Anda di halaman 1dari 9

A.

Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama


Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa yang menjadi
keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan,
minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan haisl riset dan
observasi, mereka mengambil kesimpulan bahwa pada diri manusia terdapat semacam
keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-
kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan
kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta
dan dicintai Tuhan.
Berdasarkan kesimpulan diatas, manusia ingin mengabdikan dirinya kepada Tuhan
atau sesuatu yang dianggapnya sebagai zat yang mempunyai kekuasaan tertinggi.
Keinginan itu terdapat pada setiap kelompok, golongan atau masyarakat manusia dari
yang paling primitif hingga yang paling modern.
Pernyataan yang timbul adalah apakah yang menjadi sumber pokok yang
mendasarkan timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan? Atau
dengan kata lain, apakah yang menjadi sumber kejiwaan agama itu?
Untuk memberikan jawaban itu telah timbul beberapa teori antara lain:
1. Teori Monostik
Teori monostik berpendapat, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama
adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya, sumber tunggal manakah yang
dimaksud paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu? Timbul beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh:
a. Thomas Van Aquino
Sesuai dengan masanya, Thomas Aquino mengemukakan bahqa yang
menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah berpikir. Manusia ber-Tuhan
karena manusia menggunakan kemampuan berpikir. Kehidupan beragama
merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusia itu sendiri. Pandangan
semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga saat ini dimana para
ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber
agama.
b. Fredick Hegel
Hampir sama dengan pendapat diatas, maka filosof jerman ini
berpendapat, agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh
benar dan tempat kebenaran abadi. Berdasarkan hal itu, agama semata-
mata merupakan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan pikiran.
c. Fredick Schleimacher
Berlainan dengan pendapat kedua ahli diatas, ia berpendapat bahwa yang
menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak
(sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang ini manusia
merasakan dirinya lemah. Kelemahaan ini menyebabkan manusia selalu
bergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya.
Berdasarkan rasa ketergantungan itulah maka timbul konsep tentang
Tuhan. Manusia tidak berdaya menghadapi tangtangan alam yang selalu
dialaminya, makanya mereka menggantung harapannya kepada suatu
kekuasaan yang dianggap mutlak. Berdasarkan konsep ini timbullah
upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini
dapat melindungi mereka. Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat
dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan pengabdian para
penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka namakan Tuhan.
d. Rudolf Otto
Menurut pendapat toko ini, sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum
yang berasal dari the wholly other (yang sama sekali lain). Jika seseorang
dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang
lain, maka keadaan mental seperti itu diistilahkan oleh R.Otto numinous.
Perasaan yang semacam itulah yang menurut pendapatnya sebagai sumber
dari kejiwaan agama pada manusia. Walaupun faktor-faktor lainnya diakui
pula oleh R. Otto namun ia berpendapat numious merupakan sumber yang
esensial.
e. Sigmund Freud
Pendapat ia, unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah
libido sexuil (naluri seksual)
Berdasarkan libido ini timbullah ide tentang ke-Tuhanan dan upacara
keagamaan setelah melalui proses:
1. Oedipoes Complex, yaitu mitos Yunani kuno yang menceritakan
bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipoes
membunuh ayahnya. Kejadian yang demikian itu berawal dari manusia
primitif. Mereka bersekongkol untuk membunuh ayah yang berasal
dalam masyarakat promiscuitas. Setelah ayah mereka mati, maka
timbullah rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak itu.
2. Father image (citra bapak): setelah mereka membunuh ayah mereka
dan dihantui oleh rasa bersalah itu, timbullah rasa penyesalan.
Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat suatu cara sebagai
penebus perasaan kesalahan mereka yang telah mereka lakukan.
Timbullah keinginan untuk memuja arwah ayah yang telah mereka
bunuh itu, karena khawatir akan pembalasan arwah tersebut. Realisasi
dari pemujaan itu menurutnya sebagai asal dari upacara keagamaan.
Jadi, menurut Freud agama muncul dari ilusi (khayalan) manusia.
Sigmund Freud bertambah yakin akan kebenaran pendapatnya itu
berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan di
lingkungannya yang beragama Nasrani, Freud menyaksikan kata
“Bapak” dalam untaian doa mereka.
f. William Mac Dougall
Sebagai salah seorang ahli psikologi instink, ia berpendapat bahwa
memang instink khusus sebagai sumber agama tidak ada. Ia berpendapat,
sumber kejiwaan agama merupakan kumpulan dari beberapa instink.
Menurut Mac Dougall, pada diri manusia terdapat 14 macam instink, maka
agama timbul dari dorongan instink secara terintegrasi. Namun demikian
teori instink agama ini banyak mendapat bantahan dari para ahli psiokologi
agama. Alasannya, jika agama merupakan instink, maka setiap orang tanpa
harus belajar agama pasti akan terdorong secara spontan ke gereja, begitu
mendengar bunyi lonceng gereja. Tetapi kenyataannya tidak demikian.

