil riset
dan observasi, mereka mengambil kesimpulan bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan
dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan
mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan
kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan.

Berdasarkan kesimpulan di atas, manusia ingin mengabdikan dirinya kepada Tuhan atau sesuatu yang
dianggapnya sebagai zat yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Keinginan itu terdapat pada setiap
kelompok, golongan atau masyarakat manusia dari yang paling primitif hingga yang paling modern.

Pernyataan yang timbul adalah: apakah yang menjadi sumber pokok yang mendasarkan timbulnya
keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan? Atau dengan kata lain "apakah yang menjadi sumber
kejiwaan agama itu?"

Pertanyaan tersebut menimbulkan beberapa teori untuk memberikan jawabannya, antara lain:

A. Teori Monistik (Mono Satu)

Teori Monistik berpendapat bahwa sumber kejiwaan agama yang paling dominan hanyalah satu. Akan
tetapi, sumber tunggal manakah yang paling dominan tersebut telah terjadi perbedaan pendapat.

1. Thomas van Aquino

Sesuai dengan masanya, Thomas Aquino mengemukakan bahwa sumber kejiwaan agama ialah berpikir.
Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan beragama
merupakan refleksi kehidupan berpikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap
mendapat tempat hingga sekarang ketika para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang
menjadi sumber agama.

2. Fredrick Hegel

Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Thomas van Aquino, filosof Jerman ini
berpendapat, agama merupakan suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan menjadi tempat
kebenaran abadi. Berdasarkan hal itu, agama menjadi sesuatu atau persoalan yang sangat berhubungan
dengan pikiran.

3. Fredrick Schleimacher

Berlainan dengan pendapat kedua ahli di atas, F. Schleimacher berpendapat bahwa sumber keagamaan
adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang
mutlak, manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung
hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan itulah,
timbul konsep tentang Tuhan. Manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu
dialaminya, sehingga mereka menggantungkan harapannya pada suatu kekuasaan yang dianggap
mutlak. Konsep ini menimbulkan kegiatan upacara untuk meminta perlindungan pada kekuasaan yang
diyakini dapat melindungi mereka, Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realitas
upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka
namakan Tuhan.

4. Rudolf Otto

Menurut pendapat tokoh ini, sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly
other (yang sama sekali lain). Jika seseorang dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang
dianggapnya lain dari yang lain, keadaan mental seperti itu diistilahkan numinous oleh R. Otto. Perasaan
semacam itulah yang menurut pendapatnya dianggap sebagai sumber kejiwaan agama pada manusia.
Walaupun faktor-faktor lainnya diakui pula olch R. Otto, ia berpendapat numinous merupakan sumber
yang esensial.

5. Sigmund Freud

S. Freud menyatakan bahwa unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido sextcil
(naluri seksual).

Libido ini menimbulkan ide ketuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses:

a. Oedipoes Complex, yakni mitos Yunani kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada
ibunya, Oedipoes membunuh ayahnya. Kejadian demikian berawal dari manusia primitif. Mereka
bersekongkol untuk membunuh ayah yang berasal dalam masyarakat promiscuitas. Kematian ayah
mereka menimbulkan rasa bersalah (sense of guilty) pada diri anak-anak itu.

b. Father Image (Citra Bapak):

Setelah mereka membunuh ayah dan dihantui oleh rasa bersalah itu, timbullah rasa penyesalan.
Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahan yang telah mereka
lakukan. Kemudian, timbullah keinginan untuk memuja arwah ayah yang telah mereka bunuh itu karena
khawatir akan pembalasannya. Realisasi dari pemujaan itu, menurutnya, menjadi asal upacara
keagamaan. Jadi, menurut Freud, agama muncul dari ilusi (khayalan) manusia.

Sigmund Freud bertambah yakin akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian setiap agama
terhadap dosa. Dan di lingkungannya yang beragama Nashrani, Freud menyaksikan kata "Bapak" dalam
untaian doa mereka.

