Anda di halaman 1dari 32

Niti Sastra

1. Pengertian Niti Sastra


Niti Sastra berasal dari kata Niti dan Sastra. Kata Niti yang berasal dari kata Sansekerta ni
dan ktin berarti to lead, memimpin. Kamus kecil Sansekerta-Indonesia (Tim Pemda Bali,
1982/1983:128) menjelaskan bahwa kata ni berarti menuntun atau memimpin atau hal
memimpin. Kemudian kata Niti diartikan sebagai kemudi, pimpinan. Jadi artinya
sebagai politik dan sosial etik, pertimbangan atau kebijakan. Sedangkan buku Teach
Yoursself Sanskrit (Coulson, 2003:411), mengartikan kata ni sebagai lead atau guide,
sedangkan niti diberi arti sebagai conduct, policy dan political science. Sementara itu
Kamus Jawa Kuno-Indonesia (Zoetmulder, 1997:707-708) menjelaskan arti kata niti
sebagai cara bekerja atau menjalankan yang betul/baik/benar atau bijaksana. Juga diartikan
sebagai ilmu tata Negara atau politik, kebijaksanaan politik. Bahkan diartikan juga
sebagai kebijaksanaan duniawi. Selanjutnya kata Nitisastra diberi arti sebagai Ilmu
mengenai etika politik.
2. Niti Sastra Sebagai Ilmu Politik
Mengikuti pengertian kata niti termaksud di atas, maka tidaklah mengherankan jika banyak
orang yang mengartikan Niti Sastr itu sebagai ilmu politik. Menurut Drs. I Gusti Made
Ngurah dalam bukunya berjudul Buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi
(1998:193-194) kata Niti berarti kebijaksanaan duniawi, etika sosial politik, tuntunan dan
ilmu pengetahuan tentang negara atau ilmu politik berdasarkan ilmu Agama Hindu. Dalam
pengertiannya yang lebih luas, kata Niti Sastra diartikan sebagai ilmu yang bertujuan untuk
membangun suatu negara, baik dari segi tata negara, tata pemerintahan maupun tata
kemasyarakatan. Niti Sastra lalu diberi makna sebagai konsep penataan pemerintahan dan
pembangunan negara pada umumnya. Niti Sastra juga mengajarkan kepatuhan warga negara
terhadap hukum dan kebijaksanaan pemerintah, dengan kata lain mengajarkan warganya
untuk selalu ikut dalam pembinaan negara. Dalam hal ini Niti Sastra ikut membina
masyarakat untuk menjadi warga yang patuh dan bertanggung jawab dalam mewujudkan
keselamatan negara, mematuhi undang-undang dan berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagai wujud pelaksanaan ajaran Dharma Negara. Dalam kaitan ini pemerintah
dan masyarakat meletakan nilai-nilai moral ajaran Agama Hindu sebagai landasannya. Niti
Sastra mengajarkan kepada masyarakat tentang hukum dan kebijaksanaan negara,
menanamkan jiwa patriotisme dan kesadaran untuk membela bangsa dan negara.
3. Niti Sastra Sebagai Ilmu Etika dan Moralitas
Di atas sudah diuraikan bahwa banyak orang mengartikan Niti Sastra sebagai ilmu politik.
Padahal sesungguhnya Niti Sastra lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan tentang etika,
moralitas serta budi pekerti, tata pergaulan hidup dengan semua makhluk dan bagaimana
memusatkan perhatian atau pelayanan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini
boleh jadi karena Maharesi Canakya disamping menulis buku Niti Sastra yang berisi ajaran
tentang etika dan moralitas, juga menulis buku Artha Sastra yang berisi ajaran mengenai ilmu
politik dan pemerintahan. Dalam kamus pun Niti Sastra lebih didahulukan pengertiannya
sebagai ilmu etika, moralitas dan sopan santun, meski pada akhirnya diartikan juga sebagai
ilmu politik. Niti Sastra dengan kata Niti memang berarti to lead, memimpin, membimbing,
mendidik orang bagaimana bergaul dan bertindak serta bagaimana mengembangkan cinta
kasih dan bhakti kepada Tuhan. Dalam hal ini orang dibimbing kearah kebaikan, kejalan
terang, kearah cinta bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (Darmayasa, 1995:xx-xxi)

4. Niti Sastra Sebagai Ilmu Kepemimpinan


Sudah dijelaskan juga di atas bahwa kata Niti berarti menuntun atau memimpin, sedangkan
kata Sastra berarti ajaran atau ilmu. Karena itu secara etimologis Niti Sastra sebenarnya harus
diartikan sebagai ilmu kepemimpinan atau management. Menurut Drs. I Gusti Made Ngurah
dalam bukunya termaksud di atas (1998:193), Niti Sastra juga megandung ajaran
kepemimpinan yang bersifat umum dan praktis berlandasan ajaran Agama Hindu. Dijelaskan
pula bahwa Niti Sastra bukanlah ilmu pengetahuan hanya untuk kalangan negarawan atau
politisi saja, tetap juga untuk setiap orang.
Selanjutnya sebagai ilmu kepemimpinan atau management, buku ini juga membahas masalah
pengertian, prinsip-prinsip dan fungsi-fungsi management pada umumnya, di samping
wewenang dan tanggung jawab serta sifat-sifat dan tipe-tipe pemimpin. Kemudian diuraikan
pula masalah kepemimpinan Gajah Mada, Resi Bhisma dan ajaran kepemimpinan Indonesia
yang bernuansa Agama Hindu.
5. Niti Sastra Dengan Nama Lain
Dalam Sastra Agama Hindu, Niti Sastra memiliki sebutan atau nama lain dengan pengertian
yang berbeda-beda pula (Sudirga, 2004:22), yaitu:
a. Danda Niti yaitu ilmu pengetahuan yang lebih menekan kepada sendi-sendi hukum atau
pemerintah yang berfungsi mengatur kehidupan manusia.
b. Artha Sastra yaitu ilmu pengetahuan yang lebih menekankan kepada pengertian bahwa
negara itu berfungsi mengatur kehidupan untuk mencapai kemakmuran.
c. Raja Dharma yaitu ilmu pengetahuan yang menguraikan tentang kewajiban-kewajiban
pemerintah atau pemimpin.
d. Raja Niti yaitu ilmu pengetahuan yang lebih menekankan kepada ilmu kepemimpinan.
Karena mempunyai makna yang bermacam-macam, maka perlu dijelaskan bahwa untuk buku
ini pengertian Niti Sastra dibatasi hanya dalam arti etimologisnya saja atau dalam artinya
sebagai Raja Niti yaitu sebagai pengetahuan yang lebih menekankan kepada ilmu
kepemimpinan atau management

PANCA YAMA BRATA


Panca Yama Brata terdiri dari kata Panca artinya lima, Yama artinya pengendalian, Brata
artinya taat terhadap sumpah.
Panca Yama Brata artinya lima macam disiplin manusia dalam mengendalikan keinginan
B. BAGIAN BAGIAN PANCA YAMA BRATA
1. Ahimsa
2. Brahmacari
3. Satya
4. Awyawaharika
5. Asteya atau Astenya

C. PENJELASAN MASING MASING BAGIAN PANCA YAMA BRATA


1. Ahimsa.
Perkataan Ahimsa berasal dari dua kata yaitu : a artinya tidak, himsa artinya menyakiti,
melukai, atau membunuh.
Jadi, Ahimsa artinya tidak menyakiti, melukai, atau membunuh mahluk lain baik melalui
pikiran, perkataan, dan tingkah laku secara sewenang wenang. Agama Hindu mengajarkan
kepada umatnya untuk tidak membunuh atau menyakiti mahluk lain adalah dosa. Ajaran
Ahimsa itu merupakan salah satu faktor susila kerohanian yang amat penting dan amat utama.
Menurut ajaran Dharma didalam sloka disebutkan ahimsa para dharmah artinya kebajikan
( Dharma ) yang tertinggi terdapat pada ahimsa. Jadi, jelaslah bahwa ajaran yang tinggi itu
adalah tidak membunuh. Namun, uraian itu jangan ditafsirkan secara ekstrim ( kaku ) karena
bisa bertentangan dengan ajaran agama yang kita anut ( agama Hindu ).
Dengan demikian kita boleh membunuh untuk mempertahankan hidup asal tidak didorong
dengan Nafsu atau Sad Ripu yaitu : Kama ( keinginan ), Lobha ( rakus, lobha ), Krodha
( marah ), Mada ( angkuh, mabuk ), Moha ( kebingungan ), Matsarya ( iri hati ).
Jadi, meskipun ajaran Ahimsa itu berarti tidak membunuh tetapi dalam batas batas tertentu
kita diperbolehkan membunuh.
Contoh : di dalam Kitab Slokantara disebutkan ada empat macam pembufnuhan yang
diperbolehkan, yaitu :
1.
2.
3.
4.

i.
Dewa Puja : Persembahan kepada DEwa ( Dewa Yadnya )
ii.
Pitra Puja : Persembahan kepada Roh leluhur ( Pitra Yadnya )
iii.
Athiti Puja : Persembahan kepada tamu yang kita hormati
iv.
Dharma Wighata : kewajiban bagi semua orang membunuh mahluk yang
mengganggu atau memberi penderitaan terhadap umat manusia.

Sedangkan mahluk yang kita persembahkan kepada Dewa Puja, Pitra Puja, Athiti Puja, dan
Dharma Wighata pun kalau untuk upacara berarti kita menolong untuk meningkatkan
jiwanya, sebab sebelum menyembelih binatang biasanya terlebih dahulu diberi mantram yang
berbunyi sebagai berikut :
Om Papasayah wiwaha ceras shadayat dimahitano jiwah pracodayat artinya : Ya Tuhan
saya hendak memotong hewan atau binatang ini dengan memotong kepalanya, semoga
jiwanya dapat meningkat.
Dengan demikian sebenarnya ajaran Ahimsa itu tidak lain harus memperhatikan dan
mengendalikan tingkah lakunya agar pikiran, perkataan, dan perbuatan tidak menyakiti orang
lain atau mahluk lain. Setiap pikiran, perkataan, perbuatan yang tujuannya menyakiti orang
lain maka disebut perbuatan Himsa.
Oleh karena itu hindari perbuatan Himsa terhadap semua mahluk. Kita harus saling asah, asih,
dan asuh terhadap sesamanya. Karena jiwatman kita sama dengan jiwatman mahluk lain yang
berasal dari satu sumber yaitu Paramaatman ( Sang Hyang Widhi ).

