Anda di halaman 1dari 12

P

TRANSFORMASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH


PEDESAAN
ARTI PENTING KEMAJUAN SEKTOR PERTANIAN DAN
PEMBANGUNAN DAERAH PEDESAAN
Sebagian besar penjelasan tentanf terjadinya gelombang migrasi ke kota-kota di
afrika, Asia, dan Amerika Latin hingga mencapai tingkat yang belum pernah terjadi
dalam sejarah, dapat kita temukan pada stagnasi atau kemacetan ekonomi di daerah-
daerah pedesaan. Di sanalah sesungguhnya sebagian besar penduduk negara-negara
dunia ketiga itu hidup dengan bekerja keras menggarap lahan pertaniannya yang kurang
memberikan hasil yang memadai untuk menunjang kehidupan mereka sehari-hari. Pada
tahun 2001, jumlah orang yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan mencapai lebih
dari 3 miliar. Di negara-negara Amerika Latin dan Asia, seperti Bolivia, Guatemala, India,
Indonesia, Myanmar, Ekuador, Sri Lanka, Pakistan, Filipina, dan Cina, diperkirakan lebih
dari separuh penduduknya menetap didaerah-daerah pedesaan. Sedangkan Afrika, rasio
tersebut jauh lebih tinggi lagi dimana lebih dari tiga perempat dari jumlah total
penduduk sebagiian besar negara afrika merupakan penduduk pedesaan.
Fakta yang lebih penting daripada angka-angka tersebut adalah bahwa lebih
dari dua pertiga penduduk termiskin di dunia menetap di wilayah pedesaan yang
penghidupan pokoknya bersumber dari pola pertanian subsisten.Jika suatu negara
menghedaki pembangunan yang lancar dan berkesinambungan, maka negara itu
harus memulainya dari daerah pedesaan pada umumnya, dan sektor pertanian pada
khususnya. Intisari yang terkandung dalam masalah kemiskinan yang terus meluas,
ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin parah, laju pertumbuhan
penduduk yang semakin cepat, dan terus melonjaknya tingkat pengangguran pada
awalnya tercipta dari stagnasi serta terlalu seringnya kemunduran kehidupan
ekonomi yang terjadi di daerah-daerah pedesaan.
Suatu strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada priorotas
pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap dasar
yakni:
1. Percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian penyesuaian
teknologi, institusional, dan insentif harga yang khusus dirancang untuk
meningktkan produktivitas para petani kecil
2. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang
dihasilkan dari strategi pembangunan perkotaan yang berorientasikan pada
upaya pembinaan ketenagakerjaan
3. Diversifikasi kegiatan pembangunan daerah edesaan yang bersifat padat
karya, yaitu nonpertanian, yang secara langsung dan tidak langsung akan
menunjang dan ditunjang oleh masyarakat pertanian.

Pertumbuhan dan stagnasi pertanian sejak tahun 1950


Tabel 10.1 mengungkapkan bahwa meskipun output dari sektor pertanian
dihasilkan oleh hampir seluruh tenaga kerja di negara-negara sedang berkembang,
tetapi perannya masih jauh lebih rendah. Lebih lanjut, tidak ada negara-negara
Dunia Ketiga yang sumbangan produksi pertaniannya melebihi 30 persen dari total
produksi nasional. Dalam rangka meningkatkan taraf hidup kelompok masyarakat
yang paling miskin, upaya yang dilakukan harus langsung diarahkan kepada
kelompok penududuk yang bersangkutan. Karena pada umumnya mereka tinggal
di pedesaan dan bekerjadi sektor pertanian, maka kunci pengentasan kemiskinan
terletak pada pembangunan sektor pertanian secara sungguh-sungguh. Tabel 10.2
menunjukan bahwa tingkat pertumbuhan produksi pertanian pangan dan
nonpanganpada tahun 1960-an ketiga negara-negara berkembang mulai
meningktakan perhatiannya pada upaya-upaya peningkatan produktivitas sektor
pertanian. Hasilnya, produksi pangan perkapita dalam tahun 1970-1980 mengalami
pertumbuhan sebesar 0,5 persen pertahun. Revolusi hijau ( green revolution) sangat
berperan dalam meningkatkan jumlah kawasan garapan dan menaikan output.
Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan terjadinya pertumbuhan
negatif atas produksi pangan perkapita di Afrika yang sangat memprihatinkan itu,
yaitu tidak memadai dan tidak tepatnya inovasi, pengolahan lahan marjinal ang
sensitif, erosi dan penebangan hutan secara liar, perang sipil secara sporadis, serta
kebijakan pengaturan harga dan pemasaran produk pangan yang salah arah semua
hal ini akan diperburuk lagi dengan sangat tingginya laju pertumbuhan penduduk
di dunia.
Kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun terjadi laju pertumbuhan GNP
perkapita yang mengesankan dikawasan negra-negara paling miskin selama
beberapa dasawarsa terakhir, pertumbuhan perkapita di sektor pertanian meningkat
secara substansial hanya disebagian wilayah Asia ( khususnya Cina) sedangkan di
Amerika Latin menunjukan peningkatan yang tidak stabil ( naik-turun) dan di
Afrika emngalami penurunan yang tajam. Kemiskinan di negara-negara dunia
ketiga hanya teratasi secara marjinal (terbatas) di Asia, sedangkan kondisi
kemiskinan dinegara-negara Amerika Latin dan Afrika semakin memburuk.
Penyebab utama dari semakin meburuknya kinerja pertanian di engara-negara
Dunia Ketiga dalah terabaikannya sektor yang sangat penting ini dalam perumusan
prioritas pembangunan oleh pemerintah negara-negara berkembang itu sendiri.
Terabaikannya sektor pertanian tersebut diperparah lagi dengan pelaksanaan
investasi dalam perekonomian industri perkotaan, yang terutama disebabkan oleh
kesalahan dalam memilih strategi industrialisasi subsitusi impor dari penetapan
nilai kurs yang terlalu tinggi.
STRUKTUR SISTEM AGRARIA DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG
DUA JENIS PERTANIAN DUNIA
Pola atau sistem sistem pertanian yang ada didunia ini dapat dibagi menjadi dua
pola yang berbeda :
1. Pola pertanian dinegara negara maju yang memiliki tingkt efesiensi tingkat
efesiensi tinggi dengan kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja
yang juga tinggi, sehingga dengan jumlah petani yang sedikit dapat
menyediakan bahan pangan bagi seluruh penduduk
2. Pol pertanian yang tidak atau kurang efesien yang umumnya terdapat
dinegara negara berkembaang. Tingkat Produktivitasnya begitu rendah
sehingga hasil yang diperoleh acapkali tidak dapat memenuhi kebutuhan
para petaninya sendiri.
Pertumbuhan penduduk yang cepat telah menyebabkan semakin bertambahnya
jumlah orang yang mengandalkan hidupnya dari lahan yang sama, sedangkan
metode dan teknologi produksinya tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Kita mengetahui dari prinsip perolehan hasil yang semakin berkurang (diminishing
returns) bahwa jika semakin banyak orang yang mengerjakan sebidang lahan, maka
tingkat produktivitas marginal (dan rata-ratanya) akan semakin menurun. Sebagi
hasil akhirnya standar hidup petani pedesaan diengara negara Dunia Ketiga terus
memburuk.
PETANI KECIL DI AMERIKA LATIN, ASIA dan AFRIKA
Karakteristik umum pertanian diketiga wilayah tersebut,dan juga beberapa
negara-negara maju dalah kedudukan pertanian keluarga sebagai satuan unitdasar
produksi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh profesor Raanan Weitz berikut ini:
Bagi sejumlah besar keluarga pertanian, yang para anggotanya merupakan tenaga
kerja pokok, pertanian bukan hanya sebagai sebuah pekerjaan atau sumber
pendapatan, tetapi juga sebagai juga pandangan dan gaya hidup. Kenyataan ini
sebenarnya mudah dilihat, terutama pada masyakarat-masyarakat tradidional,
dimana para petani sepanjang hari mengabdikan diri menggarap lahannya dengan
dedikasi penuh. Setiap perubahan metode produksi dengan sendirinya akan
membawa perubahan-perubahan terhadap pandangan hidup mereka. Oleh karena
itu, agar bisa membuahkan hasil yang diharapkan, setiap pengenalan inovasi biologi
dan teknologi pertanian buak hanya harus diadaptasikan kepada keadaan alam dan
ekonomi saja, tetapi juga kepada sikap, nilai-nilai, dan tingkat kemampuan para
petani itu sendiri sehingga mereka mau dan mampu memahami, menerima serta
melaksanakan perbuhan–perubahn metode produksi yang lebih baik, sesuai dengan
yang dianjurkan.
