Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan Agama Pada Usia Dewasa dan Lanjut

Muhammad Rofi’ul Himam_210401110205.1


Achmad Khudori Soleh.2
1
Program Studi Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
2
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
210401110205@student.uin-malang.ac.id
khudorisoleh@pps.uin-malang.ac.id

Abstract

Perkembangan agama pada usia dewasa dan lanjut merupakan fokus penelitian yang penting dalam
psikologi dan sosiologi. Pengertian akan dinamika agama dan pengalaman spiritual individu pada
tahapan-tahapan kehidupan ini memberikan wawasan mendalam tentang nilai-nilai dan keyakinan
yang berkembang seiring bertambahnya usia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara teori Robert H. Thouless tentang
kepercayaan dan pengalaman keagamaan pada usia dewasa dan lanjut. Dengan memperdalam
pemahaman terhadap karakteristik keagamaan dalam kerangka konseptual Thouless, artikel ini
berupaya memberikan wawasan yang lebih baik tentang bagaimana agama berkembang seiring
bertambahnya usia dan dampaknya terhadap kehidupan spiritual seseorang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan keagamaan pada usia dewasa dan lanjut
adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup, lingkungan sosial, dan
perubahan dalam tahapan kehidupan. Meskipun keberagamaan cenderung berkembang seiring
bertambahnya usia, tidak semua individu mencapai kedewasaan keagamaan yang matang.
Tantangan seperti menjalani praktik keagamaan tanpa pemahaman mendalam dan perubahan
orientasi beragama pada masa dewasa awal menjadi fokus utama pembahasan. Penelitian ini
memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika perkembangan keagamaan pada usia
dewasa dan lanjut serta implikasinya dalam masyarakat yang lebih luas. Namun, keterbatasan
identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perubahan keagamaan pada usia lanjut dan
kurangnya data empiris perlu diperhatikan untuk penelitian selanjutnya.

Keywords: agama, usia dewasa, usia lanjut, Robert H. Thouless, pengembangan keagamaan
1. Pendahuluan

Agama telah lama menjadi fokus penelitian dan perhatian dalam berbagai bidang studi,
termasuk psikologi dan sosiologi. Dalam konteks ini, memahami perkembangan agama pada usia
dewasa dan lanjut menjadi krusial. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam tahap-tahap
kehidupan ini memiliki implikasi yang mendalam terhadap pengalaman keagamaan seseorang.
Dengan demikian, penelitian mengenai perkembangan agama pada usia dewasa dan lanjut tidak
hanya relevan untuk memahami dinamika agama secara umum, tetapi juga penting untuk
memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang pengalaman spiritual individu.

Sejumlah artikel sebelumnya telah membahas tema yang serupa, namun penelitian ini akan
mengeksplorasi dimensi yang lebih spesifik dari perkembangan agama pada usia dewasa dan
lanjut, dengan fokus pada kerangka teori Robert H. Thouless. Artikel-artikel sebelumnya mungkin
lebih cenderung menekankan pada aspek-aspek umum dari pengalaman keagamaan pada usia
lanjut, sementara penelitian ini akan memperdalam pemahaman kita terhadap karakteristik
keagamaan pada tahap-tahap kehidupan ini melalui lensa konseptual Thouless.1

Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara teori Robert H.
Thouless mengenai kepercayaan dan pengalaman keagamaan pada usia lanjut. Melalui penelitian
ini, kami berharap dapat memberikan wawasan yang lebih baik tentang bagaimana karakteristik
keagamaan berkembang seiring bertambahnya usia dan bagaimana hal ini mempengaruhi
kehidupan spiritual seseorang. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang lebih baik bagi praktisi psikologi, peneliti agama, serta individu yang ingin
memahami lebih dalam tentang proses perkembangan spiritual pada usia dewasa dan lanjut.

2. Hasil

2.1. Pengertian Masa Dewasa

Masa dewasa awal menyoroti pentingnya tahapan ini dalam perkembangan individu. Masa
dewasa awal, menurut Hurlock, dimulai dari usia 18 tahun hingga usia 40 tahun, di mana individu
diharapkan memainkan peran-peran baru yang penting dalam kehidupan, seperti peran sebagai
suami-istri, orang tua, dan pencari nafkah. Periode ini juga dianggap sebagai waktu di mana
individu diharapkan mengembangkan sikap-sikap keinginan dan nilai-nilai baru yang sesuai
dengan tugas-tugas perkembangan yang dihadapi.2

Perkembangan sosial pada masa dewasa awal, menurut Hurlock, merupakan puncak dari
perkembangan sosial individu. Ini menunjukkan bahwa periode ini adalah masa di mana individu
berada pada puncak kegiatan sosial mereka, membangun hubungan interpersonal yang lebih
kompleks dan beragam, serta memainkan peran-peran sosial yang penting dalam masyarakat.

