Dosen Pengampu:
Dr. Ifrani, S.H., M.H.
Oleh:
Pristiandi Kurnia Winada NIM. 2220215310022
Aulia Wardata NIM. 2220215310084
Indra Wahyu Ramadhani NIM. 2220215310095
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
masing memiliki sistem budaya maupun hukum adat yang berbeda satu sama
lain. Bahkan satu sama lain terkadang menunjukkan suatu perbedaan yang
hakiki. Seperti juga di Bali, masyarakat yang hidup dalam suatu himpunan
nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah, hukum adat yang ada yang
hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-
nilai keagamaan. Ida Bagus Putu Purwita mengemukakan bahwa adat dengan
agama Hindu di Bali merupakan perpaduan yang pekat. Karena adat istiadat
menopang agama Hindu terutama dalam tata susila dan pelaksanaan panca
masyarakat, dengan perkataan lain bahwa adat dan agama Hindu di Bali
adalah dua hal yang berbeda namun menyatu dalam tata krama kehidupan
1
masyarakat.
1
Ida Bagus Putu Purwita, Desa Adat dan Banjar Adat di Bali, Kawi Sastra, Denpasar,
1984. h. 3.
1
Keterkaitan yang erat antara hukum adat dan agama, adalah tata cara
ini tentunya dilandasi dan berhungan pula dengan nilai dasar filosofi reaksi
dikenal sanksi yang bersifat materiil juga sanksi yang bersifat immateriil.
masyarakat Indonesia baik yang bersifat hukum adat maupun yang bersifat
Dalam hubungan dengan masih eksisnya delik adat dan upaya adat,
dalam praktek hal tersebut sangat jarang dilakukan. Untuk jelasnya berikut
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja
2
dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap
yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus
terhukum.
2
pidana tersebut.
2
Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-Undangan Republik
Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984, h. 39.
3
Memahami makna tersebut, dapat dikemukakan bahwa delik adat
yang tidak ada bandingnya dalam KUHP dan tergolong tindak pidana ringan,
maka ancaman pidananya adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau
pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang
persoalan ini dikembalikan pada sanksi adat, maka ketentuan tersebut di atas
sanksi adat ( di luar ketentuan pasal 10 KUHP) hanya bisa dijatuhkan terhadap
untuk melakukan upaya adat. Di Bali misalnya, yang termasuk perbuatan ini
4
Penyelesaian delik adat lewat peradilan pidana yang hanya
B. Rumusan Masalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
menulis bahwa : “Reaksi sosial yang berupa penghuku man atau sanksi itu
4
memulihkan kembali perimbangan hukum”.
3
I Made Widnyana, “Eksistensi Delik Adat Dalam Pemba ngunan”, Orasi
Pengukuhan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1992, h. 5. (Selanjutnya
disingkat dengan I Mada Widnyana I)
4
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1979, h. 112.
6
Apabila terjadi pelanggaran (delik adat), akan menimbulkan
tersebut. “Sanksi adat atau disebut juga dengan rea ksi adat ataupun koreksi
5
bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat”
Prodjodikoro adalah :
5
I Made Widnyana, Kapita Salekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco,
Bandung, 1993, h. 8. (Selanjutnya disingkat dengan I Made Widnyana II).
6
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.
Erosco, Bandung, 1989, h. 15 – 16.
7
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah
hukum adat, baik materiil maupun spirituil. Hal ini mencerminkan dari sistem
pelanggaran yang dianut hukum pidana adat adalah terbuka tidak tertutup
hukum pidana barat yang terikat pada suatu ketentuan sebagaimana tercantum
dalam pasal 1 KUHP. Oleh karena apa yang dilarang atau dibolehkan menurut
hukum adat, itu akan selalu diukur dengan mata rantai lapangan hidup
kejadian itu tidak sesuai atau mengganggu kehidupan warga masyarakat adat.
7
Ibid, h. 18
8
1. Delik Adat
sebagai berikut :
keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan
reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat, ialah
8
Busharr Muhammad, Pokok –Pokok Hukum Adat , Pradnya Paramita,
Jakarta, 1983, h. 68.
9
reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus
2. Sanksi Adat
pemulihan/upaya adat atau juga disebut reaksi adat dalam bentuk pembebanan
2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda
kotoran gaib.
12
I Made Widnyana II, Op.cit, 9.
11
sendiri. Di samping itu pula sanksi-sanksi tersebut harus sudah ditinggalkan
karena tidak sesuai lagi dengan nilai-ilai yang telah diakui secara universal. Di
Bali, dikenal istilah-istilah untuk menyebutkan sanksi adat/reaksi adat, antara lain
lain)
2. Denda (dedosan)
5. Dibuang (meselong), adalah jenis sanksi adat yang sering didapat pada
7. Meblagbag
8. Diusir (katundung)
9. Kerampang
13
I Made Widnyana, Op.cit, h. 45.