Tiga aspek terpenting dari sistem pertanian dikawasan Amerika Latin dan Asia
Amerika Latin dan Asia: Persamaan dan Perbedaan
Secara ringkas Francis Foland telah menguraikan persamaan karakteristik
tersebut sebagai berikut :
Para petani dikawasan Amerika Latin dan Asia adalah petani kecil pedesaan yang
tujuan pokoknya adalah sekedar daoat mempertahankan hidup. Konsep hidupnya
terbatas memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dirinya beserta keluarganya yang
kesemuaannya berada dalam taraf minimal. Untuk itu, mereka tidak segan-segan
bekerja keras mengolah sebidang lahan miliknya yang luasnya tidak seberapa. Jika
terdesak kebutuhan, mereka seringkali menyewakan atau menggadaikan tanahnya
kepada tuan tanah atau para rentenir, atau jika lahan garapannya sudah tidak ada,
mereka akan menjual tenaga pada perusahaan pertanian komersial guna
memeproleh upah sekedarnya. Upah tersebut seringkali tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar. Kesempatan memupuk manfaat,
hasil atau keuntungan karena membaliknya iklim, atau membaiknya kondisi-
kondisi pemasaran, sering mereka lepaskan begitu saja karena hal itu memang
bukan merupakan tujuan hidupnya. Jika utang-utang mereka lebih besar dari pada
penghasilan yang akan diterimanya, mereka kan menerimanya sebagai nasib atau
suaratan takdir. Mereka merasa tidak terlalu perlu untuk mengganti cangkul dengan
peralatan mekanis, atau mengganti pupuk kandang dengan pupuk buatan. Bibit
yang dipakai juga bibit tradisional, bukannya bibit unggul hasil penelitian ilmiah.
Mereka sama sekali tidak memiliki jaminan atau tunjangan sosial yang efektif.
Mereka tidak mengenal asuransi pengangguran atau peraturan upah minimum yang
sebenarnya diberlakukan pemerintah bagi mereka. Setiap keputusan atau
tindakannya semata-mata didasarkan pada perjuangan mereka dalam
mempertahankan hidup secara fisik. Dinegara-negara yang proporsi pertaniannya
didaerah pedesaan cukup besar, penanaman tanaman pangan tradisional hanya
diusahan oleh keluarga para petani sendiri sendiri secara berganti-ganti (tumpang
sari) dan biasanya didominasi oleh biji-bijian atau umbi yang amnejadi makanan
pokok, seperti jagung dimeksiko, padi di indonesia, mandioca di Brasil, dan kacang
kedele di Cina. Walaupun dari hari ke hari perjuangan untuk mempertahankan
hidup tetap meresap dalam kehidupan dan sikap para petani dinegara-negara
Amerika Latin ataupun di Asia (juga di Afrika, walaupun struktur dan kelembagaan
pedesaannya agak berbeda), namun karakteristik keagrariaannya ternyata sangat
berbeda.
Dinegara-negara Amerika Latin, para petani berurat akar pada sistem latifundio-
minifundio, sedangkan di Asia lebih banyak mengandalkan tanah lahan pertanian
yang semakin lama semakin banyak terpecah-pecah sehingga masing-masing luas
lahan garapan tersebut menjadi semakin sempit.
Pola dan sumber daya latifundio-minifundio: pemanfaatan lahan yang
terbatas di Amerika Latin
Struktur agraria yang berlaku di kawasan Amerika Latin sejak masa
penjajahan adalah pola pertanian dualisme yang dikenal dengan pola latifundio-
minifundio. Pada dasarnya, latifundio adalah kepemilikan tanah yang sangat luas.
Di Amerika Latin, hak milik atas sebidang tanah yang luas ini merupakan sebuah
unit usaha pertanian besar yang bisa menampung lebih dari 12 orang pekerja bahkan
sampai ratusan. Sebaliknya, minifundio adalah unit usaha pertanian terkecil yang
haya dapat menampung satu keluarga (dua orang pekerja), dengan pola pendapatan,
akses pasar, dan tingkat teknologi serta jumlah modal tertentu yang berbeda
menurut masing masing negara atau wilayah.
