Anda di halaman 1dari 12

EKSISTENSI AWIG-AWIG SEBAGAI HUKUM ADAT DALAM

MENJAGA KESEIMBANGAN LINGKUNGAN DI BALI

Dosen Pengampu: Triyono, S.H., M.Kn.

Disusun oleh :
Anandio Rendy Pamungkas 13040220130123
Dian Komalasari 13040220120009
Pratiwi 13040220120022
Sierra Hestri Salsabiela 13040220130115
Zahra Putri Rachmania 13040220120014

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................... i

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................1

1. Latar Belakang ..............................................................................1

2. Rumusan Masalah .........................................................................1

3. Tujuan Penulisan ...........................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN .......................................................................3

2.1 Definisi dan Konsep Awig-Awig ..................................................3

2.2 Penerapan Awig-Awig dalam Lingkungan Hidup ........................4

2.3 Peraturan Pemerintah mengenai Lingkungan Hidup dan


Perhutanan .....................................................................................5

2.4 Studi Kasus Dan Analisisnya Berdasarkan Kacamata Antropologi


Hukum...........................................................................................7

BAB 3 PENUTUP...................................................................................9

3.1 Kesimpulan.....................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA…………………………...………………….10
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara hukum yang mana setiap elemen masyarakat
mematuhi tindakan yang diatur dengan hukum yang berlaku. Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki landasan hukum negara bersifat resmi yaitu Undang-
undang Dasar, selain itu setiap etnis juga memiliki hukum yang berlaku ditengah
masyarakat tertentu yang disebut sebagai hukum adat. Kedua hukum tersebut
memiliki kekuatan yang sama besar. Antropologi hukum memandang bagaimana
penerapan hukum yang nyata dimasyarakat, apakah hukum benar-benar berjalan
sesuai apa yang tertulis atau tidak, lalu menelisik apakah alasan dibalik pelanggaran
dan ganjaran berdasarkan hukum yang berlaku ditengah masyarakat.
Pada beberapa kasus pelanggaran, banyak terjadi ketidaksesuaian
pelaksanaan hukum dengan apa yang tertulis. Di satu sisi antara hukum negara dan
hukum adat memiliki pandangan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah
sehingga sering terjadi saling mengadu kekuatan hukum walaupun pada dasarnya
keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mengembalikan keadaan supaya tetap
kondusif. Hukum negara sudah pasti memiliki pengaruh yang besar terhadap
masyarakat, yang menarik adalah bagaimana pengaruh hukum adat di masyarakat.
Pada kesempatan kali ini kelompok kami akan mencoba mempelajari bagaimana
peranan hukum adat yaitu Awig-Awig yang diberlakukan di Bali dengan studi
kasus. Hal itu dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana
pelaksanaan hukum adat dan bagaimana pengaruhnya bagi masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
Sebagaimana telah dituliskan pada bagian pendahuluan, permasalahan yang
akan kami bahas mengenai eksistensi “awig-awig” sebagai hukum adat dalam
menjaga keseimbangan lingkungan di Bali, yakni sebagai berikut:
a. Bagaimana definisi dan konsep hukum adat awig-awig?
b. Bagaimana penerapan hukum adat awig-awig di Kawasan Bali?
c. Bagaimana tuntunan transformasi hukum adat awig-awig?
d. Apa korelasi antara hukum adat awig-awig dengan Undang-Undang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan?
e. Bagaimana hukum adat awig-awig dapat turut serta menjaga keseimbangan
lingkungan di kawasan Bali?
f. Bagaimana sudut pandang antropologi hukum terhadap hukum adat awig-
awig di Bali?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini terdiri atas beberapa hal, di antaranya
adalah:
a. Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Antropologi Hukum di kelas
Antropologi Sosial tahun 2021.
b. Mengungkap definisi, konsep, dan penerapan hukum adat awig-awig di
Pulau Bali.
c. Menganalisis korelasi antara awig-awig dengan Undang-Undang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
d. Menganalisis peranan dan fungsi awig-awig sebagai hukum adat yang
menjaga keseimbangan lingkungan Bali berdasarkan analisis Antropologi
Hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Konsep Awig-Awig


