Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELANGGAR DELIK ADAT


DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana

Dosen Pengampu:
Dr. Ifrani, S.H., M.H.

Oleh:
Pristiandi Kurnia Winada NIM. 2220215310022
Aulia Wardata NIM. 2220215310084
Indra Wahyu Ramadhani NIM. 2220215310095

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Realitas menunjukkan bahwa secara sosiologis, masyarakat Indonesia

adalah masyarakat majemuk. Kemajemukan tersebut nampak dari adanya

berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara. Berbagai

suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara tersebut masing-

masing memiliki sistem budaya maupun hukum adat yang berbeda satu sama

lain. Bahkan satu sama lain terkadang menunjukkan suatu perbedaan yang

hakiki. Seperti juga di Bali, masyarakat yang hidup dalam suatu himpunan

organisasi kemasyarakatan memiliki sistem budaya yang berkaitan erat dengan

nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah, hukum adat yang ada yang

hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-

nilai keagamaan. Ida Bagus Putu Purwita mengemukakan bahwa adat dengan

agama Hindu di Bali merupakan perpaduan yang pekat. Karena adat istiadat

menopang agama Hindu terutama dalam tata susila dan pelaksanaan panca

yadnya di masyarakat. Agama Hindu memancari tata krama kehidupan

masyarakat, dengan perkataan lain bahwa adat dan agama Hindu di Bali

adalah dua hal yang berbeda namun menyatu dalam tata krama kehidupan

1
masyarakat.

1
Ida Bagus Putu Purwita, Desa Adat dan Banjar Adat di Bali, Kawi Sastra, Denpasar,
1984. h. 3.

1
Keterkaitan yang erat antara hukum adat dan agama, adalah tata cara

penjatuhan sanksi adat. Untuk delik-delik adat tertentu, pelaksanaannya

banyak berupa kewajiban untuk melaksanakan ritual adat keagamaan. Semua

ini tentunya dilandasi dan berhungan pula dengan nilai dasar filosofi reaksi

adat, yakni untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat karena perasaan

kotor (leteh). Dengan demikian, dalam masyarakat adat di Bali, disamping

dikenal sanksi yang bersifat materiil juga sanksi yang bersifat immateriil.

Sehingga dalam menjatuhkan pidana, sanksi materiil dan immateriil (sanksi

adat) harus diterapkan agar terjadi kesimbangan dan dapat memenuhi

keinginan masyarakat. Heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam

masyarakat Indonesia baik yang bersifat hukum adat maupun yang bersifat

religius yang mempunyai pengaruh terhadap hukum pidana.

Dalam hubungan dengan masih eksisnya delik adat dan upaya adat,

hakim dalam melakukan tugas-tugasnya tidaklah mungkin harus selalu

bertumpu pada ketentuan peraturan perunang-undangan, tetapi harus pula

memperhatikan setiap kejadian atau peristiwa kongkrit serta nilai-nilai hukum

yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maka kreativitas hakim

sangatlah diperlukan. Walaupun secara normatif, pasal 5 ayat (3) sub b UU

No.1 Drst/1951 memungkinkan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat, namun

dalam praktek hal tersebut sangat jarang dilakukan. Untuk jelasnya berikut

dikutip pasal 5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt/1951 sebagai berikut :

Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil

pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja

2
dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap

berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :

1. Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus

dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam

Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman

yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus

rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang

dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yuang terhukum dan penggantian

yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan

terhukum.

2. Bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran

hakim melampaui padanya dengan hukuman kurangan atau denda

yang dimaksudkan di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat

dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan

pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak

selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.

3. Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus

dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab

Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama

dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan

2
pidana tersebut.

2
Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-Undangan Republik
Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984, h. 39.

3
Memahami makna tersebut, dapat dikemukakan bahwa delik adat

yang tidak ada bandingnya dalam KUHP dan tergolong tindak pidana ringan,

maka ancaman pidananya adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau

pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang

sifatnya berat, ancaman pidananya adalah sepuluh tahun, sebagai pengganti

hukuman adat yang tidak dijalani oleh terhukum.