Meskipun demikan latifundio dan minifundio di Amerika Latin bukanlah
penguasa seluruh lahan pertanian yang ada. Sejumlah produksi pertanian juga
berasal dari apa yangdisebut sebagai unit pertanian keluarga(family farms) dan unit
pertanian skaala menengah (medium-sized farms). Unit-unit pertanian keluarga ini
dapat menampung dua hingga empat orang pekerja (bandingkan dengan minifundio
yang hanya dapat menampung dua pekerja saja). Unit pertanian skala menengah
yang juga disebut sebagai unit usaha pertanian “keluarga besar” (multifarmily
farms) dapat menampung empat hingga dua belas orang pekerja (tetapi masih tetap
dibawah latifundio).
Pola kepemilikan lahan yang terpusat di tangan segelintir orang dinegara-
negara Amerika Latin itu secara ekonomi maupun sosial jelas kurang
menuntungkan. Hal ini akan semakin diperburuk oleh adanya pola latifundio yang
relatif tidak efisien jika dibandingkan dengan bentuk bentuk organisasi pertanian
laiinya. Penjelasan utama terhadap inefesiensi ekonomi rlatif dari pertanian tanah
subur latifundo terhadap minifundio adalah bahwa para pemilik tanah yang kaya
cenderung memanfaatkan kepemilikan lahannya itu tidak untuk meningkatkan
kontribusinyabagi output pertanian nasional, tetapi untuk memupuk kekuasaan dan
prestise.

FREGMENTASIDAN SUBDIVISI LAHAN PETANI DI ASIA


Hampir selama abad kedua puluhini kondisi pedesaan di kawasan Asia semaki
buruk. Profesor Gunnar Myrdal mengidentifikasi tiga elemen atau kekuatan pokok
yang saling berkaitan yang membentuk pola kepemilikan lahan tradisional, yang
dapat dirinci menjadi:
1. Penindasan yang dilakukan oleh bangsa eropa
2. Pengenalan transaksi ekonomi yang serba menggunakan uang(Monetisasi)
secara besar besaran serta meningkatnya kekuatan pemilik uang yang
bertindak sebagai rentenir
3. Laju pertumbuhan penduduk Asia yang sangan cepat
Kedatangan bangsa eropa (Terutama inggris, perancis, dan Belanda) membawa
perubahan besar pada struktur keagrariaan tradisional. Seperti dinyatakan oleh
Myrdal, “Kekuasaan penjajahan menjadi katalisator utama dalam perubahan, baik
secara langsung melalui pengaruh undang undang pemilikan tanah, maupun secara
tidak langsung melalui pengaruh-pengaruh yang ditimbulakn oleh proses
monetisasi pada transaksi ekonomi penduduk pribumi dan pengaruh-pengaruh yang
bersumber dari pertumbuhan penduduk”.
Sekarang ini, para tuan tanah (landlords) di India dan Pakistn dapat menghindari
pembayaran pajakpendapatan yang dibebankan atas lahannya. Para tuan tanah
dikawasan asia selatan saat ini pada umumya adalah pemilik lahan absente (tidak
menggarap atau mengelola sendiri lahannya dan hanya menjadikan lahannya itu
sebagai instrumen investasi). Mereka tinggal dikota-kota, dan datang ke desa
hanya sekedar untuk memberikan perintah dan pekerjaan kepada para buruh tani
penggarap lahan (sharecroppers) atau para petani penyewa lahan (tenant farmers).
Dengan demikian, posisi para tuan tanah itu berdasarkan struktur ekonomi,
politik, dan sosial bagi masyarakat pedesaan sama dengan patron dinegara-negara
amerika latin, meskipun ada sedikit perbedaan, dimana yang satu adalah pemilik
lahan absente, sedang yang lainnya tinggal di latifundio ditengah tengah para
petaninya secara permanen.
Timbulnya hak kepemilikan tanah secara individu ini memungkinkan
semakin merajalelanya kekuatan “agen pembaharu”, yaitu para pelepas uang alias
para rentenir (moeylender) dalam struktur sosioekonomi didaerah pedesaan asia.
