Anda di halaman 1dari 14

i

KEDUDUKAN ADAT DALAM MASYARAKAT ACEH

MAKALAH

Tugas mata kuliah umum Adat Budaya Aceh

Ditulis Oleh :

Aprilia Dwi Pramesti


150405005

Dosen Pengampu :

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN


UNIVERSITAS SAMUDRA
LANGSA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT,


yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya kepada kita. Sholawat
beserta salam Allah SWT, semoga tercurahkan keharibaan Nabi kita Muhammad
SAW, kepada keluarga, dan kepada para sahabat-sahabatnya serta semua
pengikut  yang selalu setia kepada ajarannya, mudah-mudahan syafaatnya kelak
akan kita peroleh di yaumul akhir, aamiin yaa robbal alaamiin.
Penulis bersyukur kepada Allah SWT, sebagaimana penulis  didalam
melaksanakan tugas ini diberi kemampuan untuk menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kedudukan Adat dalam Masyarakat Aceh”. Penulis menyadari
bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang
Kedudukan Adat itu sendiri. Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami
mendapatkan bimbingan,arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih
yang sedalam-dalamnya Penulis ucapkan kepada ibu (Nama Dosen), dosen ( Mata
Kuliah/prodi ) yang telah memberikan masukan untuk makalah ini. Oleh karena
itu, penulis juga sangat mengharapkan kepada para pembaca agar memberikan
saran atau kritik yang konstruktif kepada penulis makalah ini, demi kesempurnaan
tugas-tugas yang diberikan oleh dosen untuk masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis hanya mampu untuk mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan masalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Langsa, November 2016

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1

1.1. Latar Belakang............................................................................ 1


1.2. Rumusan Masalah....................................................................... 2
1.3. Tujuan.......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 3

2.1. Kedudukan Adat Pada Umumnya............................................... 3


2.2. Bentuk Kegiatan Masyarakat Aceh Berdasarkan Adat............... 4
2.3. Pelanggaran yang dapat Diselesaikan Secara Adat..................... 4
2.4. Peran dan Kedudukan Lembaga Adat dalam Penyelesaian
Pelanggaran di Masyarakat ...................................................... 5

BAB III PENUTUP............................................................................... 10

3.1 .Kesimpulan................................................................................. 10
3.2 .Saran........................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 11

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat
sehingga annggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan
menderita, karena snksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung
dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadi perceraian, maka
tidak hanya yang bersangkutan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar,
tetapi seluruh keluarga atau masyarakatnya.
Adat ini merupakan istilah yang dikenal sebagai Het Indische Gewoontezecht.
Dalam bahasa Indonesia, istilah ini diterjemahkan sebagai hukum kebiasaan
Indonesia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun W.J.S
Poerwadharminta, adat disebut sebagai aturan yang lazim dituruti atau dilakukan
sejak dahulu kala.
Menurut JC. Mokoginta (1996:77), “adat istiadat adalah bagian dari tradisi
yang sudah mencakup dalam pengertian kebudayaan. Karena itu, adat atau tradisi
ini dapat dipahami sebagai pewarisan atau penerimaan norma-norma adat
istiadat”.
Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi
adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya
institusi-institusi adat di tingkat gampong atau mukim. Meskipun Undang-undang
no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum
Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih
memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan
Ureueng Aceh, terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampong dan mukim,
Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam
kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut
secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam
pun di atur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk.
Adat dan hukum adat itu merupakan salah satu “alat penunjuk arah” yang jitu
dalam menentukan sikap dan tingkah laku dalam batas-batas yang telah
dibenarkan oleh hukum adat mereka ada Hadih Maja yang berbunyi: “Lampoh
meu pageue umong meu ateueng (kebun berpagar sawah berpematang); Nanggroe
meu syara’, maseng-maseng na Raja (Negeri mempunyai peraturan dan masing-
masing mempunyai Raja)” artinya tiap hal ada adat lembaganya, dan tiap-tiap
bidang pekerjaan itu mempunyai aturan-aturan tertentu menurut bidangnya
masing-masing sehingga adat dan hukum adat ini bagi mereka, telah merupakan
salah satu alat kontrol sosial yang sangat ampuh. Bahkan bagi sebagian orang
Aceh, terutama mereka yang hidup dan bertempat tinggal di pedesaan yang jauh
dari lembaga peradilan umum (resmi), menyelesaikan hampir setiap perkara dan
sengketa hukum diantara mereka sesama warga masyarakat, mereka selesaikan
melalui jasa hukum adat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa maksud dan tujuan dari kedudukan adat dalam masyarakat Aceh?
2. Apa saja masalah yang dapat diselesaikan melalui adat?
3. Bagaimana adat dapat menyelesaikan beberapa permasalahan yang timbul
di masyarakat Aceh?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dan tujuan dari kedudukan adat dalam
masyarakat Aceh
2. Untuk mengetahui apa saja masalah yang dapat diselesaikan melalui adat
3. Untuk mengetahui adat dapat menyelesaiakan beberapa permasalahan
yang timbul di masyarakat Aceh

