Pelembagaan norma hukum ini dilakukan dengan cara menegakan atau menerapkan
norma-norma hukum Hindu, melalui penerapan sanksi hukum tapa dan brata. Sanksi
hukum tapa bertujuan untuk melebur dosa-dosa para pelanggar norma-norma hukum
Hindu atas kejahatan yang dilakukan, baik sengaja ataupun tidak sengaja. Eksistensi dari
sanksi hukum tapa sampai saat ini masih terjaga dan sanksi hukum ini masih tetap hidup
atau diterapkan oleh setiap negara di dunia terhadap para pelanggar norma-norma yang
hidup di masyarakat. Tapa janganlah hanya diasumsikan sebagai suatu usaha pemusatan
pikiran pada Ida Sang Hyang Widhi dengan cara duduk mengasingkan diri di Hutan,
tetapi mengenai istilah tapa dapat diidentikkan dengan istilah pemenjaraan, sebab tapa
atau pemenjaraan merupakan sarana dalam upaya pengendalian diri untuk menumbuhkan
kesadaran, sehingga dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan dosa atau melanggar
norma-norma hukum Hindu. Istilah tapa ditegaskan dalam penjelasan Pasal
171 Ekadaco’dhyayah (Buku XI) Veda Smrti, sebagai berikut : “ Istilah tapa harus
diartikan pemenjaraan, karena dalam keadaan seseorang dipenjara sama deritanya sebagai
seorang bertapa” (Pudja,2002: 69l). Sanksi hukum Tapa tidak harus mengasingkan para
pelanggar norma hukum Hindu untuk pergi bertapa di hutan sebagai disebut dalam Pasal
106 Ekadaco’dhyayah Veda Smrti, tetapi sanksi ini dapat dilakukan di Rumah Tahanan
Negara (RUTAN). Pemenjaraan di RUTAN yang dilaksanakan dewasa ini sudah
termasuk dalam kriteria pelaksanaan sanksi hukum tapa dan pengasingan, sebab
pemenjaraan ini juga merupakan sarana untuk mengendalikan diri seseorang sehingga
tumbuh kesadaran bahwa perilaku yang telah dilakukan selama ini adalah keliru.
Pemenjaraan dimaksud merupakan kegiatan pembinaan mental spiritual para pelanggar
norma hukum Hindu, dengan tujuan yang bersangkutan menjadi sadar pada kesalahan
dan kejahatan yang merugikan orang lain.
Sanksi hukum Vrata (brata) atau melakukan puasa secara rinci dapat dilihat pada Veda
Smrti dan Kurma Purana. Seseorang yang sadar pada pelanggaran atau kejahatan yang
pernah dilakukan akan melakukan brata sendiri, sedangkan seseorang yang tidak
menyadari kesalahan atau kejahatannya tertangkap tangan melakukan pelanggaran norma
hukum Hindu, dikendalikan nafsu makannya oleh suatu lembaga (di RUTAN). Ada
beberapa jenis sanksi vrata, yaitu: 1) Santapana Vrata; 2) Mahasantapana Vrata; 3)
Prajapatya Vrata; 4) Atikrcchra Vrata; 5) Paraka Vrata; 6) Taptakrchra Vrata; 7)
Krchratikrchra Vrata; 8) Padakrcha Vrata dan 9) Candrayana Vrata (Bibek, 2002:86)
Pelembaganaan norma hukum Hindu ini dilakukan dengan pengamalan atau penerapan
dan penegakkan norma dan sanksi hukum Hindu, secara adil dan bijaksana, kepada setiap
orang yang bersalah. Dalam hubungan ini Hakim sebagai penegak hukum tidak
dibenarkan untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, hal ini
didasarkan pada Pasal 24 Astamo’dhyayah Veda Smrti sebagai
berikut : Arthānarthāwubhau buddhwā dharmādharmo ca kewalu, warnakramena
sarwāni pacyet kāryāni karyinam. Dengan mengetahui apa yang layak dan yang tidak
layak, kebenaran tentang apa yang dinamakan adil dan tidak adil, hendaklah ia
memeriksa sebab-sebab tuntutan menuirut hukum daripada golongan yang berlaku
(Pudja, 2002: 420).
Maksudnya dalam rangka penetapan hukum terhadap tuntutan perkara yang diajukan,
maka hakim harus mengetahui sebab-sebab yang layak dan tidak layak atau peristiwa-
peristiwa yang relevan dan tidak relevan dengan hukum yang mengatur peristiwa itu.
Dalam hubungan ini hal-hal yang harus dibuktikan adalah kebenaran dari suatu peristiwa,
dalam arti apakah kebenaran yang disampaikan mengandung kebenaran atau kebenaran
itu mengandung ketidak benaran? Suatu pemeriksaan perkara memang diakhiri oleh suatu
putusan pengadilan. Tetapi putusan itu dijatuhkan belum berarti permasalahan selesai.
Putusan yang dijatuhkan harus dapat dilaksanakan, sebab suatu putusan pengadilan tidak
ada artinya apabila tidak dilaksanakan.
Putusan hakim harus mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan suatu putusan
harus benar-benar dilaksanakan demi tegaknya hukum. Pelaksanaan putusan dapat
dilakukan dengan menghukum orang yang patut dihukum, sebab putusan tidak
dilaksanakan akibatnya dapat memusnahkan yang lemah. Sebagai disebutkan dalam pasal
20 Saptamo’dhyayah Veda Smrti berikut ini : Yadi na pranayedrājā dandam dandayeswa
tandritah, śūle matsyaniwa paksyan durbalan balawattarāh (Pudja, 2002: 357).
Pelembagaan norma hukum Hindu ini dilakukan dengan cara penerapan atau penegakan
hukum Hindu berdasarkan tugas dan fungsi (swadharma), masing-masing. Misalnya
swadharma sebagai saksi, janganlah menjatuhkan sanksi hukum. Sebagai pembela
janganlah melakukan penuntutan kepada yang dibelanya. Seseorang penegak hukum
harus melaksanakan tugasnya sesuai swadharmanya.