Kekuata ketiga atau yang terakhir (kekuatan pertama adalah kedatangan bangsa
eropa sebagai penjajah, sedangkan yang kedua adalah monetisasi transaksi
ekonomi dan kemunculan para lindah darat) yang dapat mengubah struktur
keakgrariaaan tradisional secara gratis dikawasan asia adalah laju pertumbuhan
penduduk yang sangat cepat, terutama selama 30 atau 40 tahun belakangan ini.
Konsekuensi utama dari proses pemeca luas lahan adalah meningkatkan
kerapuhan ekonomi para petani serta beralihnya kepemilikan sebagian besar lahan
kepada para tuan tanah yang kaya, yang kuat, dan serakah, serta proses
pemiskinan(impoverishment) para petani yang tidak dapat dielakan.
Pertanian subsisten dan perluasan perladangan di Afrika

Karena input vaiabel yang utama dlaam pertanian afika adalah keluarga
dan tenaga kerja pedesaan, maka sistem pertanian di Afrika didominasi oleh tiga
karakteristik uatama, yaitu :
1. Masi sangat pentingnya pola pertanian subsisten bagi masyarakat pedesaan
2. Eksistensi atau ketersediaan sebidang lahan seluasnya lebih dari cukup
(meskipun selmakin lama semakin menipis) utnuk memenuhi kebutuhan
kebutuhan dasar yang masih memungkinkan berlangsungnya pola
pertanian berpindh serta membuat tanah bukan merupakan suatu instrumen
kekuatan ekonomi dan politik bagi pemiliknya
3. Adanya hak bagi setiap keluarga (keluarga inti maupun keluarga besar)
guna memanfaatkan lahan dan air didalam serta disekitar wilayah
kampung halamannya, yang sama sekali tidak boleh dijamah oleh keluarga
keluarga lain meskipun berasal dari satu suku
Dengan masih terbatasnya areal lahan yang dapat ditanami oleh para keluarga
petani sebagai akibat dari keterbatasan teknologi produksi tradisional, termasuk
masih terus digunakannya peralatan sederhana yang boelh dikatakan primitif,
maka pola pertanian diafrika cenderung intensif, bukan ekstensif dari musim
kemusim. Dalam keadaan seperti ini, maka sistem perdagangan berpindah
(Shifting cultifation) justru merupakan metode yang paling ekonomis pada
sebidang tanah yang luas, tetepi dengan tenaga kerja yang terbatas dalam
perladangan berpindah-pindah, begitu tingkat kesuburan lahan pertama sudah
berkurang, maka para petani tersebut segera meninggalkannya untuk mencari
tanah atau hutan baru yang akan mereka tebas guna membuka lahan baru dan
proses penyemaian serta penanaman berbagai jenis tanaman dialkukan kembali.
Faktor penting ketiga pada pola pertanian tradisional di afrika yang cenderung
menghambat produktifitas adalah kelangkaan tenaga kerja, apalagi selama musim
musim sibuk seperti musim penyemaian dan musim penanaman, sedangkan pada
waktu waktu lainnya sebagian besar tenaga kerja justru sulit mendapat pekerjaan.
Sebagi akibat dari ketiga kekuatan tersebut toatl output pertanian dan produktifitas
tenaga kerja diseluruh afrika secara relatif berada pada tingkat yang konstan.
PERAN PENTING KAUM WANITA
Di Afrika, dimana pertanian subsisten masih terus berlangsung, dan sistem
perladangan berpindah –pindah msih menjadi metode produksi utama, maka
hampir semu tugas yang berkaitan dengan produksi pangan subsitensi tersebut
dikerjakan oleh kaum wanita. Dalam karya karya pionirnya mengenai kaum
wanita dan pembangunan, EsterBoserup melakukan serangkaian penelitian
mengenai partisipasi kaum wanita dalam pertanian dan menyimpulkan bahwa
dalam hampir semua kasus yang tercatat, pekerjaan dibidang pertanian sebagian
besar dilakukan oleh kaum wanita. Dalam beberpa kasus, kaum wanita melakukan
sekitar 70 persen tugas pertanian, dan dalam kasus bahkan hampir mencapai 80
persen dari keseluruhan pekerjaan. Pada umumya, yang dikerjakan adalah
pekerjaan pekerjaan kasar, dengan menggunakan peralatan, yang serba sederhana
atau bahkan primitif dan memerlukan banyak waktu, sekedar untuk emncukupi
keperluan subsisten keluarganya. Bebagai hasil studi mengenai alokasi waktu
kaum wanita dalam mengerjakan aneka rupa tugas tersebut akhirnya
mengukuhkan pengakuan internasional mengenai betapa besar dan pentingnya
konstribusi kaum wanita didaerah-daerah pedesaan pada umumnya, dan pada
sektor pertanian pada khususnya. Menurut hasil studi itu, selain tugas-tugas rumah
tangga, kaum wanita juga menyediakan 60 persen hingga 80 persen tenaga kerja
pertanian di afrika dan asia, serta sekita 40 persen diamerika latin. Akan tetapi,
banyak diantarnaya bekerjaan mereka secara statistik “tidak nampak” atau sulit
dihitung, karena kaum wanita memang tidak menerima upah ataas segala
pekerjaan yang merek lakukan. Semakin miskin suatu keluarga, semain enggan
mereka untuk melakukan investasi, tidak perduli sebagus apapun kesempatan
yang ada, apalagi sumber kredit dan sumber daya tambahan tidak tersedia.