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan Adat Pada Umumnya


Kedudukan Aceh sebagai daerah provinsi dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia mempunyai beberapa keistimewaan. Keistimewaan Aceh
ditentukan dalam UU No. 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan
Daerah Istimewa Aceh. Ruang lingkup keistimewaan Aceh tersebut berdasarkan
UU No. 44 Tahun 1999 meliputi 4 (empat) macam bentuk yaitu sebagai berikut:
1. Bidang agama;
2. Bidang Adat;
3. Bidang pendidikan; dan
4. Peran Ulama
Berdasarkan ketentuan diatas tersebut maka dapat dikaji bahwa Aceh
merupakan daerah Provinsi yang bersifat istimewa. Salah satunya adalah bidang
adat istiadat. Kehidupan tatanan masyarakat Aceh identik dengan adat dan budaya
yang hidup. Peranan adat dalam kehidupan masyarakat Aceh menentukan prilaku
dan watak masyarakat Aceh.
Dalam UU No. 44 Tahun 1999 disebutkan ada empat keistimewaan yang
dimiliki oleh Aceh diantaranya yaitu:
1. Penerapan syariat islam dalam seluruh aspek kehidupan beragama;
2. Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syariat islam tanpa
mengabaikan kurikulum umum;
3. Pemasukan unsur adat dalam struktur pemerintahan desa;
4. Pengakuan peran ulama dalam penentuan kebijakan daerah.
Sebagai tindak lanjut dari UU No. 44 Tahun 1999 tersebut maka pemerintahan
daerah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, mengeluarkan kebijakan daerah
berupa Qanun No. 3 Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Majelis
Permusyawaratan Ulama, Qanun No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat
Islam di Aceh, Qanun No. 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan,
dan Qanun No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Adat. Dalam
pertimbangan Qanun No. 7 Tahun 2000 menyebutkan bahwa adat merupakan

3
nila-nilai sosial budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Daerah
Istimewa Aceh, karena itu perlu pembinaan terus menerus. Selanjutnya dalam
rangka mengisi keistimewaan Aceh, perlu dilakukan pembinaan, pengembangan
dan pelestarian terhadap penyelenggaraan kehidupan adat sehingga dapat
dijadikan pegangan dan pedoman dalam penyelenggaraan Hukum Adat dan Adat
Istiadat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

2.2 Bentuk Kegiatan Masyarakat Aceh Berdasarkan Adat


Bentuk kegiatan masyarakat Aceh yang biasa dilaksanakan berdasarkan adat
yang secara turun temurun telah dilakukan beberapa diantaranya adalah:
a. Syukuran Membangun Rumah
b. Upacara Aqiqah
c. Upacara perkawinan,
d. Upacara kelahiran bayi,
e. Upacara peusijuk
f. Kenduri apam pada bulan rajab
g. Makmeugang atau Uroe Meugang

2.3 Pelanggaran yang dapat Diselesaikan Secara Adat


Berikut adalah sengketa perselisihan yang termasuk dalam katagori adat dan
dapat diselesaikan oleh lembaga adat: Perselisihan dalarn rumah tangga; sengketa
antara keluarga yang berkaitan dengan fara’idl; perselisihan antar warga; khalwat
mesum; perselisihan tentang hak milik; pencurian dalam keluarga (pencurian
ringan); perselisihan harta sehareukat; pencurian ringan; pencurian ternak
peliharaan; pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; persengketaan
di laut; persengketaan di pasar; penganiayaan ringan; pembakaran hutan (dalam
skala kecil yang merugikan komunitas adat); pelecehan, fitnah, hasut, dan
pencemaran nama baik; pencemaran lingkungan (skala ringan); ancam
mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan perselisihan-perselisihan lain
yang melanggar adat dan adat istiadat.

