HASAN BAHARI
H1A117219
FAKULTAS HUKUM
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur penyusun haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
tugas yang diberikan oleh pembimbing dengan mata kuliah Sosiologi Hukum.
tentang Adat Tolaki yang membahas Kalosara sebagai media penyelesaian sengketa.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih cukup sederhana oleh
karena itu untuk kesempurnaan makalah ini,kritik dan saran yang membangun akan
Kendari, 2020
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………......................................................…………………………..i
Daftar Isi………………………………………………………………………...........ii
Bab I Pendahuluan
a. Latar belakang………………………………………………………..............1
b. Rumusan Masalah………………………………..…………………………....4
c. Tujuan Penulisan……………………………………………………………….4
d. Manfaat Penulisan……………………………………………………………...4
Bab II Pembahasan
Tolaki...........................................………………………………………………......10
Tolaki……………………………………………………………………………....14
a. Kesimpulan……………………………………………………………………18
b. Saran..……………………………………………………..……………………18
Daftar Pustaka
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suku Tolaki telah lama mendiami Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini
menyebar di beberapa wilayah yang cukup luas yakni wilayah Kota Kendari,
Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kolaka. Persebaran Suku Tolaki ini
membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan tata nilai. Sumber nilai
dalam Suku Tolaki baik yang berdiam di pedesaan sebagai petani tradisional maupun
yang bermukim di perkotaan sebagai pegawai negeri atau pengusaha, sampai saat ini
mesih menempatkan instrumen adat yang disebut Kalo sebagai suatu yang sakral
(Tarimana, 1993; Idaman, 2012). Kalo, dapat berfungsi sebagai lambang pemersatu
dewasa ini memiliki ciri-ciri umum, yang berpotensi besar sebagai pendorong
2. Mempunyai keinginan dan sikap kerja sama dalam bentuk gotong royong, yang
mepokoaso.
6. Menghormati orang lain yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di
(Hafid, 2008).
Potensi inovatif dari budaya Suku Tolaki saat ini, harus dipandang sebagai
suatu potensi dan peluang, bukan tantangan dan hambatan pembangunan menuju
budayanya dalam bentuk falsafah hidup, yang merupakan penjabaran dari budaya
1993).
tersebut memiliki nuansa inovatif yang dapat berfungsi sebagai landasan kemajuan
budaya dan menjadi daya dorong utama peningkatan kreativitas masyarakat Sultra,
kehidupan masyarakat. Kalo pada tingkat nilai budaya merupakan sistem norma adat
bernilai dalam kehidupan masyarakat. Kalo pada tingkat aturan khusus mengatur
aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan
masyarakat. Dalam konsep kalo yang mengatur aktivitas tersebut dikenal meraou,
yaitu aturan khusus yang mengatur setiap individu dalam berbahasa yang
menunjukan sopan santun (bertata krama); Atora, yakni aturan khusus dalam
komunikasi sosial.
hadirnya kalo, maka dikembangkanlah kata-kata falsafah yang dapat memberi sugesti
kepada anggota masyarakat untuk bertingkah laku dengan baik. Misalnya: Inae
kosara iee nggopinesara, Inae lia sara iee nggopinekasara. Artinya: Siapa yang tahu
adat, ia yang akan dihargai dan dihormati dan sebaliknya siapa yang melanggar adat
akan dikasari (dihukum). Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat dalam bagi
kehidupan masyarakat. Tiap orang diharapkan untuk hidup dan bertingkah laku
sesuai dengan norma adat istiadat yang hidup dalam masyarakat. Seseorang akan
mendapat penilaian yang baik dari masyarakat, apabila sikap dan tingkah lakunya
penilaian yang negatif atau kurang baik, bila yang bersangkutan sering melakukan
2004).
B. Rumusan Masalah
dalam masyarakat ?
