Anda di halaman 1dari 12

Ekonomika Pembangunan I

“ Environment and Development “


Environment and Development: The Basic Issues
Ekonomi dan lingkungan
Aktivitas perekonomian lebih dari setengah populasi di dunia secara langsung
bergantung pada lingkungan hidup melalui pertanian, sebagaimana juga peternakan, berburu,
memancing, dan kehutanan.
Dalam beberapa tahun terakhir, para ekonom telah semakin fokus pada akibat penting
dari permasalahan-permasalahan lingkungan untuk upaya keberhasilan pembangunan. Hal ini
menggarisbawahi pentingnya Millenium Development Goal poin ketujuh: untuk “menjaga
keberlanjutan lingkungan”. Kualitas lingkungan hidup mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
pembangunan ekonomi.
Pada bab ini, akan dijelaskan penyebab ekonomi dan konsekuensi dari krisis
lingkungan dan mencari solusi potensial untuk permasalahan seperti lingkaran kemiskinan
dan degradasi sumber daya.
Terdapat delapan permasalahan-permasalahan dasar yang menjadi poin penting dalam bab ini
yaitu:
1. Pembangunan yang berkelanjutan
2. Populasi, sumber daya, dan lingkungan
3. Kemiskinan dan lingkungannya
4. Pertumbuhan Ekonomi vs Lingkungan Hidup
5. Pembangunan pedesaan
6. Pembangunan perkotaan
7. Lingkungan global dan perekonomian
8. Sifat dan laju dari gas rumah kaca-Penyebab perubahan iklim

Mata pencaharian berbasis sumber daya alam sebagai jalan keluar dari kemiskinan
Seperti yang sudah dituliskan di awal bahwa sebagian besar aktivitas perekonomian
penduduk dunia bergantung pada pertanian, peternakan, berburu, memancing, atau
kehutanan. Pendapatan yang didapat dari lingkungan ini, sangat penting untuk sebagian besar
orang miskin dan dengan dikontrol oleh kondisi kebijakan yang tepat dapat menawarkan
jalan keluar dari kemiskinan. Salah satunya adalah “tata kelola atau kebijakan yang berpihak
pada orang miskin”.
Pembangunan Daerah Pedesaan dan Lingkungan Hidup: “ Kisah Dua Desa”
Untuk memperjelas gambaran mengenai interaksi antara kemiskinan di daerah
pedesaan dan degradasi lingkungan hidup, mari kita simak kisah imajiner yang suram dari
dua desa di negara-negara bagian ketiga, dimana yang satu berada di Afrika dan yang lain ada
di Amerika Latin.
Penduduk desa Afrika tinggal di sebuah wilayah yang kering dengan pepohonan yang
semakin lama semakin langka. Para “ahli” internasional telah memperingatkan bahwa jika
pohon yang tersisa ditebang dan lahan marjinal di daerah itu tetap digarap, maka penduduk
desa akan menghadapi kondisi lingkungan hidup yang semakin buruk. Risiko disertifikasi
(berubahnya lahan-lahan subur menjadi padang pasir yang gersang) mengancam semua tanah
pertanian milik penduduk, termasuk lahan-lahan yang masih produktif. Rendahnya biaya
oportunitas dari waktu yang dihabiskan kaum wanita di desa ini merupakan faktor yang
melanggengkan penggunaan sumber daya hutan dan kondisi lingkungan yang buruk.
Kisah suram berikutnya dari suatu desa yang terletak di pinggiran hutan rimba di
sebuah negara Amerika Latin. Hampir semua petani disini adalah pendatang baru yang
tertarik oleh janji-janji pemerintah yang menawarkan sebidang tanah secara Cuma-Cuma dan
sejumput kemakmuran. Program pemukiman kembali (resettlement) tersebut menjanjikan
hak milik kepada siapa saja yang bersedia membuka sebidang lahandari hutan yang masih
liar. Pembakaran hutan dalam rangka membuka lahan-lahan baru tersebut memang untuk
sementara bisa menyediakan sumber pendapatan yang lumayan bagi para petani yang semula
tidak memiliki lahan sama sekali. Lahan yang dibuka dari lahan tersebut relatif tidak subur
sehingga hanya bisa ditanami selama beberapa tahun saja. Kondisi lingkungan hidup merosot
karena banyak hutan yang dibakar sehingga pada akhirnya akan menurunkan produktivitas
nasional secara keseluruhan. Kalaupun program pemukiman kembali itu berhasil
meningkatkan pendapatan petani secara lebi memadai, baiaya-biayanya (yakni, kerusakan
hutan) tetap saja jauh lebih mahal.
Salah satu akibat negatif yang secara langsung ditimbulkan oleh tekanan terhadap
kondisi lingkungan hidup seperti ini adalah erosi tanah (soil erotion). Karena terlalu sedikit
pepohonan yang dapat melindunginya dari terpaan angin dan curah hujan, maka permukaan
atau lapisan tanah yang paling teratas (biasanya paling subur) mudah sekali terkikis sehingga
makin menurunkan produktivitas tanah-tanah bersangkutan. Faktor penting lainnya dalam
siklus kemiskinan pedesaan dan kerusakan lingkungan hidup tersebit adalah penggundulan
hutan (deforestation). Dan degradasi lingkungan hidup yang bermula dari skala lokal dapat
meluas dengan cepat menjadi masalah daerah (regional).
Model-model Lingkungan Hidup dari Ilmu Ekonomi Tradisional
Sumber Daya Milik Pribadi
Grafik di bawah mendemonstrasikan bagaimana pasar dapat menentukan tingkat
konsumsi sumber daya alam yang paling optimal dengan melibatkan upaya maksimalisasi
total keuntungan netto bagi masyarakatdar suatu sumber daya, yang merupakan selisih antara
total keuntungan yang akan dihasilkan oleh sumber daya tersebut dan total biaya yang harus
ditanggung produsen untuk menyediakannya.
Efisiensi Statis dalam Alokasi Sumber Daya

