KEMASYARAKATAN DI BALI
Disusun oleh :
MADE CITRA PRATIWI ( 14 )
NPM 1901882030079
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah, sebagai
berikut:
1. Apa difinisi dari subak ?
2. Bagaimana sejarah subak ?
3. Bagaimana struktur organisasi dalam sistem subak di Bali ?
4. Bagaimana subak sebagai sistem sorganisasi dan sosial ?
1.3 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui difinisi dari subak.
2. Untuk mengetahui sejarah subak
3. Untuk mengetahui struktur organisasi dalam sistem subak di Bali
4. Untuk mengetahui subak sebagai sistem sorganisasi dan sosial
2
BAB II
PENDAHULUAN
3
pada tahun tahun 896 masehi. Prasasti ini diantaranya menyebut kata-kata
“Undagi Lancang”(tukang membuat perahu), “Undagi Batu”(tukang mencari
batu) dan “Undagi Pangarung “ (tukang membuat terowongan air). Pada masa itu
sudah ada ukuran pembagian air untuk persawahan yang disebuat “Kilan”
(sekarang di sebut tektekan yeh). Yakni ukuran air untuk persawahan. Kemudian
pada prasasti trunyan yang diciptakan pada tahun 891 masehi, terdapat kata
“Serdanu” yang berarti kepala urusan air dan, dalam hal ini danau batur yang
terdapat di daerah tarunyan (Bangli). Diduga kata “Ser” inilah yang berubah
menjadi “Pekaseh” (pemimpin subak) yang berarti orang yang bertugas megatur
pemanfaatan dan pembagian air irigasi untuk persawahan dalam suatu wilayah
subak.
Dengan telah dikenalnya pembuatan trowongan air pada tahun 896
masehi, pertanian sawah dan tegalan pada tahun 882 masehi, serta telah pula
dikenal suatu ukuran pembagian air untuk sawah-sawah pada masa itu di Bali.
Secara faktual, pada tahun 1071 masehi, di Bali telah dikenal adanya subak. Hal
ini tidaklah berarti subak muncul pertama kali pada tahun tersebut. Tidak tertutup
kemungkinan subak sudah ada jauh sebelumnya, mengingat tahun 882 masehi
sudah ada pembuatan trowongan air untuk kepentingan pertanian. Didalam
prasasti pandak bandung yang berangka tahun 1071 masehi di jumpai untuk
pertama kalinya kata “Asuwakan” yang sekarang menjadi kata “Kasubakan Atau
Subak”. Juga dalam prasasti klungkung tahun 1072 masehi terdapat kata
“Kasuwakan Rawas” yang artinya “Kasubakan Atau Subak Rawas”. Kata subak
adalah suatu perubahan fonim dari kata “Suwak” mengikuti aturan perubahan
fonim p-b-m-w, sehingga menjadi subak yang artinya suatu pengatur air
persawahan yang baik. Suatu keterangan legendaris mengenai terbentuknya subak
di Bali, ada disebutkan dalam lontar markandya purana. Didalam lontar itu
disebut bahwa rsi markandya dari gunung raung (Jawa Timur) di iringi oleh 800
orang merabas hutan di pedalaman pulau Bali, lantas membuat sawah dan desa
yang disebuat “Desa Sarwada”. Desa inilah yang sekarang bernama desa Taro di
kecamatan Tegalalang (Gianyar). Sawah-sawah yang dibuat disebuat “Puwakan”
yang letaknya tidak jauh dari desa Taro. Didalam lontar itu disebutkan pula bahwa
rsi markandya membangun desa adat dan subak. Tapi keterangan legendaris ini
4
nampaknya lebih dari fakta sejarah yang lainnya. Sebab Rsi Markandya dikatakan
adik dari rsi trinawindhu yang hidup pada zaman kerajaan kediri di jawa timur
abad 12-13. Ini berarti Rsi Markandya datang ke Bali sekitar abad 12-13, dimana
di Bali saat itu telah ada subak.
Bali banyak dipengaruhi budaya luar, diantaranya : Sriwijaya (Sumatra)
pada permulaan abad ke 10, lemah tulis (Jawa Timur) sekitar tahun 1172 masehi,
pengaruh budaya Singasari (Jawa Timur) sejak tahun 1343 masehi dan juga
pengaruh budaya Kediri (Jawa Timur) yang dibawa oleh Dang Hyang Nirartha
sekitar tahun 1489 masehi. Berbagai budaya tersebut menyebabkan perubahan
sosial di Bali, lebih-lebih lagi setelah Bali berada dibawah naungan majapahit.
