Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita
berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu
membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada
kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita
capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Guru serta
teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun
materil, sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempuraan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa
maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada guru serta teman-teman sekalian,
yang kadang kala hanya menturuti egois pribadi, untuk itu besar harapan kami
jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan
makalah-makah kami dilain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah –
mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-
teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi.

Ujungbatu, Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................. 1

BAB II
2.1 Pengertian Adab dan Adat Melayu Riau..................................................2
1. Pengertian Adab secara umum......................................................2
2. Pengertian Adat secara umum......................................................3
2.2 Adab dan Adat dalam Masyarakat Melayu Riau......................................4
1. Adab dalam Masyarakat Melayu Riau..........................................4
2. Adat dalam Masyarakat Melayu Riau...........................................6

BAB III
3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 10
3.2 Saran ................................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Orang Melayu mengaku identitas kepribadiannya yang utama adalah adat
istiadat Melayu, dan agama Islam. Dengan demikian, seseorang yang
mengaku dirinya orang Melayu harus beradat-istiadat Melayu, berbahasa
Melayu, dan beragama Islam. Dari tiga ciri utama kepribadian orang Melayu
tersebut, yang menjadi pondasi pokok adalah agama Islam, karena agama
Islam menjadi sumber adat-istiadat Melayu. Oleh karena itu, adat-istiadat
Melayu Riau bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Dalam
bahasa Melayu berbagai ungkapan, pepatah, perumpamaan, pantun, syair, dan
sebagainya menyiratkan norma sopan-santun dan tata pergaulan orang
Melayu.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian adab dan adat secara umum?
2. Bagaimana adab dalam Melayu Riau?
3. Bagaimana adat dalam Melayu Riau?

1.3. TUJUAN PENULISAN


1. Agar pembaca mengetahui bagaimana adab dan adat istiadat di daerah
Melayu Riau.
2. Setelah mengetahui agar kiranya pembaca dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari bagaimana adab dan adat yang ada di daerah
Melayu Riau.

iii
BAB II
ISI

2.1. Pengertian Adab dan Adat


1. Pengertian Adab secara Umum
Secara bahasa, pengertian adab adalah sebuah akhlak mulia dalam
bentuk tingkah laku, tabiat atau aturan yang didasarkan pada norma
maupun agama. Adab berasal dari bahasa arab yang artinya pendidikan
atau mendidik.
Sedangkan menurut bahasa Yunani, adab artinya kebiasaan atau etika.
Pada intinya, adab adalah sebuah perilaku yang menunjukkan kehalusan
dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak untuk mendidik diri sendiri
agar menjadi orang yang paham aturan dan bertanggungjawab.
a. Faktor yang mempengaruhi adab
a) Ajaran Agama
Agama pada dasarnya adalah pondasi dalam kehidupan
sehari-hari maupun bekal hidup kedepannya. Mereka yang
mendapatkan pendidikan agama yang tepat akan tahu betapa
pentingnya adab dalam kehidupan.
Mereka yang beriman akan patuh terhadap aturan
agamanya dan cenderung takut melakukan perbuatan buruk
sehingga lebih mudah menanamkan adab. Bahkan, manusia
yang patuh terhadap hukum syara hidupnya akan lebih
tenteram, damai dan bahagia.
b) Adat-Istiadat
Adat-istiadat merupakan salah satu hal yang memengaruhi
sikap manusia dan nantinya bisa berpengaruh pada adab. Adat-
istiadat identik dengan sikap yang turun-temurun dan sudah
dipertahankan sejak lama. Oleh karena itu, hal ini
memengaruhi kebiasaan manusia sehari-hari.
c) Nafsu

