Anda di halaman 1dari 7

Ekonomi dan Sosiologi Etika Subsistensi

Perilaku sederhana keluarga petani yang berorientasi subsistensi merupakan suatu ciri
yang membedakan mereka dari perusahaan kapitalis. Cara keluarga petani mempertahankan unit
mereka dilakukan dengan memenuhi kebutuhan minimal konsumen subsistensi manusia dengan
cara yang andal dan stabil, Salah satu dampak kegagalan bagi keluarga yang ada di batas
subsisten adalah mereka harus lebih memikirkan keandalan dan keselamatan unit mereka
dibandingkan keuntungan jangka panjang.

Hal yang ganjil dalam perilaku ekonomi petani menunjukan perjuangan mereka dalam
melaksanakan ekonomi subsistensi untuk menutupi kekurangan tanah, modal, dan lapangan
pekerjaan di daerah mereka. A.V. Chayanov dalam studinya tentang petani kecil di Rusia
menunjukkan bahwa mereka terkadang melakukan tindakan yang tidak masuk akal untuk
bertahan hidup dengan modal tanah yang minim. Mereka seringkali bekerja keras dalam waktu
yang cukup lama untuk menambah angka produksi mereka. Chayanov menamai tindakan kerja
keras tersebut “Self Exploitation”.

Pada akhirnya tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi utama yang melimpah
bagi petani dengan upah yang minim (karena banyaknya jumlah tenaga kerja pada suatu lahan
yang kecil), sehingga pada akhirnya mereka mencari solusi untuk mendapatkan tambahan
keuntungan untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya seperti merubah cara mereka bercocok
tanam, merubah tanaman, dan membuat barang-barang kerajinan tangan untuk dijual di pasar.

Untuk memenuhi kebutuhan subsistensi di keluarga mereka, seringkali para petani


membeli atau menyewa tanah dengan harga yang sangat tinggi (Hunger Rents) untuk
memproduksi hasil panen yang lebih banyak. Semakin kecil lahan petani maka semakin besar
keberanian mereka untuk membayar sebidang tanah tambahan.

Perilaku subsistensi ekonomi ini menurut Chayanov telah membantah ilmu ekonomi
klasik tentang perilaku rasional sekitar 50 tahun yang lalu, sedangkan sekarang mikro ekonomi
sudah menjelaskan perilaku subsistensi tersebut. Hal itu dijelaskan dengan banyaknya petani
menggunakan tenaga kerja dan melakukan kerajinan tangan merupakan akibat dari Low
Opportunity Cost atau kesempatan kerja yang rendah dan High Marginal Utility atau tingginya
tingkat marjinal bagi mereka yang hidup dengan subsistensi ekonomi. Dengan begitu Hunger
Rent yang dianggap perilaku ganjil petani merupakan faktor dari kurangnya tanah atau modal
dan kesempatan kerja bagi keluarga petani.

A. “Safety First” : Ekonomi Subsistensi

Merupakan hal yang wajar ketika kita melihat petani berjuang melawan kelaparan di
musim tertentu dan mengambil banyak resiko dibandingkan dengan penanam modal yang berada
di tingkat atas mereka. Model ekonomi ini memiliki nilai substantif untuk memahami pola-pola
inovasi, seperti investasi dengan membuat sumur pompa, mengubah cara tanam, atau
menggunakan bibit padi unggul. Dengan mempelajari bagaimana petani menjalankan kehidupan
ekonomi untuk subsistensi yang stabil akan membantu kita memahami persoalan yang sama
mengenai sosial dan politik mereka.

Pengertian tentang tingkat subsistensi dan tingkat bencana dalam hasil panen
memerlukan penjelasan lebih lanjut, oleh karena itu kita mengkombinasikan sifat objektif dan
subjektif. Tingkat bencana minimum bisa disebut objektif karena mencerminkan persediaan
pangan yang cukup dekat kepada tingkat minimum fisiologis sehingga pengurangan produksi
akan menyebabkan malnutrisi dan kematian. Disamping kebutuhan fisiologis jelas terdapat
dimensi historis dalam tingkat-tingkat subsistensi dimana batasan minimumnya berkaitan dengan
pengalaman bertani sebelumnya.