Kitab nagara kerthagama menyebutkan, bahwa Bali sepenuhnya menerapkan tata
cara yang berlaku di majapahit (sekitar tahun 1343) masehi), sistem pengolahan
pertanian di Bali mengalami suatu perkembangan. Sejak masa tersebut di Bali di
angkat seorang “Asedahan” yang bertugas mengorganisasikan beberapa subak.
Asedahan yang sekarang disebut “Sedahan”, memperoleh kepercayaan untuk
mengurus pungutan pajak (Upeti Atau Tigasana) pertanian. Pada masa
pemerintahan belanda di Bali, dibentuk “Sedahan Agung” pada setiap
“Landschap” (sekarang disebuat kabupaten). Sedahan agung bertugas untuk
mengorganisasikan seluruh sedahan yang berada di wilayah kabupaten yang
bersangkutan dalam konteks pembinaan subak dan pungutan pajak pertanian.
Pada masa itu ada 2 macam sedahan yaitu : sedahan sawah (dibeberapa daerah
disebuat “Panglurah”) dan sedahart. Tegal yang juga di sebut “Sedahan D”.
Selanjutnya dalam rangka menetapkan besar kecilnya pajak pertanian (yang
dikenal dengan istilah “Tigasana Atau Sawinih”), pemerintah belanda menempuh
langkah –langkah kebijaksanaan :
1. Mengadakan pengklarifikasikan sawah-sawah menurut tingkat
keseburannya.
2. Mengadakan pengukuran luas tanah secara pasti (klassier), yang untuk
pertama kalinya dilakukan pada tahun 1925 di Bali selatan.
Berdasarkan hasil kedua kebijaksanaan itu pemerintah belanda dapat
menetapkan secara lebih tepat besar kecilnya pajak yang harus di bayar oleh
pemilik tanah (pertanian). Selain itu, untuk menjamin kontinuitas persediaan air
5
irigasi bagi pertanian sawah, pemerintah belanda pada masa penjajahannya juga
telah membuat empangan-empangan air primer (Dam) secara permanen dan dam-
dam sekunder serta tersier yang menggantikan temuku dan empangan-
empanganair yang sering rusak. Sejak masa kemerdekaan republik indonesia
hingga sekarang, pertanian sawah sistem subak di Bali tampak dengan nyata baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada tahun 1971 jumlah subak di Bali
sebanyak 1.193 subak, hingga tahun 1978 menjadi sebanyak 1.283 subak, dan
sampai tahun 1984 jumlah tersebut tetap tidak mengalami perubahan.
Perkembangan secara kualitatif terlihat dalam tubuh subak itu sendiri, diantaranya
struktur organisasinya semakin rapi, peraturan-peraturannya senantiasa
menyesuaikan situasi dan kondisi menuju kearah peningkatan produksi pertanian,
sehingga menjadi wahana yang baik bagi pemerintah menuju swasembada
pangan.
6
Seperti Gambar di atas, pekaseh adalah ketua subak yang
mempunyai kewajiban memimpin suatu subak. Dalam kesehariannya pekaseh
akan bertugas memimpin rapat-rapat subak, yang materi rapat dapat berupa
penetapan peraturan subak, pengaturan pembagian air, penanganan konplik /
sengketa jika ada, pengaturan upacara keagamaan yang terkait dengan subak,
termasuk melakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain (lembaga) di tingkat
desa dan kecamatan agar supaya subak dapat melaksanakan peran / fungsinya
dengan baik. Apabila wilayah subak cukup luas sehingga lebih sulit untuk
melakukan pengaturan, wilayah tersebut dibagi-bagi dalam wilayah yang lebih
kecil, yang disebut tempek. Istilah lain yang biasa digunakan untuk kata tempek
adalah munduk atau empelan. Setiap tempek / munduk / empelan dipimpin oleh
seorang kelian, yang namanya kelian tempek atau kelian munduk atau kelian
empelan. Kelian-kelian ini dibantu oleh seorang kesinoman atau juru arah atau
saya yang bertugas membantu kelian dalam menyampaikan informasi , keputusan-
keputusan yang mesti dilaksanakan sebagaimana yang telah disepakati dalam
rapat subak yang dipimpin oleh pekaseh.