Totak keuntungan netto (total net benefit) akan maksimal apabila biaya muarjinal produksi
atau penambahan satu unit sumber daya sama besarnya dengan keuntungan marjinal bagi
konsumen. Surplus produsen atau laba yang akan tercipta dari seluruh proses produksi lazim
disebut sebagai scarcity rent. Penjumlahan surplus produsen dan surplus konsumen akan
menghasilkan keuntungan netto maksimal. Pada prinsipnya beberapa rente kelangkaan itu
dapat dikenai pajak dan digunakan untuk melindungi lingkungan hidup atau tujuan sosial
lainnya.
Jika sumber daya itu tergolong langka dan persediaannya semakin menipis, maka nilai
rente kelangkaannya akan meningkat sekalipun biaya marjinal produksinya konstan, seperti
ditunjukkan grafik di bawah:
Alokasi Sumber Daya yang Optimal dari Waktu ke Waktu
Pemilik sumber daya yang langka tersebut memiliki volume tertentu untuk dijual, katakanlah
sebanyak X (75 unit) dan dia tahu bahwa dengan menyimpan sebagian diantaranya untuk
dijual di masa mendatang ,maka dia dapat memperoleh harga yang lebih tinggi daripada
menjualnya sekarang. Harga barang antar waktu tersebut harus menyamakan nilai sekarang
(present value) dari keuntungan netto marjinal (marjinal net benefit) atas unit terakhir yang
dikonsumsi pada masing-masing periode.
Para pendukung teori pasar bebas neoklasik mengingatkan akan adanya berbagai
bentuk inefisiensi dalam alokasi sumber daya yang diakibatkan oleh berbagai hambatan
terhadap operasi pasar bebas ataupun oleh masih bertahannya berbagai ketidak sempurnaan
dalam sistem hak kepemilikan. Selama semua sumber daya itu akan dialokasikan secara
efisien. Pasar hak milik (property rights) yang sempurna itu ditandai oleh empat kondisi
berikut:
1. Universalitas (universality): semua sumber daya yang ada dalam perekonmian
dimiliki oleh perseorangan.
2. Eksklusivitas (exclusivity): setiap orang yang bukan pemilik tidak akan
diperkenankan memanfaatkan suatu sumber daya begitu saja.
3. Transferabilitas (tranferability): pihak pemilik sumber daya bisa saja menjual
sumber daya miliknya apabila ia memang menghendakinya.
4. Enforsabilitas (enforceability): pengaturan distribusi pasar atau segenap manfaat
dari sumber daya tersebut harus ditegakkan secara hukum.
Berdasarkan keempat kondisi tersebut, pemilik sumber daya yang langka memiliki insentif
ekonomi untuk memaksmalkan manfaat netto dari penjualan atau pemanfaatan sumber
dayanya. Para penganut teori pasar bebas neoklasik itu juga mengingatkan bahwa seandainya
keempat kondisi tersebut tidak dipenuhi secara serentak maka akan timbul inefisiensi.
Sekarang kita akan menelaah dua model sederhana mengenai inefisiensi yang ditimbulkan
oleh berbagai bentuk ketidak sempurnaan dalam pasar hak kepemilikan (property market).
Sumber Daya Milik Umum
Jika sumber daya langka (seperti tanah yang subur) dimiliki oleh masyarakat secara
keseluruhan sehingga bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, maka hal itudisebut sebagai sumber
daya milik umum (common property resouce).
Sumber Daya Milik Umum dan Misalokasi