Keluarga miskin biasanya lebih suka melakukan hal hal yang kecil karena
biasanya resikonya juga kecil. Beditulah sebabnya mengapa mereka sedemikian
sulit melepaskan metode-metode produksi yang meskipun kurang begitu efisien
dan hanya membuahkan sedikit hasil, namun sudah mereka kuasai dengan baik
selama bertahun tahun. Diberbagai kawasan dinegara-negara berkembang, jerih
payah kaum wanita selama berjam-jam setiap harinya dalam mengahsilkan produk
tanaman komersial tetap saja tidak mendapat imbalan atau upah. Sementara
sumber pengasilan dari produksi pertanian komersial meningkat, kontrol kaum
wanita terhadap sumber sumber ekonomi itu justru menurun. Ini dikarenakan
sebagian besar sumber daya rumah tangga, seperti tanah dan input input lainnya
(termasuk tenaga mereka sendiri ) dialihkan dari budidaya tanaman pekarangan ke
produksi pertanian komersial itu.
Ilmu Ekonomi Pembangunan Sektor Pertanian: Tradisi dari Pola Pertanian
Subsisten ke Pola Pertanian Komersial yang Terspesialisasi
Terdapat tiga tahapan umum dalam evolusi produksi agrikultur.Tahap pertama
merupakan murni, produktifitas-rendah, kebanyakan petani yang menghidupi
dirinya sendiri (subsistence), hal ini masih lazim dilakukan di Afrika.Tahap kedua
disebut beragam atau agrikultur keluarga campuran (mixed family agriculture)
dimana sebagian kecil hasil produksi digunakan sebagai konsumsi sendiri dan
sebagian lagi dijual untuk kepada sektor komersil.Tahap ketiga merepresentasikan
petani modern, yang secara khudus sudah mengarah kepada usaha perdagangan
dengan tingkat produktifitas yang tinggi telah terspesialisasi.
Pertanian Subsisten: Pencegahan Risiko, Ketidapastian, dan Upaya
Mempertahankan Kelangsungan Hidup
Pada pertanian subsisten klasik, kebanyakan output diproduksi untuk keperluan
konsumsi keluarga.Output dan produktifitas yang dihasilkan rendah, serta
menggunakan alat pertanian sederhana.Modal yang digunakan untuk investasi
minimal; tanah dan tenaga kerja merupakan faktor pokok produksi.Tenaga kerja
setengah menganggur hampir sebagian besar tahun dan hanya bekerja ketika musim
panen.
Teori tradisional dua faktor neoklasik memberikan beberapa pengertian yang
mendalam terhadap ekonomi subsisten agrikultur, dimana tanah berjumlah tetap,
tenaga kerja merupakan satu-satunya variabel input, dan memaksimalkan
keuntungan. Namun sayang teori ini tidak menjelaskan mengapa petani kecil sering
kali menentang inovasi teknologi yang dapat membantu dalam pertanian maupun
perkenalan bibit-bibit baru. Menurut teori, pada umumnya orang akan cenderung
menggunakan metode produksi yang meningkatkan output dengan cost yang
diberikan atau meminimumkan cost dengan output tingkat tertentu, namun teori ini
berdasarkan asumsi dimana petani memiliki “pemahaman sempurna”. Oleh karena
itu teori ini gagal diterapkan kepada lingkungan agrikultur subsisten. Terlebih lagi
jika akses untuk mendapatkan informasi tidak sempurna, biaya yang harus
dibayarkan untuk mendapatkan informasi akan semakin mahal.
