Anda di halaman 1dari 6

BAB 7: PEMBERONTAKAN, SURVIVAL DAN PENINDASAN

Daimatussulviah – 13040220120008
Antropologi Pedesaan C

Pemberontakan yang dilakukan oleh para petani utamanya disebabkan oleh kondisi
ekspolitasi yang semakin memeras mereka. Ada beberapa kondisi yang apabila disertai dengan
eksploitasi memiliki potensi besar untuk menyebabkan terjadinya pemberontakan, serta
beberapa kondisi yang bersamaan dengan eksploitasi memiliki potensi untuk mengurangi
pemberontakan. Beberapa kondisi yang terkait persoalan pemberontakan petani yaitu;
Pertama, potensi pemberontakan agraris petani yang dilakukan oleh sejumlah besar kaum tani
dan pada saat yang sama dengan kebencian yang besar, merupakan indikasi gambaran
eksploitasi yang terbesar. Ini biasanya mengacu pada kejadian mendadak yang
mengancam subsistensi para petani. Kedua, pemberontakan menimbulkan masalah lain yang
menyangkut sebab tidak terjadinya pemberontakan dalam ekspolitasi dan kesengsaraan. Hal
ini berlaku untuk strategi adaptasi atau subsistensi, baik sementara maupun dalam jangka
panjang agar tidak membahayakan keamanan subsistensi petani. Ketiga, penangkal dari
pemberontakan mungkin bukanlah survival, tetapi risiko pemberontakan yang biasanya
muncul oleh paksaan negara yang bahkan berpotensi membunuh nyawa para pemberontak.
Sehingga ada juga petani yang tunduk karena tidak punya kekuatan dan pilihan lain.

Konteks Struktural Pemberontakan


Pembangunan pertanian di Asia Tenggara telah mempengaruhi ancaman dan
kerentanan eksistensial penduduk pedesaan. Masalah subsistensi petani diwujudkan dalam
kualitas dan kuantitas pangan yang mengurangi margin petani, menimbulkan konsekuensi
sosial dan fisik melalui penurunan produksi atau peningkatan pendapatan. Hal ini menunjukkan
adanya struktur pertanian yang rentan dan eksplosif, yang merupakan hasil interaksi antara
perubahan populasi (pertumbuhan populasi melemahkan posisi petani), produksi yang
digerakkan oleh pasar (menimbulkan risiko persaingan bagi pemilik modal sementara petani
tidak pasti) dan pertumbuhan negara (sebagai pemungut, pajak dan struktur pinjaman untuk
pertanian). Negara juga memiliki fungsi koersif melalui pengadilan untuk mencegah
perlawanan petani.

Kodrat Kejutan-kejutan Kolektif


Pada umumnya para petani dihadapkan dengan kenyataan dengan banyaknya
tanggungan yang tidak bekerja dan lahan kecil yang semakin memperburuk kondisinya.
Berkaitan dengan pemberontakan agraris, pemberontakan biasanya berkaitan dengan
kesehatan masyarakat yang dipengaruhi oleh persepsi dan reaksi bersama untuk menghadapi
kerawanan yang dialaminya. Hal ini berkaitan dengan persamaan kondisi dari penghasilan riil,
di mana desa yang penghasilannya paling berfluktuasi akan lebih sering berhadapan dengan
krisis subsistensi. Di kawasan Asia Tenggara, penyebab penting penghasilan dan fluktuasi
yaitu fluktuasi disebabkan faktor alami, fluktuasi pasar dunia, dan fluktuasi harga hasil
monokultur.
Kerawanan Ekologis
Kerawanan dalam kelangsungan hidup dalam beberapa daerah juga dipengaruhi oleh
kondisi fisik daerah. Penghasilan rendah karena keadaan fisik ekologis daerah dalam bentuk
gagal panen serta pungutan oleh kaum elit yang tidak dapat ditawar menyebabkan dampak
buruk bagi petani di daerah tersebut. Contohnya di Annam bagian utara dan Muangthai
Timurlaut yang memiliki curah hujan buruk yang juga reputasi sebagai daerah pemberontak.
Artinya, kondisi daerah yang secara geografis dan ekologis tidak memberi harapan kepada
penduduknya akan menyebabkan penduduk dari daerah tersebut memiliki tradisi
pemberontakan atas kondisi buruk yang menimpanya karena alam. Namun, terdapat pula
daerah lain yang memiliki potensi bencana karena wabah, penyakit tanaman atau hewan bajak
yang menimbulkan masalah serupa, tetapi tidak sampai menimbulkan tradisi perlawanan yang
menandai daerah dengan masalah subsistensi permanen. Perlawanan biasanya dilakukan
karena pungutan tetap meski kondisi ekologis sedang buruk.