Dengan demikian tingkat minimum produksi petani miskin di Thai bisa dianggap lebih
tinggi dibandingkan petani Vietnam Utara atau Jawa. Dengan menyadari dimensi historis dan
kebudayaan suubsistensi, kita akan mengetahui kalau petani di Asia Tenggara selalu berada di
batasan minimum produksi pangan tersebut.

Tingkat krisis subsistensi mungkin lebih tepat disebut “zona bahaya” daripada “tingkat”
yang merupakan batas minimum penurunan kualitatif dalam hal subsistensi, keamanan, status,
dan kohesi sosial. Dengan adanya realitas sosial dari tingkat krisis subsistensi bagi kebanyakan
petani, maka wajar saja mereka menganut apa yang diucapkan Roumasset yaitu “Safety First”.
Dalam hal memilih jenis bibit dan cara menanam, hal itu berarti bahwa petani lebih suka
meminimalisir kemungkinan bencana panen daripada meningkatkan penghasilan rata-ratanya.
Strategi ini mengesampingkan pemikiran meningkatkan penghasilan diatas rata-rata
dengan resiko yang besar dan membahayakan subsistensinya. Prinsip menghindari resiko ini
telah dicatat oleh ahli ekonomi yang mempelajari pertanian dengan penghasilan rendah di dunia
ketiga. Sikap menghindari resiko ini juga dikemukakan untuk menjelaskan mengapa petani lebih
suka menanam tanaman subsistensi daripada tanaman bukan pangan untuk dijual.

Dengan menetapkan tingkat resiko untuk tiap hektar dan rasa untuk menghindari
penurunan produksi dibawah batas, Roumasset mengatakan bahwa petani-petani subsistensi
secara rasional akan memilih teknik tradisional meskipun hasilnya sedikit. Pada akhirnya petani-
petani di daerah yang persediaan airnya dapat diandalkan mengurangi kemungkinan penggunaan
bibit baru dan lebih memilih mempelajari teknik-teknik yang baru.

Untuk memutuskan apakah para petani perlu menanam tanaman komersil (Cash Crop)
atau tidak, para petani cara menanam yang pokoknya sama. Peralihan produksi subsistensi ke
produksi komersil hampir selalu memperbesar resiko bencana. Tanaman subsistensi apabila
berhasil sedikit-atau banyaknya tetap dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sedangkan
tanaman komersil tergantung pada harga pasarnya dan tidak dapat dimakan oleh keluarga.

Besarnya resiko dari peralihan tanaman tersebut serta kemampuan petani bersangkutan
untuk memikul variable-variabel kunci untuk mengambil keputusan tersebut. Sikap hati-hati
petani disini mereka lakukan untuk sifat subsistensi ekonomi mereka. Meskipun kita tahu bahwa
toleransi resiko setiap petani itu berbeda-beda berdasarkan dekatnya mereka dengan sumberdaya,
untuk memenuhi kebutuhan subsistensi mereka.

Jika kita mengatakan bahwa prinsip “Safety First” berlaku kepada petani-petani kecil
dan penyewa tanah yang marjinal, maka secara tidak langsung kita memberikan gambaran
tentang sebagian besar penduduk agraris di Asia Tenggara. Studi tentang ekonomi subsistensi
petani di daerah tersebut telah menjelaskan berbagai orientasi subsistensi yang mendasari
keputusan ekonomis petani.

