Anda di halaman 1dari 16

KOTAK 5.

Masalah Hubungan Gender di Negara Berkembang;Suara Kaum Miskin

Saudariku, jika kamu tidak memukul mereka, mereka tidak akan terus
berprilaku baik.. Jika mereka berprilaku baik dan kamu memukul mereka,
mereka akan tetap seperti itu.

Seorang laki-laki di Bangladesh

Ketika suami saya meninggal, mertua mengusir saya. Jadi saya terpaksa ke
kota dan tidur di trotoar.

Seorang janda paruh baya di Kenya

Ketika saya masih bekerja, saya yang biasanya memutuskan. Ketika istri saya
yang bekerja, dia yang memiliki semua uangnya dan melakukan apapun
sesuka hatinya.

Seorang laki-laki dari Vila Junquenari, Brazil

Berbagai masalah telah mempengaruhi hubungan kami. Ketika suami saya


masih bekerja dan membawa pulang uang, kami baik-baik saja. Ketika ia
tinggal dirumah (karena tidak lagi bekerja) kami terus-menerus bertengkar.

Seorang perempuan dari El Gawaber, Mesir

Laki-laki yang menganggur merasa putus asa karena tidak lagi dapat menjadi
pemberi nafkah dan pelindung keluarga. Mereka hidup bersandar pada
penghasilan istri sehingga merasa terhina.

Seorang perempuan tua dari Uchkun, Kyrgystan


Jika seorang perempuan menyampaikan pendapatannya, mereka (laki-laki)
memperolok dan tidak memperhatikan. Ketika perempuan menghadiri rapat,
mereka tidak mengajukan pendapat apapun.

Seorang perempuan di Las Pascuas, Bolivia

Study Kasus 4

Memahami keajaiban pembangunan : Cina

Sejak tahun 1978-2008, perekonomian Cina mengalami pertumbuhan rata-rata


sekitar 9% pertahun, yang merupakan pencapaian luar biasa bagi sebuah
perekonomian sepanjang sejarah, mengingat penduduknya yang paling besar di dunia.
Pendapatan perkapita Cina pada tahun 2008 lima kali lebih besar dari pendapatan
perkapitanya pada tahun 1978. Tingkat pertumbuhan Cina tiga kali lebih tinggi dari
tingkat pertumbuhan yang dipandang baik berdasarkan standar pertumbuhan
kebanyakan berpendapatan rendah sekarang.

Cina juga telah mengalami tingkat penurunan kemiskinan paling dramatis di


dunia. Penelitian independen bank dunia yang dilakukan oleh Shaohua, Chen dan
Martin Ravallion menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin Cina turun dari 53%
pada tahun 1981 menjadi hanya 8% pada tahun 2001. Hal ini berarti bahwa penduduk
Cina yang hidup dalam kemiskinan ekstrim berkurang 400 juta orang dalam rentang
waktu dua darsawarsa saja. Penurunan dalam kemiskinan ekstrim di Cina jauh lebih
cepat dan lebih besar dibandingkan dengan Negara manapun di dunia. Sekalipun
perkiraan mengenai tingkat pendapatan dan tingkat kemiskinan sekarang berbeda
(estimasi paling akhir bank dunia menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang hidup
dengan pendapatan kurang dari $1,25 perhari adalah 16%) keberhasilan luar biasa
Cina dalam pertumbuhan dan penurunan kemiskinan tidak lagi dirugikan.
Untuk prestasi yang luar biasa ini, sumber keberhasilan Cina tetap menjadi
perdebatan panjang. Cina dipuji sebagai contoh keberhasilan penerapan ekonomi
pasar, perdagangan, dan globalisasi. Ekspor produk manufaktur merupakan kunci
bagi pertumbuhan ekonomi Cina, dan insentif pasar memainkan peran sebagai
motivasi utama dalam pengambilan keputusan bisnis. Selain itu Cina juga telah
mengadopsi kebijakan industri yang aktif, mendorong ekspor produk yang dihasilkan
dengan keterampilan dan teknologi yang lebih tinggi, dan memasuki masa
pertumbuhan ekonomi yang cepat disekitar tahun 1980 lebih dari satu dasawarsa
sebelum terjadinya dliberalisasi perdagangan yang signifikan di Cina. Cina tidak
banyak melakukan privatisasi perusahaan milik negara dibandingkan dengan
kebanyakan negara berkembang lainnya (di beberapa negara, kebijakan privatisasi
perusahaan milik negara telah dilakukan dengan baik; tetapi disebagian negara
lainnya, proses privatisasi itu tidak lebih dari penyerahan aset publik).