Di samping itu, dalam pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 juga

disebabkan bahwa : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup”. Dengan

demikian, sebenarnya ada kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti

serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila

persoalan ini dikembalikan pada sanksi adat, maka ketentuan tersebut di atas

merupakan landasan yang mewajibkan serta memberikan kewenangan kepada

hakim untuk menjatuhkan sanksi adat. Hanya saja persoalannya, penjatuhan

sanksi adat ( di luar ketentuan pasal 10 KUHP) hanya bisa dijatuhkan terhadap

perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai bandingnya dalam KUHP.

Sedangkan dalam kenyataannya, ada berberapa perbuatan yang dilarang dan

diancam pidana menurut ketentuan KUHP, tetapi menurut pandangan

masyarakat juga merupakan delik adat yang terhadap pelanggarnya dituntut

untuk melakukan upaya adat. Di Bali misalnya, yang termasuk perbuatan ini

adalah pencurian benda-benda untuk keperluan upacara keagamaan, delik adat

gamia-gamana dan sebagainya.

4
Penyelesaian delik adat lewat peradilan pidana yang hanya

menjatuhkan pemidanaan berdasarkan pasal 10 KUHP, selama ini belumlah

menyelesaikan permasalahan secara tuntas, sehingga pemidanaan delik adat

selama ini belum memenuhi tuntutan perasaan keadilan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelanggar delik adat?

2. Bila seseorang melakukan tindak pidana dan telah mendapat sanksi

pidana berdasarkan hukum adat di daerahnya, dapatkah dikenakan pula

sanksi pidana berdasarkan hukum positif di Indonesia?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggar Delik Adat

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau

pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi

mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pidana dijatuhkan bukan

karena orang yang membuat kejahatan melainkan “ne p eccetur” (Supaya

orang jangan melakukan kejahatan).

Dalam hubungannya dengan delik adat, Emile Durkheim pernah

menulis bahwa : “Reaksi sosial yang berupa penghuku man atau sanksi itu

sangat perlu dilakukkan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan

perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga


3
kestabilan masyarakat dapat terwujud”.

Dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, yang


penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan
antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan
orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakat. “segala perbuatan
yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan
petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna

4
memulihkan kembali perimbangan hukum”.

3
I Made Widnyana, “Eksistensi Delik Adat Dalam Pemba ngunan”, Orasi
Pengukuhan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1992, h. 5. (Selanjutnya
disingkat dengan I Mada Widnyana I)
4
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1979, h. 112.

6
Apabila terjadi pelanggaran (delik adat), akan menimbulkan

kegoncangan dalam masyarakat. Sehingga diperlukan sanksi adat untuk

mengembalikan keseimbangan yang hilang akibat timbulnya kegoncangan

tersebut. “Sanksi adat atau disebut juga dengan rea ksi adat ataupun koreksi

adat adalah merupakan bentuk tindakan ataupun usaha–usaha untuk

mengembalikan ketidakseimbangan termasuk puila ketidakseimbangan yang

5
bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat”

Menurut Wirjono Prodjodikoro, “Sanksi dalam hukum p idana akan

dikenakan apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi

untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru

diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata pembungkus (terakhir) atau


6
ultimatum remedium”

Tujuan adanya sanksi dalam Hukum Pidana menurut pendapat, Wiryono

Prodjodikoro adalah :

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik

secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun

secara manakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan

kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi

(speciale preventie) : atau

5
I Made Widnyana, Kapita Salekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco,
Bandung, 1993, h. 8. (Selanjutnya disingkat dengan I Made Widnyana II).
6
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.
Erosco, Bandung, 1989, h. 15 – 16.