1. Brahmacari.
Kata Brahmcari terdiri dari dua kata, y: Brahma dan cari atau carya. Brahma artinya Ilmu
pengetahuan sedangkan Cari atau carya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu : Car artinya
gerak atau tingkah laku.
Jadi Brahmacari artinya tingkah laku manusia dalam menuntut ilmu pengetahuan terutama
ilmu pengetahuan tentang ketuhanan dan kesucian.
Brahmacari juga disebut masa Aguron guron ( masa berguru ). Oleh karena itu, seorang
siswa kerohanian harus mempunyai pikiran yang bersih yang hanya memikirkan pelajaran
atau ilmu pengetahuan saja, supaya perasaan dan pikiran bisa terpusat. Belajar dengan baik
perlu adanya tata tertib yang baik seperti : pemakaian waktu, kebersihan, kesopanan,
ketertiban pembagian tugas, dan juga sangsi sangsi pelanggaran yang lebih penting lagi,
seorang siswa kerohanian atau seorang Brahmacari dilarang kawin, berdagang, dan berpolitik.
Petunjuk petunjuk di atas itu dalam menuntut ilmu pengetahuan selama Brahmacari adalah
merupakan kunci keberhasilan bagi seorang siswa kerohanian. Barang siapa yang tidak
mematuhi aturan aturan di atas dan tidak rajin, serta tidak tekun jpada masa ini pasti akan
gagal.
Didalam hubungan sosial masyarakat seorang siswa diharapkan memasuki tahap berikutnya
yaitu tahap Grahastha yakni masa hidup berumah tangga. Di dalam Slokantara disebutkan
mengenai perkawinan masa Brahmacari dan dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Sukla Brahmacari : Orang yang tidak pernah kawin sejak kecil sampai ia meninggal
dunia. Tokoh yang melakukan Sukla Brahmacari di dalam pewayangan, adalah
Bhisma dalam Mahabharata, dan Laksmana dalam cerita Ramayana.
2. Sewala Brahmacari : orang yang kawin beristri atau bersuami hanya sekali dalam
hidupnya dan tidak kawin lagi walaupun istri atau suami meninggal dunia. Tokoh
pewayangan yang melakukan Sewala Brahmacari dalam cerita Ramayana adalah
Sang Rama.
3. Tresna atau Krishna Brahmacari : orang yang kawin lebih dari satu maksimal empat
orang dan tidak boleh kawin lagi. Tokoh pewayangan yang melakukan Tresna atau
Krishna Brahmacari adalah Dewa Siwa yang istrinya empat yaitu Dhurga, Uma, Gori,
dan Parwati.
Selain tiga macam pengertian Brahmacari di dalam perkawinan di atas, juga disebutkan
seorang yang menuntut hidup Grahastha ( masa hidup berumah tangga ) harus kuat
mengekang hawa nafsu dan kuat mengendalikan diri agar tidak menyimpang dari kesusilaan,
sehingga menimbulkan dosa besar, seperti :
1. Gurwanggamana adalah kawin dengan istri guru, bekas istri guru, anak guru, dan
cucu guru.
2. Gamyagamana adalah beristri dengan orang yang tidak boleh dipakai istri, misalnya :
kawin dengan ibu kandung, anak, kakak, cucu, dan saudara.
3. Paradaragamana adalah melakukan perkawinan dengan istri orang lain.
1. Satya

Satya adalah bagian ketiga dari Panca Yama Bratha. Satya artinya : benar, jujur, dan setia.
Satya juga diartikan sebagai gerak pikiran yang patut diambil menuju kebenaran, yang
didalam prakteknya meliputi kata kata yang tepat dan dilandasi kebajikan untuk mencapai
kebaikan bersama.
Jadi, Satya tidak sepenuhnya diartikan benar, jujur dan setia tetapi di dalam pelaksanaannya
melihat situasi yang bersifat relatif.
Maka di sinilah kita menempuh jalan Satya yang pelaksanaannya melihat situasi dan kondisi
yang relatif.
Satya, kejujuran untuk mencari kebenaran ini memang memgang peranan yang sangat
penting di dalam ajaran kerohanian untuk mencapai kelepasan atau moksa. Di dalam sastra
sering kita jumpai sebagai motto atau semboyan yaitu : Satyam eva jayate yang artinya
hanya kejujuranlah yang menang bukan kemaksiatan atau kejahatan.
Kesetiaan, kejujuran hendaknya dipakai pedoman dalam setiap tindakan atau perbuatan kita
sehari hari.
Dalam ajaran satya kita mengenal Panca Satya, yaitu :
1. Satya Wacana artinya : setia pada kata kata
2. Satya Herdaya artinya : setia pada kata hati
3. Satya Laksana artinya : setia dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
4. Satya Mitra artinya

: setia pada teman

5. Satya Semaya artinya : setia pada janji.


1. Awyawaharika artinya tidak terikat pada ikatan keduniawian.
2. Asteya atau Astenya artinya tidak mencuri atau tidak memperkosa hak milik orang
lain.

PANCA NYAMA BRATA

A. PENGERTIAN PANCA NYAMA BRATA


Pengertian Panca Nyama Brata mempunyai arti lima macam pengendalian diri dalam tingkat
mental, untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin. Panca Nyama Brata adalah
untuk mengendalikan semua akibat akibat buruk yang ditimbulkan oleh mental dan pikiran.
B. BAGIAN BAGIAN PANCA NYAMA BRATA
1. Akroda

2. Guru Susrusa
3. Sauca
4. Aharalagawa
5. Apramada
C. PENJELASAN MASING MASING PANCA NYAMA BRATA
1. Akroda
Akroda artinya tidak marah, atau tidak mempunyai sifat marah. Dengan kata lain mampu
mengendalikan sifat sifat marah.
Salah satu dari sifat sifat marah adalah mudah tersinggung. Sifat inilah yang harus
dikendalikan sehingga manusia tidak mudah marah. Dengan mampunya manusia menahan
sifat marah maka manusia akan mempunyai jiwa yang sabar.
Kesabaran adalah sifat yang mulia. Orang sabar tidak mudah tersinggung, sehingga akan
disenangi oleh teman teman. Orang yang diajak bicara akan merasa senang. Ia akan selalu
tenang dalam menghadapi segala masalah. Pekerjaan dikerjakan dengan rasa tenang sehingga
akan menghasilkan yang baik. Seperti apa yang diuraikan dalam kitab Sarasamuccaya
sloka 94, sbb : Kesabaran hati merupakan kekayaan yang sangat utama, itu sebagai emas
dan permata. Orang yang mampu mengendalikan nafsu ( kemarahan), tidak ada yang
melebihi kemuliaan.
Oleh karena itu kemarahan harus dikendalikan. Dengan tumbuhnya kemampuan
mengendalikan kemarahan menyebabkan tumbuhnya kebijaksanaan pada orang itu.
Didalam Weda dikatakan bahwa : Orang yang tidak pemarah dan sabar adalah bersifat
pemaaf. Orang yang sabar akan selalu dapat berpikir baik. Tidak terpengaruh oleh nafsu dan
perasaan hati. Ia akan berbuat baik oleh karena itu orang sabar luhur budinya, banyak
pahalanya.
2. Guru Susrusa.
Guru Susrusa artinya hormat dan bakti terhadap guru. Guru Susrusa juga berarti
mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaran ajaran dan nasehat guru.
Siswa yang baik akan selalu berbakti dan memperhatikan sikap hormat terhadap gurunya.
Mempelajarai apa yang diajarkan. Dalam hal Guru, biasanya ada empat macam guru yang
disebut Catur Guru : yaitu Guru Rupaka yaitu orang tua, Guru pengajian yaitu Bapak dan Ibu
Guru disekolah, Guru Wisesa adalah pemerintah, dan yang stunya Guru Swadyaya yaitu
Tuha ( Sang Hyang Widhi )
Anak yang hormat dan bakti terhadap Guru diberikan gelar anak yang suputra, sedang anak
yang menentang terhadap Guru di sebut Alpaka Guru, hukumannya sangat berat dalam alam
Neraka nantinya. Sedang anak yang Suputra akan mendapatkan tempat yang baik di sorga

maupun di masyarakat, karena sangat berguna bagi nusa dan bangsa. Marilah kita kenali satu
persatu dari Catur Guru yang harus kita hormati.
1. Guru Rupaka
Guru Rupaka sering pula disebut Guru Reka yaitu orang gyang sangat besar jasanya,
orang yang menyebabkan kita lahir ke dunia. Betapa besar pengorbanan dan tanggung
jawabnya terhadap anak. Dalam kitab Kakawin Nitisastra disebutkan ada lima jasa orang
tua terhadap anaknya, sebagai usaha agar anaknya tumbuh sebagai suputra. Kelima jasa orang
tua itu disebut Panca Widha yaitu Ametwaken artinya melahirkan matulung urip
artinya menolong jiwa ( anak ) dari bahaya. maweh bhinojaya artinya memberi makan
dan minum, Mangupadyaya artinya mengajar dan mendidik ( menyekolahkan ) ana dan
Anyangaskara artinya mengupacarai.
Demikian besarnya jasa orang tua yang melahirkan kita, maka kita wajib menghormati dan
patuh kepadanya, tiada yang dapat melebihi kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
1. Guru Pengajian
Adalah Bapak dan Ibu yang memberikan ilmu pengetahuan dan mendidik di sekolah.
Guru pengajian yang menyebabkan kita menjadi pandai dan berguna bagi nusa dan bangsa.
Kita bisa membaca dan menulis berkat jasanya. Maka hormati beliau dengan cara yang tekun
dan mentaati tata tertib sekolah.
1. Guru Wisesa
Adalah pemerintah sebagai anggota masyarakat kita wajib menaati segala peraturan yang
mengatur tertib bermasyarakat. Peraturan peraturan itu yang mengatur agar hidup
bermasyarakat menjadi aman, tentram dan harmonis.
Bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang selalu taat dan patuh terhadap peraturan dan
perundang undangan yang berlaku. Yang bertugas melaksanakan peraturan itu adalah
pemerintah. Betapa berat tugas pemerintah menjaga keamanan dan ketertiban itu. Oleh
karena itu, kita patut mentaati peraturan yang berlaku.
1. Guru Swadyaya
Sang Hyang Widhi disebut Guru Swadyaya. Beliau pencipta, pemelihara dunia beserta isinya.
Semuanya ini karena Sang Hyang Widhi. Oleh karena itu, harus sujud bakti kepadaNya.
3. Sauca
Sauca berasal dari kata SUC yang artinya bersih, murni atau suci. Jadi yang dimaksud
Sauca adalah Kesucian dan kemurnian lahir batin.
Dalam silakrama disebutkan sebagai berikut :
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan
dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.