Kerawanan Sistem Harga


Dalam pertanian kolonial, sistem pasar yang sehat dan panen besar merupakan salah
satu aspek dari kemampuan petani untuk membayar tagihan pihak luar. Dimensi pangsa
pasar sangat mengejutkan, di mana satu daerah dengan pendapatan bervariasi adalah fungsi
dari harga pasar dan penawaran kredit. Dengan kata lain, satuan penduduk daerah adalah sistem
harga. Wilayah Asia Tenggara yang sangat komersial adalah tempat di mana harga dan
kekayaan penduduk saling bergantung. Seperti mata pencaharian tradisional, kesejahteraan
daerah merupakan basis risiko bersama. Dengan demikian, masalah sewa dan pajak bergantung
pada fluktuasi harga di daerah tersebut. Daerah pedesaan yang komersil merupakan lapangan
untuk kejutan ekonomi, juga kelas bawahan harus memberikan nilai lebih pada kaum elit dan
negara pada periode “naik”, sedangkan pada periode “bawah” mereka tidak akan
menyesuaikan kembali harga karena akan mengancam golongan berkuasa dengan komitmen
besar.

Kerawanan Monokultur
Ketimpangan daerah yang kecil di kawasan komersial biasanya dipengaruhi oleh
perubahan harga perdagangan dan hasil panen. Kondisi ini menyulitkan beberapa daerah dan
di sisi lain beberapa daerah mendapatkan peluang baru. Area tersebut tergantung pada kondisi
pasar dan permintaan produk utama di area tersebut. Masalah mendasar dari ketimpangan ini
berkembang dari perkembangan spesialisasi pertanian dan jenis sektor budidaya,
meninggalkan perbedaan yang rentan atas dominasi kekuatan pasar tertentu seiring dengan
guncangan pasar, yang polanya dapat diprediksi di setiap sektor pertanian yang ada. Terlihat
sangat jelas bergantung pada fluktuasi harga pasar. Ketika harga pasar turun, petani komersial
kembali ke sektor mandiri.
Lapisan masyarakat agraris menghadapi ancaman subsisten, misalnya buruh tani
terancam turun upah dan kehilangan pekerjaan serta meningkatnya tagihan bagi petani kecil.
Hingga berbagai ketegangan pada jaringan penghidupan yang disebabkan oleh krisis pasar atau
gagal panen, menjadi pola kemarahan dan perlawanan yang merespon tindakan masyarakat.

