Disusun oleh :
Anandio Rendy Pamungkas 13040220130123
Dian Komalasari 13040220120009
Pratiwi 13040220120022
Sierra Hestri Salsabiela 13040220130115
Zahra Putri Rachmania 13040220120014
DAFTAR ISI........................................................................................... i
BAB 3 PENUTUP...................................................................................9
3.1 Kesimpulan.....................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA…………………………...………………….10
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Yanti. 2016. Awig Awig Dalam Desa Pakraman. http://www.jdih.karangasemkab.go.id/kegiatan/awig-awig-
dalam-desa-pakraman Diakses 8 November 2021 pukul 13.45 WIB
aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Tenganan Pegringsingan,
termasuk juga memantapkan penerapan aturan-aturan mengenai pengelolaan
hutan di kawasan desa tersebut. Hal ini dapat dipahami karena kitab awig-awig
tersebut dapat memberikan legitimasi terhadap penerapan aturan dalam
kehidupan masyarakat di Desa Pakraman Tenganan Pengringsingan.
Beberapa awig-awig, termasuk yang mengatur pengelolaan hutan juga
belum tertulis di dalam kitab tersebut. Meskipun belum tertulis, awig-awig
tersebut telah diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Setiap pelanggaran
terhadap awig-awig yang belum tertulis pun, juga dapat berbuah sanksi yang
diberikan oleh pihak desa pakraman kepada pihak yang melanggar. Awig-awig
yang belum tertulis tersebut diantaranya ialah aturan mengenai izin penebangan
terhadap pohon-pohon yang tumbuh berdekatan yang dikenal dengan sebutan
penjarangan serta aturan yang melarang penebangan terhadap jenis-jenis pohon
berkayu keras yang belum tercantum dalam kitab awig-awig.
Setelah dilakukan proses panjang penulisan kembali kitab awig-awig
tersebut, selanjutnya dilakukan sosialisasi mengenai lingkungan hidup dan
bagaimana aturan yang harus dipatuhi sesuai dengan apa yang sudah tertulis di
kitab awig-awig. Solusi tersebut diharapkan mampu sehingga kelestarian
lingkungan dapat terjamin. Setelah kedua cara tersebut dilakukan akhirnya
menunjukan hasil positif dimana terjadi pengurangan aktifitas perusakan hutan
yang dilakukan oleh masyarakat.
2.3 Peraturan Pemerintah Mengenai Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2.3.1 Undang- Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Dalam pasal ini dijelaskan mengenai pengertian dari pengelolaan
lingkungan hidup, yakni dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa pengeloaan
lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup2.
2
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
2.3.2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang ini menjadi bentuk pembaruan dari peraturang yang
sebelumnya. Dalam undag-undang ini dijelaskan mengenai pengertian dari
lingkungan hidup dan pengertian perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.3
Serta pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Penjelasan
lebih lanjut mengenai pencegahan tersebut dijelaskan dalam pasal-pasal
selanjutnya.4
2.3.3 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 mengatur beberapa hal mengenai
kehutanan, yaitu pengawasan hutan, status dan fungsi hutan, pengurusan,
perencanaan, pengelolaan, penelitian dan pengembangan pendidikan dan
latihan serta penyuluhan kehutanan, ketentuan pidana, dan ain sebagainya.
2.3.4 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
Dalam undang-undang ini pemerintah berupaya melakukan pencegahan dan
memberantas perusakan hutan. Tertuang dalam pasal 6 ayat 1 yang berbunyi
“Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah membuat kebijakan
berupa kooridnasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan
3
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
4Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
perusakan hutan, pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan
hutan, intensif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan,
peta penunjukkan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar
yurudis batas kawasan hutan, dan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasaranan
pencegahan dan pemberantasan hutan.”5
2.4 Studi Kasus Dan Analisisnya Berdasarkan Kacamata Antropologi
Hukum
2.4.1 Studi Kasus
Menurut KWT di desa adat Bayan Bali, terdapat awig-awig lama yang
membahas tiga hal: larangan, sanksi, dan prosesi siding adat (Tim Kajian dan
Kajian Lombok Barat, 2006). Di sisi lain, peraturan desa tentang pemanfaatan
hutan secara umum mengatur lima hal: dilarang (tidak diizinkan), diizinkan,
perlu, dan sanksi, serta mekanisme penerapan sanksi (Desa Bayan Village,
2006); Sirajuddin, 2009; Asyan, 2011; Lanangputra dan Mukarom, 2011).
