PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif,
karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis.
Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan sejumlah
kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan.
Selanjutnya manusia juga disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk
tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan
dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan
pengarahan yang diberikan dalam membantu perkembangan tersebut pada hakikatnya diharapkan
sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai potensi bawaannya.
Karena itu bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negative bagi
perkembangan manusia.
Perkembangan yang negative tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku
yang menyimpang. Bentuk dan tingkah laku menyimpang ini terihat dalam kaitannya dengan
kegagalannya manusia untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik maupun psikis. Sehubungan
dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu dilihat terlebih
dahulu kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab pemenuhan kebutuhan yang
kurang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan
dalam perkembangan.
Dalam makalah ini penulis akan membahas perkembangan psikologi agama pada masa
lansia (usia lanjut), dalam makalah ini kami selaku pemakalah menyadari masih banyak terdapat
kekurangan, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca sebagai masukan
dalam penulisan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
C. Tujuan Penelitian
D. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian literer, yakni penelitian yang menjadikan literatur (buku-buku)
sebagai bahan rujukannya. Adapun metode yang dipakai adalah :
1. Metode Induktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya khusus menuju hal-hal yang
bersifat umum.
2. Metode deduktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya umum menuju ke hal-hal yang
khusus.
3. Metode Korelasi
Metode ini menggunaka cara-cara berpikir dengan mencari korelasi (hubungan) antara sesuatu hal
dengan hal yang lain.
BAB II
Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Masa Usia Lanjut
A. Pengertian Usia Lanjut
Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan
bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses menjadi tua. Usia tua adalah periode
penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh
dari pada periode terdahulu.[1]
Didalam “gerontology” (ilmu yang mempelajari lanjut usia) lanjut usia dibagi menjadi dua
golongan, yaitu “young old”(65-74) dan “old-old” (diatas 75 tahun). Dari kesehatan mereka dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok “well old” (mereka yang sehat dan tidak sakit apa-apa) dan
“sick old” (mereka yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris).
Kebutuhan akan kesehatan bagi kelompok “sick old” ini semakin besar, sehingga didunia kedokteran
berkembang spesialisasi yang dinamakan “geriatry” baik dari aspek medis (fisik) maupun kejiwaan
(psikiatris).[2]
Erik Erikson menyatakan bahwa manusia lanjut usia (manula) berada pada tahapan terakhir
dari tahapan siklus. Menurut Ericson lanjut usia digambarkan sebagai konflik antara integritas (yaitu
rasa puas) yang tercermin selama hidup yang tidak berarti.
Lanjut usia sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan kepuasan dari hasil
yang diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan cucu, merasa bahagia karena telah
memberi sesuatu bagi generasi berikutnya. Bagi para lanjut usia hendaknya mampu mengatasi
cidera “narcissism”(kecintaan pada diri sendiri), terlebih-lebih manakala mereka kehilangan
dukungan atau perhatian dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu
memelihara dan mempertahankan harga dirinya maka akan timbul rasa tegang, cemas, takut,
kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya.
Terjadi konflik pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta
penilaian terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh sebelumnya.Hal ini berlaku
bagi laki-laki dan perempuan.
3
B. Perkembangan Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi
lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian
regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun.
Pada usia lanjut ini biasanya akan menghadapi berbagai persoalan.
Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan fisik à aktivitas menurun à sering mengalami
gangguan kesehatan à mereka cenderung kehilangan semangat.[3]
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata
meningkat. Dari sebuah penelitian dengan sample 1.200 orang berusia antara 60-100 tahun
menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin
meningkat. Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai
100% setelah usia 90 tahun.
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan sikap keagamaan pada
manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut:
2. Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia lanjut,
ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas
yang ada dalam kehidupan manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai
mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.
3. Dalam penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap keagamaan di usia lanjut
diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini diantaranya dilakukan oleh M. Argyle dan Elle A.
Cohen.[4]
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-
sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta
sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6. Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan
dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).[5]
Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat
kematangan beragama juga merupakan suatu perkembangan individu, hal itu memerlukan waktu,
sebab perkembangan kepada kematangan beragam tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya
terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan:[7]
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas
ini merupakan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara
seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima
dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut
dengan baik, penuh keyakinan dan argumentative, walaupun apa yang harus dilakukan itu berbeda
dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat mereka.
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak
memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya
perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau
pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang
sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai. Seringkali tradisi tersebut tidak diketahui dari
mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya.
Memang untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu dikembangkan dan dilestarikan. Namun pada
bagian lain, terdapat tradisi-tradisi tertentu yang perlu penjelasan, sehingga tidak menimbulkan
anggapan kontradiktif pada sementara orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan kenyataan
yang berlainan di pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil telah dicekam oleh tradisi yang kurang
dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi terhadap perkembangan rasa
keagamaannya pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu, pendidikan yang diterima seseorang
dari keluarga yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam kehidupan beragama
seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah yang lebih sempurna.
Namun, jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang lembaga berikutnya tidak terlalu
banyak mengarahkan kearah yang lebih baik dan sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada
masa berikutnya.
a. Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam
sikap beragama seseorang. Seseorang yang melankolis, misalnya, akan berbeda dengan orang yang
berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya terhadap agama. Hal demikian juga akan
mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
b. Gangguan Jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah
lakunya.Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan seseorang yang ditampilkan
tergantung pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan
hidup, terutama saat menghadapi musibah.