Kehadiran model demonstrasi regional merupakan hal yang krusial. Jepang


ditiru oleh negara-negara lain di wilayah Asia Timur. Hong Kong memberikan contoh
tambahan bagi Cina, sebagaimana halnya Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan
berfokus pada industrialisasi berorientasi ekspor pada saat perdagangan dunia sedang
tumbuh dengan cepat. Kemudian, pada akhir tahun 1980-an, lokus pertumbuhan
ekonomi bergeser ke Cina ketika para investor mulai mencurahkan investasi mereka
ke Cina-sebagian besar dikarenakan besarnya pasar Cina yang memiliki lebih dari 1,3
miliar konsumen meskipun pada awalnya pasar itu dibatasi oleh rendahnya
pendapatan dan kebijakan pemerintah, para investor awal menemukan intensif yang
besar untuk mengekspor dari beberapa zona ekonomi khusus di daerah pantai
tenggara.

Setelah terjadinya peristiwa berdarah penghalauan para demonstran di


Lapangan Tiananmen pada tahun 1989, muncul banyak keraguan mengenai apakah
reformasi yang berlangsung di Cina masih akan berlangsung serta apakah investasi
dan pertumbuhan ekonomi akan tetap tinggi (yang memungkinkan invesiasi lain akan
menguntungkan). Pada tahun 1991, Pemimpin Cina Deng Xiaoping melakukan
kunjungan ke wilayah-wilayah selatan Cina yang selama ini terdepan dalam
pertumbuhan ekonomi dan reformasi dalam pidatonya Deng Xiaoping mengatakan:
Anda harus lebih berani dan membangun lebih cepat.

Perencanaan pembangunan Cina yang tepusat pada beberapa dasawarsa


pertama setelah revolusi komunis pada tahun 1949 berdasarkan kebanyakan standar
dapat dikatakan gagal. Industri sangat tidak efisien. Sebanyak 30 juta orang
meninggal karena kelaparan pada akhir 1950-an, dikarenakan keputusan perencanaan
yang dilakukan secara terpusat dan tertekan politik yang menyebabkan para pejabat
partai dan pemerintahannya secara teratur melaporkan prospek hasil panen secara
berlebihan. Sebagaimana yang ditekankan Amartya Sen, peristiwa kelaparan jarang
terjadi di negara demokratis yang memiliki kebebasan pers. Bencana seperti itu hanya
dapat teroffest sebagian dengan penetapan kebijakan awal dan berkelanjutan yang
menekankan layanan kesehatan dasar dan pendidikan di Cina, serta penurunan
fertilitas melalui kebijakan satu anak.

Cukup banyak perdebatan mengenai apakah pertumbuhan ekonomi yang


cepat di negara-negara Asia adalah hasil dari akumulasi modal atau peningkatan
produktivitas. Alwyn Young, Paul Krugman, dan lainnya telah menyimpulkan bahwa
Korea Selatan dan Macan Asia lainnya mengalami pertumbuhan ekonomi lebih cepat
karena besarnya investasi dalam aset modal, seprti mesin dan pabrik, ketimbang dari
peningkatan efisiensi pekerja. Akan tetapi, dalam kasus Cina, Zuliu Hu dan Mohsin
Khan menyimpulkan bahwa peningkatan produktivitas justru menjadi penjelasan atas
lebih dari 42% pertumbuhan perekonomian Cina dalam periode 1979-1994, dan
peningkatan produktivitas telah mengambil alih peran investasi pada awal tahun
1990-an sebagai sumber terbesar pertumbuhan.