Banyak yang dapat kita usahakan untuk mencapai kesucian lahir maupun batin. Kesucian
lahir ( jasmani ) dapat kita capai dengan selalu membiasakan hidup bersih., misalnya mandi
yang teratur, membuang sampah pada tempatnya dsb. Sedangkan kesucian batin ( rohani )
dapat dilakukan dengan rajin sembahyang, menghindari pikiran dari hal hal negatif.
Dengan jalan mengusahakan kesucian lahir batin kita akan mudah mendekatkan diri
kehadapan Sang Hyang Widhi. Kebersihan jasmani atau lahiriah akan mendatangkan
kesehatan, maka ada istilah Kebersihan Pangkal Kesehatan . Adanya kesehatan inilah kita
akan banyak berbuat baik.
Dengan kesehatan kita akan bisa belajar dengan baik untuk mencapai cita citanya. Dengan
kesehatan jasmani kita juga mampu melaksanakan Tapa, Brata, Yoga dan Semadi, untuk
mendapatkan kesucian batin.
1. Ahara Lagawa
Ahara Lagawa brasal dari kata Ahara artinya makan, dan Lagawa artinya ringan. Jadi Ahara
Lagawa artinya makan yang serba ringan dan tidak semau maunya. Makan yang sesuai
dengan kemampuan tubuh. Ahara Lagawa berarti juga mengatur cara dan makanan yang
sebaik baiknya. Lawan dari Ahara Lagawa adalah kerakusan. Kerakusan akan menghalangi
dan merintangi kesucian batin.
Disamping makan berlebihan menyebabkan sakit. Agar badan menjadi sehat, makanlah
makanan yang banyak mengandung gizi. Orang yang makan teratur dan bergizi badannya
menjadi sehat dan pikirannya menjadi segar dan cerdas. Sebaliknya orang yang
makan berlebihan, tidak teratur dan suka minum minuman keras seperti arak, bier dan
sejenisnya, maka badannya menjadi sakit dan sarafnya terganggu. Serta pikiranpun menjadi
kacau.
Sehingga dalam kitab Bhagawad Gita Bab XVII, 8 disebutkan jenis jenis makanan yang
patut dimakanagar menjadi orang yang bijaksana dan memiliki sifat luhur ( Satwika )
Didalam kitab Silakrama diuraikan panjang lebar mengenai aturan aturan makan dan
minum. Disebutkan pula binatang yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan.
Demikian pentingnya pengendalian dalam hal makan, maka ada salah satu cara
pengendaliannya yaitu dengan melakukan Upawasa artinya tidak makan dan minum, yang
biasanya dilakukan pada waktu Hari Raya NYepi.
Makanan yang baik, adalah makanan yang sudah dipersembahkan, makan yang tidak
menyebabkan diri sakit, makanan yang mengandung protein, Makan makanan yang serba
ringan sebenarnya untuk meringankan beban pekerjaan pencernaan untuk mempermudah
mendapat ketentraman perasaan dan kesucian batin.
1. Apramada
Apramada artinya tidak bersifat ingkar atau mengabaikan kewajiban. Apramada ialah tidak
segan segan untuk mempergunakan hidup itu sebagai Sadana / jalan guna melakukan Yoga
dan Samadi. Seorang siswa harus tidak segan segan untuk menurut ajaran dan nasehat guru.
Tidak boleh segan mengucapkan berkali kali menghafal dan mengulangi pelajaran yang

diberikan oleh guru. Tidak boleh segan segan bertanya bila ada suatu persoalan yang belum
jelas. Dengan berusaha melaksanakan kewajiban sendiri ( Swadharma ) dan menghormati
kewajiban orang lain ( para dharma ), maka keharmonisan akan dapat dicapai, yang pada
akhirnya kebahagiaan juga akan dapat dicapai.
Dalam kitab Bhagawad Gita Bab XVIII, 47 disebutkan :
Lebih baik swadharma diri sendiri meskipun kurang sempurna dari pada dharma orang lain
yang sempurna pelaksanaannya. Karena seseorang tidak akan berdosa jika melakukan
kewajiban yang telah ditentukan oleh alamnya sendiri.
Sloka diatas menegaskan agar kita melaksanakan kewajiban sendiri seperti sebagai pelajar
maka laksanakan kewajiban sebagai pelajar, jangan lalai, jika sebagai pelajar melalaikan
kewajiban sebagai pelajar, maka kita berdosa dan menjadi bodoh.
Adapun kewajiban kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa kerohanian adalah :
1. Arcana, artinya memuja dan pemujaan yang terpenting adalah pemujaan kepada Sang
Hyang Widhi.
2. Adhyaya, artinya belajar
3. Adhyapaka, artinya mengajar ( misal mengajar adik )
4. Swadyaya, artinya belajar sendiri. Rajin belajar dan mengulangi pelajaran yang telah
disampaikan.
Brata artinya melakukan pantangan pantangan misalnya mengurangi makanana dan
minuman

Sad Darsana
Kata Sansekerta darsana berasal dari kata drs berarti melihat, yakni suatu istilah sansekerta
untuk filsafat. Sad Darsana membentuk sistim filsafat klasik India, yakni : Nyaya, Vaisiseka, Samkhya,
Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Semua metode filsafat ini menuju ke pengetahuan mengenai
Kebenaran Mutlak dan Kebebasan Roh/Sukma/Soul1[1]. Sebagai bahan studi , Sad Darsana ,
wawasan ini dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1) Sistim Samkhya
Sistim Samkhya merupakan sistim tertua, yang berusaha menyelaraskan falsafat Weda dengan
perantara akal budi. Sistem Samkhya merupakan filsafat pertama yang menguraikan proses evolusi

kosmik secara sistimatikdengan penelitian seksama. Samkhya berusaha menguraikan alam semesta
sebagai suatu kesatuan yang meliputi 25 kategori dan di klasifikasikan menjadi 4 judul:
a) Yang tidak dihasilkan dan tak menghasilkan
Kategori ini ialah Jiwa Kosmik (PURUSA), yakni yang tak berevolusi serta tak berkembang; yang tak
menyebabkan yang mana juga bukan sebaba musabab daripada sesuatu keadaan yang bermode
baru.
b) Yang tidak dihasilkan tapi menghasilkan
Unsur kedua disebut Unsur Zat Kosmik (PRAKRTI), yakni yang tak berevolusi tapi berkembang, sebab
musabab yang tak menyebabkan daripada keadaan phenomena.
c) Yang dihasilkan dan menghasilkan
Unsur ketiga terdiri atas 7 kategori yang berkembang bertahap / lambat laun terjadi disebabkan dan
merupakan sebab musabab mode baru dari pada keadaan, yaitu:
MAHAT (Kecerdasan Kosmik)
AHAMKARA (Prinsip perwujudan individu)
5 TANMATRA (elemen halus panca indra), yakni:
Sari suara (Sabda)
Sari sentuhan (Sparsa)
Sari bentuk (Rupa)
Sari aroma (Rasa)
Sari wangian (Gandha)
d) Yang dihasilkan dan tidak menghasilakan
Unsur ke empat terdiri dari 16 kategori yang berkembang, disebabkan sesuatu, tapi tidak merupakan
sebab musabab dalam keadaan mode baru, yaitu:
FIKIRAN KOSMIK (MANAS/COSMIC MIND)
5 Jenis daya pancaindra abstrak
Daya pendengaran (SROTA)

Daya merasakan (TVAK)


Daya penglihatan(CASKUS)
Daya perasaan lidah (RASANA)
Daya pencium (GHRANA)
5 KARMENDRIYA (Pancaindra kerja abstrak/Abstract Working Senses)
a. VAK (daya menyatakan)
b. UPASTHA (daya memperanakkan)
c. PAYU (daya mengeluarkan)
d. PANI (daya memegang)
e. PADA (daya bergerak)
5 MAHABUTA (PANCA MAHA BHUTA/SENSE PARTICULARS)
a. AKASA (Unsur Ether)
b. VAYU (Unsur Udara)
c. TEJAS (Unsur Api)
d. APAS (Unsur Air)
e. PRTHIVI (Unsur Tanah)
Purusa dan Prakrti
Purusa artinya, jiwa /roh alam semesta, yaitu prinsip kodrat alam meengobori semangat
universil dan ini merupakan sumber kesadaran /keinsyafan. Purusa sering sekali identik dengan
Brahma, Visnu, Siva, Durga.
PRAKRTI, artinya

yang ada sebelum sesuatu dihasilkan,yakni sumber atau asal utama

daripada segala sesuatu yang ada; unsur zat yang orsinil dari yang mana segala sesuatu dijadikan,
dan akhirnya segala sesuatu akan kembali kepadanya. Prakrti dapat dipahami perantaraan akal budi,
dan diketahui melalui praktek Yoga.
Guna
Prakrti terdiri atas tiga unsure pokok daya yang disebut: GUNA (Daya) yaitu2[2]:

a.

Sattva Guna yaitu daya terang atau tenaga yang membawa kegirangan, kebahagiaan, dan
sebagainya.

b. Rajas Guna yaitu tenaga penggerak yang menimbulkan kepedihan.


c.