Total manfaat netto dari lahan tersebut akan lebih rendah menurut sistem kepemilikan umum,
kecuali pekerja bersangkutan dapat mengoordinasika keputusan penggunaan sumber dayanya
dalam cara yang kooperatif. Secara umum, jika lahan itu dimiliki oleh masyarakat, maka
setiap pekerja boleh ikut menyumbangkan tenaganya yang nilainya sama dengan rata-rata
produk dari semua pekerja. Pendapatan pekerja akan terus meningkat melampaui tingkat
upah semula agar dapat menarik cukup banyak tenaga kerja , sehingga produk rata-ratanya
akan sama dengan tingkat upah itu (disini jumlah pekerja yang diserap sama dengan Lc).
Meskipun total output lahan itu meningkat atau menurun (bergantung pada positif atau
negatifnya MPl)namun produk marjinal dari setiap tambahan pekerja baru akan selalu berada
dibawah tingkat upahnya. Karena kita berasumsi bahwa semua pekerja dapat diserap
sedangkan produktivitas masing-masing sama ayau lebih besar daripada W, maka
kesejahteraan sosial asti akna merosot apabila produk marjinal berada dibawah W. Pada Lc,
tidak ada rente kelangkaan yang bisa dipungut. Dalam kondisi seperti ini, secara teoretis
swastanisasi sumber daya pasti akan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan agregat dan
menciptakan alokasi sumber daya yang efisien.
Namun, perlu dikemukakan disini bahwa model-model neoklasik tersebut terlalu
memusatkan perhatiannya pada masalah efisiensi dan kurang memperhatikan hal-hal lain
yang tidak kalah penting , seperti aspekpemerataan atas hasil hasil yang diperoleh. Distribusi
pendapatan bahkan tidak dianggap sebagai sebagai hal yang relevan dalam teori tersebut.
Akibatnya, teori ini sebenarnya telah membutakan mata atas terciptanya maslaah distribusi
pendapatan yang sangat timpang, dimana hampir semua rente kelangkaan dan manfaat
ekonomi hanya diterima oleh segelintir orang yang memiliki sumber daya.
Argumen lain mengapa para petani di negara berkembang tidak menggunakan
sumber-sumber daya milik umum secara efisien, padahal seperti kita ketahui pada bab 9,
keluarga petani kecil pada umumnya merupakan penggarap lahan yang paling efisienmereka
enggan melakukan investasi atau perubahan jika merasa resikonya atau kadar
ketidakpastiannya terlalu besar, meskipun keuntungan yang akan diraih paabila investasi itu
berhasil sangat besar. Mereka jug atidak memiliki cukup uang untuk merekrut pekerja
tambahan atau membeli input komplementer untuk meningkatkan produktivitas lahannya.
Jadi, mempromosikan hak kepemilikan ribadi secara besar-besaran yang akan memperbesar
kepemilikan tanah kepada para keluarga petani kecil merupakan langkah yang paling tepat
untuk meningkatkan produktivitas. Pertanyaan yang paling relevan berkenaan dengan stuktur
hak kepemilikan tersebut adalah siapa yang memperoleh hak kepemilikan tanah jika
privatisasi itu diberlakukan? Cara seperti itu hanya akan menguntungkan sebagian lapisan
penduduk terkaya dan tidak sesuai dengan tujuan pembangunan.\