Ada keprihatinan yang meluas bahwa sekarang Cina telah memasuki tahap
gelembung investasi, ketika banyak investasi yang kualitasnya meragukan terutama
dalam bidang real estat. Sekalipun demikian, cepatnya laju pembangunan di Cina
memang belum pernah tejadi sebelumnya dalam sejarah.

Pemerintah bernegosiasi dengan para investor yang menginginkan akses ke


konsumen Cina yang berjumlah satu miliar lebih, dengan tuntutan untuk
mendapatkan transfer teknologi secara ekstentif, kemitraan dengan perusahaan publik
dan swasta Cina, muatan local, serta konsesi lainnya sebagai imbalan atas hak yang
didapatkan investor asing untuk menjual produk mereka kepada warga negara Cina.

Di Cina, cara memperkenalkan dan menggunakan insentif pasar tampaknya


hampir sama pentingnya dengan kenyataan bahwa insentif itu memang benar-benar
telah diperkenalkan. Salah satu ciri paling penting dari sejarah perekonomian Cina
selama seperempat abad yang lalu adalah implementasi reformasi yang dilakukan
secara sungguh-sungguh, bertahap, dan sistematis. Pendekatan yang diterapkan Cina
berbeda dari yang diterapkan di kebanyakan negara Eropa bagian timur, seperti Rusia
dan Polandia, yang cenderung melakukan ledakan besar suatu perubahan
komprehensif ke perekonomian pasar bebas dengan segera. (Hungaria dan Slovenia
merupakan dua negara di wilayah itu yang menerapkan strategi lebih bertahap).

Selain itu, sementara badan usaha milik negara (BUMN) di negara-negara


transisi dan berkembang lainnya dijual ke investor swasta dalam tempo yang cepat,
badan-badan usaha ini di Cina tetap dikelola pemerintah dalam waktu yang cukup
lama. Pemerintah berusaha mereformasi perusahaan ini dari dalam, sekalipun kurang
berhasil. Namun, pada saat yang sama, Cina telah mengizinkan dan mendorong
tumbuh dan berkembangnya sektor baru yang lebih efisien di sekeliling badan-badan
usaha itu.

Lebih lanjut, selama hampir dua dasawarsa pertama reformasi dari akhir tahun
1970-an sampai ke pertengahan tahun 1990-an, di tingkat lokal tetap ada dukungan
untuk badan usaha milik kotapraja dan desa (BUMD). Kepemilikan BUMD di tangan
pemerintah lokal tidak begitu jelas, tetapi wirausahawan dan pegawai mereka juga
mendapat hak milik yang tidak terdefinisikan secara jelas istilah yang diberikan
oleh Weitzman dan Xu. BUMD ini menyumbang bagian yang sangat besar bagi
pertumbuhan output industri Cina.

Dari akhir tahun 1980-an seterusnya, nilai perdagangan (terms of trade)


bergeser ke industri, dan tingkat pengurangan kemiskinan menurun. Pada tahun 2004,
lebih dari separuh penduduk Cina masih terlibat dalam sektor pertanian.

Kepemilikan pemerintah lokal yang tidak jelas atas BUMD menyediakan


perlindungan bagi para investor yang mencemaskan perlakuan buruk pemerintah
terhadap hak milik pribadi dan mengkhawatirkan kemungkinan pengambilalihan. Ada
kesan bahwa perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh kotapraja dan desa
sebenarnya adalah milik swasta yang dilindungi. Ketika reformasi yang dilakukan
berlangsung sampai titik tertentu, para pemilik yang sebenarnya ini kemudian dapat
mananggalkan topi merah sebagaimana ungkapan yang populer di Cina dan
mengambil alih kepemilikan secara penuh, setelah memberikan imbalan tertentu
sebagai balas jasa kepada pemerintah lokal dan selanjutnya pajak pajak menggantikan
transfer pendapatan langsung dari BUMD tersebut.