Agrikultur subsisten kemudian dapat dikatakan usaha yang memiliki risiko tinggi
dan ketidakpastian. Di daerah dimana pertanian sangat kecil dan panen sangat
bergantung kepada curah hujan, rata-rata output akan rendah, dan pada tahung yang
buruk, para petani akan terancam bahaya kelaparan. Pada keadaan tersebut, petani
akan lebih memikirkan kelangsungan hidupnya dibandingkan keuntungan yang
didapatkan. Dengan demikian petani akan enggan untuk meninggalkan teknologi
tradisional yang mereka gunakan dan mengganti dengan yang baru karena
walaupun keuntungan yang didapatkan mungkin akan tinggi, tetapi risiko yang
dipertatuhkan akan lebih tinggi pula.
Peftanian Bagi Hasil dan Pasar-pasar Faktor Produksi yang Saling Terkait
Sebagai contoh, apabila penggunaan lahan untuk tanaman bahan pangan pokok
dilakukan selama beberapa bulan dalam satu tahun, maka pebgembangan tanaman
baru dapat dilaksanakan pada musim atau saat-saat selang tersebut, sehingga lahan
dan tenaga kerja keluarga yang menganggur dapat dimanfaatkan. Seperti yang
terjadi di Afrika, aneka peralatan modern yang dapat menghemat menghemat
tenaga kerja (seperti traktor kecil, alat penanam mekanis atau hewan untuk
membajak) perlu dikerahka guna mengatasi kelangkaan tenaga kerja tersebut. Lalu,
bibit-bibit unggul, pupuk dan irigasi sederhana yang dapat meningkatkan hasil
tanaman pokok seperti jagung dan padi perlu diperkenalkan, guna membebaskan
sebagian lahan untuk tanaman bahan pokok pangan. Dengan demikian, para petani
dapat memiliki kelebihan produksi yang dapat dijual ke pasar, sehingga
meningkatkan standar konsumsi keluarganya atau diinvestasika untuk
memperbaiki kualitas lahan serta usaha pertaniannya. Pola pertanian
terdiversifikadi juga dapat mengurangi dampak negatif atas terjadinya kegagalan
panen pokok dan memberikan semacam jaminan arus pendapatan minimal kepada
para petani beserta keluarganya, yang sebelumnya tidak pernah ada.
Dari Divergensi ke Spesialisasi: Pertanian Komersial Modern
Adapun karakteristik umum dari semua unit usaha pertanian yang terspesialisasi
adalah pengutamaan jenis tanaman tertentu seperti, pemakaian modal secara
intensif, penggunaan teknik-teknik produksi modern yang hemat tenaga kerja serta
pembangunan skala ekonomis yang besar untuk mengurangi unit-unit biaya dan
memaksimalkan keuntungan.
Menuju Suatu Strategi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan yang Andal:
Beberapa Syarat Pokok
 Sumber-sumber Kemajuan Pertanian Berskala Kecil
1. Kemajuan teknologi dan inovasi.
2. Kebijakan ekonomi pemerintah yang tepat.
3. Kelembagaan sosial yang menunjang.
 Syarat Umum Bagi Kemajuan Pedesaan
1. Modernisasi struktur bagi usaha tani dalam rangka memenuhi permintaan
bahan pangan yang terus meningkat.
2. Penciptaan sistem penunjang yang efektif.
3. Perubahan kondisi sosial pedesaan guna memperbaiki taraf hidup
masyarakat pedesaan.

Perbaikan Pertanian Berskala Kecil


Teknologi dan Inovasi
Teknologi dan inovasi baru, dalam kegiatan-kegiatan pertanian merupakan syarat
penting yang harus dipenuhi demi menciptakan perbaikan tingkat output dan
produktivitasnya. Peningkatan output memang dapat dicapai tanpa memerlukan
teknologi baru yang lebih efisien, melainkan cukup dengan memperluas lahan
garapan berupa pembukaan lahan-lahan potensial baru yang belum digunakan.