6. William Mac Dougall

Sebagai salah seorang ahli psikologi instink, ia berpendapat bahwa memang instink khusus sebagai
sumber agama tak ada. la berpendapat, sumber kejiwaan agama merupakan kumpulan dari beberapa
instink. Menurut Mac Dougall, pada diri manusia terdapat 14 macam instink, dan agama timbul dari
dorongan instink secara terintegrasi. Namun demikian, teori instink agama ini banyak mendapat
bantahan dari para ahli psikologi agama. Alasannya, jika agama merupakan instink, setiap orang tanpa
harus belajar agama pasti akan terdorong secara spontan ke gereja, begitu mendengar bunyi lonceng
gereja. Akad tetapi, kenyataannya tak demikian.

B. Teori Fakulti (Faculty Theory)

Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia tak bersumber pada suatu faktor yang tunggal, tetapi
terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah fungsi cipta
(reason), rasa (emotion), dan karsa (wil).

Demikian pula, perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi
tersebut.

1. Cipta (Reason)

Cipta merupakan fungsi intelektual jiwa manusia yang tercermin dalam Ilmu kalam (teologi). Melalui
cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan
tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-
lebih dalam agama modern, peranan, dan fungsi reason ini sangat menentukan. Dalam lembaga-
lembaga keagamaan yang menggunakan ajaran berdasarkan jalan pikiran yang sehat dalam
mewujudkan ajaran-ajaran yang masuk akal, fungsi berpikir sangat diutamakan. Bahkan, ada yang
beranggapan bahwa agama yang ajarannya tak sesuai dengan akal merupakan agama yang kaku dan
mati.

2. Rasa (Emotion)

Rasa adalah suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi daiam
corak tingkah laku seseorang. Namun demikian, jika rasa (emotion) digunakan secara berlebihan, hal ini
akan menyebabkan ajaran agama menjadi dingin.

Untuk itu, fungsi reason hanya pantas berperan dalam pemikiran mengenai supranatural saja,
sedangkan untuk memberi makna dalam kehidupan beragama diperlukan penghayatan yang saksama
dan mendalam sehingga ajaran itu tampak hidup. Jadi, yang menjadi anggapan objek penyelidikan
sekarang pada dasarnya bukan anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi
oleh emosi, melainkan seberapa jauhkah peranan emosi itu dalam agama. Sebab, jika secara mutlak
emosi berperan tunggal dalam agama, maka akan mengurangi nilai agama itu sendiri sebagaimana yang
dikemukakan oleh W.H. Clark bahwa upacara keagamaan yang hanya menimbulkan keributan bukanlah
agama.

3. Karsa (Wil)

Karsa menjadi fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Ia berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan
doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan. Mungkin saja, pengalaman agama seseorang
bersifat intelek ataupun emosi, namun jika tanpa ada peranan will, agama belum tentu terwujud sesuai
dengan kehendak reason atau emosi. Masih diperlukan suatu tenaga pendorong agar ajaran keagamaan
itu menjadi suatu tindak keagamaan. Jika terjadi, misalnya, orang berbuat sesuatu yang bertentangan
dengan kehendaknya, maka berarti fungsi will-nya lemah. Jika tingkah laku keagamaan itu terwujud
dalam bentuk perwujudan yang sesuai dengan ajaran keagamaan dan selalu mengimbangi tingkah laku,
perbuatan, dan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan, fungsi will-nya kuat. Suatu kepercayaan
yang dianut tak akan berarti sama sekali apabila dalam keyakinan kepercayaan itu, will tak berfungsi
secara wajar.

Sejalan dengan fungsi reason dan emosi, fungsi will pun tak boleh berlebihan. Jika hal itu terjadi, akan
terlihat tindak keagamaan yang berlebih pula. Keadaan demikian akan menyebabkan penilaian
masyarakat terhadap agama tak akan mendapat tempat yang sewajarnya. Mungkin, golongan yang
demikian itu melaksanakan ajaran keagamaan secara efisien, tetapi pada dasarnya mereka belum dapat
menempatkan ajaran keagamaan pada proporsi yang sebenarnya.

Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa ketiga unsur tersebut berfungsi antara lain:

1. Cipta (reason) berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan
pertimbangan intelek seseorang.

2. Rasa (emotion) menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran
ajaran agama.

3. Karsa (will) menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.

Di antara pemuka teori fakulti adalah sebagai berikut.