Terakhir, bagi para petani di berbagai bagian Cina dimana sektor pedesaannya
telah berjalan dengan baik, reformasi di bidang pertanahan yang lebih awal mungkin
merupakan salah satu sumber pertumbuhan perekonomian Cina bersama revolusi
yang menyiapkan landasan dan reformasi pada akhir tahun 1970-an, yang
memberikan insentif lebih besar kepada petani. Reformasi pertahanan sangat sulit
dilaksanakan di bagian lain dunia. Kiriman uang dari pekerja migran telah menyulut
ledakan sektor swasta di beberapa wilayah pedesaan, dan harga jual yang diterima
para petani umumnya telah meningkat terutama di wilayah dekat perkotaan.

Keberhasilan Cina sesungguhnya perlu diletakkan pada perspektif yang benar.


Sejak tahun 1980, Cina telah mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 4,5 kali lebih
cepat dari Amerika Serikat, sebagaimana diukur berdasarkan output perkapita. Oleh
sebab itu, Cina telah memperkecil kesenjangan relatif dalam standar hidup. Pada
tahun 1980, pendapatan per orang di Cina hanya 2% dari pendapatan per orang di
Amerika Serikat; tetapi pada tahun 2008, tingkat pendapatan itu telah tumbuh
menjadi 13%. Sekalipun output per orang di Cina saat ini terus meningkatkan pada
tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu 8,4% sementara di Amerika
Serikat peningkatan itu hanya 1,9%, Cina masih tetap tidak bisa menyusul hingga
tahun 2040.

Ada beberapa batasan dan keberatan terhadap keberhasilan Cina dan pelajaran
yang dapat mengilhami negara-negara lainnya. Kehidupan dapat menjadi semakin
sulit bagi jutaan orang yang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, seperti para
petani pedesaan di wilayah tertentu Cina yang menghadapi hilangnya rasa aman,
korupsi pejabat pemerintah, meliputi laporan perampasan tanah petani oleh
pemerintah, semakin tingginya pajak lokal, serta minimnya peningkatan teknologi
dan keterampilan.

Para pejabat dan peneliti Cina juga merisaukan kerentaan negara ini terhadap
jebakan perangkap pendapatan menengah dan sedang melakukan diskusi dengan
negara-negara Amerika Latin mengenai topik ini; Yiping dan Tingsong menekankan
bahwa apa yang sebenarnya memerangkap banyak negara berpendapatan menengah
di Amerika Latin dan Timur Tengah adalah kurangnya kemampuan inovasi. Mereka
tidak mampu menaiki tangga industri di luar aktivitas berbasis sumber daya. Hal yang
sama akan menjadi ujian sesungguhnya bagi Cina. Terdapat beberapa
ketidakseimbangan dalam perekonomian Cina yang dapat menimbulkan masalah
ketika negara ini bergerak maju. Surplus ekspor Cina yang sangat besar telah banyak
dikritik, karena banyak pihak yang memandangnya sebagai salah satu penyebab
timbulnya krisis keuangan global. Salah satu penyebab surplus ekspor itu
kemungkinan adalah penilaian/taksiran yang terlalu rendah (undervaluation) pada
nilai tukar Cina, yang diperkirakan bervariasi pada 20% sampai 42%.
Secara keseluruhan, Cina telah mengubah cara pandang kita mengenai
pembangunan. Hal itu meyakinkan kita bahwa keajaiban Asia Timur bukan
merupakan sebuah keberuntungan akibat faktor-faktor lokal yang khusus dalam
perekonomian seperti Taiwan dan Korea Selatan. Hal ini juga memberi kita
kepercayaan diri yang lebih besar untuk mengatakan bahwa pembangunan yang riil
masih sangat di mungkinkan. Di lain pihak, terdapat hal yang membatasi
kemampuan negara berkembang lainnya untuk menyaingi keberhasilan yang dialami
Cina.
Studi kasus 5

