Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan


makhluk eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk
mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut sebagai
makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan
bawaan yang dapat dikembangkan.

Selanjutnya manusia juga disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa


daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan
bantuan dari luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan
dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan yang diberikan
dalam membantu perkembangan tersebut pada hakikatnya diharapkan sejalan
dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai potensi
bawaannya. Karena itu bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki
akan berdampak negative bagi perkembangan manusia.

Perkembangan yang negative tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap


dan tingkah laku yang menyimpang. Bentuk dan tingkah laku menyimpang ini
terlihat dalam kaitannya dengan kegagalannya manusia untuk memenuhi
kebutuhan, baik bersifat fisik maupun psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka
dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu dilihat terlebih
dahulu  kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab pemenuhan
kebutuhan yang kurang seimbang  antara kebutuhan jasmani dan rohani akan
menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.

Para ahli psikologi perkembangan membagi-bagi perkembangan manusia


berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Secara

1 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


garis besarnya periode perkembangan itu dibagi menjadi: 1) masa prenatal; 2)
masa bayi; 3) masa kanak-kanak; 4) masa pra pubertas; 5) masa pubertas; 6) masa
dewasa; 7) masa usia lanjut, yang pada setiap tahap perkembangannya memiliki
ciri-ciri tersendiri termasuk perkembangan jiwa keagamaan.

Sehubungan dengan kebutuhan manusia dari periode perkembangan


tersebut, maka dalam kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan akan
dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian,
perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat dari tingkat usia.

2 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Usia Lanjut

Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi
secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses
menjadi tua. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang,
yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari pada periode
terdahulu. Didalam “gerontology” (ilmu yang mempelajari lanjut usia) lanjut usia
dibagi menjadi dua golongan, yaitu “young old” (65-74) dan “old-old” (diatas 75
tahun). Dari kesehatan mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
“well old” (mereka yang sehat dan tidak sakit apa-apa) dan “sick old” (mereka
yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris).
Kebutuhan akan kesehatan bagi kelompok “sick old” ini semakin besar, sehingga
didunia kedokteran berkembang spesialisasi yang dinamakan “geriatry” baik dari
aspek medis (fisik) maupun kejiwaan (psikiatris).

Erik Erikson menyatakan bahwa manusia lanjut usia (manula) berada pada
tahapan terakhir dari tahapan siklus. Menurut Ericson lanjut usia digambarkan
sebagai konflik antara integritas (yaitu rasa puas) yang tercermin selama hidup
yang tidak berarti.

Usia lanjut sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan


kepuasan dari hasil yang diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan
cucu, merasa bahagia karena telah memberi sesuatu bagi generasi berikutnya.
Bagi para lanjut usia hendaknya mampu mengatasi cidera “narcissism” (kecintaan
pada diri sendiri), terlebih-lebih manakala mereka kehilangan dukungan atau
perhatian dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu
memelihara dan mempertahankan harga dirinya maka akan timbul rasa tegang,
cemas, takut, kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya. Terjadi konflik

3 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta penilaian
terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh sebelumnya. Hal ini
berlaku bagi laki-laki dan perempuan.

B. Perkembangan Agama Pada Usia Lanjut

Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin


lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan
sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia
lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan
menghadapi berbagai persoalan.

Persoalan awal dapat digambarkan sebagai berikut:

Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan fisik→aktivitas


menurun → sering mengalami gangguan kesehatan  → mereka cenderung
kehilangan semangat.1

Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan


sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut:

a. Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang


keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual.
Menurut pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam
bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi
semacam ini dinilai sebagai satu-satunya faktor yang membentuk sikap
keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan
bahwa pendapat tersebut terlalu dilebih-lebihkan.
b. Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru
terdapat pada usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir.
Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan

1
http://bismillah-abie,blogspot.co/2010/07/perkembangan-agama-pada-orang-dewasa
dan lanjut usia.html 

4 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai
mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.
c. Dalam penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap
keagamaan di usia lanjut diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini
diantaranya dilakukan oleh M. Argyle dan Elle A. Cohen.

C. Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut

Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan diusia lanjut adalah:

a. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat


kemantapan.
b. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
c. Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat
secara lebih sungguh-sungguh.
d. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta
antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
e. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya.
f. Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya
kehidupan abadi (akhirat).2

D.    Kematangan Beragama Pada Usia Lanjut

Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya


ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap
benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam
hidupnya. Seseorang yang matang dalam beragama bukan hanya memegang teguh
paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
dengan penuh tanggung jawab, melainkan kadang-kadang dibarengi dengan

2
Jalaluddin. Psikologi Agama. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010), hlm 113-114

5 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah
ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya
senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab,
bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.

Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan.


Karena tingkat kematangan beragama juga merupakan suatu perkembangan
individu, hal itu memerlukan waktu, sebab perkembangan kepada kematangan
beragam tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang
menyebabkan adanya hambatan:

1. Faktor diri sendiri

Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan
pengalaman. Kapasitas ini merupakan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-
ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang
berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan
menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan
baik, penuh keyakinan dan argumentative, walaupun apa yang harus dilakukan itu
berbeda dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat mereka.

Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam


bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan
aktivitas keagamaan. Namun, bagi mereka yang mempunyai pengalaman sedikit
dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu
dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama
secara mantap dan stabil.

2. Faktor luar

Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi
lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah
justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada.
Faktor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima.

6 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


Kultur masyarakat yang dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh
sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai. Seringkali
tradisi tersebut tidak diketahui dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai
kapan ada dan bagaimana ceritanya.

Memang untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu dikembangkan dan


dilestarikan. Namun pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi tertentu yang
perlu  penjelasan, sehingga tidak menimbulkan anggapan kontradiktif pada
sementara orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan kenyataan yang
berlainan di pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil  telah dicekam oleh tradisi
yang kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi
terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang akan datang. Oleh
sebab itu, pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga yang menghasilkan
kebiasaan-kebiasaan tertentu  dalam kehidupan beragama seseorang, biasanya
akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah yang lebih sempurna. Namun,
jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang lembaga berikutnya tidak
terlalu banyak mengarahkan kearah yang lebih baik dan sempurna, hal itu akan
menjadi hambatan pada masa berikutnya.

Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana


dipaparkan kembali oleh William James, mengemukakan dua buah faktor yang
mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :

1. Faktor intern, terdiri dari :


a) Tempramen

Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu


memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
Seseorang yang melankolis, misalnya, akan berbeda dengan orang
yang berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya
terhadap agama. Hal demikian juga akan mempengaruhi seseorang
dalam kematangan beragama.

7 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


b) Gangguan Jiwa

Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan


dalam sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan
pengalaman keagamaan seseorang yang ditampilkan tergantung pada
gangguan jiwa yang mereka rasakan.

c) Konflik dan Keraguan

Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang


terhadap agama, seperti taat, fanatic, agnotis, maupun ateis.

d) Jauh dari Tuhan

Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya


lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi
musibah.

Adapun ciri-ciri orang yang mengalami kelainan kejiwaan dalam


beragama sebagai berikut:

 Pesimis
 Introvert
 Menyenangi paham yang ortodoks
 Mengalami proses keagamaan secara graduasi

2. Faktor Ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak


adalah:
a) Musibah

Seringkali musibah yang sangat serius dapat menguncangkan


seseorang, dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan
kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa
mendapatkan peringatan dari Tuhan.

8 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


b) Kejahatan

Orang yang hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami


guncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi
dengan perbuatan kompensif, seperti melupakan dengan berfoya-foya
dan sebagainya. Dapat pula orang tersebut melampiaskannya dengan
tindakan brutal, pemarah dan sebagainya. Sering pula perasaan yang
fitri menghantui dirinya, yang kemudian membuka kesadarannya
untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama
yang taat dan fanatik.

Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama


antara lain:

 Optimisme dan gembira.


 Ekstrovert dan tidak mendalam.
 Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.

Pengaruh kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung:

 Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.


 Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
 Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
 Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara soial.
 Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
 Bersifat liberal dalammenafsirkan pengertian ajaran agama.
 Selalu berpandangan positif.
 Berkembang secara graduasi.3

3
http://bismillah-abie,blogspot.co/2010/07/perkembangan-agama-pada-orang-dewasa dan
lanjut usia.html

9 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


E. Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam

Menurut Lita L. Atkison, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut


(usia 70-79th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih
menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka
memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi.

Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati


setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila
sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada
peralihan ke usia ini, perhatian mereka tertuju kepada upaya menemukan
ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan itu maka masalah-masalah yang
berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.

Perubahan orientasi ini diantaranya disebabkan oleh psikologis. Disatu


pihak kemampuan fisik pada usia lanjut sedang mengalami penurunan. Sebaliknya
dipihak lain memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa
lalu yang pernah diperoleh sedang tidak lagi memperoleh perhatian karena secara
fisik mereka dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan
kegelisahan-kegelisahan batin.

Apabila gejolak-gejolak tidak dapat dibendung lagi maka muncul


gangguan kejiwaan, seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari
pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri. Dalam kasus-kasus seperti ini
umumnya dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui
ajaran pengalaman agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat
bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak
terlihat diakhir-akhir ini. Perlakuan yang baik pada kedua orang tua Allah
berfirman dalam surat Al-Isra’ ayat 23 yang artinya: “Jika seorang diantara
keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemiliharaanmu, maka
jangan sekali-sekali kamu mengatakan pada keduanya perkataan ah dan jangan
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.“

10 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


F. Cara Bersikap Pada Manusia Usia Lanjut

Dalam lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan


manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan
mereka dipanti jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat
perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya karena
kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk
memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut
tersebut.

Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan  orang tua mereka


ke panti jompo merupakan cerminan dari kasih sayang anak kepada orang tua.
Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan
keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya.

Lain halnya dengan konsep  yang dianjurkan oleh islam. Perlakuan


terhadap manusia usia lanjut dianjurkan  seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan
terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan
kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang
tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah
menyebutkan  pemeliharaan secara  khusus orang tua yang sudah lanjut usia
dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih sayang.

Adapun dalil-dalil Al-Qur’an berkenaan dengan perlakuan kepada orang


tua diantaranya sebagai berikut:

a. Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada orang tua,
Allah menyatakan:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.” (Al-Isra’: 23)

11 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


b. Selanjutnya Al-Qur’an melukiskan perlakuan terhadap kedua orang tua:
“Dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua,
sebagaimana mereka berdua telah mengasihi dan mendidikku waktu
kecil.” (QS. 17:24).

Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia


usia lanjut menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang
bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus
dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan
kepada siapa pun, melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka.
Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran   serta kasih sayang dinilai sebagai
kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut


menurut islam merupakan kewajiban agama, maka perbuatan menempatkan orang
tua dipanti jompo merupakan tindakan tercela yang dilakukan oleh seorang anak.4

4
Jalaluddin. Psikologi Agama. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010), hlm 118-121

12 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari makalah yang dijabarkan sebelumnya, maka dapat diambil


kesimpulan bahwa usia lanjut adalah usia dimana seseorang akan mengalami
kemunduran fisik dan mental yang terjadi secara perlahan dan bertahap dan
dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses menjadi tua. Adapun secara
umum mengatakan bahwa usia lanjut ini dimulai pada usia 65 tahun. Dalam
perkembangan usia lanjut ini akan terjadi penurunan kemampuan fisik yang
menyebabkan aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan
hingga  mereka akan cenderung kehilangan semangat.

Adapun ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut diantaranya

 Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat


kemantapan.
 Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
 Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat
secara lebih sungguh-sungguh.
 Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta
antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
 Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya.
 Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya
kehidupan abadi (akhirat).

Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya


ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap
benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan dalam

13 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


menuju rasa keagamaan usia lanjut yakni, faktor intern (dalam diri) dan faktor
ekstern (dari lingkungan).

Di dalam Islam, perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan  seteliti


dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut,
dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan,
termasuk panti jompo. Sehingga merawat orang tua  dalam usia lanjut merupakan
kewajiban bagi anak-anak maupun sanak keluarganya, yakni dengan cara-cara
yang diajarkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

14 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia


Daftar Pustaka

 Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.
 http://bismillah-abie,blogspot.co/2010/07/perkembangan-agama-pada-
orang-dewasa dan lanjut usia.html

15 | Kondisi Jiwa Keagamaan Masa Lansia

Anda mungkin juga menyukai