1
M.pd. Endang Kartikowati, S.Ag. Dr. Zubaedi, M.Ag., “Psikologi Agama & Psikologi Islam,” Jonal of Chemical
Information and Modelingur 53, no. 9 (2016): 1689–99.
2
M Sitorus, “Bab I: Psikologi Agama Sebagai Disiplin Ilmu,” Agama, A. P. P. (1996). Bab1psikologi Agama Sebagai
Disiplin Ilmu., 2011, 178, http://repository.uinsu.ac.id/418/27/ISI PSIKOLOGI AGAMA.pdf.
Sejarah kehidupan manusia yang bisa dilepaskan dari rasa beragama sebagaimana diakui
oleh Robert H. Thouless. Menurutnya bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan manusia
cenderung menjadi makhluk religius. Pertama, disebabkan oleh ketidakberdayaan manusia dalam
memenuhi segala kebutuhannya. Kebutuhan itu diantaranya meliputi kebutuhan keselamatan,
ketenangan dan sejenisnya. Kedua, dengan kekuatan rasionya, manusia mencoba untuk memahami
dan menaklukkan alam semesta namun ia tidak mampu melakukannya dengan sempurna.3

2.2. Perkembangan Kepercayaan Agama pada Usia Dewasa dan Lanjut

Secara traditional, usia remaja dianggap sebagai periode yang penuh dengan kegoncangan
jiwa dan perubahan yang selalu menyertainya. Namun, dengan berakhirnya masa remaja,
diharapkan individu telah mencapai ketentraman jiwa, ketetapan hati, dan kepercayaan yang lebih
kokoh. Meskipun demikian, dalam realitas berkehidupan sehari-hari, masih banyak orang dewasa
yang mengalami goncangan kejiwaan. Meskipun masa dewasa seringkali dianggap sebagai
periode kedewasaan dan kemantapan, terutama dalam hal psikologis, sosial, dan ekonomis, namun
hal ini tidak selalu berlaku dalam konteks kehidupan beragama. Beberapa faktor memengaruhi
dinamika perkembangan religiusitas dewasa menurut Thouless yakni empat faktor yang
mempengaruhi perkembangan religiusitas dewasa: (1) pengaruh pendidikan dan berbagai tekanan
sosial, seperti pendidikan orang tua, tradisi sosial, dan tekanan lingkungan sosial; (2) pengalaman
yang membentuk sikap keagamaan, terutama pengalaman tentang keindahan, keselarasan, dan
kebaikan di dunia ini, konflik moral, dan emosi; (3) pengalaman yang membentuk sikap
keagamaan; dan (4) berbagai pemikiran verbal atau proses berfikir intelektual.4

Menurut Thouless, masih banyak orang dewasa yang belum mencapai kedewasaan dalam
kehidupan beragama mereka. Ada kecenderungan bagi sebagian orang dewasa untuk
mempertahankan pola keagamaan yang bersifat egosentris, ritualistik, dan superfisial. Praktik-
praktik keagamaan yang dilakukan seringkali hanya sebagai kebiasaan yang dibawa sejak masa
kanak-kanak, tanpa pemahaman atau komitmen spiritual yang mendalam. Demikian pula, doa-doa
yang dilakukan masih seringkali terpusat pada kebutuhan dan keinginan pribadi.5 Meskipun
demikian, secara umum, sikap keberagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang lebih luas,
didasarkan pada nilai-nilai yang mereka pilih. Mereka cenderung melakukan pendalaman
pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Keberagamaan bagi

3
Thouless, R. H. (1992). Pengantar psikologi agama. PT RajaGrafindo Persada.
4
Tina Afiatin, “Religiusitas Remaja: Stud1 Tentang Kehidupan Beragama Di Daerah Istimewa Yogyakarta,”
Religiusitas Remaja: Stud1 Tentang Kehidupan Beragama Di Daerah Istimewa Yogyakarta 25, no. 1 (2016): 55–64.
5
Ahmad Zakki Mubarak, “Perkembangan Jiwa Agama,” Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan 12, no. 22
(2014): 91–106.
orang dewasa sudah menjadi sikap hidup yang terintegrasi dengan berbagai aspek kehidupan,
bukan sekadar mengikuti arus atau kebiasaan semata.