iv
Nafsu merupakan salah satu faktor pendorong manusia
untuk mendapatkan sesuatu seperti makan, ambisi, hubungan
biologis hingga kemewahan. Nah, nafsu manusia adalah hal
yang paling sering menjerumuskan mereka terutama jika tidak
dikendalikan oleh nurani ataupun berpegang teguh pada agama.
d) Undang-Undang
Undang-undang merupakan sebuah aturan dasar dalam
kehidupan bernegara. Aturan ini dibuat sebaik mungkin demi
kemakmuran rakyatnya. Tidak adanya aturan undang-undang
yang bersifat negatif. Oleh karena itu, manusia beradab tentu
akan berperilaku sesuai dengan aturan undang-undang.
2. Pengertian Adat Secara Umum
Dalam Ensiklopedi Umum, kata “adat” diartikan sebagai Aturan-
aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha
orang dalam suatu daerah yang terbentuk di Indonesia sebagai kelompok
sosial untuk mengatur tata tertib tingkah-laku anggota masyarakatnya. Di
Indonesia, aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu menjadi
aturan hukum yang mengikat dan disebut hukum adat.
Pengertian adat di sini sangat terbatas, karena hanya berupa aturan-
aturan tentang beberapa segi kehidupan. Hal ini berbeda dengan pendapat
Prof. Dr. J. Prins yang mengatakan, “De adat overheerste tot voor kort alle
terrein van het leven juist wat de plichtenleer idealiter beoogt te doen”
(Prins, 1954). Pendapat Prins ini lebih mendekati pengertian yang
sebenarnya, karena ia mengatakan bahwa adat meliputi semua segi
kehidupan dan hanya untuk jangka waktu yang singkat.
Pengertian adat di Riau sendiri adalah ketentuan-ketentuan yang
mengatur tingkah-laku dan hubungan antara anggota masyarakat dalam
segala segi kehidupan. Oleh karena itu, adat merupakan hukum tidak
tertulis dan sekaligus sebagai sumber hukum. Sebelum hukum Barat
masuk ke Indonesia, adat adalah satu-satunya hukum rakyat yang
kemudian disempurnakan dengan hukum Islam, sehingga disebut “adat

v
bersendikan syarak”. Menyatunya adat Melayu dengan hukum syarak
diperkirakan terjadi setelah Islam masuk ke Malaka pada akhir abad ke-14,
sebagaimana diungkapkan Tonel (1920):
Adat Melayu pada mulanya berpangkal pada adat-istiadat Melayu yang
digunakan dalam negeri Tumasik, Bintan, dan Malaka. Pada zaman
Malaka, adat itu menjadi Islam karena rajanya pun telah memeluk Islam.
Ketentuan-ketentuan hukum syarak telah dianggap sebagai adat yang
dipatuhi oleh anggota masyarakat, sehingga sukar untuk membedakan
ketentuan-ketentuan yang berasal dari adat murni dan ketentuan-ketentuan
yang berasal dari hukum syarak.

2.2. Adab dan Adat dalam Masyarakat Melayu Riau


1. Adab dalam Masyarakat Melayu Riau
Adat-istiadat yang merupakan pola sopan-santun dalam pergaulan
orang Melayu di Riau sebenarnya sudah lama menjadi pola pergaulan
nasional sesama warga negara. Bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa
nasional Indonesia mengikutsertakan pepatah, ungkapan, peribahasa,
pantun, seloka, dan sebagainya yang hidup dalam masyarakat Melayu
menjadi milik nasional dan dipahami oleh semua warga negara Indonesia.
Ajaran, tuntunan, dan falsafah yang diajarkan melalui pepatah, peribahasa,
dan sebagainya itu telah membudaya di seluruh Indonesia, sehingga tidak
mudah untuk mengidentifikasi pepatah dan peribahasa yang berasal dari
Melayu dan yang bukan dari Melayu.
Dalam masyarakat Melayu di Riau, sikap dan tingkah-laku yang baik
telah diajarkan sejak dari buaian hingga dewasa. Sikap itu diajarkan secara
lisan dan dikembangkan melalui tulisan-tulisan. Raja Ali Haji, pujangga
besar Riau telah banyak meninggalkan ajaran-ajaran seperti Gurindam
Dua Belas, Samaratul Muhimmah, dan manuskrip-manuskrip lainnya.
Sopan-santun dalam pergaulan sesama masyarakat menyangkut
beberapa hal, yaitu tingkah-laku, tutur-bahasa, kesopanan berpakaian, serta
sikap menghadapi orang tua/orang sebaya, orang yang lebih muda, para