4
2.4 Peran dan Kedudukan Lembaga Adat dalam Penyelesaian Pelanggaran
di Masyarakat
Dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 disebutkan bahwa lembaga adat
dalam masyarakat Aceh berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan
penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Adapun unsur-unsur
lembaga adat di Aceh pada masa sekarang adalah (1) Majelis Adat Aceh; (2)
meum mukim; (3) imeum chik; (4) keuchik; (5) tuha peut; (6) tuha lapan; (7)
meum meunasah; (8) keujruen blang; (9) panglima laot; (10) pawang glee/uteun;
(11) petua seuneubok; (12) haria peukan; dan (13) syahbanda. Secara terinci
pengertian dan ruang lingkup kegiatan masingmasing lembaga adat, sebagai
berikut:
1. Majelis Adat Aceh
Majelis Adat Aceh adalah majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh
yang struktur kelembagaannya sampai ke tingkat gampong.
2. Imeum Mukim
Imeum mukim adalah orang yang dipercayakan sebagai pemangku adat di
kemukiman atau sering disebut juga dengan kepala mukim. Ke-mukim-an
merupakan bentuk pemerintahan yang berada di atas gampong dan juga sebagai
badan federal dari beberapa gampong. Seorang imeum mukim bertugas
mengawasi pelaksanaan adat di tiap-tiap kemukiman, dan mempunyai
kewenangan dalam menindak tegas masyarakat yang melanggar adat di wilayah
ke-mukim-an. Selain itu, dia juga bertugas menyelesaikan sengketa tapal batas
antar gampong dan masalah-masalah perselisihan yang terjadi antar masyarakat
gampong dalam ke-mukim-annya.
3. Imeum Chik
Imeum chik adalah imeum masjid pada tingkat ke-mukim-an. Imeum chik
bertugas untuk memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan
dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan syari' at Islam.
4. Keuchik/Geuchik
Keuchik/geuchik adalah kepala persekutuan masyarakat adat gampong.
Keuchik tidak hanya memiliki otoritas dalam bidang pemerintahan, seperti

5
penyelenggara pemerintahan gampong, tetapi juga bertugas untuk melestarikan
adat istiadat dan hukum adat. Selain itu Keuchik juga bertugas untuk menjaga
keamanan, kerukunan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat. Ibrahim Alfian
menganalogikan keuchik sebagai “bapak/ayah gampong” karena besamya
tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya untuk pengendalian dan
pemeliharaan pemerintahan serta adat di tingkat gampong.
5. Tuha Peut
Tuha peut adalah suatu lembaga permusyawaratan di tingkat gampong. Badan
ini berfungsi untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Keuchik pada
setiap pengambilan keputusan dalam rangka menjalankan pemerintahan gampong.
Lembaga ini disebut dengan Tuha peut karena jumlah mereka sebanyak empat
orang yang terdiri dari unsur pemerintahan, agama, tokoh adat dan cerdik pandai
yang berada di gampong.
6. Tuha Lapan
Tuha lapan adalah lembaga adat yang terdapat pada tingkat mukim dan
gampong dan bertugas sebagai penasihat imeum mukim dan keuchik dalam
menjalankan pemerintahannya dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini terdiri dari
unsur-unsur Pemerintah, Agama, tokoh Adat, tokoh masyarakat, cerdik pandai,
pemuda, perempuan dan kelompok organisasi masyarakat. Imeum Meunasah
Imeum meunasah adalah orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di
gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan
penegakan syari'at Islam. Hubungan antara keuchik dan imeum meunasah sangat
erat. Sehingga imeum meunasah dapat dianalogikan sebagai “ibu gampong”.
8. Keujruen Blang
Keujruen blang adalah orang yang membantu keuchik dan imeum mukim di
bidang pengaturan dan penggunaan air irigasi untuk persawahan. Lembaga ini
bertuugas mempertahankan Hukum Adat di bidang pertanian. Selain bertugas
mengelola lingkungan di wilayah persawahan, keujruen blang juga bertugas untuk
menindak pelanggaran hukum adat dan menyelesaikan sengketa yang timbul di
wilayah kewenangannya.