Pemberontakan dan Struktur Sosial Petani


Guncangan para petani tidak hanya berujung pada pemberontakan, tetapi juga pada
perubahan struktur sosial penduduk pertanian. Komunitas dengan tradisi komunal yang kuat
cenderung mengalami goncangan ekonomi yang koheren karena mereka bersatu secara
struktural dan mengalami tekanan yang sama. Kekuatan solidaritas tradisionalnya banyak
membantu untuk mengambil langkah-langkah aksi kolektif, sehingga tekanan yang harus
dihadapi sedikit terobati. Dari sini dapat disimpulkan bahwa datangnya guncangan ekonomi
dapat diatasi dengan membagi rasa sakit secara adil dan memberikan pencegah bahkan
semacam penangguhan untuk menghadapi krisis tersebut.
Berbeda dengan kondisi yang terjadi antara masyarakat dengan tradisi masyarakat yang
rendah dan struktur kelas yang berbeda, sehingga pajak yang dikenakan pun berbeda. Beban
pajak bagi pekerja informal, petani kecil dan petani tidak seragam. Hilangnya struktur otoritas
perkotaan membuat sulit untuk melindungi kepentingan kolektif. Ditambah dengan
ketergantungan pada kekuatan pasar sebagai lahan bisnis tanpa kebebasan finansial.
Kurangnya perlindungan dasar dan ketidakjelasan pola resiprositas dan redistribusi
mengancam penghidupan masyarakat internal dengan sedikit tradisi komunal. Dari kondisi
kontras kedua masyarakat ini dapat dilihat bahwa struktur sosial kaum tani berkaitan dengan
pemberontakan di dalamnya, karena masyarakat dengan struktur dan kelas yang bersatu lebih
bisa ditindaklanjuti daripada masyarakat dengan struktur yang terpecah.

Tanpa-Berontak, Menolong Diri Sendiri atau Sanve qui pent


Pemberontakan ialah wadah untuk upaya pemulihan atau bahkan merombak tatanan
dalam perubahan kehidupan petani. Menjadi korban dari perubahan tersebut membuatnya tidak
mampu melakukan revolusi, karena petani bekerja setiap hari hanya untuk bertahan hidup dan
menjamin ketersediaan pangan, bukan untuk mencari keuntungan. Namun, petani masih
memiliki pilihan untuk mendapatkan kembali haknya, dengan menggunakan seluruh tenaga
anggota keluarga, meninggalkan kewajiban seremonial seperti sistem bagi hasil tradisional,
dan memohon belas kasihan kepada orang lain. Upaya ini membutuhkan pengorbanan manusia
yang besar. Proses ini mendorong adanya struktur baru yang menjadi kunci terciptanya
masyarakat pasca pertanian. Hal ini membutuhkan penyesuaian dan strategi yang berbeda dari
petani, misalnya dengan empat pola, yaitu pendanaan dalam bentuk dari usaha swadaya
setempat, pengandalan sektor ekonomi non-petani, pengandalan bentuk patronase dan bantuan
dari berbagai pihak, dan pengandalan struktur proteksi dalam sifat keagamaan. Meskipun tidak
bersifat eksklusif, namun keempat pola ini mempunyai dampak bagi kehidupan petani untuk
berkembang menjadi masyarakat pasca-petani.

Bentuk-bentuk Swadaya Setempat


Kehidupan petani yang semula bergantung pada hasil panen dan kehadiran lembaga
bantuan untuk menghadapi krisis ternyata tidak cukup efektif untuk menjamin hilangnya
perubahan. Tak jarang petani melakukan penyesuaian, seperti beralih dari tanaman beras ke
jagung atau umbi-umbian untuk memenuhi kebutuhan kalori. Meski harus mengurangi gizi dan
berdampak pada kesehatan. Penyesuaian ini menjadi bagian dari repertoire ekonomi yang
hasilnya dapat memberikan pemenuhan nutrisi jangka pendek. Keyakinan swadaya tentang
saling membantu mungkin berguna dalam jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang.
Berbagi beban dan menerima eksploitasi diri tidak memberikan solusi untuk mempertahankan
hak subsistensi dan jaminan finansial. Namun, masih ada harapan bagi kaum tani untuk
mempererat ikatan horizontal antar kaum tani melalui kegiatan ritual dan kegiatan amal yang
sebelumnya dilakukan oleh kaum elit, karena hilangnya harta benda sebenarnya
mengembalikan struktur desa ke tangan masyarakat tani.

Dalam perekonomian yang lebih luas, memanfaatkan potensi sumber daya yang ada
mendorong masyarakat pertanian untuk menggantungkan hidupnya dari sektor non pertanian
seperti kegiatan swadaya desa. Tak jarang banyak yang bermigrasi untuk mencari sumber daya
non-pertanian.