Menurut Allport, keberagamaan yang matang memiliki beberapa kriteria, seperti


terdeferensiasi dengan baik, dinamis, konsisten, komprehensif, integral, dan heuristik. Ini
menunjukkan bahwa individu dengan keberagamaan yang matang mampu menerima agama
mereka secara kritis, menjadikannya sebagai bagian integral dari filsafat hidup mereka, dan selalu
berusaha meningkatkan pemahaman dan penghayatan agama yang dianut.6

Di negara maju seperti Amerika Serikat presentase orang dewasa yang berusia antara 20-
35 tahun menyatakan dirinya beragama dan aktif dalam kegiatan keagamaan sebesar 40% . 7
Jumlah ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Minat beragama pada masa dewasa awal
hanya akan bertambah meningkat bila mereka merasa bahwa agama yang mereka anut bisa
menolong kehidupannya. Secara umum orang dewasa awal yang telah menikah, perempuan, kaum
terdidik, memiliki anak, memiliki Ibu yang aktif beribadah lebih selalu hadir di rumah-rumah
Ibadah, rajin melakukan ibadah, dan selalu terlibat dalam kegiatan keagamaan lainnya.

Penelitian tersebut secara detail mencatat bahwa 15% orang dewasa usia 18 dan 20% orang
dewasa usia 30 tahun datang ke gereja setiap minggu atau melakukan kebaktian secara reguler.
Namun, meskipun mereka datang ke gereja setiap minggu, tetapi 35% dari mereka tidak
mendaftarkan diri menjadi jamaah gereja, mesjid, atau sinagog tertentu.

Penelitian yang dilakukan oleh Hout dan Fischer, sosiolog dari Berkeley, menyatakan
perubahan orientasi beragama di Amerika. Pada tahun 1980-an, hanya 7% orang dewasa yang
menyatakan tidak beragama, naik menjadi 15% pada tahun 2000. Hal ini disebabkan karena
pendidikan agama bagi anak cenderung diabaikan sejak tahun 1980-an. Sehingga, ketika mereka
memasuki dewasa awal, mereka tidak jelas apakah akan meneruskan agama orang tua mereka atau
memutuskan hidup tanpa agama.8

2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Keagamaan pada Usia Lanjut

Masa dewasa madya, yang dimulai sekitar usia empat puluh hingga enam puluh tahun,
adalah masa di mana seseorang telah mencapai sebagian besar cita-cita hidupnya. Agama saat ini
cenderung meningkat. Namun, alasan-alasan yang mendasari peningkatan minat beragama pada
masa dewasa madya tidak semata-mata berasal dari ajaran agama.

6
Endang Kartikowati, S.Ag. Dr. Zubaedi, M.Ag., “Psikologi Agama & Psikologi Islam.”
7
Alshekhlee, Amer, et al. "Hospital mortality and complications of electively clipped or coiled unruptured
intracranial aneurysm." Stroke 41.7 (2010): 1471-1476.
8
Michael Hout and Claude S. Fischer, “Explaining Why More Americans Have No Religious Preference: Political
Backlash and Generational Succession, 1987-2012,” Sociological Science 1, no. October (2014): 423–47,
https://doi.org/10.15195/v1.a24.
Pertama, banyak orang memiliki lebih banyak waktu luang karena kesibukan mereka berkurang
saat mereka dewasa. Mereka biasanya pergi ke tempat ibadah atau tempat spiritual lainnya untuk
mengisi waktu mereka. Selanjutnya, beberapa orang merasa kesepian dan mencari tempat untuk
berkumpul. Sebagian orang melihat aktivitas keagamaan sebagai cara untuk mendapatkan
kesenangan dan kepuasan melalui interaksi sosial yang lebih mendalam.
Namun, kesadaran akan kematian adalah alasan utama peningkatan pengalaman agama pada masa
dewasa madya, yang berasal dari ajaran agama. Pada usia ini, kematian mulai mendekati secara
logis, dan keyakinan akan kehidupan abadi mendorong mereka untuk lebih giat mengamalkan
ajaran agama. Mereka percaya bahwa ketika mereka meninggal, mereka akan dibalas atas
perbuatan baik dan buruk mereka selama hidup.