6
9. Panglima Laot
Panglima laot adalah orang yang memimpin adat istiadat atau kebiasaan yang
berlaku di bidang penangkapan ikan di laut. Selain itu lembaga ini juga bertugas
mengatur tempat/areal penangkapan ikan, penambatan perahu dan menyelesaikan
sengketa bagi hasil. Kekuasaan panglima laot hanya berlaku di wilayah laut
meliputi semua aspek kehidupan di laut. Tugas panglimat laot tidak hanya sekedar
melakukan pengaturan tetapi juga memberikan sanksi pada setiap pelanggaran
adat dan sebagai hakim perdamaian ketika terjadi persengketaan di wilayahnya
bertugas.
10. Pawang Glee/Uteun
Pawang glee/uteun adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat
yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan.
11. Petua Seuneubok
Peutua seuneubok adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan pembukaan lahan untuk pertanian dan
perkebunan. Dalam hal ini, lazimnya pelopor yang membuka tanah mati untuk
menjadi lahan pertanian langsung diangkat sebagai peutua seuneubok.
12. Haria Pekan
Haria pekan adalah orang yang mengatur ketertiban, keamanan, dan
kebersihan pasar serta mengutip retribusi pasar gampong. Keberadaan lembaga
haria pekan sangat penting karena dapat menumbuhkan pasar-pasar strategis bagi
perkembangan lalu lintas jual beli barang-barang ekonomi rakyat. Selain itu
lembaga ini dibutuhkan dalam rangka mengatur kehidupan ekonomi pasar,
mengawas penipuan yang terjadi di pasar dan menetramkan para konsumen dari
segala bentuk kejahatan di pasar.
13. Syahbanda
Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengurus tambatan perahu lalu
lintas keluar dan masuk perahu di bidang angkutan laut dan sungai. Pada masa
lalu tugas syahbanda tidak hanya terbatas pada manajemen pelabuhan, tetapi juga
bertugas untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran di pelabuhan.

7
Sebagian besar lembaga adat tersebut berada di tingkat gampong, mukim dan
sebagian kecil di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Lembaga adat yang berada
di tingkat gampong adalah keuchik, tuha peut, tuha lapan dan imeum meunasah.
Lembaga adat tingkat mukim meliputi imeum mukim, imeum chik,dan tuha lapan.
Sedangkan lembaga adat keujruen blang, panglima laot, pawang glee/uteun, petua
seuneubok, haria peukan dan syahbanda ada yang berada di tingkat gampong dan
ada juga di mukim tetapi lembaga ini hanya memiliki kewenangan pada wilayah
yang khusus. Sedang lembaga adat tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah
Majelis Adat Aceh yang menaungi semua lembaga adat lainnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa lembaga adat tidak hanya
berfungsi sebagai penyelenggara aktivitas pemerintahan tetapi juga bertanggung
jawab untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayah kewenangannya.
Untuk gampong, lembaga adat yang memiliki kewenangan pada wilayah ini
adalah keuchik, tuha peut, dan imeum meunasah. Unsurunsur lembaga adat inilah
yang berwenang untuk menjalankan segala fungsi dan peran yang tercantum
dalam Qanun tentang Lembaga Adat.
Segala persoalan yang berkaitan dengan konflik dalam masyarakat akan
diselesaikan terlebih dahulu di tingkat gampong. Jika konflik tersebut tidak dapat
diselesaikan pada tingkat gampong maka kasus tersebut akan dibawa ke tingkat
mukim. Pada tingkat mukim ini kasus yang diselesaikan selain kasus limpahan
dari gampong juga kasus yang berkaitan dengan konflik antar gampong dan
konflik yang terjadi pada perangkat pemerintahan gampong yang tidak
memungkinkan bagi mereka menyelesaikan sendiri.
Pada tingkatan gampong, lembaga adat menduduki posisi yang penting
dalam menyelesaikan permasalahan konflik yang muncul dalam masyarakat.
Lembaga adat memiliki wewenang untuk menetapkan perceraian dan dapat
mengeluarkan surat keterangan cerai. Padahal berdasarkan peraturan yang ada
menyatakan bahwa perceraian tidak sah jika dilakukan di luar pengadilan agama.
Namun wewenang ini dilakukan oleh lembaga adat dengan tujuan untuk
kemaslahatan masyarakat.
Keadaan ini menunjukkan bahwa masih ada lembaga adat di beberapa
wilayah Aceh yang menjalankan peran dan fungsinya seperti pada masa sebelum