vi
pembesar, dan sebagainya. Tingkah-laku yang terpuji adalah yang bersifat
sederhana. Pola hidup sederhana yang dicanangkan oleh pemerintah
Republik Indonesia sejalan dengan sifat ideal orang Melayu
Kesederhanaan memang sudah menjadi sifat dasar orang Melayu
sehingga terkadang karena “salah bawa” menjadi sangat berlebihan.
Kesederhanaan ini membawa sifat ramah dan toleransi yang tinggi dalam
pergaulan. Kesederhanaan ini digambarkan pula dalam pepatah “Mandi di
hilir-hilir, berkata di bawah-bawah, “Ibarat padi, kian berisi kian runduk” .
Gotong-royong dan seia sekata sangat dianjurkan. Banyak pepatah
dan ungkapan yang menjadi falsafah hidup orang Melayu bertahan sampai
sekarang, seperti misalnya:
Berat sama dipikul
Ringan sama dijinjing

Ke bukit sama mendaki


Ke lurah sama menurun

Hati gajah sama dilapah


Hati tungau sama dicecah

Hidup jelang-menjelang
Sakit jenguk-menjenguk

Kuat lidi karena diikat


Kuat hati karena mufakat
Ungkapan-ungkapan yang menyangkut kebersamaan masih sangat
banyak, karena masalah gotong royong dan kerukunan bersama
merupakan masalah penting dalam pergaulan orang Melayu. Ungkapan-
ungkapan itu antara lain tercermin dalam.
a. Tutur-Kata

vii
Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasihat, karena kata
sangat berpengaruh bagi keselarasan pergaulan, “Bahasa menunjukkan
bangsa”. Pengertian “bangsa” yang dimaksud di sini adalah “orang
baik-baik” atau orang berderajat yang juga disebut “orang berbangsa”.
Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik dan tekanan
suaranya akan menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan
kata-kata kasar dan tidak senonoh, dia tentu orang yang “tidak
berbangsa” atau derajatnya rendah.
Bahasa selalu dikaitkan dengan budi, oleh karena itu selalu disebut
“budi bahasa”. Dengan demikian, ketinggian budi seseorang juga
diukur dari kata-katanya.

b. Sopan Santun Berpakaian


Dari pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap” juga
tercermin bahwa salah kain juga merupakan aib. Dalam masyarakat
Melayu, kesempurnaan berpakaian menjadi ukuran bagi tinggi
rendahnya budaya seseorang. Makin tinggi kebudayaannya, akan
semakin sempurna pakaiannya. Selain itu, sopan-santun berpakaian
menurut Islam telah menyatu dengan adat.
Orang yang sopan, pakaiannya akan sempurna, tidak bertelanjang
dada, dan lututnya tidak terbuka. Orang Melayu sejak dahulu sudah
mengenal mode, terbukti dengan adanya berbagai jenis pakaian, baik
pakaian pria maupun wanita. Demikian pula perhiasan sebagai
pelengkap berpakaian. Melayu mengenal penutup kepala bagi lakilaki
yang disebut “tengkolok” atau “tanjak” dengan 42 jenis ikatan.

c. Adab dalam Pergaulan


Kerangka acuan adab dan sopan-santun dalam pergaulan adalah
norma Islam yang sudah melembaga menjadi adat. Di dalamnya
terdapat berbagai pantangan, larangan, dan hal-hal yang dianggap

viii
“sumbang”. Pelanggaran dalam hal ini menimbulkan aib besar dan si
pelanggar dianggap tidak beradab.
Terdapat beberapa sumbang, yaitu sumbang dipandang mata,
sumbang sikap, dan sumbang kata yang pada umumnya disebut “tidak
baik”. Karakter anggota masyarakat dibentuk oleh norma-norma ini.
Dengan demikian tercipta pola sikap dalam pergaulan, seperti sikap
terhadap orang tua, terhadap ibu bapak, terhadap penguasa atau
pejabat, terhadap orang sebaya, terhadap orang yang lebih muda,
antara pria dan wanita, bertamu ke rumah orang, dalam upacara, dan
sebagainya. Banyak ungkapan yang kita jumpai di dalam masyarakat
Melayu yang digunakan sebagai tuntunan.