Prinsip “Safety First” itu juga tampak pada pernyataan-pernyataan lazim bahwa petani
Asia Tenggara enggan mencari untung apabila hal itu berarti mengganggu kehidupan subsistensi
mereka. Pada akhirnya untuk mencapai subsistensi yang terjamin dapat diungkapkan dalam
beberapa pilihan dalam proses produksi, memilih tanaman yang dapat dimakan dibandingkan
yang tanamannya harus dijual, memilih berbagai jenis bibit untuk mengurangi resiko, dan
memilih tanaman yang hasilnya bagus meskipun tidak banyak.

Meskipun menurut ukuran Asia Tenggara petani di Thai itu relatif makmur, mereka tidak
mau memikul resiko komersil, kecuali apabila mereka sudah berada diatas subsistensi yang
kokoh. Dengan begitu prinsip “Safety First” itu tidak berarti bahwa petani adalah kelompok
masyarakat yang tidak pernah memikul resiko yang dapat dihindarinya.

Teknik-teknik mengurangi resiko yang sedemikian itu bukanlah monopoli petani. Para
pedagang dan nelayan yang hidup dengan subsistensi juga mengurangi resiko untuk membantu
menjamin penghasilan yang cukup. Pedagang kecil contohnya akan berusaha memupuk
hubungan dengan beberapa pembeli tetap dengan memberikan pelayanan khusus kepada mereka
supaya mereka tetap berlangganan.

Dengan begitu maka argumen James Scott mengenai subsistensi ekonomi hanya berlaku
bagi petani yang mengalami dilemma eksistensi yang sama. Bagi petani dengan penghasilan
yang rendah, lahan yang kecil, keluarga besar, hasil panen yang variable, dan sedikitnya
kesempatan kerja, pola “Safety First” dan perilaku sosial tentunya akan berlaku secara konsisten.

Pada umumnya, ia akan berlaku bagi petani atau penyewa tanah yang miskin dan bukan
bagi petani kaya yang mengupahi tenaga kerja dan mempunyai tanah serta simpanan uang yang
cukup Dalam konteks ini tidak mungkin atau tidak perlu untuk menetapkan batas-batas dari
penghasilan dan kepastian yang lebih rasional bagi seorang petani.

Satu asumsi yang mendalam mengenai “Safety First” itu menjelaskan bahwa ekonomi
subsistensi memberikan hasil yang memuaskan. Meneruskan pekerjaan rutin berarti kehancuran
dan oleh karena itu juga rasional bagi mereka untuk mengambil resiko untuk memenuhi
subsistensi ekonomi. Petani-petani yang prinsip subsistensinya yang sedang terganggu karena
iklim, kekurangan tanah, atau harga sewa yang meningkat akan berbuat apa saja untuk
mempertahankan kehidupan subsistensi mereka. Meskipun ada kemungkinan mereka beralih ke
tanaman komersil, membuat hutang baru, dan menanam bibit yang ajaib dengan resiko yang
tinggi, perilaku tersebut memunculkan inovasi baru bagi para petani-petani subsistensi ekonomi.
B. Sosiologi Etika Subsistensi

Petani selalu mengharapkan pemberian dari alam, dari sekian teknik yang ada mereka
memilih meminimalkan kemungkinan walaupun mereka tetap rawan mengalami kegagalan.
Meskipun petani mengambil keputusan yang bijaksana sekalipun, mereka harus tetap berusaha
bertahan bertahun-tahun untuk menghadapi kekurangan kebutuhan hidup mereka.

Sampai pada akhirnya ada lembaga yamg menangani krisis ekonomi di keluarga petani.
Meskipun para petani apabila mengalami kegagalan panen biasanya lebih memilih untuk dibantu
oleh saudara-saudaranya dan juga tetangganya. Walaupun semakin dapat diandalkan subsistensi
tersebut, maka semakin kecil juga sumberdayanya.

Apabila kita membicarakan resiprositas antar keluarga dan warga desa, maka kita akan
beralih ke unit-unit sosial yang dapat menguasai lebih banyak sumberdaya subsistensi
dibandingkan keluarga, meskipun begitu keduanya sama-sama memperkuat semangat gotong
royong.