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat
menyelesaikan sengketa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kalo Sebagai Alat Penyelesaian Sengketa Adat
Secara harfiah kalosara atau yang biasa disebut kalo adalah suatu benda yang
atau kegiatan bersama dimana pelaku membentuk lingkaran. selain itu, kalosara
merupakan lambang pemersatu dan perdamaian yang sangat sacral dan tetap
dipandang keramat oleh suku tolaki yan selalu tampil dalam berbagai bentuk upacara
Penghargaan kalo sebagai simbol tertinggi yang sudah lama dijunjung oleh
masyarakat suku tolaki telah menjadi sesuatu benda yang keramat dan perlu dijaga
serta dilestarikan. hal ini karena adanya keterkaitan erat antara kalo dan system yang
mengatur kehidupan suku tolaki, yaitu mencakup seluruh perwujudan adat istiadat,
mulai dari system kehidupan social hingga ekonomi yang bercorak tradisional,
system budaya yang mencakup bahasa, seni, keagamaan, hingga sampai pada system
semesta.
Secara fisik, kalosara ini diwujudkan dengan seutas rotan berbentuk lingkaran
yang kedua ujungnya disimpul lalu diletakkan di atas selembar anyaman kain
berbentuk bujur sangkar. tradisi yang tetap lestari hingga saat ini, biasa digelar dalam
berbagai acara, seperti halnya acara perkawinan atau penyelesaian suatu pertikaian
atau perselisihan dalam kehidupan masyarakat suku tolaki yang saat ini sebagian
konawe utara, kota kendari dan masyarakat suku tolaki yang kini sudah tersebar di
wilayah lainnya.
mengikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku
membentuk lingkaran. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga
yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar,
Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang
melingkar, (2) kain putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu anyaman dari
daun palem berbentuk persegi empat. Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak
memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan
struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi
di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
jenisnya. Pertama, kalo dari rotan ada yang disebut kalosara, yaitu kalo yang
digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja, upacara
penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi
dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun pelem, dan kain putih sebagai
alas.
Kedua, kalo dari emas disebut kalo eno-eno, yaitu kalo yang digunakan sebagai
alat upacara sesaji, alat tebusan atas pelanggaran janji untuk melangsungkan upacara
peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu dari maskawin,
Ketiga, kalo dari besi disebut kalo kalelawu, yaitu kalo yang digunakan
Keempat, kalo dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolosu, dan kalo o
langge, yaitu kalo yang masing-masing dipakai sebagai perhiasan dada, pergelangan
tangan, pergelangan kaki, baik bagi anak-anak maupun bagi remaja putri.
Kelima, kalo dari benang ada yang disebut kalo kale-kale¸ dipakai sebagai
pengikat pergelangan tangan dan kaki bayi; dan kalo ula-ula yang digunakan sebagai
Keenam, kalo dari kain putih disebut kalo lowani, yaitu kalo yang dipakai di
kepala sebagai tanda berkabung, dan kalo dari kain biasa disebut kalo usu-usu, yaitu
kalo yang dipakai di kepala sebagai pengikat dan penutup kepala bagi orang tua.
Ketujuh, kalo dari akar atau kulit kayu disebut kalo pebo, yaitu kalo yang
dipakai sebagai pengikat pinggang bagi orang dewasa; dan yang khusus dari akar
bahar disebut kalo kalepasi, yaitu kalo yang dipakai sebagai perhiasan bagi orang
dewasa; serta kalo dari akar hawa disebut kalo parahi atau kalo mbotiso, yaitu kalo
yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah hutan untuk selanjutnya
diolah menjadi sebidang ladang atau perkebunan. Kalo dari daun pandan disebut kalo
kalunggu, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis remaja.
Kalo dari bambu disebut kalo kinalo, yaitu kalo yang digunakan sebagai
kalo dari kulit kerbau disebut kalo parado, yaitu kalo yang digunakan untuk
menangkap ternak, dan dalam melakukan tarian massal), dan modinggu (menumbuk
Peristiwa di mana seseorang, yang karena merasa sangat malu atas pelakuan
seseorang lainnya yang tidak sopan terhadapnya di depan umum, melakukan reaksi
demikian untuk membela harga dirinya. Dalam situasi yang demikian muncullah
satu sama lain. Tanpa komentar dari ketiganya, peristiwa ancam-mengancam tersebut
berhenti secara otomatis di mana keduanya akan saling maaf-memaafkan karena bagi
mereka kalo identik dengan perkataan: “jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia,
dan aku, serta kita sekalian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga, dan tiga di dalam
satu.” Menganiaya dia berarti menganiaya diri sendiri, dan menganiaya aku serta kita
sekaliannya. Dengan tampilnya kalo itu dalam suasana demikian maka damailah
keduanya. Bila ternyata salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menolak adanya
kalo dalam peristiwa itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan akibatnya mereka
harus dikeluarkan dari warga Orang Tolaki atau menghukum mereka dengan
dengan kalo? Hubungan itu tampak pada tiga kenyataan yang digambarkan di bawah
ini sebagai berikut: Kenyataan bahwa kalo selalu digunakan sebagai tanda pemilikan,
dan tanda larangan, penjaga tanaman terhadap gangguan hama dan gangguan orang
lain. Selain itu kalo secara simbolik adalah ganti diri dari pemilik tanah dan tanaman
di atasnya.