Lembaga, Ketimpangan, dan Pendapatan : Ghana dan Pantai Gading

Studi kasus perbandingan alamiah

Ghana dan Pantai Gading adalah dua negara yang berbatasan di Afrika. Luas
wilayah kedua negara ini kurang lebih sama, yaitu 239.450 km 2 dan 322.458 km2
secara berturut-turut. Jumlah penduduk kedua negara ini juga nyaris sama, yaitu 23,8
juta di Ghana dan 21,4 juta di Pantai Gading. Kedua negara ini memperoleh
kemerdekaannya dengan selisih waktu tiga tahun dan juga memiliki kondisi geografi
serupa, sehingga kedua negara yang berbatasan dapat dijadikan perbandingan
alamiah. Salah satu perbedaan paling mencolok adalah bahwa Ghana merupakan
bagian dari Kekaisaran Inggris Raya dari tahun 1821 sampai dengan tahun 1957
sedangkan Pantai Gading adalah koloni Prancis dari tahun 1842 sampai dengan tahun
1960.

Pengalaman setengah abad setelah kemerdekaan menggambarkan beberapa


peluang dan ancaman terhadap pembangunan. Studi kasus ini mengungkap sejumlah
pertanyaan yang merangsang pemikiran dan menyajikan berbagai informasi yang
perlu dipertimbangkan ketika kita membahas kedua negara ini dan juga studi
komparatif Negara lainnya. Kasus ini menunjukkan bagaimana berbagai pendekatan
dan telaah statistik terhadap banyak negara yang dibahas dalam bab 2 dan 5 dapat
diterapkan untuk memahami pengalaman pembangunan dalam perspektif komparatif.

Kemiskinan dan pembangunan manusia seperti yang dapat dilihat dalam


laporan UNDP dalam Human Development Repori (HDR) tahun 2009. Ghana
dipandang sebagai negara dengan tingkat pembangunan manusia menengah dengan
HDI 0,526 sedangkan Pantai Gading dipandang sebagai negara dengan tingkat
pembangunan manusia rendah dengan HDI 0,484. Dalam laporan tahun 1990 ketika
HDI pertama kali diperkenalkan, angka-angka itu adalah 0,393 bagi Pantai Gading
dan 0,360 bagi Ghana. Kedua negara menunjukkan kemajuan, tetapi Ghana lebih
baik.

Multidimentional Poverty Measure Index MPI (Indeks Ukuran Kemiskinan


Multidimensi) UNDP yang baru bahkan mengungkapkan perbedaan yang lebih
menonjol. MPI Ghana adalah 0,140 yang menempatkannya pada peringkat 57, Ghana
juga menempati peringkat yang sama terkait jumlah penduduk yang hidup dengan
pendapatan kurang dari $1,25 per hari. Sebaliknya, MPI Pantai Gading berada pada
peringkat yang jauh lebih rendah, yaitu 78 dengan nilai 0,320 dua kali lebih rendah
dari peringkat Ghana dan secara substansial lebih buruk dari pada yang diperkirakan
berdasarkan peringkat kemiskinan.

Data ini mungkin akan mengherankan banyak pengamat yang menulis laporan
pada saat kemerdekaan kedua negara itu. GDP riil per kapita Ghana pada tahun 1960
hanya $594, jauh di belakang Pantai Gading yang saat itu telah mencapai $1.675
tetapi pada tahun 2007, menurut Penn World Table, GDP riil per kapita Ghana telah
mencapai $1.653 pencapaian 278% dan hampir cukup untuk menutup defisit awalnya
sedangkan GDP riil per kapita Pantai Gading meningkat menjadi $2.228, sebuah
pencapaian sedang dengan meningkat hanya 33% setelah 47 tahun.