Tamas Guna yaitu tenaga yang menentang aktivitas, yang menimbulkan mati rasa atau sifat masa
bodoh, lamban, malas, dan sebagainya.
Prakrti dengan ketiga daya/gunanya merupakan akar dari segala perubahan, fondamen realitas
dan inti-sari dari segala unsure benda. Sedangkan Purusa dan Prakrti dengan ketiga guna-nya adalah
roh dan unsur zat alam semesta, demikian teori sistim Smkhya.

2) Sistim Vedanta
Akibat dari penafsiran yang berbeda-beda maka timbullah aliran-aliran filsafat Wedanta. Secara
umum aliran filsafat Wedanta ada tiga yang terkenal yakni: aliran Adwaita oleh Sankara,
Wasistadwaita oleh Ramanuya, Dwaita oleh Madva3[3].
Aliran filsafat Wedanta:
1. Adwaita
Adwaita artinya tidak dualisme maksudnya Adwaita menyangkal bahwa kenyataan ini lebih dari
satu (Brahman), walaupun demikian sistim ini bukan bersifat monistis yang mengajarkan bahwa
segala sesuatu dialirkan dari satu asas saja, melainkan disamping dari Brahman masih ada Atman
yang merupakan sumber kekuatan.
Tokoh aliran ini adalah Sankara (788 - 820 M). sankara ragu-ragu akan ketentuan dari Upanisad yang
menyatakan bahwa dunia ini menciptakan oleh Brahman, akan tetapi tidak percaya akan
keaneragaman di alam ini sebagai yang dianjurkan oleh Ramanuya. Sankara menyatakan ada secara
nyata (sat) adalah kekal. Hanya Brahmanlah yang disebut Sat, artinya hanya Brahmanlah yang kekal.
Di luar Brahman keadaan adalah a-Sat, artinya di luar Brahman tidak ada sesuatu apapun. Akan
tetapi dunia ini Nampak beraneka ragam. Jadi dunia bukanlah sat, dunia ini bukan Brahman. Sankara
juga menyatakan bahwa dunia ini bukan a-sat, tidak ada sama sekali. Sebab dunia ini Nampak benarbenar ada, dapat kita amati. Oleh karena itu harus dikatakan bahwa dunia adalah betul-betul ada
dan maya, karena tidak kekal.
Menurut Sankara bahwa Brahman, disatu pihak sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia,
akan tetapi dilain pihak dibedakannya.
2. Wasistadwaita

Tokoh filsafat ini ialah Ramanuya (1050-1137), ia menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis
komentar tentang Bhagawadgita. Alirannya disebut Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata
wasis dan dwaita, wasis berarti yang diterangkan atau yang ditentukan yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi
Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya.
Menurut Ramanuya adalah bahwa Brahman Jiwadan dunia memang berbeda, tetapi tidak dapat
dipisah-pisahka, sekalian ketiga-tiganya adalah kekal4[4].
3. Dwaita
Tokoh aliran ini adalah Madva (1199-1278), menurut dwaita pokok-pokok ajaran dwaita adalah
perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini adalah nyata
bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theistis, karena menerima adanya Tuhan yang berdiri
sendiri (swatantra) dengan kata lain Madva mengakui/ percaya dengan adanya manifestasi dari
Tuhan yang beraneka ragam5[5].
Dasar ajaran Madva adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini,
semuanya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada
prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu adalah mempunyai wujud tersendiri. Menurut
Madva dunia ini ada lima macam perbedaan, yaitu:
a. Perbedaan tentang Tuhan dengan Jiwa manusia,
b. Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa lainnya,
c. Perbedaan antara Tuhan dengan benda,
d. Perbedaan antara Jiwa dengan benda,
e. Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya.
Tuhan, Jiwa dan benda ketiganya sama-sama kekal adanya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang
merdeka dan bebas, tidak bergantung kepada siapapun dan apapun.
3) Sistim Yoga
Istilah Yoga berasal dari katadasar yuj berarti penggandaran atau bergabung. Bermakna
bergabungnya jiwa individu (jivatman) dengan Jiwa Universil (Paramatman). Sistim Yoga adalah
suatu sistim kebudayaan untuk menyempurnakan kerapian manusia. Dasar filsafat sistim Yoga
adalah sistim Smkhya. Para rsi kuno telah memperluas hukum-hukum evolusi alam semesta yang

mencakup evolusi individu,memperlihatkan bahwa individu hanya merupakan dunia kecil


(mikrokosmos) daripada alam semesta besar (makrokosmos). Sistim ini yang berlaku bagi indivdu
disebut Filosofi Yoga. Pembina sisitim Yoga adalah Patanjali, namun bukan ia menemukan ilmu Yoga,
sebab Yoga adalah suatu kesenian yang terdapat sejak awal adanya waktu.
Tujuan utama Yoga ialah membebaskan manusia dari ketiga jenis penderitaan:
a. Yang timbul dari kelemahan, kesalahan tingkah laku dan penyakitnya.
b. Yang timbul dari perhubungannya dengan makhluk lain, seperti harimau, pencuri, dll.
c.

Yang timbul dari perhubungannya dengan Alam diluar, seperti elemen-elemen dan daya-daya
abstrak, halus yang sukar diketahui.
Filosofi sistim Yoga
Sistim Yoga juga mengandaikan doktrin kosmos seperti yang dijelaskan sistim Smkhya. Salah satu
perbedan yang terdapat antara kedua sistim ialah: sistim Smkhya condong kepada kondisi universil
alam, sedangkan sistim Yoga cenderung kepada kondisi individu alam. Mengenai peoses evolusi dan
involusi (proses kemunduran), kedua sistim itu sependapat. Kedua sistim tersebut berlandaskan
dasar logika utama sebagai pangkal pembicaraan yang tak mungkin barang sesuatu dihasilkan dari
ke-tidak-adaan dan sebab baying-bayang pasti ada sesuatu hakekatnya. Oleh sebab itu sistim Yoga
mempertahankan, bahwa individu kasar suatu aspek halus yang daripadanya akan dijelmakan
pribadinya, dan kepadanya ia akan kembali. Menurut sistim Yoga, Jiva (Life) atau asas kehidupan itu
bukan suatu kreasi baru, ia hanya merupakan suatu pengembangan.
Individu bertindak dari kondisi Jiwa Universil (Purusa) dan Unsur Zat (Prakrti) untuk menjelma
sebagai roh atau jiwa individu, maka manusia terdiri dari aspek halus dan aspek kasar. Segala benda
mempunyai kendaraaan/sarana untuk menjelma masing-masing, kendaraan kekuatan spiritual ini
disebut linga sarira. Linga berarti tanda tak berubah-ubah yang membuktikan keadaan barang
sesuatu, sarira artinya: badan. Kedua istilah tersebut menggambarkan badan halus yang disertai
roh atau jiwa (jiva) individu yang menghidupkan badan fisiknya. Linga Sarira terdiri dari 18 elemen
yakin: kecerdasan (budhi), ego (ahamkara), fikiran (manasi), 5 indera-mengenal (jnanendriya), 5
indera-bekerja (karmendriya), 5 elemen halus (tanmatra).
Sastra Yoga
Kitab pelajaran tertua Yoga adalah Yogastra susunan Patanjali ada empat yaitu:

1.

Berisikan

51

peribahasa/pepatah,

(samdhipada)sebagai teori ilmu Yoga;

memperbincangkan

sifat

dan

tujuan

Samadhi

2. Berisikan 55 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan seni Yoga, menjelaskan jalan untuk
mencapai tujuannya, yakni latihan spiritual (Sdhanapda).
3. Berisikan 54 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan kekuatan luar biasa/sakti yang dapat
tercapai perantaraan praktek-praktek Yoga (Vibhutipada).
4. Berisikan 34 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan emansipasi terakhir (Kaivaiyapda),
realisasi manusia yang dapat memisahkan diri dari fikiran dan unsur zat.

4) Sistim Nyaya
Simtim Nyaya adalah ilmu logika, memperlengkapi suatu metode falsafat yang benar untuk
menyelidiki obyek dan subyek penngetahuan manusia. Tujuan sistim Nyaya ialah untuk
memungkinkan umat manusia mencapai tingkat kehidupan tertinggi, kesentosaan, penbebasan
kemerdekaan dan sebagainya. Nyaya muncul akibat adanya perdebatan diantara para ahli pikir
didalam mereka berusaha mencari kebenaran dari ayat-ayat Weda untuk dijadikan landasan
melaksanakan upacara-upacara korban. Dari hal itu timbullah kemudian patokan-patokan
bagaimana mengadakan penelitian yang benar dan logis. Sistim Nyaya dipelopori Gotama, yang
hidup pada abad keempat sebelum masehi dengan hasil karya disebut Nyaya-sutra. Nyaya
merupakan suatu sistim logika untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Sistim ini disebut juga
Tarkavidya (pengetahuan debat) atau Vadavidya (pengetahuan diskusi). Aliran filsafat Nyaya
tergolong pula kedalam kelompok filsafat astika (ortodok) yakni filsafat yang mengakui kedaulatan
dan kebenaran ajaran Weda. Nyaya mengajarkan bahwa dunia diluar diri manusia benar-benar ada
dan terlepas dari pikiran manusia sehingga Nyaya disebut pula sistim yang realistis.
Manusia dapat dapat memiliki pengetahuan tentang dunia diluar dirinya dengan perantaraan indraindranya serta fikirannya. Sejauh mana kebenaran dari alat dan cara yang dipergunakannya dalam
mencari kebenaran obyeknya. Cara atau alat untuk mendapatkan pengetahuan disebut premana
dan pengetahuan yang benar disebut prama. Nyaya mengajarkan ada empat alat atau cara untuk
mencari atau mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu6[6]:
1. Sabda pramana (cara kesaksian);
2. Upamana pramana (cara pembandingan);
3. Anumana pramana (cara penyimpulan yang logis);