ini. Kenyataan bahwa pada umumnya alat-peralatan memerlukan pengikat rotan, yang
teknik mengikatnya adalah selalu identik dengan model ikatan kalo yang melilit,
melingkar, dan membulat. Semua hulu dari alat-alat produktif dan senjata selalu
diikat dengan teknik khusus yang disebut holungu (ikatan melingkar yang dianyam);
demikian pula semua wadah anyaman diperkuat bobotnya dengan lingkaran rotan
yang dipilin, dan hampir semua dari model perhiasan identik dengan model kalo yang
Pergeseran nilai dan peranan kalo masa kini. Hubungan sistem kekerabatan dan
organisasi sosial dengan kalo, perlu memberi uraian mengenai sikap Orang Tolaki
Untuk mengetahui sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo, yaitu: (1)
tampak pada kesenian yaitu dalam hal bentuk, (2) terletak pada makna-makna
Bentuk-bentuk disain dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar
tumbuhan pakis, pola kepala orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam bulatan, bentuk-
bentuk demikian berupa benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk alat-
alat bunyi dalam pola bulatan; bentuk-bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan
menunjukkan corak yang sama dengan bentuk pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan, dan
segi empat.
Konsep kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup dan
maknanya. Kalo secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara
owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok (Instrumen utama),
yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat Orang Tolaki yang berlaku dalam
semua aspek kehidupan mereka. Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke
dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan; (2)
sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada
umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan
kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang
berhubungan dengan keahlian dan keterampilan; dan (5) sara monda’u, mombopaho,
Tolaki
lainnya. Dalam kehidupan sosial budaya Orang Tolaki sehari-hari secara umum baik
merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh formal maupun nonformal, nilai-nilai
kalosara juga menjadi landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan
suasana kehidupan bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik
berupa hukum adat maupun hukum negara (Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993;
Su’ud, 1992; Tondrang, 2000). Karena itu bagi Orang Tolaki menghargai,
mereka. Apabila mereka berbuat sebaliknya, diyakini akan mendatangkan bala atau
pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata
lain dalam kehidupan orang Tolaki. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh
Linton (1936: 402) disebut cultural interest atau social interest, yaitu suatu kompleks
(Koentjaraningrat, 1981).
Menurut Tarimana (1993) kalo bagi Orang Tolaki adalah fokus yang dapat
1) Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan
orang Tolaki. Kalo pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai yang berfungsi
mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal yang paling bernilai bagi orang
Tolaki, adalah apa yang disebut medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate
penggunaan kalo dalam setiap upacara perkawinan, kematian, upacara tanam dan
potong padi atau pun pada setiap upacara penyambutan tamu. Selain itu, ide ini
juga diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam apa yang disebut
karandu (suasana ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong yang
merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai (suasana kegembiraan yang dilipuyi
bagi orang Tolaki, bukan hanya sekedar simbol, tetapi juga fokus dalam
teknologi tradisional, sebagai model mengikat dan bentuk alat-alat; (4) organisasi
sosial, sebagai asas politik dan pemerintahan; (5) sistem pengetahuan, dalam
struktur alam dunia; dan (6) sistem kesenian, dalam bubungan bentuk rias, dan
teknik menari.
3) Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam
kehidupan orang Tolaki. Untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam
kelaparan karena panen gagal atau karena bencana alam atau peristiwa lainnya.