7
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah

menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik


7
tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Demikian halnya dalam hukum adat, sanksi dalam hukum adat

bertujuan untuk menjaga tetap utuhnya keseimbangan dalam masyarakat

hukum adat, baik materiil maupun spirituil. Hal ini mencerminkan dari sistem

pelanggaran yang dianut hukum pidana adat adalah terbuka tidak tertutup

hukum pidana barat yang terikat pada suatu ketentuan sebagaimana tercantum

dalam pasal 1 KUHP. Oleh karena apa yang dilarang atau dibolehkan menurut

hukum adat, itu akan selalu diukur dengan mata rantai lapangan hidup

seluruhnya. Segala sesuatu yang terjadi dapat berapa pelanggaran apabila

kejadian itu tidak sesuai atau mengganggu kehidupan warga masyarakat adat.

7
Ibid, h. 18

8
1. Delik Adat

Mengenai pengertian delik adat, ada beberapa pendapat sarjana

seperti: Bushar Muhammadd memberikan pengertian tentang delik adat

sebagai berikut :

Suatu perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan, mengancam

atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan

persekutuan, bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau

terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian

mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat memulihkan

keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan

cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan selamatan,


8
memotong hewan besar/kecil dan lain-lain.

Ter Harr menulis bahwa yang dianggap suatu delik adalah:

Setiap gangguan seri satu (eenzjidig) terhadap keseimbangan dan setiap

penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupannya materiil dan

immateriil orang seorang, atau daripada orang-orang banyak yang merupakan

satu kesatuan (segerombolan); tindakan demikian itu menimbulkan suatu

reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat, ialah

8
Busharr Muhammad, Pokok –Pokok Hukum Adat , Pradnya Paramita,
Jakarta, 1983, h. 68.

9
reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus

dipulihkan kembali (kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran berupa


9
barang-barang atau uang)

Dalam masyarakat hukum adat di Bali, ada berbagai perbuatan yang

dianggap sebagai delik adat. Perbuatan-perbuatan tersebut apabila

diklasifikasikan dapat dibedakan :

- Delik terhadap harta benda.

- Delik terhadap kepentingan orang banyak

- Delik terhadap kehormatan seseorang

- Delik terhadap kesusilaan.


10

Delik terhadap harta benda, (harta benda yang dimaksudkan di sini

adalah benda-benda yang berwujud dan diberikan makna tertentu, sehingga

menurut kepercayaan masyarakat, benda tersebut mempunyai nilai materiil

maupun immateriil) antara lain pencurian benda-benda yang dipergunakan

sebagai sarana atau prasarana upacara keagamanan dan umumnya

dikeramatkan di tempat-tempat suci (‘pura’). Perbuatan ini oleh masyarakat

adat di Bali, dianggap sebagai perbuatan yang berakibat tercemarnya (leteh),

baik terhadap tempat kejadian maupun benda tersebut.

2. Sanksi Adat

Pada dasarnya pelanggan adat itu merupakan suatu tindakan yang

melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat

sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan serta ketentraman

masyarakat. Akibat dari pelanggaran tersebut, diperlukan upaya

pemulihan/upaya adat atau juga disebut reaksi adat dalam bentuk pembebanan

kewajiban-kewajiban/pengenaan sanksi tertentu bagi orang yang melakukan


10
perbuatan tersebut. Sanksi dalam hukum adat tidaklah selalu dalam bentuk

sanksi materiil, tetapi juga dapat berbentuk sanksi immateriil.

Reaksi adat atau koreksi adat terhadap delik-delik adat, misalnya :

1. Penggantian kerugian inmateriil dalam berbagai rupa, seperti paksaan

untuk menikahi gadis yang telah dicemarkan.

2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda

yang sakti sebagai pengganti kerugian rokhani;

3. Selamatan (kurban) untuk membersihkan masyarakat dari segala

kotoran gaib.

4. Penutup malu, permintaan maaf.

5. Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;

6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata


12
hukum.

Bentuk-bentuk sanksi adat tersebut dalam perkembangannya tentu

telah mengalami perubahan mengikuti perasaan keadilan masyarakat itu

12
I Made Widnyana II, Op.cit, 9.

11
sendiri. Di samping itu pula sanksi-sanksi tersebut harus sudah ditinggalkan

karena tidak sesuai lagi dengan nilai-ilai yang telah diakui secara universal. Di

Bali, dikenal istilah-istilah untuk menyebutkan sanksi adat/reaksi adat, antara lain

1. Mengadakan upacara pembersihan (pemarisudan, prayascita, dan lain-

lain)

2. Denda (dedosan)

3. Minta maaf (mengaksama atau mapilaku, lumaku, mengolas-olas)

4. Untuk golongan Pendeta ada jenis sanksi yang disebut “ metirta

gemana atau metirta yatra”.