Keberagaman struktur kepengurusan subak terjadi disebabkan karena
masalah yang dihadapi tidaklah sama antara suatu subak dengan subak lainnya,
disamping perbedaan inovasi/kreasi dalam mengembangkan subak agar dapat
lebih mensejahterakan para anggota subak. Jumlah anggota, luas wilayah dan
fisiografi wilayah, sumber air untuk pengairan, serta kebijakan pemerintah adalah
faktor-faktor yang dapat menentukan bagaimana struktur kepengurusan suatu
subak. Berbagai ragam unit kerja dalam kepengurusan subak adalah, sebagai
berikut :
1. Struktur oragnisasi subak yang terdiri dari : Pekaseh, Wakil Pekaseh dan
Kerama Subak
2. Struktur organisasi subak yang terdiri dari : Pekaseh, wakil pekaseh,
sekretaris, kesinoman, dan kerama subak
3. Strutur organisasi subak yang terdiri dari : Kelian Gede
(Pekaseh), penyarikan, petengen, kelian tempek, wakil kelian tempek,
kesinoman, kerama subak disamping ada pengawas keuangan dan
penasehat.
7
4. Kepengurusan subak yang didalamnya terdapat lagi kelompok-
kelompok kerja, dan kelompok kerja ini membawahi seksi-seksi atau
bidang-bidang.
Tugas pokok dan fungsi pengurus subak adalah sebagai berikut :
1. Pekaseh memiliki peran memimpin setiap rapat-rapat subak,baik yang
berkaitan dengan internal organisasi subak maupun yang berkaitan
dengan lembaga di luar subak, seperti misalnya Dinas Pertanian,
Sedahan, atau dinas terkait lainnya sesuai kepentingan subak.Pekaseh
mempunyai garis perintah ke kelian tempek.
2. Sekretaris berperan membantu pekaseh khususnya mengerjakan hal-hal
yang bersifat administratif atau dapat memimpin pertemuan jika pekaseh
berhalangan.
3. Bendahara, berperan dalam melakukan pembukuan dan mengelola
keuangan subak
4. Kelian tempek / kelian munduk, berperan dalam memimpin kegiatan-
kegiatan dalam sekup tempek disamping dapat sebagai perwakilan
tempek jika diadakan rapat subak.
5. Kesinoman, berperan membantu kelian tempek untuk menyampaikan
informasi yang terkait dengan subak atas permintaan pekaseh.
6. Ketua bidang atau seksi-seksi, berperan dalam membantu pekaseh untuk
meminpin dan mengembangkan bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
ada dalam kepengurusan subak.
8
/ kota dan bahkan provinsi. Dengan lembaga-lembaga di luar subak, sifatnya
hanya koordinatif yaitu mengkoordinasikan kegiatan subak agar dapat dimaklumi
dan jika diperlukan diajak untuk ikut berpartisipasi dan mendukung agar kegiatan
yang dilaksanakan oleh subak dapat berjalan sukses. Hubungan kerjasama dan
pembinaan oleh lembaga lain, misalnya dengan Dinas Pertanian melalui para PPL
(Penyuluh Pertanian Lapangan), Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Pendapatan
Daerah. Subak juga tidak berkaitan dengan batas-batas wilayah administrasi desa
maupun kecamatan. Olehkarenanya satu wilayah subak bisa tumpang tindih
dengan beberapa desa atau kecamatan dan bahkan mungkin kabupaten / kota.
Wilayah subak adalah didasarkan kepada hamparan sawah yang menerima air dari
satu sumber air pengairan.
Pergantian pengurus subak umumnya tidak mempunyai ketentuan yang
pasti, namun belakangan setelah subak-subak memilkki “awig-awig” yang telah
disyahkan masa bakti kepengurusan subak telah ditentukan, yaitu 5 tahun dan
dapat dipilih kembali.Pemilihan pengurus tentunya melalui rapat subak yang
dipimpin oleh Ketua subak (pekaseh) dengan dasar musyawarah mufakat.