Revolusi Hijau?
Cara penyesuain baru ini merupakan jalan menuju pembangunan agraris. Bentuk
revolusi ini mirip dengan model pembangunan Inggris dengan tiga komponen didalamnya.
Transformasi ini dapat dimulai dengan beralih dari bibit tanaman unggul ke pupuk berkualitas
tinggi dan mekanisasi terbarukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan munculnya
kelas kapitalis pedesaan. Penyewa dan petani kecil akan kehilangan tanah mereka, tetapi
mereka dapat menjadi kekuatan buruh tani yang bekerja di industri sekunder seperti
pengolahan dan pemasaran. Bahkan jika jaminan tradisional hilang, mereka dapat digantikan
oleh keamanan ekonomi di berbagai sektor dan pekerjaan petani.
Di Asia Tenggara, transformasi revolusi hijau ini tidak memberi jalan yang relatif
damai. Kondisi ini tidak umum di Asia Tenggara, karena penggunaan bibit berkualitas tinggi
berkaitan dengan proses kerja dan komersialisasi, yang memberlakukan pembatasan
kepemilikan dan persyaratan peminjaman, sehingga mengurangi inovasi. Implementasi
Revolusi Hijau ini karenanya akan memiliki konsekuensi sosial yang mengerikan di Asia
Tenggara, karena ketidakpastiannya untuk kelas pemilik properti kecil. Bibit berkualitas tinggi
menuntut pemilik untuk memanen hasil lebih cepat dan intensif dari biasanya, yang dapat
berdampak positif bagi pekerja. Tapi itu hanya pekerjaan jangka pendek, tanpa jaminan
marjinal bagi tenaga kerja yang semakin menjadi proletariat pertanian. Di Asia Tenggara,
harapan akan prospek konversi pertanian yang tampaknya damai dengan varietas unggul
kurang efektif. Bahkan di wilayah yang luas, perubahan ini berpotensi menimbulkan konflik.

Menyerbu Ekonomi Uang


Satu konsekuensi yang mungkin dapat terjadi dari sebuah pola migrasi jangka pendek
yang bersifat semi-permanen adalah “menyerbu ekonomi uang” (“raiding the cash economy”).
Pola migrasi ini memiliki ciri khas yaitu meningkatnya ketergantungan penduduk desa pada
peluang marjinal ekonomi di luar desa. Migrasi yang terjadi di sini sebagian besar merupakan
upaya individu untuk dapat mengimbangi kurangnya mata pencaharian. Tekanan demografis
dan perubahan struktural dalam pertanian akan menjadikan pola migrasi ini menjadi sebuah
ciri permanen dari respon masyarakat desa atas permasalahan subsistensi. Meningkatnya peran
buruh migrasi itu bertentangan dengan kerja sama ekonomi dan politik di tingkat desa. Dari
sudut pandang keuangan, ikatan terpenting saat ini adalah ikatan pihak luar. Secara demografis,
kepergian sebagian besar pemuda desa menyebabkan desa kehilangan sebagian besar potensi
pemimpin kelas bawahnya. Sedangkan secara kebudayaan, pola migrasi ini cenderung
melemahkan kekhasan dan otonomi tradisi kecil desa dan dengan demikian kehidupan politik
di desa tidak lagi memenuhi syarat kategori yang khusus. Di sisi lain, ketika kehidupan politik
kaum tani kehilangan kekhasannya, kehidupan kaum tani semakin terintegrasi ke dalam politik
nasional. Ikatan ekonomi dan sosial yang menghubungkan desa dengan sektor perkotaan
menimbulkan ikatan politik. Oleh karena itu, desa-desa yang dihasilkan oleh migrasi ini tidak
dapat begitu saja dipahami sebagai bagian pedesaan dan bagian perkotaan, atau bagian petani
dan pekerja, tetapi harus dilihat sebagai spesies hibrida dengan karakteristik yang berbeda.