5. Dibuang (meselong), adalah jenis sanksi adat yang sering didapat pada

jaman kerajaan Bali dahulu seperti halnya dibuang keluar kerajaan

bahkan ada kalanya ke luar Bali.

6. Ditenggelamkan ke laut (meraung, mapalang ke pasih)

7. Meblagbag

8. Diusir (katundung)

9. Kerampang

10. Tidak diajak ngomong (sekepekang)

11. dan lain-lain.


13

13
I Made Widnyana, Op.cit, h. 45.

12
Ketentuan pasal 1 ayat 1 KUHP memuat azas yang fundamental dalam

negara hukum, yaitu azas legalitas yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan

dapat dipidana / dihukum sebelum perbuatan itu diatur terlebih dahulu dalam

undang-undang. Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan jenis-jenis tindak

pidana adat yang dikenal di Bali, maka sebagian besar tidak ada diatur dalam

KUHP. Ini berarti, tertutup kemungkinan bagi pengadilan untuk memeriksa dan

memutus perkara yang berhubungan dengan tindakan pidana adat tersebut. Namun

apabila dilihat ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang yang

lain, ternyata ada ketentuan-ketentuan yang nampaknya dapat digunakan sebagai

dasar bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara yang berhubungan

dengan tindak pidana adat. Jadi hakim dalam mencari dasar putusan terhadap

suatu tindak pidana adat dapat berpedoman pada ketentuan-ketentuan atau

undang-undang yang lain sepanjang belum diatur dalam KUHP. Seperti misalnya:

1. Untuk delik adat lokika sanggraha hakim mendasrkan putusannya pada

kitab Adigma pasal 359 jo. Pasal a5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt Tahun

1951.

2. Untuk delik adat Gamia-gamana dasar putusan hakim adalah ketentuan

dalam Kitab Peswara tahun 1910 No. 6 a.

3. Untuk delik adat pencurian benda-benda suci / keagamaan, hakim tetap

mendasarkan putusannya sesuai ketentuan dalam KUHP, yaitu pasal 362

dan pasal 363 ayat (1)

Dalam lingkungan desa adat di Bali telah melembaga dengan kokohnya

suatu keyakinan bahwa terjadinya pelanggaran norma adat yang belum

terselesaikan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku, akan dapat

menimbulkan gangguan yang menyebabkan menderinya krama adat. Hal

demikian akan memerlukan suatu langkah-langkah pemulihan, dengan

13
membedakan kewajiban bagi pelanggarnya dalam bentuk penyelenggaraan ritual-

ritual adat tertentu yang bertujuan untuk memulihkan ketidakseimbangan

masyarakat dari perasaan kotor (leteh). Seperti dikatakan oleh I Ketut Rai

Setiabudhi bahwa beberapa pemuka desa adat dan agama Hindu di Bali pada

prinsipnya mengganggap bahwa, dengan hukuman (pidana) penjara saja si pelaku

delik adat pencurian benda suci belum bisa dikatakan mengembalikan

keseimbangan masyarakat adat yang terganggu, karena perasaan masyarakat

(secara alam gaib) masih dirasakan ternoda. Bali merupakan daerah yang religius

yaitu banyak benda-benda suci yang terdapat di Bali, namun demikian adanya

gangguan-gangguan yang menyalahi Agama mempunyai pengaruh pula dalam

kehormonisan dan kesucian hidup di kalangan masyarakat.

hukum yang berdasarkan KUHP juga mendapatkan sanksi adat dari

masyarakat dapat memenuhi rasa keadilan dari masyarakat, delik pencurian

benda-benda suci pada tempat-tempat persembahyangan tidak akan dapat

diselesaikan oleh KUHP secara sempurna. Sebab masyarakat menghendaki di

samping penyelesaiannya berupa pidana yang bersifat materiil juga pidana yang

bersifat immateriil yang melibatkan aspek keagamaan (agama Hindu). Aspek ini

dipandang sangat relevan di dalam delik adat, karena delik adat akibatnya

dirasakan menimbulkan kegoncangan di dalam gaib (alm niskala). Penjatuhan

hukuman dalam hukum adat Bali adalah bertujuan untuk mengembalikan

keseimbangan alam kosmos yaitu alam lahir (kala) dan alam gaib (niskala) yang

telah terganggu.