9
Dengan konsep THK keharmonisan antara prahyangan, pawongan dan
palemahan akan tetap terjaga. Sehingga nilai sosio-religius yang
disandang subak khususnya dan Bali pada umumnya tetap lestari.
2. Kepercayaan (Beliefe)
Menurut Rousseau et al (1998), kepercayaan adalah wilayah psikologis
yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan
harapan terhadap perilaku yang baik dari orang lain.
Subak sebagai sistem sosial ditinjau dari kepercayaannya dibagi menjadi
dua diantaranya:
a. Kepercayaan yang rasional (Ilmu Pengetahuan dan teknologi)
Kepercayaan akan Ilmu pengetahuan dan Teknologi yang
dimaksudkan di sini adalah bahwa petani di Bali dalam prakteknya
menggunakan ilmu pengetahuan sebagai pedoman dalam bercocok
tanam dan mengelola sawahnya. Misal: Petani memberlakuan rotasi
tanam padi-palawija-padi (corp rotation), Panca Usaha Tani.
Teknologi pertanian digunakan untuk membantu meringankan
pekerjan petani. Teknologi dalam sistem subak ada dua,:
Teknologi Keras : Traktor, hand sprayer, tresser, penyosohan beras,
seeder dll
Teknologi Lunak: Kelompok tani, KUD, Subak
b. Kepercayaan yang irasional ( Nilai Tradisional dan hal-hal Gaib)
Kepercayaan yang irasional meliputi kepercayaan akan adanya Tuhan,
adanya makhluk yang tak kasat mata (gaib) dan kepercayaan akan
adanya niskala dan sekala. Misalnya : di Kawasan Subak Jati Luih,
Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, ditemukan setidaknya ada 13
jenis upacara yang dilakukan oleh para petani di lingkungan subak,
baik yang berada di kawasan Warirsan Budaya Dunia (WBD) maupun
yang berada di luar kawasan WBD. Adapun ketiga belas jenis upacara
tersebut antara lain : (1) upacara magpag toya; (2) nuasain (ngerastiti
pangwiwit nandur); (3) ngerasakin (mecaru di carik); (4) nyepi di carik
I (selama 3 hari setelah padi berumur 1 bulan); (5) nyepi di carik II
(selama 2 hari setelah padi berumur 2 bulan); (6) nyepi di carik III
10
(selama 1 hari setelah padi berumur 3 bulan); (7) upacara mohon air
suci ke pekendungan; (8) upacara mohon air suci ke pura bedugul; (9)
upacara ngusaba; (10) upacara nganyarin; (11) mantenin padi di
lumbung; (12) upacara nuunang tegteg; dan (13) upacara ngutang tain
asep. Tujuan dari upacara itu bukan lain adalah untuk menghormati
dewa-dewi dan leluhur. Untuk menjaga tanaman petani dari kerusakan
dan kegagalan panen. Karna Masyarakat bali percaya adanya niskala
dan sekala.Misalnya petani melewatkan salah satu upacara penting
yang ada di subak maka bias saja terjadi hal-hal yang dapat merugikan
petani, seperti serangan hama yang tak terkendali dan kerusakan
lainnya.
3. Perasaan/Sentimen
Unsur sentimen pada dasarnya merupakan keadaan kejiawaan manusia
yang berkenan dengan situasi alam sekitarnya, termasuk di dalamnya
perasaan/sentimen antar sesama manusia. Perasaan terbentuk melalui
hubungan yang menghasilkan suatu kejiwaan tertentu yang samapai pada
tingkat tertentu harus dikuasai agar tidak terjadi ketegangan jiwa yang
berlebihan. Ada tiga indikator yang digunakan untuk melihat implementasi
perasaan/sentimen, sebagai berikut :
a. Anggota subak merasa mempunyai kepentingan/tujuan yang sama.
b. Anggota subak merasa senasib dan sepenanggungan yang sama.
c. Anggota subak merasa mempunyai kebudayaan/falsafah yang sama.
Menurut Sudarta (2005), perasaan adalah menyangkut aspek emosional
dalam arti apa yang bisa menyentuh dan menyatukan perasaan anggota dan
kelompok. Perasaan atau sentimen anggota subak terbentuk karena adanya
ketergantungan bersama terhadap sumber air irigasi, dan keterikatan
terhadap adanya pura yang harus dikelola oleh subak yang bersangkutan.