Perubahan terus-menerus dimaksudkan untuk meningkatkan struktur dan
fungsi awig-awig untuk meningkatkan potensinya. Penyempurnaan ini
dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) sebagai wadah
perubahan baru yang sebelumnya tidak tercantum dalam awig-awig lama.
Peraturan Desa dibuat dengan berpatokan pada aturan-aturan yang tercantum
pada awig-awig, namun dilakukan penambahan/pengayaan sesuai dengan
perkembangan kondisi terkini, sebagai bentuk akomodasi terhadap tuntutan
perubahan yang terjadi. Tujuannya, adalah agar dapat meningkatkan daya
efektivitas awig-awig dalam menghadapi berbagai permasalahan yang muncul
dalam pengelolaan hutan adat di Bayan, yang kondisinya cenderung semakin
kompleks.
Perubahan dilakukan sebagai upaya untuk merespon perubahan sosial dan
memperkuat kemampuan masyarakat hukum adat untuk lebih memenuhi
kebutuhan hukum adat dalam pengelolaan hutan. Masyarakat di Desa Adat
Bayan mengutarakan bahwa, seharusnya awig-awig yang disepakati untuk
5
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
menjaga kondisi hutan tersebut bersifat dinamis, sehingga dapat berlaku dan
relatif sesuai dengan keadaan wilayah tersebut sampai kedepannya
2.4.2 Analisis
Pada masyarakat Bali, awig-awig adalah aturan pasti yang harus dipatuhi
6
agar tidak mendapat ganjaran. Antropologi hukum sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimana penerapan hukum yang berlangsung dimasyarakat
memandang fungsi awig-awig ini seperti pedoman hidup sebagai manusia yang
berdampingan dengan alam. Seperti studi kasus yang sebelumnya sudah
dipaparkan, sebelum dilakukan penulisan kembali awig-awig banyak terjadi
tindakan illegal yang berakhir merusak lingkungan hal itu dikarenakan
masyarakat kurang mengerti bagaimana peraturan yang sudah ditetapkan,
namun setelah dilakukan penulisan kembali kitab awig-awig dan dilakukan
sosialisasi masyarakat mulai sadar dengan larangan yang ditetapkan sehingga
berdampak dengan adanya pengurangan aktifitas ilegal oleh masyarakat.
Pengendalian masyarakat yang dilakukan di wilayah Desa Pakraman Tenganan
Pengringsingan ini menunjukan contoh yang benar, dimana sebuah peraturan
disosialisaskan terlebih dahulu kepada masyarakat sehingga masyarakat
mengerti dan tidak melakukan pelanggaran.
Konsep Awig-awig ini sejalan dengan Pasal 1 Ayat 2 UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi
“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum
6
Soekanto. 2017. Antropologi Hukum Sebagai Penunjang Studi Hukum, Hukum dan Kebudayaan.Vol 15
no 2.11. 2015. Hal 7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam pengembangan suatu geopark memerlukan beberapa prinsip, antara lain
pendidikan, konservasi, dan ekonomi masyarakat lokal. Sementara untuk menjaga
dan mengembangkan lingkungan pada masyarakat Bali khususnya, masyarakat
setempat memiliki aturan tertulis yang masih diyakini dan dilaksanakan hingga saat
ini yaitu awig-awig. Dalam penerapannya, Awig-awig dapat berfungsi sebagai
pengendali dan pedoman masyarakat dalam bertindak. Selain itu, dengan adanya
awig-awig mengenai kelestarian lingkungan di Bali, menjadi bukti adanya rasa
hormat masyarakat setempat terhadap lingkungan mereka. Adanya Awig- Awig
juga selaras dengan aturan negara yang diatur dalam Undang-Undang yang
tujuannya melindungi lingkungan hidup dari kerusakan akibat tindakan ilegal oleh
masyarakat. Dari kasus ini dapat terlihat bahwa hukum adat dan hukum negara
sebenarnya dapat berjalan dengan garis tujuan yang sama, walaupun dengan tata
cara yang berbeda
DAFTAR PUSTAKA