1. G.M. Straton

G.M. Straton mengemukakan teori "konflik" bahwa keberadaan konflik dalam kejiwaan manusia
menjadi sumber kejiwaan agama. Keadaan yang berlawanan seperti: baik-buruk, moral-immoral,
kepasifan-keaktifan, rasa rendah diri dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan (konflik) dalam diri
manusia. Dikotomi (serba dua) termasuk dapat menimbulkan rasa agama dalam diri manusia. Adanya
dikotomi merupakan kenyataan dalam kehidupan jiwa manusia. Konflik, selain dapat membawa
kemunduran (kerugian), juga dalam kehidupan sehari- hari dapat membawa ke arah kemajuan, seperti
konflik dalam ukuran moral dan ide-ide keagamaan dapat menimbulkan pandangan baru.

Jika konflik itu sudah demikian mencekam manusia dan me- mengaruhi kehidupan kejiwaannya,
manusia itu mencari pertolongan kepada suatu kekuasaan yang tertinggi (Tuhan). Sigmund Freud
berpendapat bahwa dalam setiap organis terdapat dua konflik kejiwaan yang mendasar, yaitu:

1. Life-urge: ialah keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari awal sampai akhir.

2. Death-urge: ialah keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai benda mati (anorganis).

Selanjutnya, G.M. Straton berpendapat, konflik yang positif tergantung atas adanya dorongan pokok
yang merupakan dorongan dasar (basic-urge), sebagai keadaan yang menyebabkan timbulnya konflik
tersebut.
Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam penerapannya, berdasarkan keinginan dasar yang
dikemukakan oleh Sigmund Freud, W.H. Clark berpendapat bahwa ekspresi dari pertentangan antara
death-urge dan life-urge merupakan sumber kejiwaan agama dalam diri manusia.

Jadi, dalam hal ini W.H. Clark menggabunglan pendapat antara G.M. Sraton dengan teori konfliknya dan
teori Sigmund Freud yang berupa dominasi antara life-urge dan death-urge

Di dalam kenyataan kehidupan keagamaan dapat dilihat adanya dorongan life-urge secara positf hingga
para pemeluk agama mengamalkan agamanya dengan penuh keikhlasan dalam hidupnya, didorong oleh
ketakutannya akan death-urge (hari akhirat). Di dunia, mereka menjunjung budi luhur agar disenangi
manusia dan Tuhan, sehingga diharapkan akan berumur panjang (life-urge ) dan mendapat tempat yang
wajar di sisi Tuhannya ketika mereka meninggal nanti (death-urge ).

Life-urge membawa penganut agama ke arah pandangan yang positif dan liberal, sedangkan death-urge
membawa ke arah sikap pasif dan konservatif (jumud). Menurut penelitian W.H. Clark, 58% dari himne
gerejani mencerminkan keinginan dan harapan bagi kesenangan hidup di hari akhirat. Irama demikian
menyebabkan kecenderungan ajaran agama Nashrani ke arah konservatif. Ini merupakan salah satu
penyebab timbulnya reformasi dalam agama Nashrani. Misalnya, timbulnya Protestan, Pantekosta, dan
sebagainya.

2. Zakiah Daradjat

Dr. Zakiah Daradjat berpendapat bahwa pada diri manusia terdapat kebutuhan pokok selain kebutuhan
jasmani dan kebutuhan rohani, yakni kebutuhan akan keseimbangan dalam kehidupan jiwa agar tak
mengalami tekanan.

Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu:

1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang yang dalam bentuk negatifnya dapat dilihat dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya: mengeluh, mengadu, menjilat kepada atasan mengambinghitamkan orang, dan
sebagainya. Jika kebutuhan tersebut tak terpenuhi, hal itu akan menimbulkan gejala psikosomatis
misalnya: hilang nafsu makan, pesimis, keras kepala, kurang tidur, dan lain-lain.

2. Kebutuhan akan rasa aman merupakan kebutuhan yang mendorong manusia untuk memperoleh
perlindungan. Kehilangan rasa aman akan mengakibatkan manusia sering curiga, nakal, mengganggu.
membela diri, menggunakan jimat-jimat, dan lain lain, Kenyataan dalam kehidupan ialah adanya
kecenderungan manusia mencari perlindungan dari kemungkinan gangguan terhadap dirinya, misalnya
sistem perdukunan, pertapaan, dan lain-lain.