Data penelitian dari Universitas Colorado pada tahun 2005 menunjukkan bahwa sebagian
besar orang dewasa madya aktif dalam menjalankan ajaran agama. Namun, menurut Thouless,
terdapat korelasi antara kegiatan keagamaan dan tingkat pemenuhan kebutuhan seksual. Orang
yang belum berumah tangga cenderung lebih aktif dalam kegiatan keagamaan, sementara mereka
yang sudah bercerai memiliki tingkat kegiatan keagamaan yang lebih tinggi daripada keduanya.
Hal ini menunjukkan bahwa perilaku keagamaan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis
dan sosial, termasuk pemenuhan kebutuhan seksual.9

9
Thouless, R. H. (1992). Pengantar psikologi agama. PT RajaGrafindo Persada.
3. Kesimpulan

Penelitian ini menggambarkan bahwa perkembangan keagamaan pada usia dewasa dan
lanjut merupakan proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk
pengalaman hidup, lingkungan sosial, dan perubahan dalam tahapan kehidupan. Melalui lensa
teori Robert H. Thouless, kita dapat memahami bahwa keberagamaan seseorang berkembang
seiring dengan bertambahnya usia, namun tidak semua individu mencapai kedewasaan keagamaan
yang matang. Terdapat tantangan-tantangan yang harus dihadapi, seperti kecenderungan untuk
menjalani praktik keagamaan secara rutin tanpa pemahaman yang mendalam, serta adanya
perubahan orientasi beragama pada masa dewasa awal yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial
dan psikologis.

Meskipun penelitian ini telah mencoba untuk memberikan gambaran yang komprehensif
tentang perkembangan keagamaan pada usia dewasa dan lanjut, namun masih terdapat
keterbatasan-keterbatasan yang perlu diperhatikan. Salah satu keterbatasan adalah dalam
mengidentifikasi faktor-faktor yang secara spesifik memengaruhi perubahan keagamaan pada usia
lanjut, serta kurangnya data empiris yang mendukung klaim-klaim dalam tulisan ini. Saran untuk
penelitian selanjutnya adalah untuk melakukan studi longitudinal yang lebih mendalam untuk
melacak perubahan keagamaan pada individu dari berbagai kelompok usia, serta menggali faktor-
faktor psikologis, sosial, dan lingkungan yang memengaruhi perkembangan keagamaan pada
tahapan-tahapan kehidupan tertentu. Selain itu, penelitian dapat juga melibatkan sampel yang lebih
representatif dari berbagai latar belakang budaya dan agama untuk memperluas generalisasi hasil
penelitian. Dengan demikian, penelitian selanjutnya diharapkan dapat memberikan wawasan yang
lebih mendalam tentang dinamika perkembangan keagamaan pada usia dewasa dan lanjut serta
implikasinya dalam konteks masyarakat yang lebih luas.
Daftar Pustaka

Afiatin, Tina. “Religiusitas Remaja: Stud1 Tentang Kehidupan Beragama Di Daerah Istimewa
Yogyakarta.” Religiusitas Remaja: Stud1 Tentang Kehidupan Beragama Di Daerah
Istimewa Yogyakarta 25, no. 1 (2016): 55–64.

Endang Kartikowati, S.Ag. Dr. Zubaedi, M.Ag., M.pd. “Psikologi Agama & Psikologi Islam.”
Jonal of Chemical Information and Modelingur 53, no. 9 (2016): 1689–99.

Thouless, R. H. (1992). Pengantar psikologi agama. PT RajaGrafindo Persada.

Hout, Michael, and Claude S. Fischer. “Explaining Why More Americans Have No Religious
Preference: Political Backlash and Generational Succession, 1987-2012.” Sociological
Science 1, no. October (2014): 423–47. https://doi.org/10.15195/v1.a24.

Mubarak, Ahmad Zakki. “Perkembangan Jiwa Agama.” Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI
Kalimantan 12, no. 22 (2014): 91–106.

Sitorus, M. “Bab I: Psikologi Agama Sebagai Disiplin Ilmu.” Agama, A. P. P. (1996).


Bab1psikologi Agama Sebagai Disiplin Ilmu., 2011, 178.
http://repository.uinsu.ac.id/418/27/ISI PSIKOLOGI AGAMA.pdf.

Alshekhlee, Amer, et al. "Hospital mortality and complications of electively clipped or coiled
unruptured intracranial aneurysm." Stroke 41.7 (2010): 1471-1476.

Choli, Ifham. "Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Usia Lanjut." Al-Risalah: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam 9.2 (2018): 97-109.

Surawan, Surawan, and Mazrur Mazrur. "Psikologi Perkembangan Agama: Sebuah Tahapan
Perkembangan Agama Manusia." (2020).

Zakiyah, Z., and Darodjat Darodjat. "Efektifitas pembinaan religiusitas lansia terhadap perilaku
keagamaan (Studi pada lansia Aisyiyah Daerah Banyumas)." Islamadina: Jurnal Pemikiran
Islam (2020): 69-80.

Anda mungkin juga menyukai