Pengandalan Kepada Bentuk-bentuk Patronase dan Bantuan yang Didukung oleh Negara
Setelah kemerdekaan, sektor publik menjadi sumber subsistensi petani. Dalam hal ini,
Scott mengacu pada aktivitas sektor publik yang dapat meningkatkan pendapatan petani agar
tetap stabil. Jenis bantuan kecil dan jangka pendek ini dapat berupa pekerjaan umum, pekerjaan
jalan atau berbagai jenis pekerjaan manual di sektor publik. Program-program sosial dan
berbagai kesempatan kerja tentu dibenarkan sehubungan dengan perubahan struktural. Namun,
jika diamati lebih dekat, program-program ini memang mirip dengan langkah-langkah yang
biasa diambil oleh administrasi konservatif. Melalui program ini, mereka berharap dapat
menghindari pembagian tanah dan mencegah kemungkinan terjadinya pemberontakan di desa
tersebut. Jika kesempatan yang diberikan oleh negara benar-benar dapat membantu kaum tani,
maka efek praktisnya adalah mencegah ledakan pertumbuhan gerakan agraria. Kemungkinan
untuk pencegahan bersifat ekonomi dan sosial.
Hubungan antara negara dan petani bukanlah hal baru, tetapi konsekuensi dari
hubungan saling menghormati antara patron dan klien. Di Asia Tenggara, patronase yang
disponsori pemerintah meningkat ketika kondisi ekonomi memungkinkan. Menurut Scott, ini
sebagian karena bentuk keamanan ekonomi sebelumnya telah melemah atau menghilang dan
kaum tani masih membutuhkan keamanan ekonomi. Kebutuhan ini ditambah dengan
kurangnya perluasan industri di beberapa negara yang mungkin mampu menampung petani
marjinal.

Enkapsulasi Struktur Proteksi dan Bantuan yang Bersifat Keagamaan atau Oposisi
Pola penyesuaian akhir dan paradoks terhadap krisis eksistensial bergantung pada
struktur perlindungan dan dukungan agama atau oposisi. Contoh dalam kategori ini adalah
sekte Hoa Hao dan Cao Dai di Vietnam Selatan, Iglesia Ni Cristo di Filipina, dan Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebelum tahun 1965. Namun, sekte-sekte dan partai-partai ini
seringkali menjadi pendorong pemberontakan, namun terkadang juga bisa menjadi alternatif
dari pemberontakan. Ideologi dan struktur lokal secara simbolis bertentangan dengan
masyarakat, tetapi tidak menghadirkan ancaman langsung. Sekte Cao Dai didirikan di Vietnam
selatan awal abad ke-20 dengan sekitar 300.000 hingga 500.000 pengikut adalah yang terbesar
di provinsi Tay Ninh dekat perbatasan Kamboja. Ajaran Cao Dai sangat sinkretis dan mereka
percaya pada Victor Hugo, Yesus Kristus dan Konfusius sebagai tokoh suci. Sebagian besar
anggotanya adalah pekerja biasa, namun ada juga petani, juru bahasa, karyawan perusahaan
swasta, guru, pelajar dan pengusaha kecil serta pemilik tanah. Menariknya dari sekte ini adalah
organisasi lokal dan sisi keuangan. Korps Bantuan Sosial Cao Dai membayar kompensasi
kepada anggotanya yang miskin. Cao Dai mampu memberikan jaminan materi dan spiritual
kepada para pendukungnya. Perkembangan sekte ini disebabkan oleh kegagalan upaya
sebelumnya oleh kaum Sakdalis dan Hukki untuk mewujudkan revolusi melalui cara-cara
sekuler. Ketika anggota sekte ini mendapat masalah, mereka mendapat bantuan berupa
pinjaman, biaya pemakaman, biaya pengobatan dan bantuan lainnya. Selain itu, gereja mereka
bertindak sebagai agen tenaga kerja bagi anggota mereka.
PKI melakukan banyak pengabdian kepada kaum tani dengan mencoba mengundang
orang-orang lokal yang berpengaruh dan para pendukungnya ke dalam strukturnya. Runtuhnya
PKI pada tahun 1965 merupakan penilaian terhadap hambatan yang menciptakan struktur
mereka sendiri untuk perjuangan kelas. Dalam praktiknya, pihak-pihak radikal mencoba
mempengaruhi petani dengan mempertimbangkan kebutuhan riil mereka. Gerakan tani radikal
mengalami isolasi, tetapi bergantung pada sumber daya yang tersedia dan kemauan para elit
untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka. Tanpa bantuan dari luar, sekte dan partai lokal
yang ada hanya akan disebut LSM.