Seperti contohnya suatu anggota subak mempunyai kepentingan atau
tujuan yang sama, yaitu kepentingan untuk mendapatkan irigasi dari
sumber atau bendungan yang sama. Mereka sama-sama mempunyai tujuan
untuk membudidayakan tanaman padi, dalam upaya mendapatkan hasil
tanaman padi sebagai bahan pangan utama, dan hal ini menyebabkan
11
mereka lebih bersatu dan lebih kompak dalam melaksanakan dan
menyelesaikan pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama, melalui
mekanisme gotong royong. Subak-subak di Bali berlandaskan Tri Hita
Karana dan semua anggota subak ini menganut agama hindu, hal ini
menyebabkan mereka merasa mempunyai kebudayaan yang sama dan
menciptakan kerjasama dalam suasana yang harmonis, dalam upaya
mencapai tujuan yang diinginkan.
4. Norma
Norma adalah pedoman tendang prilaku yang diharapkan atau pantas
menurut kelompok atau masyarakat atau biasa dosebut dengan peraturan
sosial. Norma sosial merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan
atau dibenarkan dalam situasi-situasi tertentu dan merupakan unsur paling
penting untuk meramalkan tindakan manusia dalam sistem sosial.
Umumnya setiap kelompok mempunyai norma untuk dimanfaatkan
sebagai alat pengontrol, tentang baik dan buruk. Indikator-indikator yang
mengukur subsistem norma ini adalah:
a. Memiliki norma yang sebagian besar atau keseluruhannya tertulis,
sehingga formal adanya.
b. Norma dipahami dan diaati oleh para anggotanya.
c. Pimpinan kelompok berkewajiban mengingatkan dan menjelaskan
kepada anggota yang lupa dan belum tahu tentang norma kelompok
tersebut.
Pada sistem subak, norma dan etik/ moral dalam peraturan subak yang
disebut dengan awig-awig (peraturan tertulis) dan juga parerem (peraturan
tidak tertulis, namun telah disepakati dalam suatu konsensus dalam rapat-
rapat subak). Parerem pada umumya disepakatai dalam rapat subak, kalau
ada kasus-kasus tertentu yang muncul dalam pengelolaan organisasi subak,
namun ternyata belum diatur secara spesifik dalam awig-awig. Awig-awig
pada umumnya mengatur tentang hal-hal yang bersifat normatif. Seperti
batas-batas subak, pelaksanaan upacara agama di kawasan subak,
larangan-larangan di kawasan subak, iuran anggota subak,dll. Sedangkan
parerem pada umumnya mengatur hal-hal yang lebih teknis, dan pada
12
umumnya dapat berubah, sesuai dengan kondisi pada saat itu. Misalkan
tentang besarnya denda, tentang waktu tanam dll.
5. Sanksi
Sanksi adalah suatu bentuk imbalan atau balasan diberikan kepada
seseorang atas perilakunya. Sanksi dapat berupa sanksi positif, contohnya
hadiah(reward) da nada pula berupa sanksi negative, contohnya hukuman
(punishment). Sanksi diberikan atau ditetapkan oelh masyarakat untuk
menjaga tingkah laku anggotanya agar sesuai dengan norma yang berlaku.
Menurut Sudarta(2005) untuk mencirakan kelompok yang dinamis, maka
berkaitan dengan sanksi perlu beberapa hal seperti:
a. kelompok harus mempunyai norma yang dibarengi dengan sanksi
b. sanksi tersebut harus jelas dan dipahami oleh setiap anggota kelompok
c. pemimpin atau pemimpin bertugas mengawasi, termasuk mengenakan
sanksi
d. efektivitas saksi untuk mencegah pelanggaran norma kelompok oleh
anggota.