3. Kebutuhan akan rasa harga diri adalah kebutuhan yang bersifat individual yang mendorong manusia
agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. Dalam kenyataan terlihat, misalnya sikap sombong,
pemarah, sifat sok tahu, dan lain-lain. Kehilangan rasa harga diri ini akan mengakibatkan tekanan batin,
misalnya sakit jiwa, delusi, dan illusi.
4. Kebutuhan akan rasa bebas adalah kebutuhan yang menyebabkan seseorang bertindak secara bebas
untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega. Kebebasan dapat berbentuk tindakan ataupun pernyataan
verbal. Kebutuhan akan rasa bebas ini terlihat dari pernyataan kebebasan untuk menyatakan keinginan
sesuai dengan pertimbangan batinnya, misalnya melakukan sesuatu dan menyatakan sesuatu.

5. Kebutuhan akan rasa sukses merupakan kebutuhan manusia yang menyebabkan ia mendambakan
rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil karyanya. Jika kebutuhan akan
rasa sukses ini ditekan, seseorang yang mengalami hal tersebut akan kehilangan harga dirinya.

6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal) adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia selalu
meneliti dan menyelidiki sesuatu. Jika kebutuhan ini diabaikan akan mengakibatkan tekanan batin. Oleh
karena itu, kebutuhan ini harus disalurkan untuk memenuhi pemuasan pembinaan pribadinya.

Menurut Dr. Zakiah Daradjat, gabungan keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan seseorang
memerlukan agama. Melalui agama, kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan
melaksanakan ajaran agama secara baik, kebutuhan akan rasa kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri,
rasa bebas, rasa sukses, dan rasa ingin tahu akan terpenuhi.

3. W.H. Thomas

Thomas, melalui teori The Four Wishes-nya, mengemukakan bahwa sumber kejiwaan agama adalah
empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia, yaitu:

1. Keinginan untuk keselamatan (security)

Keinginan ini tampak jelas dalam kenyataan manusia untuk memperoleh perlindungan atau
penyelamatan dirinya, baik berbentuk biologis maupun nonbiologis. Misalnya mencari makan,
perlindungan diri, dan sebagainya.

2. Keinginan untuk mendapat penghargaan (recognation)

Keinginan ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia mendambakan adanya rasa ingin
dihargai dan dikenal orang lain. Ia mendambakan dirinya untuk selalu menjadi orang terhormat dan
dihormati.

3. Keinginan untuk ditanggapi (response)

Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencinta dan dicinta dalam pergaulan.

4. Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience)

Keinginan ini menyebabkan manusia mengeksplorasi dirinya untuk mengenal sekelilingnya dan
mengembangkan dirinya. Manusia, pada dasarnya, selalu cepat bosan dan jemu terhadap sesuatu dan
hal-hal yang monoton di sekelilingnya. Mereka selalu ingin mencari dan mengetahui sesuatu yang tak
tampak dan berada di luar dirinya.
Didasarkan atas keempat keinginan dasar itulah, menurut W.H. Thomas, pada umumnya manusia
menganut agama. Melalui ajaran agama yang teratur, keempat keinginan dasar itu akan tersalurkan.
Dengan menyembah dan mengabdi diri kepada Tuhan, keinginan untuk keselamatan akan terpenuhi.

Pengabdian menimbulkan perasaan mencintai can dicintai. Demikian pula, keinginan untuk mendapat
penghargaan ajaran agama mengindoktrinasikan konsep keberadaan balasan bagi setiap amal baik dan
buruk. Agama juga memberi penghargaan kepada penganutnya yang setia dan ikhlas melebihi penganut
awam lainnya (kaum ulama, pendeta ataupun pimpinan lainnya). Kharisma para pimpinan keagamaan
merupakan ganjaran batin (remuneration) dalam kehidupan seorang penganut agama yang mereka
dambakan berdasarkan keinginan untuk dihargai (recognation). Selanjutnya, penelitian dan penelaahan
ajaran-ajaran keagamaan dapat menyalurkan kebutuhan manusia akan keinginan terhadap pengalaman
dan pengetahuan yang baru (ingat para mujaddid dan reformer dalam bidang keagamaan).

Anda mungkin juga menyukai