2. Adat dalam Masyarakat Melayu Riau


Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Riau bersumber
dari Malaka dan Johor, karena dahulu Malaka, Johor, dan Riau merupakan
Kerajaan Melayu dan adatnya berpunca dari istana, seperti disebutkan
Tonel (1920) dalam bagian lain seperti berikut:
Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam
dan syariat Islam. Adat-istiadat itulah yang turun-temurun berkembang
sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri, negeri Siak, negeri
Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala adat yang
tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak
itu, adat-istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang
kepada kitab Allah dan sunah Nabi.
Adat Melayu di Riau dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat
sebenar adat, adat yang diadatkan, dan adat yang teradat.
a. Adat Sebenar Adat
Yang dimaksud dengan “adat sebenar adat” adalah prinsip adat
Melayu yang tidak dapat diubah-ubah. Prinsip tersebut tersimpul
dalam “adat bersendikan syarak”. Ketentuan-ketentuan adat yang

ix
bertentangan dengan hukum syarak tidak boleh dipakai lagi dan
hukum syaraklah yang dominan.
Dasar adat Melayu menghendaki sunah Nabi dan Al Quran sebagai
sandarannya. Prinsip itu tidak dapat diubah, tidak dapat dibuang,
apalagi dihilangkan, itulah yang disebut “adat sebenar adat”.

b. Adat yang Diadatkan


“Adat yang diadatkan” adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada
suatu kurun waktu dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh
penguasa berikutnya. Adat ini dapat berubah-ubah sesuai dengan
situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan dengan
peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat. Perubahan terjadi
karena menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan
perkembangan pandangan pihak penguasa, seperti kata pepatah “Sekali
air bah, sekali tepian beralih”.
Adapun syarat menjadi raja sekurang-kurangnya memenuhi empat
perkara, pertama tua hati betul, kedua bermuka manis, ketiga berlidah
fasih, dan keempat bertangan murah. Demikian syarat bagi semua raja.
Hukum terdiri atas empat perkara juga, pertama hukum yang adil,
kedua hukum mengasihani, ketiga hukum kekerasan, dan keempat
berani.
Selanjutnya petuah-petuah yang diajarkan oleh Raja Ali Haji dalam
Gurindam Dua Belas juga memberikan bimbingan bagi anggota
masyarakat Melayu tentang seharusnya orang Melayu bersikap dan
bertingkah-laku sesuai dengan yang diinginkan oleh adat Melayu.
Gurindam Dua Belas memuat dua belas pasal. Sebagai gambaran,
berikut kutipan pasalnya:
Pasal lima
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia

x
sangat memeliharakan yang sia-sia

Jika hendak mengenal orang yang mulia


Lihat kepada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang berilmu
bertanya dan belajar tidaklah jemu

Jika hendak mengenal orang yang berakal


di dalam dunia mengambil bekal
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat kepada ketika bercampur dengan orang ramai

Pasal dua belas


Raja bermufakat dengan menteri
seperti kebun berpagar duri
Betul hati kepada raja
tanda jadi sembarang kerja
Hukum adil kepada rakyat

tanda raja beroleh inayat


Kasihkan orang yang berilmu
tanda rahmat atas dirimu
Hormat akan orang pandai
tanda mengenal kasa dan cindai
Dalam perjalanan sejarah adat-istiadat Melayu, “adat yang
diadatkan” mengalami berbagai perubahan dan variasi. Hampir dapat
dipastikan bahwa adat ini merupakan adat yang paling banyak
ragamnya, sesuai dengan wilayah tumbuh dan berkembangnya. “Adat
yang diadatkan” yang terdapat di daerah Riau beragam, karena di
daerah Riau pernah terdapat kerajaan-kerajaan yang tersebar dari
kepulauan sampai ke hulu-hulu sungai. Setiap kerajaan tentu