Barang Publik dan Penyakit Publik : Degradasi Lingkungan Hidup Regional dan
Masalah Free Rider
Dalam pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa stiap tambahan pekerja yang sengaja
direkrut untuk menggarap lahan milik umum akan menciptakan suatu eksternalitas negatif,
karena hal itu akan menurunkan tingkat hasil rata-rata dari semua pekerja tanpa memberikan
kompensasi apapun. Setiap tindakan anggota masyarakat yang positif akan menumbuhkan
manfaat atau barang publik (public good). Sebaliknya, tindakan yang negatif akan
menimbulkan penyakit pyblik (public bad) yang merugikan anggota masyarakat lain secara
keseluruhan. Disini barang publik diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat memberikan
keuntungan bagi setiap orang, dan kepuasan yang disapat oloeh masing-masing orang
tidaklah berkurang meskipun barang publik tersebut dinikmati bersama-sama. Anggaplah
degradasi lingkungan hidup regional yang diakibatkan oleh penggundulan hutan sebagai
contoh penyakit publik.
Perbedaan yang paling mencolok antara konsumsi barang publik dan barang normal
(yang dimiliki oleh perorangan) dalah bahwa permintaan agregat terhadap sumber daya
publik tersebut ditentukan oleh penjumlahan segenap kurva permintaan individu secara
vertikal , bukannya secara horizontal seperti untuk barang privat atau normal.

Pada grafik diatas jumlah pohon yang optimal secara sosial adalah Q*. Jumlah itu ditentukan
oleh perpotongan antara kurva permintaan agregat (yang dijumlahkan secara vertikal) dengan
kurva penawarab (Mc). Pada Q*, total manfaat neto bagi masyarakat dari barang publik atau
PmDc akan mencapai tarif maksimal. Namun sehubungan dengan apa yang disebut sebagai
free rider, mekanisme pasar bebas tidak akan mencapai kuantitas optimal tersebut. Pada
tingkat harga Pm, mekanisme pasar bebas akan memnuhi permintaan orang B sebesar Qb,
tanpa mengabaikan permintaan orang A sebanyak Qa. Padahal yang memberikan kontribusi
hanya orang B, itu berarti bahwa orang A adalah free rider. Karena adanya penumpang gratis,
maka pasar baru menyediakan tingkat preservasi liputan yang sub optimal, yakni hanya pada
tingkat Qb. Untuk mencapa tarif optimal (Q*) pasar tersebut memerluka intervensi
pemerintah. Salah satu solusi yang paling efektif adalah membebankan sejumlah biaya per
unit kepada masing-masing konsumen, yakni Pa untuk orang A dan Pb untuk orang B. Hal ini
dimaksudkan untuk menciptakan kuantitas penyediaan barang publik yang optimal yaitu
sebesar Q*. Total penerimaan yang diterima konsumen adalah Pa x Q* ditambah dengan Pb x
Q*, sehingga sama dengan kontribusi total Pm x Q*. Ini merupakan jumlah yang persis
dibutuhkan untuk membiayai upaya-upaya pelestarian hutan pada tingkat yang optimal secara
sosial.

