Sekarang ini, ahli-ahli pertanian dapat dikatakan bekerja sangat terfokus pada
ilmu dan lapangan kerjanya masing-masing. Setiap disiplin ilmu cenderung merasa puas
dan bangga dengan objek kajiannya sendiri sehingga tidak mau peduli dengan disiplin
ilmu yang lain. Dr. Peter Goering mencontohkan, seorang ahli pembuat pestisida hanya
berpikir bagaimana menciptakan racun pembasmi hama yang seampuh mungkin, tanpa
mau memikirkan dampaknya terhadap jenis serangga bermanfaat (natural enemy of pest)
serta efek residual yang ditimbulkannya terhadap bahan pangan dan air minum. Pakar-
pakar pertanian cenderung mengejar target-target produktivitas hasil panen, tanpa
memikirkan apakah hal itu juga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani
kecil.
Spesialisasi juga telah menggiring para petani untuk hanya menguasai salah satu
teknologi, padahal dalam realitas kehidupan mereka selalu dihadapkan pada perubahan-
[erubahan, misalnya harga input atau output yang selalu berfluktasi, perubahan selera
atau trend permintaan konsumen, dan sebaigainya. Pada umumnya, para pertani tidak
mampu melakukan diversifikasi usaha tani yang dapat menekann risiko akibat
perusahaan yang tak terduga. Para petani kurang memiliki keberanian untuk melakukan
diversifikasi usaha tani alokasi, dan investasi keuangan karena kurangnya dukungan
pendidikan dan keterampilan yang memadai di bidang pertanian.
Para ilmuwan modern pada umumnya bertujuan mencari teori-teori dan hukum-
hukum universal untuk memudahkan kehidupan manusia, dengan cara mengendalikan
atau memanipulasi sumber daya alam. Di dalam perumusan hukum itu tersendiri terdapat
distorsi kelimuwan dari model-model empiris ke model-model teoretis dengan cara
menyederhanakan (simplifying) dan membakukan (standarizing) sebuah objek kajian.
Oleh karena itu,temuan dari kajian itu sendiri seringkali invalid dan menyimpang atau
bias dari kondisi empirirs, jika asumsi standar tak terpenuhi. Sebagai contoh, peningkatan
pemakaian pupuk nitrogen untuk merangsang pertumbuhan tanaman tidak serts-merta
mampu mendongkrak produktivititas hasil panen tanpa totalitas dukungan dari jenis
varietas, kesuburan tanah, kecukupan air, agroklimat, dan input kimia yang lain.
Standarisasi memang dipuji sebagai faktor krusial untuk meraih prduktivitas dan
efisiensi ekonomi. Standarisasi dilakukan oleh para pengusaha agribisnis untuk
mendapatkan produk pertanian yang seragam sesuai dengan selera dan tutan pasar. Para
pengusaha pertanian di dunia ini boleh dikatakan memiliki pola pikir yang seragam, yaitu
bagaimana menggunakan benih unggul yang sama, dosis puppuk dan obat-obatan yang
sama, serta mesin-mesin yang sama. Tanaman atau hewan pun akan diatur supaya
tumbuh dan berkembang secara seragam sehingga memudahkan permanent, pengemasan,
dan pengangkutan sampai ke outlet supermarket-supermarket di kota-kota besar.
Akibatnya, ribuan spesiaes tanaman lokal dan hewan-hewan spesifik mulai punah oleh
pola tanam yang serba seragam yang hanya didomiasi oleh sistem produksi pangan.
Setiap tahapan proses usaha tani, mulai dari penyuluhan dan pendidikan petani,
proses produksi, penanganan pascapanen, pemasaran, dan distribusi hasil-hasil pertanian
masih banyak yang tersentralisir; dengan kebijakan intervensi pemerintah yang sangat
kuat. Petani menjadi sangat tergantung dan tidak berinisiatif membuat keputusan-
keputusan secara mandiri untuk kemajuan usaha tani atau usaha di luar usaha tani.
Padahal, dalam ketentuan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)
dipersyaratkan agar para petani semakin mandiri atau tanpa subsidi sehingga mampu
berkompetisi dalam pasar dunia. Subsidi harga input-input pertanian yang terus berlajut
akan tidak mendidik petani untuk mandiri, lebih boros, dan tidak kompetitif. Pengenaan
pajak impor komoditas pertanian tidak mendorong petani untuk berproduksi secara
efisien sehingga mampu menerobos pasaran dunia. Sebaliknya, kebanyakan petani kita
hanya menjadi penonton, konsumen, atau bahkan korban era perdagangan bebas.
B. Benih Unggul; Praktek Monopoli yang Menjerat
Salah satu ciri pertanian industrial adalah penggunaan benih hibrida dengan
varietas yang selalu diperbarui oleh produsennya. Varietas baru ini hanya responsif bila
pemakaian input (misalnya pupuk NPK, pestisida, dan ketersediaan air) dalam kondisi
yang sempurna; sehingga mampu bereproduksi lebih tinggi dari benih varietas lokal atau
tradisional. Namun demikian, penggunaan benih hibrida memiliki sederet kelemahan,
anatara lain (Goering, 1993) sebagai berikut.
Sekarang ini, jumlah dan jenis sumber daya benih selalu meningkat serta
terkonsentrasi pada industri-industri pertanian yang menguasai pangsa pasar dunia;
karena adanya upaya-upaya monopoli terselubung dengan berkedok hak paten dan
persaingan dagang untuk terus mengembangkan rekayasa genetika super canggih.
Padahal, plasma nutfah yang digunakan sebagai bahan baku untuk membentuk benih baru
itu kebanyakan berasal dari negara-negara miskin di mana varietas lokal masih sangat
melimpah dan kurang dimanfaatkan. Industri pertasnian raksasa berkelas dunia (misalnya
SHELL, ICI, Ciba, Geigy, ITT, Univeler, Bayer, Monsanto, dan Dupont) selalu
berkompetisi menghasilkan benih varietas unggul untuk dipasarkan kepada petani-petani
miskin di negara-negara terlebakang. Bukankah ini merupakan bentuk baru imperialisme
ekonomi dengan memanfaatkan kecanggihan bioteknologi modern.
Berita terbaru tentang kontroversi benih dan produk transgenik terus bergulir
dengan perdebatan seru antara pro dan kontra. Di Amerika, kelompok Greenpeace
menuntut para produsen produk transgenik yang tidak bertanggung jawab melalui
pengadilan. Di Indonesia, Departemen Pertanian sedang melakukan uji multi-lokasi
terhadap beberapa jenis tanaman transgenik. Menteri Lingkungan Hidup menolak
masuknya tanaman hasil rekayasa genetika ke Indonesia karena belum jelas risikonya.
Adanya kebijakan yang mendua (ambivalen) antardepartemen, antara menerima dengan
setengah hati atau menolaknya secara tegas, menimbulkan kebimbangan di antara
masyarakat pertanian.