13
yakni dimana peranan dimengerti oleh seorang yang memiliki kedudukan
tertentu dalam kelompok.
b. Status merupakan posisi atau tempat seseorang dalam suatu kelompok atau
diartikan sebagai suatu pengakuan atas sifat atau peranan seseorang yang
dianggap terhormat atau tidak
Pada subak, elemen yang harus diperhatikan:(a)setiap kedudukan dilengkapi
dengan peranan(hak dan kewajibak, (2)anggota memahami kedudukan dan
peranannya masing-masing, (3) peranan yang dijalankan oleh setiap anggota,
sesuai dengan status yang dimilikinya,(4) peranan yang satu diketahui anggota
lain, (5) ada koordinasi dan kerjasama secara intern dan ekstern kelompok
Contohnya apabila anngota subak memiliki kedudukan sebagai ketua,
sekretaris, bendahara, atau sebagai anggota melalui suatu rapat sehingga status
diketahui oleh semua anggota. Misalnya pemegang kekuasaan tertinggi dalam
oragnisasi subak adalah sedahan agung, berkedudukan di kantor bupati dan
diangkat oleh bupati dengan tugas:
a. Mengatur pengairan dan persediaan air diwilayah kabupaten
b. Memecahkan persoalan yang timbul antarsubak yang tidak sanggup
diselesaikan bawahannya
c. Memunggut pajak
d. Mrngkoordinasi upacara yang berhubungan dengan subak di tingkat
kabupaten
e. Kemudia hak untuk sedahan agung yakni digaji oleh pemerintah.
7. Kekuasaan (power)
Kekuasaan didefinisikan sebagai suatu kesanggupan untuk menguasai
orang atau pihak lain, seperti menggerakan, mengendalikan dan
mengambil keputusan / kebijakan). Kekuasaan mempunyai banyak
komponen, tetapi ada dua komponen yang penting yaitu wewenang
(authority) dan pengaruh (influence). Wewenang adalah hak yang
dibenarkan (legitimate right) kepada seseorang untuk mempengaruhi orang
atau pihak lain. Sedangkan pengaruh adalah kesanggupan untuk
mengontrol orang atau pihak lain dengan tidak menggunakan wewenang.
14
Implementasi kekuasaan pada subak dilihat dari empat indikator sebagai
berikut:
a. kekuasaan seorang anggota subak sesuai dengan kedudukannya.
b. kemampuan pemimpin menggerakan anggota subak.
c. kemampuan pemimpin mengontrol / mengendalikan anggota subak.
d. kemampuan pemimpin mengambil keputusan atau menentukan
kebijakan.
15
motivasi bagi anggota subak untuk kemajuan. Contoh: Dalam susunan
pengurus subak anggabaya seperti telah dibahas sebelumnya, dapat di
pahami bahwa di subak tersebut terdapat sistem penjenjangan yang jelas,
yakni mulai dari jenjang sosial terendah sampai dengan jenjang sosial
tertinggi. Tingkat yang lebih tinggi atau jenjang yang lebih tinggi disebut
pekaseh turut disusul dengan pangliman, penyarikan, patengan,
kelianmunduk, juru arah, krama subak.
9. Fasilitas
Fasilitas dapat berupa lahan pertanian, peralatan, harta, barang-barang dan
kemudahan yang tersedia dan digunkan untuk mencapai tujuan sistem
sosial. Bagi masyarakat pedesaan, tanah atau lahan pertanian merupakan
fasilitas yang terpenting karena merupkan sumber kehidupan yang utama.
Tanah atau lahan pertanian dapat berupa lahan sawah, tegalan,
perkebunan, perhutanan, termasuk sungai dan danau yang ada di
sekitarnya. Di sawah, tegalan, dan lahan pertanian itu terjadi interaksi
sosial yang menandakan adannya sistem sosial seperti:
a. Antara petani satu dengan petani lainya sama-sama memanen padi di
satu lahan pertanian yang sama.
b. Interaksi antara pemilik sawah dengan petani penggarap melakukan
negosiasi lahan yang akan ditanami kelapa sawit diperkebunan.
c. Anggota subak melakukan gotong –royong membersihkan parit yang
ada dikawasan subak mereka.
Fasilitas utama irigasi subak (palemahan) berupa pengalapan (bendungan
air), jelinjing (parit), dan sebuah cakangan (satu tempat masuk air ke
bidang sawah garapan anggota subak) untuk setiap petani anggota subak.
Jika di suatu lokasi terdapat dua atau lebih cakangan yang berdekatan
maka ketinggian cakangan-cakangan tersebut sama (kemudahan air
mengalir masuk ke sawah masing-masing petani sama), tetapi perbedaan
lebar lubang cakangan masih bisa ditoleransi sesuai dengan perbedaan luas
sawah bidang garapan petani. Pembuatan, pemeliharaan, dan pengelolaan
penggunaan fasilitas irigasi subak dilakukan bersama krama (anggota)
subak.