Pembangunan perkotaan dan Lingkungan Hidup


Ekologi Pemukiman Kumuh di Perkotaan
Dalam beberapa hal, kehidupan sehari-hari penduduk miskin di daerah pemukiman
kumuh di perkotaan mirip dengan kehidupan penduduk miskin di daerah pedesaan. Masing-
masing anggota keluarga harus bekerja sepanjang hari. Pendapatan mereka serba tidak pasti
dan mereka begitu sulit mendapatkan gizi, pelayanan kesehatan, serta kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka juga yang menghadapi risiko dan dampak
yang paling besar atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup di perkotaan.
Pusat-pusat kota di berbagai negara sedang berkembang akan menyerap lebih dari 80
persen lonjakan penduduk dunia. Penyebab utamanya, lagi-lagi adalah arus migrasi yang
begitu deras dari desa ke kota. Ekspansi yang begitu cepat di pusat-pusat perkotaan di
berbagai negara sedang berkembang tersebut tentu saja akan menimbulkan tekanan-tekanan
yang semakin berat terhadap sumber daya yang tersedia. Pemerintah akan semakin sulit
menyediakan sarana infrastruktur dan jasa-jasa pelayanan sosial yang memadai bagi
warganya yang tinggal di daerah perkotaan.
Pada awalnya, implikasi terberat dari degradasi lingkungan memang dialami oleh
daerah-daerah pedesaan. Namun, dengan begitu derasnya arus urbanisasi, ancaman
lingkungan hidup yang paling berbahaya justru ada di daerah perkotaan. Kondisi lingkungan
hidup yang tidak dikelola dengan baik, yang diperparah oleh lonjakan penduduk dan emisi
industri, telah dan akan melipatgandakan ancaman kesehatan. Jika tidak segera diatasi,
ancaman lingkungan tersebut akan terus meningkat seiring dengan lonjakan pertambhan
jumlah penduduk dan ukuran luas perkotaan di negara-negara berkembang.
Karena kemampuan penduduk miskin untuk melingdungi diri dari berbagai ancaman
keehatan relatif sangat terbatas, maka merekalah yang paling banyak menanggung
konsekuensi serius yang bersumber dari degradasi lingkungan. Proporsi penduduk yang
menghunin pemukiman ku,uh tersebut kini telah mencapai 43%. Namun, karena terus
berlangungnya migasi, proporsi tersebut dipastikan akan menungkat lagi di masa-masa
mendatang.
Faktor penyebab lingkungan hidup di perkotaan yang sangat buruk sangatlah banyak.
Namun, guna menyederhanakan analisis di sini, kita akan membagi semua faktor penyebab
tersebut menjadi dua kategori pokok. Pertama dalah faktor-faktor penyebab yang bersumber
atau berkaitan dengan urbanisasi dan pertumbuhan insdustri. Sedangkan yang kedua adalah
keterbatasan pengelolaan kawasan-kawasan pemukiman didaerah perkotaan itu sendiri.
Industrialisasi dan Pencemaran Udara di Daerah-daerah Perkotaan
Tahap-tahap awal urbanisasi dan industrialisasi di berbagai negara-negara sedang
berkembang biasanya disertai dengan lonjakan pendapatan dan memburuknya kondisi-
kondisi lingkungan hidup. Menurut World Development Report terbitan tahun 1992, tingkat
pencemaran di sepermpat bagian kota terburuk di negara-negara maju masih lebih baik
daripada kondisi di seperempat bagian terbaik di kota-kota pada negara-negara Dunia Ketiga.
Negara-negara maju mampu menciptakan dan terus mengembangkan teknologi-teknologi
bersih (clean technologies)-aman terhadap lingkungan-yang sangat mahal itu. Namun, di
mana pun juga, tanpa penanganan secara khusus, kondisi air dan udara di daerah perkotaan
cenderung terus memburuk. Tanpa adanya regulasi pemerintah, upaya perbaikan kondisi
lingkungan hidup akan semakin sulit terlaksana.
Sumber utama pencemaran udara, yaitu sisi-sisi terburuk dari modernisasi yang
mengancam kesehatan manusia, adalah penggunanan energi secara berlebihan, emisi
kendaraan, dan pencemaran limbah produksi industri. Industrialisasi selalu meningkatkan
buangan limbah, baik dalam bentuk emisi langsung maupun melalui perubahan pola
konsumsi dan lonjakan permintaan terhadap barang-barang manufaktur. Cara pembuangan
limbah yang paling murah adalah langsung melemparkannya ke saluran air, ke udara terbuka,
atau menimbunnya di dalam tanah. Di sinilah letak arti penting peraturan pemerintah. Tanpa
pengawasan yang ketat, pihak produsen cenderung memilih cara-cara yang murah tersebut
meskipun mereka menyadari dampaknya yang sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup.
Selama tingkat teknologi dan sarana infrastruktur belum mampu meredam konsekuensi-
konsekuensi lingkungan hidup tersebut, selama itu pula kemajuan moderniasai cenderung
memperbesar biasa lingkungnan di daerah perkotaan.