Adapun ciri-ciri orang yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai berikut:
a. Pesimis
b. Introvert
a. Musibah
b. Kejahatan
Orang yang hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami guncangan batin dan rasa
berdosa.Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan kompensif, seperti meluapakan dengan
berfoya-foya dan sebagainya.Dapat pula orang tersebut melampiaskannya dengan tindakan
brutal.pemarah dan sebagainya. Sering pula perasaan yang fitri menghantui dirinya,yang kemudian
membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama yang
taat dan fanatik.
Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain:
Menurut Lita L Atkison, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79th)
menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi
perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah
perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada
kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia ini, perhatian mereka tertuju kepada
upaya menemukan ketenangan bathin. Sejalan dengan perubahan itu maka masalah-masalah yang
berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantaranya disebabakan oleh psikologis. Disatu pihak kemampuan
fisik pada usia lanjut sedang mengalami penurunan. Sebaliknya dipiahak lain memiliki khasanah
pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa lalu yang pernah diperoleh sedang tidak lagi
memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini
menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan bathin.
Apabila gejolak-gejolak tidak dapat dibendung lagi maka muncul gangguan kejiwaan, seperti
stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri. Dalam
kasus-kasus seperti ini umumnya dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab
melalui ajaran pengalaman agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung.
Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak terlihat diakhir-akhir ini. Sebagai
dalam memberi perlakuan yang baik pada kedua orang tua Allah menyatakan dalam surat (QS 17-23)
yang artinya: jika seorang diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam
pemiliharaanmu, maka jangan sekali-sekali kamu mengatakan pada keduanya perkataan ah dan
jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. [8]
Dalam lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para
manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka dipanti jompo. Di panti ini para
manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga,
umumnya karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk
memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan orang tua mereka ke panti jompo
merupakan cerminan dari kasih saying anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua
yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai
menelantarkannya.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh islam. Perlakuan terhadap manusia usia
lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut,
dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo.
Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah
menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan
memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih sayang.
Adapun dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits berkenaan dengan perlakuan kepada orang tua
diantaranya sebagai berikut:
1. Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada orang tua, Allah menyatakan:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah”
dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mengasihi dan mendidikku
waktu kecil” (QS. 17:24).
3. Selain itu, kita juga dapat melihat bagaimana seharusnya perilaku anak kepada orang tua, dalam
pernyataan Aisyah r.a. yakni dalam dialog rasulullah Saw. Kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya:
“Siapakah yang bersamamu? Orang itu menjawab: “ayahku”. Beliau berkata: “jangan berjalan di
depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan
berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”. (Thoha Abdullah Al-Afifi: 1987:51)
4. Perlakuan kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai kewajiban agama. Menurut Ibnu
Abbas, Rasulullah pernah mengatakan:
“Barang siapa membuat ridha kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun mendapat
dua pintu syurga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah-satu diantaranya maka akan terbuka
satu pintu syurga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat marah kedua orang tuanya, maka
ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika membuat marah salah-satu diantaranya, maka
terbuka untuknya satu pintu neraka”. (Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987:53).[9]
Bahkan ketika mendengar seorang tua mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati
mengadukan bahwa ayahnya mengambil harta miliknya, maka rasul pun bersabda: “engkau dan
hartamu adalah milik ayahmu”. (Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987, 54-55).
Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia usia lanjut
menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan
pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang
demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun, melainkan menjadi tanggung jawab anak-
anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang dinilai sebagai
kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut islam
merupakan kewajiban agama, maka perbuatan menempatkan orang tua dipanti jompo merupakan
tindakan tercela yang dilakukan oleh seorang anak.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari makalah yang dijabarkan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa usia lanjut
adalah usia dimana seseorang akan mengalami kemunduran fisik dan mental yang terjadi secara
perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses menjadi tua. Adapun
secara umum mengatakan bahwa usia lanjut ini dimulai pada usia 65 tahun. Dalam perkembangan
usia lanjut ini akan terjadi penurunan kemampuan fisik yang menyebabkan aktivitas menurun,
sering mengalami gangguan kesehatan hingga mereka akan cenderung kehilangan semangat.
Adapun ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut diantaranya, Kehidupan keagamaan pada usia lanjut
sudah mencapai tingkat kemantapan, Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat
keagamaan, Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh, Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar
sesama manusia, serta sifat-sifat luhur, Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan
dengan pertambahan usia lanjutnya, Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada
peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi
(akhirat).
Di dalam Islam Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan
mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka,
bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Sehingga merawat orang tua dalam
usia lanjut merupakan kewajiban bagi anak-anak maupun sanak keluarganya, yakni dengan cara-cara
yang diajarkan di dalam alQur’an dan Sunnah Rasul.
12
Daftar Pustaka
Heni, Narendrany Hidayati. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press
Hafi Anshari. 1991. Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Usaha Nasional, Surabaya,
Images.polres.multiplycontent.com/…/makalah%20b%yusuf%20y%20k
http://bismillah-abie,blogspot.co/2010/07/perkembangan-agama-pada-orang-dewasa.html diunduh 10-05-
2011, 19.00 WIB
[5] Ibid, hlm. 90
[6] Hafi Anshari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Usaha Nasional, Surabaya, 1991, hlm 94.
[8] http://bismillah-abie,blogspot.co/2010/07/perkembangan-agama-pada-orang-dewasa.html diun
duh 10-05-2011, 19.00 WIB
[9] Jalaluddin, PsikologI Agama, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010)hlm. 117-121