Awig-Awig dapat disebut juga sebagai Undang-Undang Dasar Desa Adat di
Bali. Awig-Awig merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat desa adat di Bali
yang telah mengakar dan menjadi pedoman bagi masyarakat adatnya. Secara istilah,
kata wig memiliki arti rusak kata awig memiliki arti sebaliknya yakni tidak rusak
atau baik. Awig-Awig yaitu aturan-aturan tertulis (dengan ejaan Bali dan Bahasa
Indonesia) maupun tidak tertulis yang diberlakukan pada setiap desa adat yang
disesuaikan dengan pola kehidupan/keseharian masyarakat adat tersebut demi
mencapai keteraturan dalam kehidupan sosial dan konsep keseimbangan ajaran
Tri Hita Karana (ajaran Hindu) yang mengajarkan mengenai keseimbangan antara
manusia dengan Sang Pencipta, manusia satu dengan lainnya, dan manusia dengan
lingkungannya. Awig-Awig mengatur banyak aspek di desa adat, seperti tata
kehidupan, tata tertib, sanksi bagi yang melakukan pelanggaran/penyimpangan
yang tidak sejalan dengan aturan di desa adat, pengelolaan sumber daya alam, dan
sebagainya. Berikut merupakan fumgsi hukum adat Awig-Awig:
1. Mengatur dan mengendalikan perilaku warga masyarakat dalam pergaulan
hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat.
2. Mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan
yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan.
3. Pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan
dan keutugan dalam tujuan untuk menwujudkan kehidupan yang aman,
tertib, dan sejahtera di wilayah desa adat.
Peraturan Awig-Awig ini telah ada sejak zaman nenek moyang tetapi
mengalami berbagai perubahan untuk menyesuaikan kondisi masyarakat adat yang
ada. Penyuratan awig-awig desa adat tidak boleh bertentangan dengan Pancasila,
UUD 1945, UU, Peraturan Pemerintah, dan peraturan perundang-undangan negara
lainnya. Peraturan mengenai Desa Adat di Bali telah ditulis dan disesuaikan dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Desa Adat Bali yang
didalamnya terdapat awig-awig yang merupakan aturan yang dibuat oleh Desa Adat
dan/atau Banjar Adat yang berlaku bagi Krama Desa Adat, Krama Tamiu, dan
Tamiu (Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 13). Dalam aturannya awig-awig
harus memuat (a) aran miwah Wewidangan, (b) pamikukuh miwah patitis, (c)
sukreta tata parahyangan, (d) sukreta tata pawongan, (e) sukreta tata palemahan,
(f) bahya, wicara, miwah pamidanda, (g) perubahan Awig-Awig (nguwah-
nguwuhin), (h) pamuput berdasarkan Tata Cara Penyuratan dan Pendaftaran Awig-
Awig Bab 2 Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang
Desa Adat Bali. Peraturan-peraturan awig-awig bertujuan untuk memelihara
kehidupan bersama Desa Adat agar rukun, tertib, dan damai, serta sesuai dengan
prinsip gilik saguluk, parasparo, salunglung sabayantaka, sarpanaya.

2.2 Penerapan Awig-Awig Dalam Lingkungan Hidup


2.2.1 Penerapan Awig-Awig di Desa Pakraman Tenganan Pengringsingan
Seiring dengan perkembangan jaman khususnya di Bali makna banyak
pelemahan yang terdapat pada filosofi Tri Hita Karana telah ternodai dengan
banyaknya masyarakat yang serakah sehingga berdampak pada banyaknya
kerusakan yang terjadi di alam sekitar. Untuk itu perlu dilakukan cara
pencegahan supaya keberadaan lingkungan hidup di wilayah Bali tidak
mengalami kerusakan. Sebagai contoh adalah masyarakat di Desa Pakraman,
Tenganan Pengringsingan dimana terjadi berbagai pelanggaran oleh
masyarakat yang melakukan eksploitasi hutan adat secara tidak beraturan
sehingga berakhir merusak hutan adat tersebut. Hal tersebut sudah sering terjadi
sehingga perlu dilakukan pencegahan. 1Salah satu cara pencegahanya yaitu
dengan menulis kembali kitab Awig-Awig yang sempat hilang, dengan menulis
kembali awig-awig tersebut sebagai sebuah pedoman yang mengatur tatanan
kehidupan masyarakat setempat, maka dapat memantapkan penerapan aturan-