Supply

Kurva diatas menjelaskan tentang eksternalitas Polusi: Biaya Individual versus Biaya Sosial
dan Peranan Perpajakan. Kurva diatas menjelaskan bagaimana timbulnya eksternalitas yang
disebabkan oleh produksi setiap unit barang. Setiap unit barang X akan menimbulkan biaya
pada pihak ketiga yang juga dikenal sebagai pajak polusi.

Masalah-masalah Pemukiman serta Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi


Disamping lonjakan emisi industri, dua faktor utama yang menyebabkan
memburuknya kondisi kesehatan penduduk perkotaan di banyak negara berkembang adalah
keterbatasan air bersih dan fasilitas sanitasi. Meskipun penduduk paling miskin di perkotaan
memiliki banyak kesamaan dengan penduduk miskin yang tinggal di desa dalam hal masalah
lingkungan yang buruk termasuk polusi yang parah dan ketiadaan sanitasi, namun banyaknya
jumlah anggota keluarga semakin memperburuk keadaan. Air selokan yang btergenang dan
sampah yang teronggok di jalanan turut menyumbang penyebaran penyakit. Ini tercermin
dengan fakta bahwa tingkat kematian di pemukiman kumuh di kota terkadang lebih tinggi
dariapda di daerah pedesaan, meskipun penduduk desa secara umum jarang mendapat
pelayanan kesehatan. Meskipun tingkat harapan hidup di negara berkembang telah
mengalami peningkatan, pencapaian ini sekarang terancam oleh meningkatnya jumlah orang
miskin yang tidak memiliki akses ke air bersih atau sanitasi.

Lingkungan Hidup Global: Kerusakan Hutan Hujan dan Efek Rumah Kaca
Begitu banyak aspek-aspek ekosistem yang telah rusak sehingga kemampuannya
untuk melakukan regenerasi semakin terbatas. Terjadinya penipisan lapisan ozon dan terus
berlangsungnya pemanasan global merupakan isyarat yang jelas bahwa iklim global berada
dalam bahaya. Masyarakat dunia pun semakiin tersentak karena bukti-bukti mengenai
kerusakan iklim global tersebut mulai nyata dari fenomena semakin banyaknya penderita
kanker kulit, meluasnya gurun pasir di dunia ini, serta naiknya permukaan air laut. Biaya-
biaya potensial atas perubahan iklim tersebut memang bervariasi dari satu kawasan ke
kawasan lain, dari yang biasanya dibebani pada kawasan yang kering maupun semi kering.
Kenaikan suhu global berimplikasi negatif terhadap tingkat pendapatan negara-negara Dunia
Ketiga karena negara-negara ini bertumpu pada sektor agraris yang kondisi potensialnya
bergantung pada faktro eksternal seperti cuaca dan iklim.
Perubahan pola penggunaan tanah di banyak negara berkembang merupakan
penyebab utama terjadinya efek rumah kaca. Diperkirakan proses penggundulan hutan
bertanggungjawab atas 25 persen dari total kenaikan emisi CO2 di seluruh dnnia. Sejumlah
besar hutan hujan di dunia ini terkikis dimana sekitar 60 persen diantaranya dibabat untuk
membuka lahan-lahan baru oleh para petani kecil. Setiap tahun, sekitar 4,5juta hektar hutan
ditebang dan dibakar hanya untuk membuat lading-ladang sementara, di mana diantaranya
adalah hutan hujan yang sebenarnya tidak begitu subur sehingga lahan yang dibuka hanya
bisa dimanfaatkan tanpa adanya efek keberlangsungan.