4. Pratyaksa pramana (cara pengamatan langsung).


Disamping pengamatan terhadap obyek yang nyata maka Nyaya juga mengajarkan bahwa
obyek yang yang tidak ada maupun yang tidak nyata pun dapat diamati.
Contoh: adanya daun yang tidak berwarna hijau, sedangkan umumnya daun berwarna hijau. Jika kita
mengamati daun yamg tidak berwarna hijau maka kita akan melihat tidak adanya warna hijau. Jadi,
ketidak adaan warna hijau dapat kita amati melalui daun tadi. Ini menunjukkan bahwa tidak adapun
dapat diamati pula.
Tuhan
Nyaya meyakini kebenaran Weda, maka penganut Nyaya (Naiyayika) percaya akan adanya Tuhan
dan Tuhan disamakan dengan Siwa. Untuk membuktikan adanya Tuhan Nyaya mengemukakan dua
macam pembuktian tentang Tuhan yaitu7[7]:
a. Bukti Kosmologi:
Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu tentu
ada sebab yang pertama dan utama. Sebab itulah Tuhan. Tidak ada sebab pertama kecuali Tuhan
karena segala sesuatu yang diketahui oleh manusia memiliki kemampuan yang terbatas selain Tuhan.
Tidak ada sesuatu sebagai penciptaannya sendiri kecuali Tuhan.
b. Pembuktian Teologis:
Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga
dunia menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada
yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut. Yang mengadakan itulah Tuhan.
Tuhan disebut juga Paratman karena Tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat kekal
abadi, berada dimana-mana, memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung. Tuhan menjadi
sebab pertama adanya alam semesta. Tuhan sebagai penggerak pertama dan utama dari atom-atom
yang menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan menciptakan, merawat, dan melebur alam dengan
segala isinya sesuai dengan pengaruh karma dari alam dan isinya. Tuhan pula menjadi pengatur dan
mengodratkan hukum kepada alam semesta sehingga berlakunya hukum alam (rta) yang mengatur
alam dengan segala isinya secara teratur dan harmonis. Dalam kekuasaan inilah makhluk hidup
menikmati suka-duka dalam usaha menuju kelepasan.

Tuhan menciptakan alam ini adalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Walaupun demikian, dunia
ini diciptakan lengkap dengan derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang beraneka ragam. Dapat
tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini sangat tergantung dari benar tidaknya
pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk itu untuk melandasi hidupnya.
Atma
Nyaya juga mengakui adanya atma (jiwatma) yang menjadi penghidup semua makhluk hidup.
Makhluk hidup (manusia) terdiri dari badan, fikiran (manas) dan jiwa (atma). Jiwa itu merupakan
tenaga penggerak dan hidupnya makhluk hidup. Jumlah jiwatma tidak terbatas serta bersifat kekal
abadi, walaupun jiwa itu karena pengaruh karma sering mengalami suka dan duka serta kelahiran
kembali. Jiwtma menjadi mengalami penderitaan ataupun kesenangan karena dilayani oleh manas
(fikiran) yang melalui panca-indra senantiasa menikmati panas-dinginnya, suka-dukanya maupun
berbagai keadaan di dunia ini.
Nyaya juga meyakini kebenaran hukum karma sehingga menyatakan bahwa makhluk-makhluk di
dunia terikat akan hasil usahanya (karmanya). Karena keterikatan itu menyebabkan jiwatma menjadi
terbelenggu oleh hasil karmanya yang akhirnya mengakibatkan makhluk mengalami suka dan duka
(derita), jiwa mengalami kelahiran. Selama jiwatma itu terikat akan phala karma, selama itu pula
jiwatma akan mengalami kelahiran. Hal itu disebabkan karena ketidaktahuan (awidya) terhadap
kebenaran sejati.
Kelepasan
Kelepasan merupakan tujuan dari makhluk (manusia). Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui
pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan akan didapat dari tuntunan Tuhan melalui
ajaranNya. Sebagai wujud dari kelepasan ialah terbebasnya jiwatma dari kelahiran, kesenangan
maupun penderitaan. Wujud dari kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma
ataupun phala karma.
5) Sistim Mimamsa
Istilah Mimamsa berasal dari katadasar man, berarti berfikir, memperhatikan, menimbang atau
menyelidiki. Ditinjau dari segi Etimologi (ilmu asal kata) ia bermakna: ingin berfikir; di sini
menandakan suatu pemikiran pemeriksaan atau penyelidikan dari pada Weda, lantaran ia
memperoleh suatu pandangan dalam pada WedaKebenaran Abadi, maka digolongkan sebagai
Darsana (Falsafat), yaitu istilah Sansekerta untuk falsafat, artinya pandangan Kebenaran.

Pembina sistim Mimamsa ialah Jaimini. Mimamsa dibagi menjadi dua sistim, yakni Purvamimamsa
artinya, yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka Weda. Sistim ini juga disebut
Karma Mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam Weda memimpin ke jurusan kebebasan
roh/soul; Uttaramimamsa, berurusan dengan bagian akhir dari pustaka Weda, sistim ini juga disebut
Jnana Mimamsa menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan dalam/ pustaka Weda.
Tujuan Mimamsa adalah menyelidiki sifat Perbuatan Benar (Dharma) dasar utamanya ialah
perbuatan (aksi) merupakan wujud kehidupan manusia. Perbuatan benar adalah syarat mutlak
kehidupan spiritual. Semua perbuatan mempunyai dua pengaruh atau akibat; satu yang luar
(external) dan satu yang dalam (internal); yang satu nyata dan yang lain terpendam; yang satu kasar
dan yang lain halus. Pengaruh dalam bersifat kekal, dianggap sebagai keadaan/being; sedangkan
pengaruh luar bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanam
benih kehidupan pada masa yang akan datang.
Berlandaskan pendapat tersebut, Mimms memeriksa semua perbuatan terlarang dalam pustaka
Weda, serta membagi Weda menjadi dua bagian besar: Mantra dan Brahma. Perhatian utama
Mimms adalah keselamatan (salvation), bukan pembebasan (liberation). Mimms menjiwai
kehidupan bangunan bagian atas (superstructure) dari pada kebudayaan India.
Falsafat
Pangkal fikiran Mimms tercantum dalam sajak pembukaan Mimmsstra (tersusun oleh Jaimini)
yang berbunyi: Kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma). Inilah dasar interprestasi seluruh
Weda.
Definisi dharma dalam teks tersebut berbunyi;Kewajiban (dharma) adalah suatu obyek terkenal
melalui suatu perintah. Istilah dharma berasal dari kata dhar, artinya memegang, menunjang,
memelihara, atau mengawetkan. Kata ini bermakna sesuatu untuk dipegang, dipelihara atau
diawetkan. Apabila bila dipakai dalam arti metafisika, ia berarti hukum Alam universil yang dapat
diteruskan/dipertahankan operasi alam semesta dan manifestasi segala benda/hal; dan berarti pula
bahwa tanpa ini (dharma) barang apapun tak akan terjadi.
Segala rituil dan upacara kebaktian yang diperintahkan dalam pustaka Weda dikatakan bermanfaat
bagi penerangan fikiran dan evolusi. Oleh sebab itu sistim Mimamsa berusaha keras untuk
membukakan betapa mereka itu berlandaskan dharma demi kebaikan manusia, dan menafsir
pustaka Weda sebagai fondamen kebahagiaan abadi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan rituil
kebaktian berdasarkan dharma (korban) yang benar, dengan pengertian bahwa kebajikan dikumpul
lalu berbuah dalam kehidupan yang akan datang.

Menurut Jaimini, pengetahuan tentang dharma hanya dapat diperoleh melalui Penyaksian Kata-kata
(Sabda). Ke-enam sarana pengetahuan yang dipakai sistim-sistim lain, menurut Jaimini kurang
sempurna apabila berurusan dengan pengaruh/efek ritual yang tak kelihatan; maka ia hanya
menerima Sabda atau Perkataan. Untuk mempertahankan kedudukannya (argumentasinya), ia
menggariskan lima pernyataan:
1. Setiap Perkataan (Sabda) mempunyai daya yang berpautan dengan artinya yang kekal abadi.
2. Pengetahuan yang diturunkan dari Perkataan (Sabda) disebut Upadeca (ajaran).
3. Dalam alam yang tak kelihatan, Perkataan (Sabda) merupakan penuntun mutlak.
4. Pada hemat Badarayana, Perbuatan bersifat penguasa memerintah.
5. Perkataan mencukupi keperluan pribadi, tidak tergantung pada pengertian yang lain, jika tidak
demikian ia akan menjadi buah fikiran yang tak benar.
Alam
Mimamsa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula.
Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik
Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu:
Subtansi, kwalitas, aktifitas, dan sifat umum.
Subtansi menurut Prabaka terdiri dari sembilan yaitu:
1. Bumi

6. Akal

2. Air

7. Pribadi

3. Api

8. Ruang

4. Hawa

9. Waktu

5. Akasa
Sedang Kumarila Bhata mengajarkan ada 11 bagian subtansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh
Prabhakara ditambah lagi dua yaitu: kegelapan (tamasa) dan suara. Subtansi itu adalah sesuatu yang
dapat diamati seperti debu halus yang tampak dalam sinar matahari. Subtansi, kwalitas, dan sifat
umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiganya itu
sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat.
Weda
Mimamsa mendasarkan ajarannya pada kitab suci Weda dan Weda diakui sebagai sumber
pengatahuan yang maha sempurna. Walaupun Weda amat sempurna dan manusia tidak sempurna
adanya, Weda bukan pula ciptaan Tuhan karena Weda telah ada tanpa ada yang mengadakan dan

Weda ada dengan sendirinya sertabersifat kekal abadi. Kebenaran Weda mencakup kebenaran di
dunia yang nyata ini dan di dunia yang tidak tampak oleh manusia.
Untuk dapat dipraktekkan, Weda dibagi menjadi dua bagian besar, yakni Mantra dan Brahmana;
yang mana dibagi pula menjadi berikut8[8]:
I.