Pada tahun 2008, tingkat mortalitas anak dibawah usia 5 tahun adalah 76 di
Ghana, meski masih cukup tinggi tetapi jauh lebih rendah dibandingkan dengan
angka 114 di Pantai Gading. Aysit Tansel menunjukkan, pada tahun 1987 Ghana
berada cukup jauh di depan Pantai Gading dalam rata-rata lama bersekolah untuk
gender dan semua kelompok usia.

Tingkat kemajuan pembangunan di kedua negara itu termasuk kecil


dibandingkan dengan Asia Timur tetapi, perbedaan yang terjadi di antara kedua
negara ini signifikan. Bagaimana cara kita memulai pemahaman atas perbedaan yang
mencolok ini? Adakalanya perubahan pola pembangunan yang terjadi akhir-akhir ini
dapat memiliki akar sejarah yang panjang, dan kita akan membahasnya terlebih
dahulu.

Faktor-faktor dalam pembangunan komparatif

Dampak kolonial dan warisan lembaga pada tahun 1482, orang portugis
membangun sebuah benteng di pantai Ghana dan menamakannya Elmina
(Tambang). Setelah itu, orang-orang Inggris menamakan daerah itu Pantai Emas
(Gold Coast) nama yang melekat samapai Ghana merdeka pada tahun 1957. Pantai
Gading (Ivory Coast) memperoleh namanya dari orang Prancis (Cote dIvoire).
Kedua nama itu dengan jelas menunjukkan bahwa para penguasa kolonial
memandang kedua wilayah itu sebagai pantai alih-alih Negara sebagai komoditas
perdagangan alih-alih masyarakatnya, atau sekadar sebuah tambang.

Bagaimana kita bisa memahami pengalaman kolonial yang sangat buruk ini
dan kemungkinan akibatnya? Tingkat mortalitas para pemukim di kedua negara ini
saat itu sangat tinggi , masing-masing diperkirakan mencapai 668 kematian per 1.000
per tahun termasuk yang tertinggi dalam studi Acemoglu, Johnson, dan Robinson
(AJR) sebagai perbandingan, tingkat kematian pada saat itu hanya 15,5 di Afrika
Selatan.

Kualitas lembaga

Kita bisa menduga bahwa semua lembaga yang diwariskan di kedua negara
ini tentunya sangat buruk, karena para penjajah cenderung kurang tedorong untuk
melindungi hak milik, mendorong investasi, atau memungkinkan akses ke peluang
ekonomi atau partisipasi politik yang lebih luas kasarnya, para penjajah lebih
terdorong untuk menjarah atau menyuruh orang lain untuk menjarah bagi mereka.
Dalam data AJR mengenai kualitas lembaga sekarang, tingkat perlindungan rata-rata
terhadap resiko pengambilalihan adalah 6,27 di Ghana dan 7,00 di Pantai Gading
yang berbanding 3,50 di Republik Demokratik Kongo (yang pada saat itu dikenal
dengan nama Zaire) dan 10,0 di Amerika Serikat yang berarti perlindungan investor
yang lebih baik meskipun belum sangat baik.