Orang Tolakimenganggap bahwa timbulnya suasana yang tidak baik akibat dari
manusia yang telah melanggar adat ataupun ajaran agama, atau telah melanggar
ajaran Kalo sebagai instrumen adat utama mereka. Untuk memulihkan suasana
semacam ini, maka diadakanlah upacara yang disebut mosehe wonua (upacara
Timbulnya pertentangan sosial bisa terjadi kapan saja, di mana saja, baik antar
yang sering muncul di masyarakat, seperti masalah sengketa hak atas tanah, masalah
menggunakan kalosara (Su’ud, 2008). Begitu juga masalah sengketa perbatasan antar
rakyat atau para petani biasanya beragam bentuk. Scott (1985) menyebutnya sebagai
dapat diidentifikasi sebagai gerakan juru selamat (messianisme), gerakan ratu adil
warga transmigrasi di beberapa wilayah di daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak
tradisional seperti homa, anahoma atau anasepu, o’epe, arano, lokua, dan walaka
semakin tergusur karena lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk proyek
transmigrasi.
penduduk asli atau suku Tolaki. Secara sosial ekonomi, penduduk transmigran
memiliki kecakapan dan keahlian di bidang pertanian, kepemilikan aset-aset dan alat-
alat pertanian. Sementara hal ini berbanding terbalik dengan penduduk asli
proyek transmigrasi ini, penduduk asli semakin kehilangan lahan pertanian untuk
menyambung hidupnya.
melakukan rekonsisliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Peran tokoh adat Tolaki
sangat strategis untuk tampil menjadi bagian dari solusi konflik dengan menampilkan
kalosara sebagai instrumen utama adat Tolaki dapat diterima oleh kelompok lain.
Peran Pabitara: juru bicara adat yang memfungsikan kalosara dalam berbagai
kesempatan. Pabitara masih tetap eksis karena dipelihara, bahkan setiap desa
memiliki minimal seorang Pabitara, ini seiring dengan kepentingan masyarakat
Masyarakat Tolaki
antara Warga Desa Puosu (Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil
dieselesaikan berkat adanya kalosara, yang difasilitasi oleh Bupati Kendari Drs. H.
Razak Porosi. Secara operasional Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua belah
pihak, untuk melakukan pertemuan, selanjutnya dibentuk tim mediasi dari 2 orang
tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan komunikasi secara intensif dengan
tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan satu orang melakukan komunikasi
belah pihak.
Bagi pihak Tolaki menghendaki tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat Bali
dimiliki dan telah disertifikatkan. Solusi yang akhirya disepakati adalah tanah yang
telah dimiliki oleh warga trasmigran dibagi dua, satu bagian tetap menjadi milik
warga transmigran, dan satu bagian dikembalikan kepada pemilik awal yang sah
suasana seperti ini kedua belah pihak menyatakan siap berdamai dan menyatakan
saling memaatkan. Setelah pertistiwa ini, maka tidak ada lagi konflik di antara kedua
komunitas tersebut.
Era otonomi daerah sering menimbulkan sengketa politik baik antara individu
internal satu partai politik, antar partai politik, maupun sengketa pemilihan
sebagai media penyelesaian perselisihan secara damai, dengan biaya yang relatif
murah.
Situasi sosial politik tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara untuk
yang berkonflik. Kehadiran tokoh adat Tolaki sangat penting untuk tampil menjadi
pelopor dari solusi konflik dengan menampilkan instrumen kalosara sebagai media
utama yang dapat diterima oleh kelompok yang bertikai atau kelompok lain yang ada
di sekitarnya.
keluarga pihak laki-laki dalam bentuk dendam yang mengarah kepada pembunuhan.
Akan tetapi bagi masyarakat Tolaki, ketegangan pihak perempuan dapat diredam
perempuan, maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi, jika dia tetap
bereaksi maka akan diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara fisik oleh segenap
solusi adat, berupa: 1 pis kain kaci dan 1 ekor kerbau sebagai peahala (denda) yang
4. Kasus Pembunuhan
yaitu adanya konsensus antara keluarga korban dengan pihak pelaku yang disaksikan
oleh toono motuo, kapala kambo/kapala desa, pabitara untuk berdamai. Pelaku harus
empiris bahwa sesuai ketentuan adat bahwa pelaku harus menanggung denda berupa:
(1) satu pis kain kaci sebagai perngganti pembungkus mayat, (2) ongkos pesta
kematian, dan (3) satu ekor kerbau sebagai tanda berkabung. Diadakan perdamaian
dengan jalan upacara mosehe yaitu upacara perdamaian antara keluarga korban dan
5. Kasus Tambang
diantaranya membeli tanah masyarakat setempat dengan harga yang murah, setelah
merasakan dampaknya. Misalnya: (1) nelayan tidak lagi dapat memperoleh ikan
dalam radius tertentu dari pantai karena tercemar air pembuangan tambang yang
langsung mengalir ke laut tampa adanya proses penyaringan, (2) akan terjadi
kecemburuan sosial dalam jangka menengah dan pajang, melalui rekrutmen tenaga
kerja umumnya dari luar, karena masyarakat sekitar kurang terampil dan pendidikan
pendidikan kepada generasi muda sekitar tambang dengan memanfaatkan dana CSR.