1
Yanti. 2016. Awig Awig Dalam Desa Pakraman. http://www.jdih.karangasemkab.go.id/kegiatan/awig-awig-
dalam-desa-pakraman Diakses 8 November 2021 pukul 13.45 WIB
aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Tenganan Pegringsingan,
termasuk juga memantapkan penerapan aturan-aturan mengenai pengelolaan
hutan di kawasan desa tersebut. Hal ini dapat dipahami karena kitab awig-awig
tersebut dapat memberikan legitimasi terhadap penerapan aturan dalam
kehidupan masyarakat di Desa Pakraman Tenganan Pengringsingan.
Beberapa awig-awig, termasuk yang mengatur pengelolaan hutan juga
belum tertulis di dalam kitab tersebut. Meskipun belum tertulis, awig-awig
tersebut telah diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Setiap pelanggaran
terhadap awig-awig yang belum tertulis pun, juga dapat berbuah sanksi yang
diberikan oleh pihak desa pakraman kepada pihak yang melanggar. Awig-awig
yang belum tertulis tersebut diantaranya ialah aturan mengenai izin penebangan
terhadap pohon-pohon yang tumbuh berdekatan yang dikenal dengan sebutan
penjarangan serta aturan yang melarang penebangan terhadap jenis-jenis pohon
berkayu keras yang belum tercantum dalam kitab awig-awig.
Setelah dilakukan proses panjang penulisan kembali kitab awig-awig
tersebut, selanjutnya dilakukan sosialisasi mengenai lingkungan hidup dan
bagaimana aturan yang harus dipatuhi sesuai dengan apa yang sudah tertulis di
kitab awig-awig. Solusi tersebut diharapkan mampu sehingga kelestarian
lingkungan dapat terjamin. Setelah kedua cara tersebut dilakukan akhirnya
menunjukan hasil positif dimana terjadi pengurangan aktifitas perusakan hutan
yang dilakukan oleh masyarakat.
2.3 Peraturan Pemerintah Mengenai Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2.3.1 Undang- Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Dalam pasal ini dijelaskan mengenai pengertian dari pengelolaan
lingkungan hidup, yakni dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa pengeloaan
lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup2.

2
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
2.3.2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang ini menjadi bentuk pembaruan dari peraturang yang
sebelumnya. Dalam undag-undang ini dijelaskan mengenai pengertian dari
lingkungan hidup dan pengertian perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.3
Serta pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Penjelasan
lebih lanjut mengenai pencegahan tersebut dijelaskan dalam pasal-pasal
selanjutnya.4
2.3.3 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 mengatur beberapa hal mengenai
kehutanan, yaitu pengawasan hutan, status dan fungsi hutan, pengurusan,
perencanaan, pengelolaan, penelitian dan pengembangan pendidikan dan
latihan serta penyuluhan kehutanan, ketentuan pidana, dan ain sebagainya.
2.3.4 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
Dalam undang-undang ini pemerintah berupaya melakukan pencegahan dan
memberantas perusakan hutan. Tertuang dalam pasal 6 ayat 1 yang berbunyi
“Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah membuat kebijakan
berupa kooridnasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan

3
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
4Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
perusakan hutan, pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan
hutan, intensif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan,
peta penunjukkan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar
yurudis batas kawasan hutan, dan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasaranan
pencegahan dan pemberantasan hutan.”5
2.4 Studi Kasus Dan Analisisnya Berdasarkan Kacamata Antropologi
Hukum
2.4.1 Studi Kasus
Menurut KWT di desa adat Bayan Bali, terdapat awig-awig lama yang
membahas tiga hal: larangan, sanksi, dan prosesi siding adat (Tim Kajian dan
Kajian Lombok Barat, 2006). Di sisi lain, peraturan desa tentang pemanfaatan
hutan secara umum mengatur lima hal: dilarang (tidak diizinkan), diizinkan,
perlu, dan sanksi, serta mekanisme penerapan sanksi (Desa Bayan Village,
2006); Sirajuddin, 2009; Asyan, 2011; Lanangputra dan Mukarom, 2011).
Perubahan terus-menerus dimaksudkan untuk meningkatkan struktur dan
fungsi awig-awig untuk meningkatkan potensinya. Penyempurnaan ini
dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) sebagai wadah
perubahan baru yang sebelumnya tidak tercantum dalam awig-awig lama.
Peraturan Desa dibuat dengan berpatokan pada aturan-aturan yang tercantum
pada awig-awig, namun dilakukan penambahan/pengayaan sesuai dengan
perkembangan kondisi terkini, sebagai bentuk akomodasi terhadap tuntutan
perubahan yang terjadi. Tujuannya, adalah agar dapat meningkatkan daya
efektivitas awig-awig dalam menghadapi berbagai permasalahan yang muncul
dalam pengelolaan hutan adat di Bayan, yang kondisinya cenderung semakin
kompleks.
Perubahan dilakukan sebagai upaya untuk merespon perubahan sosial dan
memperkuat kemampuan masyarakat hukum adat untuk lebih memenuhi
kebutuhan hukum adat dalam pengelolaan hutan. Masyarakat di Desa Adat
Bayan mengutarakan bahwa, seharusnya awig-awig yang disepakati untuk