Kebijakan Harga dan Kelembagasn: Penyediaan Insrntif Ekonomi yang
Diperlukan
Sayangnya, sekalipun "bibit ajaib" atau varietas-varietas gandum, jagung dan padi
yang baru dan unggul itu secara kolektif seringkali disebut sebagai revolusi hijau
berskala netral dan berpotensi besar mengingat produksi petani kecil. Mengingat
bibit unggul atau bibit hibrida memerlukan tambahan input komplementer atau
penunjang seperti saluran irigasi, pupuk, insektisida, kredit dan pelayanan
penyuluhan pertanian itu ternyata hanya dapat dinikmati oleh segelintir tuan tanah,
maka dampak positf revolusi hijau terhadap para petani miskin tidak akan
berwujud, sehingga kemelaratan dan kemiskinan petani kecil justru semakin parah.
Sebagai akibatnya, jurang ketimpangan antara si kaya dan miskin akan semakin
melebar. Selain itu, kepemilikan lahan pertanian juga akan terpusat ke tangan
segelintir orang yang disebut petani progresif.
Syarat-syarat bagi Terlaksananya Pembangunan di Daerah Pedesaan
Land Reform
Menurut Myrdal, land reform merupakan kunci keberhasilan pembangunan di Asia.
Komisi Ekonomi Amerika Layin bahkan telah beberapa kali menegaskan bahwa
program land reform merupakan prasyarat awal bagi terciptanya kemajuan sektor
pertanian dan pembangunan pedesaan. Laporan FAO menyimpulkan bahwa
dibeberapa Negara berkembang program ini merupakan syarat mutlsk untuk
melancarkan proses pembangunan. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa upaya
penataan ulang atas hak kepemilikan dan pembangunan tanah pada saat ini terasa
semakin mendesak daripada sebelumnya, yang terutama disebabkan oleh ;
1. Terus memburuknya ketimpangan pendapatan dan masalah pengangguran
di pedesaan.
2. Pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat, yang semakin memperparah
ketimpangan yang sudah ada.
3. Kemajuan inovasi teknologi yang mutakhir dan potensial dalam pertanian
selama ini hanya dimanfaatkan oleh pemilik lahan luas yang kaya dan
didaerah pedesaan, sehingga kekuatan, kemakmuran dan kemampuan
mereka semakin bertambah untuk menentang reformasi yang akan
mengubah status quo serta mengancam kempentingan mereka sendiri.

Kebijakan-kebijakan Pendukung
Meskipun pelaksanaan land reform dibeberapa Negara Asia dan Afrika merupakan
elemen penting dalam strategi pembangunan pertanian dan pedesaan, namun
program tersebut tidak akan efektif dan bahkan mungkin saja mengurangi tingkat
produktivitas yang sudah ada apabila tidak disertai dengan serangkaian penyesuaian
struktur kelembagaan yang mengendalikan kegiatan produktivitas di daerah
pedesaan, penyedia jasa-jasa layanan pemerintah serta kebijakan harga pemerintah
terhadap input dan output. Bahkan, dibeberapa daerah yang tidak memerlukan land
reform yang tingkat produktivitas rendah dan pendapatannya tergolong rendah,
penyedia jaringan pelayanan pendukung yang luas disertai kebijakan pemerintah
dibidang input dan output merupakan syarat penting yang harus dipenuhi demi
terselenggaranya kemajuan disektor pertanian dan kesejahteraan penduduk desa.
Keterpaduan Tujuan-tujuan Pembangunan
Keberhasilan pembangunan pedesaan selain sangat tergantung pada kemajuan
petani kecil, juga ditentukan oleh hal penting lainya yang meliputi ;
1. Upaya untuk meningkatkan pendapatan rill pedesaan, bsik disektor
pertaniam maupun non pertanian melalui penciptaan lapangan kerja,
industrialusasi di pedesaan, pembenahan pendidikan, kesehatan dan gizi
penduduk, serta penyedia berbagai bidang pelayanan sosial dan
kesejahteraan lain.
2. Penanggilangan masalah ketimpangan distribusi pendapatan di daerah
pedesaan serta ketidakseimbangan pendapatan dan kesempatan ekonomi
antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
3. Pengembangan kapasitas sektor atau daerah pedesaan itu sendiri dalam
rangka menopang dan memperlancar larngkah-langkah perbaikan tersebut
dari waktu ke waktu.

Anda mungkin juga menyukai