Mantra atau Samhita: adalah sebagian Weda yang mengandung perintah,merupakan koleksi

dari nyanyian suci yang menerangkan dan membina seseorang yang benar. Ini dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1. Rig-Veda: Suatu koreksi dari bagian yang mengandung perintah dari Veda, merupakan koleksi sajaksajak suci; yang bersusunan metris untuk menyampaikan artinya.
2. Sama-Veda: Suatu koreksi dari sajak-sajak yang dinyanyikan pada akhir upacara korban.
3. Yajur-Veda: Dalam prosa tanpa irama sajak, yang terdiri dari dua jenis yaitu:
a.

Nigada, yang harys dilafalkan dengan keras suaranya.

b. Upamasu, yang harus dilafalkan dengan suaru rendah atau diam-diam.


II.

Brahmana

1. Hetu akal budi


2. Nirvacanam penjelasan
3. Ninda gugatan; kritik
4. Prasansa pujian
5. Samsaya kesangsian
6. Vidhi perintah
7. Parakirya perbuatan suatu individu
8. Purakalpa perbuatan para individu atau suatu negara meliputi uraian suatu individu atau para
individu yang ditandakan dengan partikel iti, ana atau ha.
9. Vyavadharanakalpara interprestasi suatu kalimat menurut konteksnya
10. Upamana perbandingan
Prinsip-prinsip diatas dipakai dalam Mimamsa terutama dalam upacara korban yang diperintahkan
untuk kebaikan umat manusia.
Hukum Karma

Meskipun Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma, namum Mimamsa yakin akan adanya
sebab akibat atau pahala dari suatu perbuatan. Hukum karma merupakan hukum moril yang
mengatur dunia beserta isinya. Apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan akibat dari karma
terdahulu. Makhluk dan manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari dari kenyataan
yang dia alami, karena semua itu adalah pahala dari karma terdahulu. Karma yang baik itu ialah
perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan Weda yaitu: dharma (korban). Dan upacara
korban itu hendaklah dilakukan dengan semangat tinggi, penuh kesadaran, tulus hati dan tidak
mengahrapkan imbalan berupa buahnya.
Jiwa dan kelepasan
Makhluk-makhluk yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Atas
dasar itu maka Mimamsa mengakui banyak jiwa di dunia ini. Atma (jiwa) berjumlah tak terbatas dan
ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh mahkluk yang hidup memiliki satu jiwa. Jiwa
merupakan subyek dan obyek pengetahuan9[9].
Jiwa itu adalah kesadaran, sehingga mampu mencapai sebagai subyek pengetahuan. Sebagai obyek
pengetahuan jiwa itu perlu dimengerti, dirasakan, dan disadari oleh makhluk (manusia) itu sendiri.
Jiwa adalah kesadaran dalam diri manusia, maka jiwalah yang mengendalikan tubuh manusia untuk
mendapatkan kelepasan. Hubungan indra dengan jiwa (atma) sangat erat karena indra merupakan
alat untuk mengenal dunia luar yang selalu dikendalikan oleh jiwa. Apapun yang diketahui oleh indra,
jiwa pun mengetahui.
Sebagai untuk mencapai kelepasan manusia dalam hidupnya senantiasa melakukan dharma yaitu,
upacara keagamaan dengan benar-benar dilandasi oleh ketentuan-ketentuan Weda, dan sedapat
mungkin menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda. Bila jiwa itu
kekal dan mengalami sengsara setelah manusia meninggal dunia, maka jalan yang patut ditempuh
untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara korban terhadap jiwa
itu. Karena upacara korbanlah yang akan dapat memebersihkan dan membebaskan jiwa dari
kesengsaraan. Orang yang tidak melakukan upacara korban keagamaan ini berarti mereka secara
perlahanlahan merusak hidupnya dan tidak akan mendapatkan kelepasan, melainkan hanya
nerakalah alam yang akan ditempati oleh jiwanya kelak.
6) Sistim Vaisesika

Vaisesika merupakan salah satu aliran filsafat India yang agaknya lebih tua dibandingkan dengan
filasafat Nyaya-Vaisesika, fiolasafat ini muncul pada abad ke 4 SM, denagn tokohnya ialah Kananda
(ulaka). Buah karyanya adalah Vaisesika Sutra yang merupakan sumber dari ajaran Vaisesika. Secara
umum Vaisesika membicarakan soal dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di dunia ini
dan dapat emmberikan kelepasan. Ajarannya yang terpenting ialah tentang kategori (unsur) yang
menjadikan segala sesuatu yang ada di alam ini. Vaisesika menyatakan ada tujuh unsur (kategori)
yang menjadikan alam ini yaitu:
1. Subtansi (drawya)
Subtansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun
unsur lain tidak dapat ada tanpa subtansi. Subtansi (drawiya) dapat menjadi sebab yang melekat
pada apa yang dijadikannya. Atau drawiya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya.
Contoh: tanah sebagai subtansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari tanah. Jadi, tanah itu
selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa
subtansi (tanah). Hal ini berlaku pada semua subtansi.
Ada Sembilan subtansi yang dinyataklan oleh Vaisesika yaitu10[10]:
1. Bumi (tanah)

6. Waktu (kala)

2. Api (panas)

7. Ruang (tempat)

3. Air (zat cair)

8. Akal (manas)

4. Udara (hawa)

9. Pribadi (jiwa(atma)

5. Akasa (ether)
Semua subtansi tersebut diatas, riil, tetap, dan kekal, namun hanya hawa, waktu, dan akasa bersifat
tak terbatas. Kombinasi dari sembilan subtansi itulah membentuk alam semesta beserta isinya
menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di ala mini baik bersifat physic
maupun yang bersifat rohaniah.
Pandangan Vaisesika terhadap jiwa jiwa adalah riil dan pluralis yaitu jiwa itu benar-benar ada dan
tak terbatas jumlahnya. Pandangan terhadap dunia Vaisesika menyatakan bahwa dunia dengan
segala isinya terjadi dari kumpulan atom-atom yang riil dan tetap.
2. Kwalitas (guna)
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu subtansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda
(subtansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari subtansi yang diberi sifat. Pada subtansi

terdapat lima kwalitas kebendaan yaitu: bau, rasa, warna, raba, dan rasa. Sedangkan kwalitas
rohaniah terdiri dari duapuluh empat kwalitas yakni:
1. Kesenangan

7. Rasa

2. Kesediha

8. Bau

3. Keinginan

9. Sentulan

13. Perbedaan

19. Kepekatan

14. Hubungan

20. Pengetahuan

15. Kejauhan

21. Perjuangan

4. Dharma

10. Bunyi

16. Kedekatan/ pertemuan 22. Kecenderungan

5. Adharma

11. Bilangan

17. Tak berhubungan

6. Warna

12. Besar

18. Kecairan

23. Kesegaran
24. Kebahagiaan

Hubungan kwalitas dengan subtansi sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan karena keduanya
senantiasa mewujudkan satu kesatuan.
3. Aktivitas (karma)
Vaisesika meyakini bahwa Tuhan secara anumana. Diyakini bahwa Tuhan adalah maha tahu, menjadi
sumber kesadaran tertinggi dan Vaisesika meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan jalan
mengatur komposisi atom-atom yang ada. Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini maka
Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di ala ini termasuk mengetahui
benar perilaku (karma) manusia.

4. Sifat umum (samanya)


Sifat umum (samaya) ialah sifat terdapat pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-beda
dengan sifat atom lain, seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat kelompok atom
bumi maupun dengan sifat kelompok atom manas. Samaya menyebabkan adanya kelompokkelompok subtansi yang berbeda-beda di alam ini. Namun disamping sifat umum, maka setiap benda
termasuk atom-atom memiliki sifat perorangan yang kekal, yang membedakan satu atom dengan
atom lain.

5. Sifat Perorangan (wisesa)


Sifat perorangan ada banyak dan beraneka ragam karena setiap benda atau orang memiliki sifat
tersendiri dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena setiap subtansi memiliki wisesa
maka, wisesa ini bersifat kekal, oleh karena ala mini terjadi dari subtansiyang kekal.

6. Pelekatan (samawaya)
Pelekatan juga bersifat kekal dan hanya ada satu yang disebut Samawaya. Pelekatan dikatakan kekal
karena pelekatan itu trjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda (zat) dengan

kwalitasnya seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, dan sebagainya. Sifat kelekatan itu hanyalah
satu walaupun terdapat pada bermacam-macam subtansi.

7. Ketidak adaan (abhawa)


Abhwa dikatakan katagori yang bersifat negatif karena abhawa menyatakan ketidak-adaan dari
sesuatu. Jadi, abhawa menyebabkan terjadinya sesuatu yakni ketidak-adaan. Abhawa dibedakan
atas dua yaitu:
a. Samsargabhawa adalah ketidak adaan suatu benda karena memang belum pernah dibuat.
b. Anyonyabhawa adalah ketidak adaan dari suatu benda karena rusak (hancur).
Demikianlah ketujuh katagori itu menjadikannya segala sesuatu di alam ini sehingga manusia
menyaksikan adanya segala sesuatu beraneka ragam.

SOSIOLOGI HINDU
SISTEM KEKERABATAN HINDU
A. Sistem Kekerabatan Hindu
Menurut Van Gennep (1975) bahwa dalam tahap tahap pertumbuhannya sebagai individu,
yaitu sejak ia lahir, kemudian masa kekanak kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan
menikah, menjadi orang tua sehingga saatnya ia meninggal, manusia mengalami perubahan biologi
serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi tahap
pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya itu manusia juga memerluka regenerasi.
Dalam kekerabatan Hindu ada beberapa larangan perkawinan seperti :
1.

Gamia Gamana antara seorang laki laki dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dalam garis lurus keatas dan kebawah karena lahir dalam perkawinan yang sah
maupun tidak sah menurut hindu.