3. Teori Fakulti (Fakulti Theory)

Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu
faktor yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang
peran penting adalah fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).

Demikian pula, perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh
tiga fungsi tersebut:
1. Cipta (reason), yaitu fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu Teologi adalah cerminan
adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta, orang dapat menilai,
membandingkan, dan memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan tertentu.
Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dilihat, terlebih-
lebih dalam agama modern, peranan, dan fungsi reason ini sangat menentukan. Dalam
lembaga-lembaga keagamaan yang menggunakan ajaran berdasarkan jalan pikiran
yang sehat dalam mewujudkan ajaran-ajaran yang masuk akal, fungsi berpikir sangat
diutamakan. Malahan ada yang beranggapan bahwa agama yang ajarannya tidak
sesuai dengan akal merupakan agama yang kaku dan mati.
2. Rasa (Emotion)
Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang berperan dalam membentuk motivasi dalam
corak tingkah laku seseorang. Betapapun pentingnya fungsi reason, namun jika
digunakan secara berlebihan akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin.
Untuk itu, fungsi reason hanya pantas berperan dalam pemikiran mengenai
supranatural saja, sedangkan untuk memberi makna dalam kehidupan beragama
diperlukan penghayatan yang saksama dan mendalam sehingga ajaran itu tampak
hidup. Jadi, yang menjadi objek penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan
anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengruhi oleh emosi,
melainkan sampai beraapa jauhkah peranan emosi itu dalam agama. Sebab, jika
secara mutlak emosi yang berperan tunggal dalam agama, maka akan mengurangi
nilai agama itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan oleh W.H Clark: upacara
keagamaaan yang hanya menimbulkan keributan bukanlah agama.
3. Karsa (Will)
Merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi mendorong
timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan.
Mungkin saja pengalaman agama seseorang bersifat intelek ataupun emosi, namun
jika tanpa adanya peranan will maka agama tersebut belum tentu terwujud sesuai
dengan kehendak reason atau emosi. Masih diperlukan suatu tenaga pendorong agar
ajaran keagamaaan itu menjadi suatu tindak keagamaan. Jika hal yang demikian
terjadi, misalnya orang berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya, maka
itu berarti fungsi will-nya lemah. Jika tingkah laku keagamaan itu terwujud dalam
bentuk perwujudan yang sesuai dengan ajaran keagamaan dan selalu mengimbanngi
tingkah laku, perbuatan dan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan, maka
fungsi will-nya kuat. Suatu kepercayaan yang dianut tidak akan berarti sama sekali
apabila dalam keyakinan kepercayaan itu will tidak berfugsi secara wajar.
Sejalan dengan fungsi reason dan emosi, maka fungsi will pun tidak boleh berlebihan.
Jika hal itu terjadi, maka akan terlihat tindak keagamaan yang berlebih pula. Keadaan
yan demikian akan mendapat tempat yang sewajarnya. Mungkin golongan yang
demikian itu melaksanakan ajaran keagamaan secara efesien, tetapi pada dasarnya
mereka belum dapat menempatkan ajaran keagamaan pada proporsi yang sebenarnya.
Ketiganya berfungsi antara lain:
1. Reason berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama
berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
2. Emotion menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati
kebenaran ajaran agama.
3. Will menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.