Fraksionalisasi etnolinguistik karakteristik lain yang dikaitkan dalam literatur


ekonomi dengan pendapatan dan pertumbuhan rendah adalah fraksionalisasi
etnolinguistik, dan sejumlah ilmuwan sosial juga menunjukkan adanya potensi
bahaya fraksionalisasi agama. Bahkan, kedua negara ini memiliki tingkat
fraksionalisasi cukup tinngi, tetapi lebih besar di Pantai Gading. Di kedua negara ini,
mayoritas penduduk yang berasal dari etnis Akan (45% di Ghana dan 42% di Pantai
Gading) dan banyak lagi kelompok etnis yang lebih kecil. Di Ghana 69% penduduk
beragama Kristen dan 16% Muslim, tetapi di Pantai Gading para penganut agama
terbagi lebih merata, dengan 39% Muslim dan 33% Kristen. Sekalipun para ilmuwan
memperdebatkan cara yang lebih tepat untuk mengukur tingkat fraksionalisasi,
terdapat tujuh ukuran utama yang digunakan yang menunjukkan Pantai Gading lebih
tinggi dalam enam unsur, dalam beberapa kasus bahkan sangat tinggi.

Penduduk pola pertumbuhan penduduk sering dipandang sebagai aspek


penting pembangunan sebagaimana di bahas dalam bab 6. Pada saat kemerdekaan
tahun 1960, penduduk Pantai Gading hanya berjumlah 3,6 juta dan jumlahnya

1
tumbuh 5 2 kali pada tahun 2007. Sebaliknya, jumlah penduduk Ghana telah

1
hampir mencapai 7 juta pada tahun 1960 dan pertumbuhannya adalah 3 3 kali

dalam periode yang sama. Bahkan di masa kini tingkat fertilitas di Ghana adalah 4,0
dan lebih tinggi di Pantai Gading yang mencapai 4,9 dengan satu kelahiran tambahan
per perempuan. Hanya 8% perempuan menikah dalam usia produktif menggunakan
alat kontrasepsi di Pantai Gading, sementara penggunaan alat kontrasepsi di Ghana
mencapai 17% bagian yang masih cukup kecil dari jumlah penduduk menikah, tetapi
lebih dari dua kali lipat dibandingkan Pantai Gading (perbedaannya tetap 24%
berbanding 13%, baik jika mempertimbangkan metode tradisional maupun modern).

Ketimpangan ekstrem seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 5 (dan


diperkenalkan dalam Bab 2), ketimpangan ekstrem dapat berdampak negatif terhadap
proses pembangunan. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 1987, GNI
Ghana adalah 0,354 dan Pantai Gading 0,404 .Pada tahun 2002, GNI di Pantai
Gading diperkirakan 0,484, sebuah peningkatan yang cukup besar, dan 0,408 di
Ghana, sebuah peningkatan yang juga cukup signifikan sekalipun tidak besar.
Sebagaimana yang ditulis Frances Stewart, ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik
dapat membuat negara menjadi rentan terhadap kemungkinan terjadinya konflik hebat
jika disertai dengan adanya perbedaan etnis atau budaya, karena budaya dapat
menjadi agen pemobilisasi yang kuat yang dapat mengarah pada berbagai gangguan
politik (lihat Bab 14 jilid 2).

Common Law versus Civil Law? Sebagai bekas koloni Inggris, sistem hokum
Ghana didasarkan atas common law (disebut juga hokum kebiasaan yang didasarkan
pada tradisi dan keputusan hakim), sedangkan sistem hukum Pantai Gading
didasarkan atas civil law Prancis (sistem hukum tertulis, hukum Eropa Kontinental).
Sejak akhir tahun 1990-an, pandangan yang menyatakan bahwa sistem common law
menyediakan pondasi yang lebih baik ketimbang sistem civil law dalam
pengembangan sistem keuangan merupakan pendapat yang sangat berpengaruh.

Jajahan Prancis versus Jajahan Inggris kekaisaran Inggris Raya umumnya


dipandang lebih menyukai penguasaan tidak langsung, dengan mengandalkan
kemampuannya dalam mendominasi sistem politik tradisional lokal ketimbang
menciptakan yang baru (hal ini kemungkinan berkaitan dengan tradisi common law).
Sebaliknya Prancis dipandang cenderung melakukan penguasaan langsung atas
koloni mereka dengan menerapkan struktur administrasi terpusat, yang barangkali
terkait dengan tradisi hukum dan sejarah mereka sendiri.