Kondisi ini merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena telah
masyarakat Tolaki perlu memelihara peran pabitara (juru bicara adat) yang selalu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara – cara mengikat yang
melingkar, dan pertemuan – pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku
mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan – bahan tersebut pada
suatu simpul. Kalo meliputi osara (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok
Dari berbagai jenis kalo yang dikenal luas yang terbuat dari rotan, kain putih
dan anyaman. Lingkaran rotan adalah symbol dunia atas, kain putih adalah symbol
sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini
B. Saran
Kita harus melestarikan budaya kita, karena itu adalah warisan dari leluhur
yang harus dijaga agar tidak tenggelam dalam maraknya modernnisasi, dengan tetap
menghargai suku – suku bangsa di Indonesia, karena kita adalah Negara kesatuan
DAFTAR PUSTAKA
Mazi, Ali. 2004. Peranan Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Pelaksnaan Pembinaan
Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Hafid, Anwar; Safar, Misran. 2008. Kajian Pengembangan Kebudayaan di Kota
Kendari: Kendari: Laporan Penelitian Kerja Sama FKIP Unhalu dengan Pemda
Kota Kendari.
Harsono, Boedi, 2007. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
Harsono, Boedi, 2007. Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Idaman. 2012. Kalosara sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada
Masyarakat Tolaki Di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara.
http://idamanalwi.multiply.com/journal. Akses, 5 Oktober 2012
Karsadi, 2002. Sengketa Tanah dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus
di Lokasi Pemukiman Transmigrasi di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara.
Desertasi Doktor Sosiologi, PPS UGM Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan
Peristiwa dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di
Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sangadji, Arianto, 2000. PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah.
Yogyakarta: Yayasan Tanah Merdeka, ED Walhi Sulawesi tengah dan Pustaka
pelajar.
Scott, James C., 1985. Weapon of the Weak: Everyday of Peasant Resistance. New
Haven and London: Yale University Press.
Siahaan, Hotman M., 1996. Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program
TRI sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi. Surabaya: Disertasi Doktor
Universitas Airlangga.
Soetrisno, Loekman, 1995. “Tanah dan Masa Depan Rakyat Indonesia di Pedesaan”
dalam Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Untoro Hariadi dan Masruchah (eds).
Yogyakarta: Forum LSM-LPSM.
Suhartono, 1995. Bandit-Bandit Pedesaaan di Jawa. Studi Historis 1850-1942.
Yogyakarta: Aditya Media.
Sumardjono, Maria S.W., “Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya”, Kompas, Jakarta 2008.
Susetiawan, 2001. “Rekognisi sebagai Penyelesaian Konflik Pertanahan: Sebuah
Tinjauan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat” Masyarakat Indonesia.
XXVII, No. 1. 2001.
Su’ud, Muslimin, 1986. Asas-Asas Hukum Adat Pertanahan Orang Tolaki. Kendari:
Balai Penelitian Universitas Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2008. Aneka Ragam Kebudayaan Tolaki. Kendari: Universitas
Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara.
Kendari: HISPISI Cabang Sultra.
Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Tauchid, Muhammad, 1952. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan
Kemakmuran Rakyat. Djakarta: Tjakrawala.
Tawulo, Asrul, 1991. Mondau Sebagai Sistem Perladangan Masyarakat Tolaki dan
Pengaruhnya Terhadap Kelesatarian Sumber Daya Hutan di Kabupaten
Kendari. Kendari: Balai penelitian Universitas Haluoleo.