14
Dari uraian tersebut jelas menunjukkan bahwa penyelesain kasus-kasus

delik adat melalui proses peradilan formal, belum menyelesaikan

permasalahannya secara tuntas. Dinisi secara jelas dapat dilihat sebagai sarana

yang tidak dapat mengembalikan keseimbangan (terutama keseimbangan magis)

sebagai akibat adanya pelanggaran norma adat.

B Telah Mendapat Sanksi Pidana Berdasarkan Hukum Adat dan Bagaimana

Sanksi Pidana Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia

Hukum pidana adat diakui sebagai sumber hukum dalam memutus perkara

pidana oleh hakim. Di samping itu, lembaga adat yang menjatuhkan pidana adat itu

diakui dalam sistem peradilan Indonesia sehingga bila sebuah kasus selesai di

lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila ternyata tak selesai juga,

baru kemudian berjalan ke peradilan nasional.

Dalam hukum pidana, dikenal suatu asas bernama Asas Legalitas yang diatur

dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang

berbunyi: 

Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan

perundang-undangan pidana yang telah ada.

Dalam artikel Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan Hukum, dan

Kaidah Yurisprudensi dijelaskan bahwa asas legalitas berlaku dalam ranah hukum

pidana dan terkenal dengan adagium legendaris von Feuerbach yang berbunyi

nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium

tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman

tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, von Feuerbach

membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:

15
1.    Tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,

2.    Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan

3.    Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-

undang.

Jadi, menurut hukum positif di Indonesia seseorang baru bisa dipidana jika

telah ada aturan tentang perbuatan tersebut. Prinsip ini merupakan asas legalitas.

Asas legalitas dalam hukum adat juga diakui. Pengakuan akan hukum adat ini

terdapat dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

diatur dalam undang-undang.

Selain itu, dalam memutus perkara seorang hakim wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.1Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga

memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan bersangkutan atau sumber

hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Dalam artikel Putusan-Putusan yang Menghargai Pidana Adat, Guru Besar

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Nyoman Serikat Putra Jaya,

mengatakan sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya pidana tertulis, tetapi

juga pidana tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek

van Strafrecht voor Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat

memang tidak diberlakukan. Tetapi secara materill tetap berlaku dan diterapkan

dalam praktik peradilan.

16
Masih bersumber dari artikel yang sama, setelah kemerdekaan, pidana adat

mendapat tempat lewat Undang-Undang Darurat Nomor 1 Drt 1951 tentang

Tindakan - Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan

Kekuasaan dan Acara Pengadilan - Pengadilan Sipil (“UU Drt 1/1951”). Pasal 5 ayat

(3) huruf b UU Drt 1/1951 menjelaskan tentang pidana adat yang tidak ada

bandingannya dalam KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam KUHP, dan

sanksi adat. Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim

dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang hidup

dianggap sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP.

Artikel tersebut juga menginformasikan bahwa salah satu putusan yang

menghargai pidana adat menurut Prof. Nyoman Serikat adalah Putusan Mahkamah

Agung (MA) No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan ini,

majelis hakim menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah dijatuhi sanksi adat

atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa adat, dimana hukum adat masih

dihormati dan hidup subur, maka tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat

diterima.

Putusan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung “mengakui eksistensi

hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam masyarakat

Indonesia”. Selain itu, hukum pidana adat termasuk hukum yang hidup. Ia bisa

menjadi sumber hukum.