Tanpa Pemberontakan: Penindasan dan Soal Kesadaran Palsu


Penyesuaian-penyesuaian yang diuraikan di atas, dalam kondisi tertentu, dapat
memberikan solusi atas masalah-masalah eksistensial yang disebabkan oleh eksploitasi dan
tekanan demografis. Jalan konservatif ini membutuhkan pertumbuhan ekonomi, tingkat
kekuatan fiskal yang tinggi, dan bentuk pemerintahan, yang semuanya tidak ada di sebagian
besar Asia Tenggara. Pada situasi pedesaan, kondisi ekonomi yang memicu pemberontakan
terus berlanjut dan memburuk di beberapa daerah. Hubungan antara penduduk, tanah, dan
kekuasaan negara yang semakin tidak menguntungkan memperkuat hegemoni pemungut pajak
dan sewa. Karena kondisi ini, munculnya pemberontakan agraris yang besar di Burma Hilir,
Filipina, dan Vietnam. Peristiwa pemberontakan seperti penyerobotan tanah, serangan terhadap
pemilik atau pejabat, pemogokan petani penyewa dan buruh bermunculan di Luzon Tengah
dan Jawa, namun semuanya dapat di atasi oleh negara yang yakin akan kekuatannya.
Meningkatnya eksploitasi dan kerawanan ekonomi dalam hal ini membangkitkan
kemarahan moral tetapi tidak menimbulkan pemberontakan. Alasan utama di balik
pemberontakan pertanian di Asia Tenggara bukanlah kurangnya eksploitasi, tetapi ancaman
kematian dari pemberontak negara dan elit pedesaan. Bagi petani Penyewa dan buruh tani
Filipina di Luzon Tengah peristiwa tahun 1930 dan 1950 membuat mereka kapok.
Dalam keadaan tertentu, kita dapat menilai efek jera dari paksaan dengan melihat apa
yang terjadi ketika paksaan dihilangkan. Negara dan elit pemilik tanah memahami
kemungkinan konsekuensi dari peningkatan eksploitasi, dan kesadaran ini tercermin dalam
peningkatan kekuatan koersif mereka. Dalam hal ini, nilai-nilai yang dianut oleh kelompok
tertindas menjadi salah satu ujian untuk memastikan perlawanan simbolis mereka terhadap
nilai dan ajaran elit.
Di Luzon Tengah, istilah Kasama berarti sederajat dalam perjanjian bagi hasil. Istilah
ini semakin disalahgunakan. Mereka menganggap itu tidak pantas karena hubungan antara
pemilik dan penyewa tidak bisa dianggap setara. Para petani menganggap sistem bagi hasil
tidak adil. Nyanyian rakyat menjadi salah satu jurang pemisah. Lagu tersebut berisi kritik keras
terhadap hubungan buruh tani dan pemilik tanah. Kepercayaan pada mitos dan agama juga
mengubah pandangan para petani. Terkadang apa yang diyakini kelas bawah bertentangan
dengan elit. Pada dasarnya, ada jarak simbolis antara kaum elit dan petani. Dari
peribahasa, nyanyian rakyat, sejarah lisan, legenda, lelucon, bahasa, ritual dan agama.

Anda mungkin juga menyukai