4. Beerapa Pemuka Teori Fakulti

a. G.M. Straton
Ia mengemukakan teori “konflik”. Ia mengatakan, bahwa yang menjadi sumber
kejiwaan agama adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang
berlawanan seperti: baik-buruk, moral-immoral, kepasifan-keaktifan, rasa rendah
diri dan rasa harga diri menimbulkan konflik dalam diri manusia. Dikotomi (serba
dua) termasuk menimbulkan rasa agama dalam diri manusia. Adanya dikotomi itu
merupakan kenyataan dalam kehidupan jiwa manusia. Konflik selain dapat
membawa kemunduran (kerugian) tetapi ada juga dalam kehidupan sehari-hari
konflik yang membawa ke arah kemajuan, seperti konflik dalam ukuran moral dan
ide-ide keagamaan dapat menimbulkan pandangan baru.
Jika konflik itu sudah demikian mencekam manusia dan mempengaruhi kehidupan
kejiwaannya, maka manusia itu mencari pertolongan kepada suatu kekuasaan yang
tertinggi (Tuhan). Seperti Sigmund Freud berpendapat, bahwa dalam setiap organis
terdapat dua konflik kejiwaan yang mendasar, yaitu:
1) Life-urge, yaitu keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari
keadaan yang terdahulu agar terus berlanjut.
2) Death-urge, yaitu keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai
benda mati (anorganis).
Selanjutnya, G.M. Straton berpendapat, konflik yang positif tergantung atas
adanya dorongan pokok yang merupakan dorongan dasar (basic-urge),
sebagai keadaan yang menyebabkan timbulnya konflik tersebut.
Melanjutkan pendapat tersebut kemudian dalam penerapannya W.H. Clark
berpandapat, berdasarkan keinginan dasar yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud, bahwa ekspresi dari pertentangan antara death-urge dan life-urge
merupakan sumber kejiwaan agama dalam diri manusia.
Jadi, dalam hal ini W.H. Clark menggabungkan pendapat antara G.M.
Straton dengan teori konfliknya dan teori Sigmund Freud berupa dominasi
antara life-urge dan death-urge.
Dalam kenyataan kehidupan keagamaan kita dapat melihat adanya dorongan
life-urge secara positif hingga para pemeluk agama mengamalkan agamanya
dengan penuh keikhlasan dalam hidupnya, didorong oleh ketakutannya akan
death-urge (hari kiamat). Di dunia, mereka memperluhur budi agar
disenangi manusia dan Tuhan, sehingga diharapkan agar berumur panjang
(life-urge) serta jika meninggal nantinya akan mendapat tempat secara wajar
di sisi Tuhannya (death-urge).
Life-urge membawa penganut agama ke arah pandangan yang positif dan
liberal, sedangkan death-urge membawa ke arah sikap pasif dan
konservativisme (jumud). Menurut penelitian W.H. Clark, 58% dari himne
gerejani mencerminkan keinginan dan harapan bagi kesenangan hidup di
hari akhirat. Irama yang demikian menyebabkan kecenderungan ajaran
agama Nasrani ke arah konservatif. Ini merupakan salah satu penyebab
timbulnya reformasi dalam agama Nasrani. Misalnya, timbulnya Protestan,
Pantekosta, dan lain sebagainya.
b. Zakiah Daradjat
Berpandapat, bahwa pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau
mengemukakan, selain dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, manusia pun
memiliki suatu kebutuhan akan adanya kebutuhan akan keseimbangan dalam
kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan.
Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu:
1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang adalah kebutuhan yang menyebabkan
manusia mendambakan rasa kasih. Sebagai pernyataan tersebut dalam bentuk
negatifnya dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengeluh,
mengadu, menjilat kepada atasan mengkambinghitamkan orang, dan lain-lain.
Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan ini, maka akan timbul gejala
psikosomatis misalnya hilang nafsu makan, pesimis, keras kepala, kurang tidur,
dan lain-lain.
2. Kebutuhan akan rasa aman merupakan kebutuhan yang mendorong manusia
mengharapkan adanya perlindungan. Kehilangan rasa aman ini akan
mengakibatkan manusia sering curiga, nakal, mengganggu, membela diri,
menggunakan jimat-jimat, dan lain-lain. Kenyataan dalam kehidupan adalah
adanya kecenderungan manusia mencari perlindungan dari kemungkinan