2. Antara seorang keturunan saudara kandungnya, saudara tirinya.


3. Antara seorang laki laki dengan ibu tirinya atau seorang wanita dengan ayah tirinya.
4. Antara mertua dengan menantu, anak menantu atau antara warang.
Menurut agama Hindu tujuan dari suatu perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia
dan kekal serta menurunkan pretisentana dalam rangka menebus dosa dosa orang tuanya setelah

meninggal, umat Hindu memndang perkawinan merupakan yadnya (kewajiban suci) melalui suatu
perkawinan diharapkan akan melahirkan seorang putera.
Pada sistem kekerabatan Hindu yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, mempunyai
anak merupakan hal yang amat penting. Karena tanpa anak laki laki garis keturunan akan punah.
Keluarga yang tidak mempunyai anak, mempunyai kedudukan sosial yang dinilai belum sempurna.
Dalam sistem kekerabatan patrilineal peranan anak laki - laki sangat penting sebagai penerus garis
keturunan, anak laki laki lah yang mewariskan clen. Demikian jika tidak ada anak laki laki maka
harus terjadi adopsiuntuk meneruskan garis itu, jika tidak demikian anak perempuan satu satunya
akan menjadi pewaris, dengan syarat ia harus kawin dengan salah seorang dari keturunannya dalam
lingkungan gens.
B. Keluarga Inti sebagai Dasar Sistem Kekerabatan Hindu
Apabila dalam keluarga inti semua kedudukan sudah lengkap, maka kita menhadapi empat
tokoh yang paling berhubungan dapat di sebut berguna, yaitu:
Suami

Istri

Ayah

Ibu

Anak (IK)

Anak (pr)

Saudara (IK)

Saudara (pr)

Fungsi keluarga inti yaitu :


1. Keluarga inti merupakan kelompok dimana si individu pada dasarnya dapat menikmati bantuan
utama dari sesamanya seperti keamanan dalam hidup.
2. Keluarga inti merupakan kelompok dimana si individu itu, waktu ia sebagai kanak kanak msih
belum berdaya, mendapat pengasuhan dan permulaan dari pendidikannya.
C. Klen Sebagai Perluasan Sistem Kekerabatan Hindu
Ikatan kekerabatan didalam masyarakat Hindu memainkan peranan yang sangat penting dan
mempunyai peranan dalam banyak segi kehidupan. Usaha untuk menelusuri kekerabatan yang
dewasa ini cendrung dilakukan oleh masyarakat menandakan hal itu suatu pembauran yang penting
disini adalah keturunan segaris.
Masyarakat Hindu menelusuri garis keturunannya dari garis patrilineal, dalam kasus ini anak
anak dari anggota wanita tidak termasuk kedalam korporasi, para anggota terdiri dari kaum pria

dan wanita. Tetapi hanya kaum prialah yang meneruskan keanggotaannya korporasi kepada anak
anaknya. Tetapi hendaknya diketahui bahwa walaupun yang ditonjolkan dalam pembahasan ini
peranan pria, sebenarnya secara tersirat tercakup juga peranan wanita.

Agama Hindu dan Pembangunan Nasional


1.1

Latar Belakang

Agama Hindu adalah agama yang rill mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan Agama
Hindu yang ingin dicapai dan diwujudkan dalam kehidupan ini adalah berupa Moksa dan
Jagathita melalui jalan dharma.
Pembangunan nasional yang telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia, mempunyai
tujuan yang pasti sebagaimana disebutkan dengan satu kalimat yang oleh masyarakatnya
telah secara umum pula diketahui yaitu untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Pengertian pembangunan adalah merupakan suatu proses menciptakan diri yang kurang baik,
dan manusia adalah makhluk Tuhan yang mampu untuk itu sebab mempunyai budi daya yang
tinggi. Seutuhnya yang dimaksudkan adalah mencakup lahir dan batin. Pembangunan lahir
adalah pembangunan pisiknya menjadi sehat dan kuat melalui berbagai bidang pembangunan
yang telah dicanangkan tahap demi tahap baik melalui pembangunan mentalnya menjadi
sadar dan bertanggung jawab sebagai manusia makhluk tertinggi, semurna dan mampu
menjadi subyek dan obyek dalam kehidupannya untuk membangun bangsanya.
Bila dikaji secara mendalam hakekat dan tujuan agama Hindu dengan tujuan pembangunan
nasional adalah selaras, sama dan sesuai yaitu sama-sama ingin mewujudkan keseimbangan
dalam lahir dan batinnya, sebab subyeknya sama yaitu manusia dan obyeknya pun sama yaitu
keseimbangan dalam lahir dan batin manusia. Keseimbangan lahir dan batin manusia akan
mampu menciptakan kesejahteraan dalam lahir dan kebahagiaan dalam batin adalah selaras
dengan manusia seutuhnya yaitu tenang, aman dan damai dalam kehidupan lahir dan batin
berdasarkan dharma agama dan dharma negaranya.
1.2

Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Dharma Agama
2. Apa yang dimaksud Sharma Negara
3. Apa yang dimaksud Tri Hita Karana

1.3

Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa atau masyarakat mengetahui pengertian dan memahami Dharma
Agama.
2. Agar mahasiswa atau masyarakat mengetahui pengertian dan memahami Dharma
Negara.
3. Agar mahasiswa atau masyarakat mengetahui pengertian dan memahami Tri Hita
Karana.

1.4

Manfaat
1. Mahasiswa atau masyarakat mengetahui pengertian dan memahami Dharma Agama.
2. Mahasiswa atau masyarakat mengetahui pengertian dan memahami Dharma Negara.
3. Mahasiswa atau masyarakat mengetahui pengertian dan memahami Tri Hita Karana.

1.5

Hipotesa
1. Menurut kelompok kami Dharma Agama yaitu kewajiban kita sebagai umat beragama.
2. Menurut kelompok kami Dharma Negara yaitu kewajiban kita sebagai warga Negara
khususnya Indonesia.
3. Menurut kelompok kami Tri Hita Karana yaitu tiga hubungan yang harmonis untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dharma Agama


Dharma Agama adalah merupakan tugas dan kewajiban yang patut dilaksanakan oleh setiap
umat untuk mencapai tujuan agama atau bisa juga Dharma Agama adalah hukum, tugas, hak
dan kewajiban setiap orang untuk tunduk dan patuh serta melaksanakan ajaran agama dan
aspek-aspek yang dikandung dalam ajaran agama.
Apa-apa yang diajarkan oleh agamanya patut dapat dipedomani, dihayati dan lanjut
diamalkan dalam kehidupannya sehari-hari. Dharma agamamerupakan santapan rohani yang
patut didalami secara perlahan-lahan melalui proses berpikir mendekatkan diri kepada
Tuhan/Hyang Widhi Wasa, karena sebenarnya pada diri kita masing-masing hal itu sudah ada
dan tinggal menghubungkan untuk menjadi lebih dekat lagi. Sarana mendekatkan adalah
dengan menuntung sang diri melalui ajarannya. Satelah tuntunnan diperoleh terangilah diri
dengan tuntunnan itu agar dapat membedakan mana yang baik dan benar serta mana pula
yang buruk dan salah dan patut dihindari.
Darma agama mengandung ajaran moral yang tinggi, patut untuk dihayati dengan memotivasi
diri, sehingga kita dapat mempunyai daya dorong yang lebih meyakinkan, sehingga tak takut
akan berbuat, karena apa yang diperbuat telah diyakini sesuai Dharma. Perbuatan didasarkan
pada Dharma agama akan memberikan kepuasan dan kebahagiaan tersendiri secara dinamis,
sehingga menyebabkan pemeluk agama, menjadi berani tidak takut ataupun gelisah dalam
berlomba-lomba membuat kebaikan dengn tuhan.
2.2 Dharma Agama Menurut Hindu
Dharma agama menurut hindu adalah perbuatan baik berdasarkan ajaran agama hindu yang
dilakukan oleh agama hindu umat hindu untuk pengembangan dan kepentingan agama hindu.
Semua pikiran , ucapan dan tindakan umat hindu harus berpedoman pada ajaran agama hindu
yang dalam sastra-sasra hindu yaitu:
1. Weda sruti sebagai ajaran inti
2. Bhagawadgita

3. Dharma sastra smerti dan sastra smuscaya


4. Tatwa-tatwa(filsafat kerohanian)
5. Ajaran-ajaran penuntun kesusilaan yang lain.
Sebagai warga Negara yang beragama hindu dan hidup dalam negara yang berdasarkan
pancasila,dalam mengamalkan ajaran agama, tidak boleh berpandangan sempit. Umat hindu
harus berpandangan luas sepandangan luas sehingga tidak menimbulkan fanatisme agama
yang sempit. Umat Hindu di Indonesia harus benar-benar melaksanakan ajaran agama hindu
sacara murni dan konsekuen, sehingga kehadiranya dalam masyarakat Indonesia akan sangat
bermanfaat bagi bangsa dan Negara Indonesia.
Melalui pendekatan Dharma Agama sejauh mungkin diusahakan agar agama dapat
mendorong berhasilnya pembangunan nasional dan untuk mewujudkan tujuan pembangunan
nasional yaitu: masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan
pancasila dan UUD 1945.
Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa, oleh karena itu Negara menjamin kebebasan (kemerdekaan) tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan itu.
Dalam menyukseskan pembangunan nasional, peranan segenap masyarakat termasuk umat
agama Hindu sangat menentukan berhasilnya pembangunan nasional, dengan terwujudnya
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Pentingnya peranan agama, karena agama befungsi sebagai berikut:
1. Faktor motivatif yaitu sebagai pendorong yang melandasi amal perbuatan manusia
dalam seluruh aspek kehidupan.
2. Faktor integrative yaitu dengan keyakinan yang tebal dan penghayatan ajaran agama
secara benar, akan dapat mempersatukan bangsa dan menghindarkan manusia dari
situasi dan kepribadiannya yang dapat menimbulkan perpecahan.
3. Faktor sublimatif yaitu melalui pemahaman ajaran agama, akan dapat merubah cara
berfikir, berbicara dan bertindak sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu
berfikir yang baik, berbicara yang baik dan berbuat yang baik.
4. Faktor insfiratif yaitu melalui pemahaman ajaran agama dapat memberikan insfirasi
kepada manusia bagi pengembangan seni dan budaya yang diwarnai oleh nilai-nilai
ajaran agama.
5. Faktor sumber nilai dan norma yaitu dengan pemahaman ajaran agama yang benar
akan memberikan dasar bagi moral masyarakat yang merupakan sumber nilai dan
norma yang mengilhami dan mengikat masyarakat.
Hal ini penting karena kelangsungan dan ketentraman masyarakat tidak hanya ditentukan
oleh hukum saja, melainkan juga oleh ikatan moral yang dihayati masyarakat.
2.3 Pengertian Dharma Negara
Dharma Negara adalah meruapakan tugas dan kewajiban warga masyarakat terhadap tujuan
negaranya yaitu dalam pembangunan yang telah dicanangkan atau bisa juga Dharma Negara