Dalam artikel Hakim Adat Minta Pengakuan dari Negara, Wakil Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Utara Lilik Mulyadi (yang menjabat saat itu) menjelaskan

sebenarnya lembaga adat diakui dalam sistem peradilan Indonesia. Pengakuannya

dapat dilihat dari hakim-hakim yang telah menggali nilai-nilai adat ketika membuat

putusan. Lebih lanjut, Lilik mengatakan model penyelesaiannya itu adalah bila

sebuah kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila

17
ternyata tak selesai juga, baru kemudian berjalan ke peradilan nasional. Dan

sebenarnya pengadilan sudah mengakui itu.

Lilik merujuk pada yurisprudensi Putusan MA No. 1644 K/Pid/1988 terhadap

sebuah kasus di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kasus ini berawal dari perbuatan

asusila seseorang di Desa Parauna Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari yang

ditangani oleh Kepala Adat Tolake.

Masih dari sumber yang sama, Kepala Adat Tolake menjatuhkan vonis kepada

pelaku berupa sanksi adat “Prohala”, pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu

piece kain kaci. Pelaku mematuhi sanksi itu. Sayangnya, meski sudah selesai di

lembaga adat, kasus ini tetap ditangani oleh kepolisian dan berujung ke Pengadilan

Negeri. Di Pengadilan Negeri Kendari, majelis hakim menegaskan terdakwa secara

sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana adat ‘memperkosa’. Majelis juga

menolak pembelaan terdakwa bahwa PN seharusnya tak mengadili kasus ini lagi

karena sudah selesai di lembaga adat. Argumen nebis in idem juga ditolak oleh

pengadilan. 

Di Pengadilan Tinggi, majelis hakim menguatkan putusan PN. Majelis

menyatakan terdakwa duhukum karena bersalah melakukan perbuatan ‘pidana adat

siri’. Uniknya, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (“MA”) justru membalik semua

putusan PN dan PT tersebut. MA berpendapat bahwa terdakwa telah menjalani

sanksi adat berupa membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Karenanya,

PN dan PT seharusnya tak berwenang lagi menjatuhi hukuman kepada terdakwa.

Lebih lanjut Lilik mengutip Putusan MA tersebut yang menyatakan bahwa

hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum sehingga

menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Drt 1/1951, terdakwa tidak dapat

dijatuhi hukuman pidana lagi oleh pengadilan. 

18
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian di depan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu antara

lain :

1. Segala bentuk perbuatan yang menimbulkan kegoncangan terhadap

kesucian dan keharmonisan tersebut seperti delik adat adalah merupakan

bentuk perbuatan yang tidak dipatutkan oleh adat dan kepada pelanggar-

pelanggarnya dikenakan suatu reaksi adat yang berupa sanksi-sanksi adat

disamping diterapkannya ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis.

Penerapan reaksi ada tersebut pada prinsipnya dikenakan kepada yang

bersalah tetapi ada kalanya dilakukan secara bersama-sama oleh

masyarakat sendiri dalam rangka mengembalikan kesucian yang

dicemarkan.

2. Hukum pidana adat diakui sebagai sumber hukum dalam memutus perkara

pidana oleh hakim. Di samping itu, lembaga adat yang menjatuhkan

pidana adat diakui dalam sistem peradilan Indonesia sehingga bila sebuah

kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila

ternyata tak selesai juga, baru kemudian berjalan ke peradilan nasional.

19
DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2002.

A.Hamsah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di


Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983.

Andi Hamsah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita,


Jakarta, 1993.

A. Sanusi Has, Dasar-Dasar Penologi, Rasanta, Jakarta, 1994.

A.Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung,


1998.

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

C.I. Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, 1995.

Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang,
2002.

Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan


Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1995.

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987.

-------, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 1994.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentar
Lengkap Pasal Demi Pasal, Pelita, Bogor, 1980.

Soedjono Dirdjosisworo, Sejarah dan Azas-Azas Penologi (Pemasyarakatan),


Armico, Bandung, 1984.

SP. Siagian, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1970.

Tirta Amidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Pasco, Jakarta, 1955,

Anda mungkin juga menyukai