xi
mempunyai corak dan variasinya yang disesuaikan dengan kondisi dan
latar belakang sejarah, serta pengaruh yang masuk ke sana.
Jika “adat yang diadatkan” di seluruh wilayah Provinsi Riau
dibahas secara mendalam, akan dijumpai perbedaan dan persamaan
antara kerajaan-kerajaan tersebut. Akan tetapi, perbedaannya hanya
terbatas dalam masalah “tingkat adat” saja, sedangkan “adat sebenar
adat” tetap sama. Demikian pula dengan ketentuan-ketentuan dalam
upacara, seperti dalam upacara nikah kawin, upacara yang menyangkut
daur hidup, dan sebagainya.

c. Adat yang Teradat


Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik,
sebagai pedoman dalam menentuhan sikap dan tindakan dalam
menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga
merupakan kebiasaan turun-temurun. Oleh karena itu, “adat yang
teradat” ini pun dapat berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang
berkembang. Tingkat adat nilai-nilai baru yang berkembang ini
kemudian disebut sebagai tradisi.
Pelanggaran terhadap adat ini sanksinya tidak seberat kedua tingkat
adat yang disebutkan di atas. Jika terjadi pelanggaran, maka orang
yang melanggar hanya ditegur atau dinasihati oleh pemangku adat atau
orang-orang yang dituakan dalam masyarakat. Namun, si pelanggar
tetap dianggap sebagai orang yang kurang adab atau tidak tahu adat.
Ketentuan adat ini biasanya tidak tertulis, sehingga pengukuhannya
dilestarikan dalam ungkapan yang disebut “pepatah adat” atau “undang
adat”. Apabila terjadi kasus, maka diadakan musyawarah. Dalam
musyawarah digunakan “ungkapan adat” yang disebut “bilang
undang”.

BAB III

PENUTUP

xii
3.1 KESIMPULAN
Dengan kerangka rujukan “adat bersendikan syarak” adat-istiadat
Melayu Riau tidak statis dan tidak menutup diri terhadap perkembangan
zaman. Etika pergaulan orang Melayu Riau telah memberikan saham
dalam pergaulan antarwarga Indonesia. Ajaran sopan-santun akhir-akhir
ini telah diabaikan, sehingga kebiasaan ini perlu dipulihkan dengan cara-
cara yang sesuai dengan keadaan sekarang, yakni dengan:
a. Menghidupkan dan menyebarluaskan ungkapan, pepatah, dan
sebagainya yang mengandung adab sopan-santun melalui media cetak
dan media massa.
b. Menerjemahkan dan menyebarluaskan pepatah, ungkapan, dan
manuskrip yang mengandung ajaran-ajaran.
c. Menulis buku pelajaran yang mengajarkan adab sopan-santun dengan
kerangka rujukan falsafah dan nilai yang terkandung dalam pepatah,
ungkapan, pantun, dan sebagainya, mulai dari tingkat dasar.

3.2 SARAN
Demikianlah makalah ini penulis buat. Semoga makalah ini dapat
memberikan pengetahuan bagi kita semua. Pemakalah menyadari bahwa
masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun dalam penulisan.
Untuk itu, diharapkan kritikan dan saran dari pembaca yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

xiii
DAFTAR PUSTAKA

Effendy, T. 1985. Kumpulan Ungkapan. Naskah yang belum diterbitkan,


Pekanbaru.
Hoeve, I. B. van. 1984. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Kerajaan Siak. 1901. Babul Qawa‘id. Siak Sri Indrapura: Percetakan Kerajaan
Siak Sri Indrapura.
Prins, J. 1954. Adat en Islamietische Plichtenleer In Indonesia. Bandung: W. Van
Hoeve s‘Gravenhage.
Sujiman, P. H. M. 1983. Adat Raja-raja Melayu. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Tonel, T. 1920. Adat-istiadat Melayu. Naskah tulisan tangan huruf Melayu Arab,
Pelalawan.
Yayasan Kanisius. 1973. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.

xiv

Anda mungkin juga menyukai