Anda di halaman 1dari 2

Sains Dibalik Penderitaan Manusia

Oleh: Aswar (Founder PCI)

Seringkali kita mempelajari kebijaksanaan dengan cara yang sulit, yaitu dengan melakukan
hal yang sebaliknya dulu, yaitu terus menerus mengulangi kesalahan sampai diri kita berhasil
menemukan maknanya dan yang setelah kita mampu menemukan makna, kita baru menyadari
bahwa diri kita telah kehilangan segalanya. Kehilangan: aset, orang-orang yang sudah mencintai diri
kita, anak-anak, istri, suami, kekasih, tabungan dan deposito, bisnis, kesempatan untuk
mendapatkan gelar akademis, kehilangan kesempatan untuk menikah dengan orang yang layak
menjadi pasangan hidup dan seterusnya. Dari titik seperti inilah, titik terendah, saya mulai
mempelajari sains tentang perilaku manusia. Seandainya saya bisa memilih, saya akan memilih
untuk memutar waktu agar kembali ke masa lalu dan mulai mempelajari sains tentang perilaku
manusia sejak hari pertama saya masuk SMP. Apa boleh buat! Itupun tidak mungkin bisa kita
lakukan. Yang masih bisa kita lakukan adalah segera bangkit, belajar merangkul energi keberanian
(courage) untuk menyembuhkan diri dan mulai menata hidup baru.

Saya menemukan buku-buku David R. Hawkins dalam keadaan sudah kehilangan segalanya.
Sudah tidak memiliki pekerjaan. Sudah tidak memiliki tabungan. Tempat tinggal pun masih numpang
sama teman. Saya sudah melakukan apapun yang saya ketahui untuk mengubah kehidupan saya.
Namun selalu mentok. Semakin madesu. Saya merasa semakin dalam terjebak dalam kekacauan.

Fakta yang sudah saya kumpulkan sudah cukup kuat untuk membuktikan bahwa saya sudah
melakukan kejahatan pada diriku sendiri, keluarga. Mengapa saya sejahat itu? Ketika kita tidak
memahami azas sebuah kekacauan, maka upaya untuk menyelesaikannya (kemungkinan besar)
malah memperparahnya. Kata orang bijak, “barangsiapa tak tahu/tak setia pada azas dia terbuka
terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati”.

Saya meraih buku-buku Hawkins untuk menolong diriku sendiri. Tidak seperti buku-buku
pengembangan diri lainnya, isu yang dibahas Hawkins sangat khas: menghubungkan perilaku dengan
eksistensi. Dari perspektif eksistensi, perilaku tidak pandang sebagaimana dalam perspektif
moralitas (baik-buruk) atau perspektif positif dan negatif. Melampaui semua itu, Hawkins
menempatkan perilaku sebagai akibat dari terkotorinya atau terjaganya kesucian (eksistensi) diri.

Lebih unik lagi, gagasan Hawkins mengenai hubungan perilaku dan eksistensi berangkat dari
hasil penyelidikannya selama 20 tahun melakukan kalibrasi dengan metode kinesiologi pada medan
kesadaran manusia (human consciousness). Penyelidikan kerjanya selama 20 tahun lebih
menghasilkan sebuah peta geografis kesadaran manusia: the map of consciousnes. Peta dibuat
lengkap dengan skala kalibrasi satu sampai seribu (1-1.000) yang menggambarkan derajat kekuatan
dari semua level kesadaran manusia. Untuk mempermudah pemahaman, skala kalibrasi 1-1.000,
dibuat dua kategori: force dan power. Di bawah 200, disebut force (medan energi lemah). 200-1.000
disebut power (medan energi kuat).
Print Out Level Kesadaran

Level kesadaran adalah penentu perilaku manusia. Kegagalan, penderitaan, dan kesakitan
dihasilkan oleh pengaruh dari pola medan energi lemah (force); sementara sukses, kebahagiaan, dan
kesehatan dihasilkan oleh pola medan energi kuat (power). Jadi penderitaan dan kebahagiaan
adalah print out dari level kesadaran diri kita sendiri.

Level kesadaran Posisi sosial sebagai...


<200 Pengangguran, buruh tanpa keahlian (serabutan),
pedagang asongan
200-250 Pekerja pabrik
300 Teknisi, perajin, manager harian
350 Pendidik, manager umum
400 Dosen, profesional, ilmuwan, leader, seniman, politikus
500 Negarawan, leader inspirational.
540-600 Guru Spiritual
700-1.000 Mahaguru/Guru Agung
Sumber: Power vs Force (karya David R. Hawkins)

Anda mungkin juga menyukai