5
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
menjaga kondisi hutan tersebut bersifat dinamis, sehingga dapat berlaku dan
relatif sesuai dengan keadaan wilayah tersebut sampai kedepannya
2.4.2 Analisis
Pada masyarakat Bali, awig-awig adalah aturan pasti yang harus dipatuhi
6
agar tidak mendapat ganjaran. Antropologi hukum sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimana penerapan hukum yang berlangsung dimasyarakat
memandang fungsi awig-awig ini seperti pedoman hidup sebagai manusia yang
berdampingan dengan alam. Seperti studi kasus yang sebelumnya sudah
dipaparkan, sebelum dilakukan penulisan kembali awig-awig banyak terjadi
tindakan illegal yang berakhir merusak lingkungan hal itu dikarenakan
masyarakat kurang mengerti bagaimana peraturan yang sudah ditetapkan,
namun setelah dilakukan penulisan kembali kitab awig-awig dan dilakukan
sosialisasi masyarakat mulai sadar dengan larangan yang ditetapkan sehingga
berdampak dengan adanya pengurangan aktifitas ilegal oleh masyarakat.
Pengendalian masyarakat yang dilakukan di wilayah Desa Pakraman Tenganan
Pengringsingan ini menunjukan contoh yang benar, dimana sebuah peraturan
disosialisaskan terlebih dahulu kepada masyarakat sehingga masyarakat
mengerti dan tidak melakukan pelanggaran.
Konsep Awig-awig ini sejalan dengan Pasal 1 Ayat 2 UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi
“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum

6
Soekanto. 2017. Antropologi Hukum Sebagai Penunjang Studi Hukum, Hukum dan Kebudayaan.Vol 15
no 2.11. 2015. Hal 7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam pengembangan suatu geopark memerlukan beberapa prinsip, antara lain
pendidikan, konservasi, dan ekonomi masyarakat lokal. Sementara untuk menjaga
dan mengembangkan lingkungan pada masyarakat Bali khususnya, masyarakat
setempat memiliki aturan tertulis yang masih diyakini dan dilaksanakan hingga saat
ini yaitu awig-awig. Dalam penerapannya, Awig-awig dapat berfungsi sebagai
pengendali dan pedoman masyarakat dalam bertindak. Selain itu, dengan adanya
awig-awig mengenai kelestarian lingkungan di Bali, menjadi bukti adanya rasa
hormat masyarakat setempat terhadap lingkungan mereka. Adanya Awig- Awig
juga selaras dengan aturan negara yang diatur dalam Undang-Undang yang
tujuannya melindungi lingkungan hidup dari kerusakan akibat tindakan ilegal oleh
masyarakat. Dari kasus ini dapat terlihat bahwa hukum adat dan hukum negara
sebenarnya dapat berjalan dengan garis tujuan yang sama, walaupun dengan tata
cara yang berbeda
DAFTAR PUSTAKA

Aritama. (2017). Pengaruh Aturan Tradisional terhadap Bertahannya Bentuk


Kawasan (Studi Kasus: Kawasan Geopark Batur. Pengaruh Aturan
Tradisional terhadap BUndagi: Jurnal Ilmiah Jurusan Arsitektur
Universitas Warmadewa, 5(2), 33-40.
Astiti. (2007). Implementasi Ajaran Tri Hita Karana Dalam Awig-awig. The
Exellence Research.
Karidewi, M. P., Hardoyo, S. R., & Santosa, L. W. (2018). Desa Adat Tenganan
Pegringsingan dalam Pengelolaan Hutan di Desa Tenganan, Kecamatan
Manggis, Karangasem, Bali. Majalah Geografi Indonesia, 26(1), 27-45.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan
Daerah Nomor 04 Tahun 2019 Desa Adat di Bali.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan
Daerah Nomor 04 Tahun 2019 Desa Adat di Bali.
Soekanto. (2017). Antropologi Hukum Sebagai Penunjang Studi Hukum. Hukum
dan Kebudayaan, 15(2), 7.
Sumarjo, S. (2018). Eksistensi Awig-Awig dalam Menjaga Harmonisasi Desa Adat
Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali. Eksistensi Awig-
Awig dalam Menjaga HarmonisasHabitus: Jurnal Pendidikan, Sosiologi, &
Antropologi, 2(1), 27-39.
Suwitra, I. M., Astara, I. W., Irianto, I. K., & Datrini, L. K. (2017). Memaknai Isi
Rumusan Norma dalam Awig-awig di Desa Adat Pinggan Kintamani
Bangli. WICAKSANA: Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 1(1), 72-79.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantas Perusakan Hutan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Yanti. (2016). Awig-Awig Dalam Desa Pakraman. Retrieved November 8, 2021,
from http://www.jdih.karangasemkab.go.id/kegiatan/awig-awig-dalam-
desa-pakraman

Anda mungkin juga menyukai