gangguan terhadap dirinya, misalnya sistem perdukunan, pertapaan, dan lain-
lain.
3. Kebutuhan akan rasa harga diri adalah kebutuhan yang bersifat individual yang
mendorong manusia agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. Dalam
kenyataan terlihat, misalnya sikap sombong, ngambek, sifat sok tahu, dan lain-
lain. Kehilangan rasa harga diri ini akan mengakibatkan tekanan batin, misalnya
sakit jiwa, delusi, dan ilusi.
4. Kebutuhan akan rasa bebas adalah kebutuhan yang menyebabkan seseorang
bertindak secara bebas untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega.
Kebebasan dapat dalam bentuk tindakan ataupun pernyataan verbal. Kebutuhan
akan rasa bebas ini terlihat dari pernyataan kebebasan untuk menyatakan
keinginan sesuai dengan pertimbangan batinnya, misalnya melakukan sesuatu
dan menyatakan sesuatu.
5. Kebutuhan akan rasa sukses merupakan kebutuhan manusia yang menyebabkan
ia mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan
terhadap hasil karyanya. Jika kebutuhan akan rasa sukses ini ditekan, maka
seseorang yang mengalami hal tersebut akan kehilangan harga dirinya.
6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu atau mengenal adalah kebutuhan yang
menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. Jika kebutuhan
ini diabadikan akan mengakibatkan tekanan batin, oleh karena itu, kebutuhan ini
harus disalurkan untuk memenuhi pemuasan pembinaan pribadinya.
Menurut Dr. Zakiah Daradjat, gabungan dari keenam macam kebutuhan tersebut
menyebabkan orang memerlukan agama. Melalui agama kebutuhan-kebutuhan
tersebut dapat disalurkan. Dengan melaksanakan ajaran agama secara baik,
maka kebutuhan akan rasa kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas,
rasa sukses, dan rasa ingin tahu akan terpenuhi.
c. W.H. Thomas
Melalui teori The Four Wishes-nya ia mengemukakan, bahwa yang menjadi sumber
kejiwaan agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa
manusia, yaitu:
1. Keinginan untuk keselamatan (security).
Keinginan ini tampak jelas dalam kenyataan manusia untuk memperoleh
perlindungan atau penyelamatan dirinya baik berbentuk biologis maupun
nonbiologis. Misalnya mencari makan, perlindungan diri, dan lain sebagainya.
2. Keinginan untuk mendapat penghargaan (recognation). Keinginan ini
merupakan dorongan yang menyebabkan manusia mendambakan adanya rasa
ingin dihargai dan dikenal orang lain. Ia mendambakan dirinya untuk selalu
menjadi orang terhormat dan dihormati.
3. Keinginan untuk ditanggapi (response). Keinginan ini menimbulkan rasa ingin
mencinta dan dicinta dalam pergaulan.
4. Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience).
Keinginan ini menyebabkan manusia mengeksplorasi dirinya untuk mangenal
sekelilingnya dan mengembangkan dirinya. Manusia pada dasarnya selalu cepat
bosan dan jemu terhadap sesuatu dan hal-hal yang selalu ada di sekelilingnya.
Mereka selalu ingin mencari dan mengetahui sesuatu yang tak tampak dan
berada di luar dirinya.
Didasarkan atas keempat keinginan dasat itulah pada umumnya manusia
menganut agama menurut W.H. Thomas. Melalui ajaran agama yang teratur,
maka keempat keinginan dasar itu akan tersalurkan. Dengan menyembah dan
mengabdi diri kepada Tuhan, keinginan untuk keselamatan akan terpenuhi.
Pengabdian menimbulkan perasaan mencintai dan dicintai. Demikian pula
keinginan untuk mendapat penghargaan maka ajaran agama
mengindoktrinasikan konsep akan adanya balasan bagi setiap amal baik dan
buruk. Agama juga memberi penghargaan kepada penganutnya yang setia dan
ikhlas melebihi penganut awam lainnya (ingat kaum ulama, pendeta ataupun
pimpinan lainnya). Karisma para pimpinan keagamaan merupakan ganjaran
batin (remuneration) dalam kehidupan seorang penganut agama yang mereka
dambakan berdasarkan keinginan untuk dihargai (recognation). Selanjutnya,
penelitian dan penelaahan ajaran-ajaran keagamaan dapat menyalurkan
kebutuhan manusia akan keinginan terhadap pengalaman dan pengetahuan yang
baru (ingat para mujaddid dan reformer dalam bidang keagamaan).

Anda mungkin juga menyukai