adalah hukum, tugas, hak dan kewajiban setiap orang un tuk tunduk dan patuh kepada Negara,
termasuk dalam pengertian yang seluas-luasnya.
Disamping kita mengenal istilah Dharma sebagai hukum yang kemudian dimaksudkan adalah
hukum yang mengatur hidup manusia, termasuk dalam pengertian, tugas/hak dan kewajiban
umat manusia, maka hukum yang mengatur gerak alam semesta disebut Rta dan Tuhan Yang
Maha Esa disebut Retavan, yaitu sebagai pendukung atau pengendali Rta.
Pembangunan Negara adalah pembangunan untuk kepentingan kita bersama, maka
kepentingan umum berada diatas kepentingan pribadi atau golongan. Pembangunan Negara
adalah merupakan pembangunan kebersamaan semua warga masyarakat yang mendiami
Negara itu. Setiap orang yang tinggal dan hidup dalam satu Negara mempunyai tugas dan
kewajiban untuk membangun Negaranya secara lahir dan batin sama-sama dengan warga
masyarakatnya.
Negara adalah tempat kehidupan untuk dapat hidup secara tenang, aman dan damai secara
lahir dan batin, maka oleh sebab itu setiap warga Negara patut berusaha menciptakannya.
Semua aturan-aturan untuk kepentingan pembangunan Negara elah diatur dan di undangkan
dengan ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan. Sebagai warga Negara patut
mematuhinya sebagai pengabdiannya berupa Dharma terhadap negaranya.
2.4 Hubungan Negara Dengan Warga Negara (Dharma Negara)
Hubungan antara Negara dengan warga Negara, dalam ajaran agama Hindu disebut dengan
istilah Dharma Negara. Artinya bahwa umat Hindu di Indonesia melalui pendekatan Dharma
Negara ikut berperan, mempertahankan, mengisi kemerdekaan serta memikul tanggung
jawab masa depan bangsa dan bernegara Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Agama Hindu adalah salah satu agama yang diakui keberadaannya di Indonesia disamping
agama Islam, Katholik, Protestan, Dan Budha. Agama Hindu telah memberi warna tersendiri
dalam pembangunan nasional dan khususnya dalam pembangunan umat beragama.
Pembangunan nasional baik yang telah, sedang dan yang akan dilaksanakan, tidak terlepas
dari nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat beragama termasuk
masyarakat beragama Hindu. Dalam pembangunan lima tahun keenam, salah satu sasaran
pembangunan adalah bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam masalah hubungan antara Negara dengan umat beragama Hindu selaku warga Negara,
telah ada pedoman yang diatur dalam salah satu ajaran Catur Guru Bhakti yaitu:
1.
2.
3.
4.

Bhakti kepada Guru Swadhyaya yaitu Sang Hyang Widhi Wasa.


Bhakti kepada Guru Pengajian yaitu guru disekolah.
Bhakti kepada Guru Rupaka yaitu orang tua dirumah.
Bhakti kepada guru wesesa yaitu Negara dan pemerintah.

Berdasarkan ajaran Catur Guru Bhakti, khususnya tentang Bhakti kepada Guru Wesesa maka
umat Hindu Indonesia harus senantiasa melaksanakan hak dan kewajiban serta tanggung
jawab untuk membela, mempertahankan, mengisi kemerdekaan, mengabdi dan berbakti
kepada bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

Bagi umat Hindu Indonesia pelaksanaan Dharma Negara harus sejalan dengan amanat UUD
1945 antara lain:
1. Setiap umat hindu harus menyadari bahwa hak dan kewajiban untuk membela Negara
Indonesia adalah sesuai dengan pasal 30 ayat (1) UUD 1945.
2. Setiap umat hindu Indonesia harus selalu ikut serta memajukan pendidikan nasional
baik melalui pendidikan yang dilaksanakan pemerintah maupun suasta. Hal ini sesuai
dengan pasal 31 UUD 1945.
3. Setiap umat Hindu Indonesia harus selalu aktif memelihara dan mengembangkan
kebudayaan nasional dan menerima budaya asing secara selektif yang bermanfaat
bagi bangsa dan Negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan pasal 32 UUD 1945.
4. Setiap umat Hindu harus aktif ikut serta menanggulangi masalah fakir miski sesuai
dengan kemampuannya. Masalah fakir miskin bukanlah semata-mata menjadi beban
dan tanggung jawab pemerintah, melainkan merupakan tanggung jawab seluruh
rakyat Indonesia termasuk umat Hindu. Hal ini sesuai dengan pasal 34 UUD 1945.
5. Setiap umat Hindu harus selalu ikut aktif mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
serta memelihara instrument-instrument pemersatu bangsa seperti menghormati
bendera nasional menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta
menghayati dan mengamalkan pancasila. Hal ini sesuai dengan pasal 35-36 dan
pembukaan UUD 1945.
2.5 Dharma Agama dan Dharma Negara Dalam Realisasi Kehidupan Masyarakat Bali
Masyarakat bali adalah masyarat religious , dimana cita-cita hidup dan kehidupannya untuk
mencapai kerahayuan, dalam pengertian kesejahteraan jasmani(jagadhita), yang seimbang
dengan kesejahteraan rohani(moksha).
Etika keagamaan hindu dalam masyarakat bali, yang merupakan rujukan prilaku bagi
masyarakatnya, pada dirinya telah memancarkan untuk pelaksanaan Dharma Agama dan
Dharma Negara itu sendiri. Etika keagamaan hindu dalam masyarakat bali, yang
memancarkan rujukan untuk pelaksanaan Dharma Agama dan Dharma Negara, seperti :
1. Bagi masyarakat Bali, pemahaman dharma agama adalah menjalankan ajaran agama itu
sendiri. Contohnya adalah Tri Hita Karana.tri Hita Karana bagi masyarakat bali adalah ajaran
agama buat kehidupannya dan mengatur kehidupannya.
2. Pemahaman dean penghayatan Dharma Negara bagi amsyarakat, adalah mentaati seluruh
aturan hukum yang berlaku termasuk seluruh ketentuan hukum agama terhadap untuk
menjaga ketertiban dan keselarasan hubunan social masyarakatnya.
3. Bukti yang sangat kongkrit dari pelaksanaan Dharma Agama dan Dharma Negara dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan masyarakat Bali adalah: long march dari para pejuang
kemerdekan ke Gunung Agung, yang pada hakikatnya mengandung makna, Tirtha Yatra
dengan tujuan untuk nunas kerahayuan dalam konteks perjuangan bangsa merebut dan
mempertahankan kemerdekaan.
4. Pelaksanaan Yadnya dalam masyarakat Bali, yang antara lain juga bertujuan dan
bermakna: penyelarasan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia
lainnya, serta manusia dan Tuhan.

5. Sangat diyakini oleh masyarakat Bali, bahwa: ketaatan pada swadharma akan melahirkan
kesadaran diri, disiplin personal dan kemudian disiplin social, dan tegaknya tata tertib social.
6. Cita-cita kehidupan keagamaan dalam masyarakat Bali adalah terciptanya masyarakat
yang Sadhu dalam artian: etika keagamaan ditegaskan dalam prilaku kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
2.6 Tantangan Dharma Agama dan Dharma Negara
Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Bali dalam pengrealisasian Dharma Agama dan
Dharma Negara di Zaman yang oleh banyak pihak disebut sebagai era globalisasi, secara
garis besar adalah:
1. Menyadari kepada masyarakat agar tetap berporos dan atau kembali kepada konsepsi
swadharma kehidupan, sehingga tidak mudah terjebak untuk melakukan prilaku
menyimpang dari etika kehidupan keagamaan.
2. Masyarakat Bali harus meningkatkan kemampuan dirinya untuk mendidik diri sendiri,
dalam pemahaman dan penghayatan Dharma Agama dan Dharma Negara untuk
bertujuan kerahayuan, diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara bahkan
alam semesta.
3. Melalui konsepsi : utpati (penciptaan), Stiti (pelestarian) dan praline (peleburan),
masyarakat Bali tidak hanya sadar, tetapi menjadi yakin bahwa phenomena perubahan
dalam masyarakat adalah cirri alamiah diri manusia, alam dan masyarakat itu sendiri,
sehingga selalu siap untuk menerima perubahan itu sendiri. Dengan demikian,
hendakna masyarakat Bali selalu menyadari bahwa dinamika perubahan tidak
menggerus masyarakatnya untuk keluar, menyimpang, melawan Dharma kehidupan.
2.7 Pengertian Tri Hita Karana
Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yang berarti tiga, Hita yang berarti kebahagian dan
Karana yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri hita Karana berarti tiga penyebab
kebahagian. Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 November 1966,
pada waktu diselenggarakan konferensi Daerah I Badan Perjuangan Umat Hindu Bali
bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berdasarkan
kesadaran Umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa
menuju masyarakata sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri
Hita Karana berkembangan, meluas dan memasyarakat.
Tiga penyebab kebahagiaan termaksud adalah adanya:
1. Hubungan baik manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa
2. Hubungan baik manusia dengan manusia lainnya
3. Hubungan baik manusia dengan lingkungan
Berikut ini disampaikan penjelasan lebih jauh.
1. Hubungan baik manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa
Manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan Atma yang ad dalam diri manusia merupakan
percikan sinar suci kebesaran Tuhan yang menyebabkan manusia dapat hidup. Dilihat dari

segi ini sesungguhnya manusia itu berhutang nyawa terhadap Tuhan. Oleh karena itu umat
Hindu wajib berterima kasih, berbhakti dan selalu sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Rasa
terima kasih dan sujud bhakti itu dapat dinyatakan dalam bentuk puja dan puji terhadap
kebesaran Nya, yaitu:

Anda mungkin juga menyukai