8
kemerdekaan. Dimana pada masa itu lembaga adat memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan segala permasalahan yang timbul didaerah kewenangannya,
termasuk permasalahan perceraian. Tradisi ini masih terus dilakukan oleh
sebagian masyarakat Aceh pasca kemerdekaan walaupun telah dikeluarkan
peraturan yang menganggap perceraian di luar pengadilan formal adalah tidak
sah.
Fakta ini menunjukkan bahwa peran dan fungsi lembaga adat pada masa kini
telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada masa dulu lembaga adat
di tingkat gampong memiliki kewenangan yang luas dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang timbul baik itu yang berkaitan dengan kasus perdata atau pun
pidana. Bahkan hasil keputusan penyelesaiannya dianggap sah dan memiliki
kekuatan hukum. Akan tetapi pada masa sekarang keputusan lembaga adat dalam
menyelesaikan permasalahan dianggap sah
Namun tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga kalau ada yang melanggar
keputusan yang telah disepakati maka hukuman yang mungkin diberikan berupa
sanksi sosial.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Aceh merupakan daerah Provinsi yang bersifat istimewa. Salah satunya
adalah bidang adat istiadat. Kehidupan tatanan masyarakat Aceh identik dengan
adat dan budaya yang hidup. Peranan adat dalam kehidupan masyarakat Aceh
menentukan prilaku dan watak masyarakat Aceh. Tidak diherankan jika
masyarakat Aceh masih memberlakukan Adat dalam setiap unsur kehidupan
masyarakat Aceh, seperti kegiatan umum yang biasa dilakukan sampai dengan
pelanggaran yang dapat diselesaikan secara adat melalui lembaga adat yang telah
ditetapkan oleh masyarakat gampong itu sendiri berdasarkan hukum adat yang
berlaku.

3.2 Saran
Penulis mengharapkan agar Pembaca terlebih dahulu memahami pengertian
dan makna dari Adat, sehingga lebih mudah saat memahami peran dan kedudukan
dari Adat itu sendiri .

10
DAFTAR PUSTAKA

Budi Agus Riswand, Analisis Ekonomi Terhadap Penyelesaian Pelanggaran Hak


Cipta Indonesia, Artikel, Fakultas Hukum UII dan Magister
Hukum UII Yogyakarta, hlm 7
Erman Rajagukguk, “Kontrak Bisnis Internasional dan Kaitannya dengan
Analisis Ekonomi terhadap Kontrak,”Jurnal Magister
Hukum UII, Vol. 1 No. 1 September 1999, hlm. 6
Ibid, hlm. 171-172.
Ibid, hlm. 172.
Ibid.,hal. 210.
Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kehidupan Adat dan Istiadat.
Peter Salim dan Yenny Salim, Op., Cit., hlm 501
Peter Salim dan Yenny Salim, Op., Cit., hlm 1209
Sujud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, CV Novindo Pustaka
Mandiri, Jakarta, 2003, hal. 15.
Suyud Margono, Op.Cit., hal. 24.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia.,Departemen Pendidikan Republik
Indonesia, hal. 323.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 
Op.Cit., hal. 976
Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kehidupan Adat dan Istiadat.
Kamarudin dkk,Model Penyelesaian Konflik di Lembaga Adat,Walisongo,
Volume 21,Nomor 1, Mei 2013
Yusi Amdani, Proses Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan di Lembaga
Peradilan Adat Aceh , Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum , Vol. 48,
No. 1, Juni 2014

11

Anda mungkin juga menyukai