Beberapa langkah nyata harus segera dilakukan dalam rangka melestarikan hutan-
hutan hujan. Negara berkembang perlu meningkatkan efisiensi pemanfaatan ekonomi hutan
hujan mereka melalui penyempurnaan pengelolaanya. Peran pemerintah juga diperlukan
dalam rangka mencari alternative dari keberlangsungan pemanfaatan potensi hutan. Hal yang
tidak kalah pentingnya adalah bahwa masyarakat global harus mengambil peran dalam upaya
menanggulangi krisis lingkungan hidup ini. Salah satunya adalah dengan aktifnya peran
negara maju untuk mendukung negara berkembang antara lain dengan cara mengurangi
hambatan-hambatan perdagangan terhadap produk-produk alternatif yang dihasilkan negara
berkembang, penyediaan bantuan finansial tambahan agar negara berkembang mampu beralih
ke produksi yang mempunyai efek keberlangsungan, dan pengurangan utang luar negeri yang
mampu mengurangi keinginan negara berkembang untuk mengeksploitasi hutannya secara
berlebihan guna mendapatkan tambahan cadangan devisa.

Kebijakan stabilisasi dan program penyesuaian perekonomian yang secara structural


dilakukan oleh negara-negara pengutang atas saran dari IMF dan Bank Dunia mengharuskan
dikuranginya dana anggaran untuk berbagai bantuan pelayanan sosial secara besar-besaran
sehingga memperparah kemiskinan dan konsekuensinya terhadap lingungan hidup. Dalam
perkembangannya, Bank Dunia membentuk divisi khusus lingkungan hidup yang bertujuan
mempromosikan penyediaan pinjaman khusus untuk pelestarian lingkungan hidup.

Pilihan-pilihan Kebijakan bagi Negara-negara Maju dan Negara-negara Berkembang


A. Ada sejumlah pilihan kebijakan yang tersedia bagi pemerintahan negara-negara
berkembang antara lain:
1. Penentuan Harga Sumber daya secara Memadai
2. Partisipasi Masyarakat
3. Pengaturan Hak Kepemilikan atas setiap Sumber Daya secara Lebih Jelas
4. Peningkatan Alternatif-alternatif ekonomi bagi kalangan penduduk miskin
5. Peningkatan Status Ekonomi Kaum Wanita
6. Pengendalian Emisi Industri

B. Hal-hal yang bisa dilakukan negara-negara maju untuk membantu negara-negara


berkembang
Negara-negara industry dapat membantu negara-negara berkembang dalam upaya
memperbaiki kondisi lingkungan hidup melalui tiga cara pokok, yakni:
1. Liberalisasi Perdagangan
2. Pemberian Keringanan Utang\
3. Pemberian Bantuan Finansial dan Teknologi
C. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh negara-negara maju untuk menyelamatkan lingkungan
hidup global

Mungkin langkah paling penting yang perlu dilakukan oleh negara-negara maju yang kini
menkonsumsi 70 persen sumber daya dunia, untuk menyelamatkan lingkungan hidup global
adalah antara lain:
1.Mengurangi Emisi atau Penyebaran Polutan-polutan yang Berbahaya
2. Mengembangkan Teknologi yang Bersih bagi Diri Mereka Sendiri maupun bagi Negara-
negara Berkembang
3. Menurunkan Pola-pola dan Tingkat permintaan yang Cenderung Merusak Lingkungan
Hidup

Anda mungkin juga menyukai