16
10. Wilayah
Wilayah merupakan ruang, tempat sistem sosial itu bertahan. Setiap desa
memiliki wilayah tertentu yang membatasi antar satu desa dengan desa
lainnya begitu juga subak. Masing-masing subak memiliki Pura Ulun Sui
sebagai tempat memohon berkah kepada Sang Pencipta agar pertanian
mereka mendapatkan hasil yang melimpah. Setiap kelompok subak
memiliki wilayah teritorinya masing-masing dan terhubung antara satu
subak dengan subak yang lainnya, karena terkait dengan proses pembagian
air bagi setiap subak. Kepala subak disebut Pekaseh, sedangkan asistennya
disebut Petajuh. Para anggota subak terdiri dari para pemilik sawah di
kawasan subak dan bisa diwakilkan oleh masing-masing penggarapnya.
Diwilayah subak inilah terjadi sistem sosial yang menghasilkan
komunikasi. Contoh: antara 2 orang atau lebih di kalangan petani, baik
membicarakan pembagian air di satu wilayah dengan wilayah lainya.
Sehingga terjalin interaksi yang harmonis dan tidak tercipta konflik atas
pembagian air dilahan pertanian tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
17
3.1 Kesimpulan
Subak diyakini merupakan pilar kebudayaan Bali yang sangat penting,
sehingga bila eksistensi lembaga tradisional tersebut mulai terancam, tidak solid
dan bahkan tidak berlanjut, maka selain sektor pertanian akan menghadapi
permasalahan. Perlu adanya transformasi dalam subak tanpa menghilangkan nilai-
nilai budaya didalamnya seperti pembentukan wadah koordinasi antar subak,
pemberian status badan hukum dan melakukan kerjasama dengan LSM dan pihak-
pihak terkait dalam kegiatan pertanian dan pelestarian alam.
3.2 Saran
Pemerintah harus lebih menyadari akan pentingnya keberadaan subak
sebagai warisan budaya serta sebagai organisasi kesejahteraan petani Bali serta
turut membangun kerja sama dengan organisasi subak itu sendiri secara
berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
18
Budiasa, I., W. (2010).Peran Ganda Subak Untuk Pertanian Berkelanjutan Di
Provinsi Bali. Jurnal AGRISEP, Vol. 9 No.2
Guntoro, S. (1996).Wisata Agro Di Bali Majalah Warta Pemda. Diterbitkan
Untuk HUT Pemda Bali ke-38 14 Agustus.
Mahdalena, N. (2016). Nilai Kearifan Lokal “Subak” Sebagai Modal Sosial
Transmigran Etnis Bali. Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL. Vol. 7
No. 2
Mbete, A., M., et al. (1998).Proses & Protes Budaya Persembahan Untuk Ngurah
Bagus. Denpasar: PT. Offset BP Denpasar.
Norken I., N., I., K., S. dan I.G.N.Kerta Arsana (2015). Aktivitas Aspek
Tradisional Religius Pada Irigasi Subak:Studi Kasus Pada Subak Piling,
Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Laporan
Penelitian Program Magister Teknik Sipil. Program Pascasarjana
Universitas Udayana Denpasar.
Pradnyawathi, N., L., M. & Adnyana, G., M. (2013). Pengelolaan Air Irigasi
Sistem Subak. Jurnal DwijenAGRO. Vol. 3 No. 2.
Suputra, I., K. (2008). Efektivitas Pengelolaan Sumber Air Untuk Kebutuhan Air
Irigasi Subak di Kota Denpasar. Tesis Program Pascasarjana Universitas
Udayana.Denpasar
Windia. W. (2013). Penguatan Budaya Subak Melalui Pemberdayaan Petani.
Jurnal Kajian Bali Vol. 3 No. 2.
_________., Sumiyati., Sudana, G. (2015). Aspek Ritual Pada Sistem Irigasi
Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia. Jurnal Kajian Bali Vol. 5 No. 1
Wiguna A., A. dan Surata. (2008). Multifungsi Ekosistem Subak dalam
Pembangunan Pariwisata. Yogyakarta: Aksara Indonesia
19