12
Ketentuan pasal 1 ayat 1 KUHP memuat azas yang fundamental dalam
negara hukum, yaitu azas legalitas yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan
dapat dipidana / dihukum sebelum perbuatan itu diatur terlebih dahulu dalam
pidana adat yang dikenal di Bali, maka sebagian besar tidak ada diatur dalam
KUHP. Ini berarti, tertutup kemungkinan bagi pengadilan untuk memeriksa dan
memutus perkara yang berhubungan dengan tindakan pidana adat tersebut. Namun
dasar bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara yang berhubungan
dengan tindak pidana adat. Jadi hakim dalam mencari dasar putusan terhadap
undang-undang yang lain sepanjang belum diatur dalam KUHP. Seperti misalnya:
kitab Adigma pasal 359 jo. Pasal a5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt Tahun
1951.
13
membedakan kewajiban bagi pelanggarnya dalam bentuk penyelenggaraan ritual-
masyarakat dari perasaan kotor (leteh). Seperti dikatakan oleh I Ketut Rai
Setiabudhi bahwa beberapa pemuka desa adat dan agama Hindu di Bali pada
(secara alam gaib) masih dirasakan ternoda. Bali merupakan daerah yang religius
yaitu banyak benda-benda suci yang terdapat di Bali, namun demikian adanya
samping penyelesaiannya berupa pidana yang bersifat materiil juga pidana yang
bersifat immateriil yang melibatkan aspek keagamaan (agama Hindu). Aspek ini
dipandang sangat relevan di dalam delik adat, karena delik adat akibatnya
keseimbangan alam kosmos yaitu alam lahir (kala) dan alam gaib (niskala) yang
telah terganggu.
14
Dari uraian tersebut jelas menunjukkan bahwa penyelesain kasus-kasus
permasalahannya secara tuntas. Dinisi secara jelas dapat dilihat sebagai sarana
Hukum pidana adat diakui sebagai sumber hukum dalam memutus perkara
pidana oleh hakim. Di samping itu, lembaga adat yang menjatuhkan pidana adat itu
diakui dalam sistem peradilan Indonesia sehingga bila sebuah kasus selesai di
lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila ternyata tak selesai juga,
Dalam hukum pidana, dikenal suatu asas bernama Asas Legalitas yang diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang
berbunyi:
Kaidah Yurisprudensi dijelaskan bahwa asas legalitas berlaku dalam ranah hukum
pidana dan terkenal dengan adagium legendaris von Feuerbach yang berbunyi
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium
tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman
15
1. Tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,
3. Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-
undang.
Jadi, menurut hukum positif di Indonesia seseorang baru bisa dipidana jika
telah ada aturan tentang perbuatan tersebut. Prinsip ini merupakan asas legalitas.
Asas legalitas dalam hukum adat juga diakui. Pengakuan akan hukum adat ini
terdapat dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
Selain itu, dalam memutus perkara seorang hakim wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.1Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
mengatakan sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya pidana tertulis, tetapi
juga pidana tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat
memang tidak diberlakukan. Tetapi secara materill tetap berlaku dan diterapkan
16
Masih bersumber dari artikel yang sama, setelah kemerdekaan, pidana adat
Kekuasaan dan Acara Pengadilan - Pengadilan Sipil (“UU Drt 1/1951”). Pasal 5 ayat
(3) huruf b UU Drt 1/1951 menjelaskan tentang pidana adat yang tidak ada
bandingannya dalam KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam KUHP, dan
sanksi adat. Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim
dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang hidup
dianggap sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP.
menghargai pidana adat menurut Prof. Nyoman Serikat adalah Putusan Mahkamah
Agung (MA) No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan ini,
majelis hakim menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah dijatuhi sanksi adat
atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa adat, dimana hukum adat masih
dihormati dan hidup subur, maka tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat
diterima.
hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam masyarakat
Indonesia”. Selain itu, hukum pidana adat termasuk hukum yang hidup. Ia bisa
Dalam artikel Hakim Adat Minta Pengakuan dari Negara, Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Utara Lilik Mulyadi (yang menjabat saat itu) menjelaskan
dapat dilihat dari hakim-hakim yang telah menggali nilai-nilai adat ketika membuat
putusan. Lebih lanjut, Lilik mengatakan model penyelesaiannya itu adalah bila
sebuah kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila
17
ternyata tak selesai juga, baru kemudian berjalan ke peradilan nasional. Dan
sebuah kasus di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kasus ini berawal dari perbuatan
Masih dari sumber yang sama, Kepala Adat Tolake menjatuhkan vonis kepada
pelaku berupa sanksi adat “Prohala”, pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu
piece kain kaci. Pelaku mematuhi sanksi itu. Sayangnya, meski sudah selesai di
lembaga adat, kasus ini tetap ditangani oleh kepolisian dan berujung ke Pengadilan
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana adat ‘memperkosa’. Majelis juga
menolak pembelaan terdakwa bahwa PN seharusnya tak mengadili kasus ini lagi
karena sudah selesai di lembaga adat. Argumen nebis in idem juga ditolak oleh
pengadilan.
siri’. Uniknya, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (“MA”) justru membalik semua
sanksi adat berupa membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Karenanya,
menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Drt 1/1951, terdakwa tidak dapat
18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di depan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu antara
lain :
bentuk perbuatan yang tidak dipatutkan oleh adat dan kepada pelanggar-
dicemarkan.
2. Hukum pidana adat diakui sebagai sumber hukum dalam memutus perkara
pidana adat diakui dalam sistem peradilan Indonesia sehingga bila sebuah
kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila
19
DAFTAR PUSTAKA
C.I. Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, 1995.
Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang,
2002.
-------, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988.