Unit sosial yang paling akhir yaitu negara menjadi salah satu unit yang ganjil di dalam
kerangka ini. Mereka lebih sering terlihat karena apa yang mereka ambil dari petani, bukan dari
apa yang mereka berikan kepada petani. Korelasi antara sifat yang dapat diandalkan dan
besarnya sumberdaya membuat petani tidak segan untuk memberikan apa yang mereka miliki
untuk negara namun sebaliknya negara tidak mengakui kebutuhan petani sebagai tanggung
jawab yang harus mereka penuhi.

Begitu seorang petani mengandalkan sanak saudaranya atau patronnya (pelindungnya)


daripada sumberdayanya sendiri, maka untuk timbal balik mereka memberikan ha katas tenaga
kerja dan sumberdayanya sendiri. Kita dapat mengatakan bahwa sebetulnya mereka saling
membantu karena adanya konsensus yang tidak diucapkan resiprositas dan bantuan yang mereka
berikan sama nilainya dengan tabungan mereka.

Jadi dapat kita simpulkan tiap lembaga itu memiliki peran yang ambivalen dalam
kehidupan petani. Lembaga tersebut dapat memberikan asuransi sosial yang vital terhadap
kemungkinan kekurangan, akan tetapi menimbulkan tuntutan atas sumber daya petani.
C. Distribusi Resiko dalam Masyarakat Petani

Kalimat “safety first” yang merupakan akibat paling logis dari ketergantungan petani
terhadap ekologi, dan mengandung preferensi relatif bagi subsistensi dengan penghasilan petani
diatas rata-rata. Apa yang telah ditonjolkan oleh etika subsistensi adalah suatu pandangan
tentang darimana petani memandang tuntutan yang tidak dapat dihindari oleh sanak saudara
mereka.

Hal itu berarti tuntutan-tuntutan tersebut tidak dinilai dari tingkat absolutnya, tetapi atas
dasar bagaimana tuntutan tersebut mempersulit atau meringankan masalah yang sedang dihadapi
petani demi mempertahankan ekonomi subsistensi mereka diatas tingkat krisis.

Dengan kondisi tersebut James Scott mengusulkan sebuah konsep tentang eksploitasi
yang berbeda dari konsep yang biasa digunakan dan dengan definisi yang lebih sesuai dengan
permasalahan eksistensial yang penting dalam kehidupan petani. Untuk menghindari salah
pengertian tentang kedudukan normative, maka perlu dijelaskan bahwa analisa James Scott pada
dasarnya adalah fenomonologis.

Oleh karena itu maka sebagaimana yang dialami para petani, eksploitasi tersebut bersifat
dipilih atau ditentukan oleh petani itu sendiri. Seperti contohnya pungutan yang dijatuhkan
kepada petani pada akhirnya apakah akan menambah atau mengurangu kemungkinan terjadinya
kegagalan. Argumen tersebut mengandung arti bahwa pungutan-pungutan yang besarnya tetap
terhadap petani biasanya lebih menyakitkan apabila pungutan tersebut diberikan kepada petani
yang hasil panennya sering berubah-ubah.

D. Subsistensi sebagai Tuntutan Moral

Perspektif petani disini sudah sesuai dengan “moral ekonomi orang miskin”, yang
merupakan gerakan-gerakan protes rakyat miskin di daerah perkotaan dan pedesaan di Eropa
pada abad ke-18 dan ke-19 dan bukan suatu paham yang radikal tentanf kekayaan dan pemilikan
tanah, melainkan tuntutan hak subsistensi.

Akhirnya paham yang menyatakan bahwa bagi mereka yang berada di batas kemiskinan
yang disertai ketidakpastian lebih menyakitkan dan eksplosif dibandingkan dengan kemiskinan
saja. Hal ini dikonfirmasi dari riset yang mengaitkan ketidakpastian tersebut dengan sikap
radikalisme.

Anda mungkin juga menyukai