Pendidikan sejumlah ilmuwan memandang bahwa pendidikan sangat penting


bagi pertumbuhan ekonomi Edward Gleaser dan kawan-kawan bahkan berpendapat
bahwa meningkatnya pendidikan dapat menghasilkan lembaga yang lebih baik.
Tingkat pendidikan penduduk di kedua negara ini sangat rendah pada saat meraih
kemerdekaan. Salah satu perbedaan pascakolonial yang paling mencolok di kedua
negara itu adalah tingginya pencapaian pendidikan di Ghana, yang menunjukkan
lebih banyaknya investasi di bidang pendidikan. Pada tahun-tahun awal setelah
kemerdekaan terdapat kebijakan yang kuat untuk lebih menekankan upaya
penyediaan pendidikan dasar di beberapa wilayah yang lebih miskin di Ghana.

Kebijakan pembangunan

Kebijakan di Ghana pereonomian kedua negara ini dimulai (dan sebenarnya


juga masih) dengan basis pertanian, dengan lebih dari setengah tenaga kerja bekerja
dikawasan pedesaan. Akan tetapi, kedua negara ini memiliki jalur kebijakan yang
agak berbeda. Pandangan umum para pakar adalah dalam seperempat abad pertama
setelah kemerdekaannya, Ghana telah melaksanakan banyak kebijakan intervesionis
yang tidak direncanakan dengan baik dan korup. Semua kebijakan awal di pandang
berorientasi pada industri perkotaan, yang memproduksi barang lokal sebagai
pengganti produk impor (lihat Bab 12 jilid 2).

Alasan terjadinya reformasi besar-besaran di Ghana (yang berlaku juga bagi


negara-negara lainnya) adalah keadaan sudah sedemikian buruknya sehingga tidak
ada pilihan lain kecuali melakukan reformasi tentu saja, jika kondisi suatu negara
telah sedemikian buruknya dan upaya untuk terus menolak perubahan dan tidak ada
gunanya lagi, ada sesuatu yang berubah meskipun tidak selamanya menjadi lebih
baik. Ghana menjadi contoh klasik bagi para pendukung pandangan kontroversial
bahwa tekanan terus-menerus akan menyebabkan reformasi.
Proses pembangunan merupakan hal yang rumit dan jarang sekali berlangsung
secara linier. Ghana relatif mengalami kemunduran sejak kemerdekaan sampai awal
1980-an dan sebagian besar pertumbuhan terjadi sejak pertengahan tahun 1980-an
hingga sekarang. Sebaliknya Pantai Gading mengalami pertumbuhan yang relatif
lebih cepat pada tahun 1960-an dan 1970-an yang kemudian menurun dari tahun 1980
samapai sekarang (belakangan ini penurunan itu lebih buruk lagi karena perang
saudara).

Kebijakan di pantai gading sebaliknya, Pantai Gading umumnya dipandang


memulai upaya pembangunan ekonomi yang lebih berbasis pasar berorientasi ekspor
dengan cara yang seharusnya telah membantu sektor pertanian pedesaan tempat
dimana hampir semua penduduk dan orang-orang miskin hidup. Akan tetapi,
kenyataan ini tidak menyurutkan langkah para elite untuk menurus apapun yang dapat
mereka peroleh dari kawasan pedesaan.

Pertanyaan yang belum terjawab pada tahun 1990, Ghana dipandang sebagai
sebuah kisahkebrhasilan oleh Bank Dunia dan pihak lainnya. Apakah karena
penerapan kebijakan yang tepat oleh negara ini? Andaikan begitu, apa yang dapat
menjelaskan mengapa Ghana memilih kebijakan yang baik sedangkan Pantai Gading
tidak? Pantai Gading mengalami periode konflik yang parah di sepanjang tahun 2002-
2007 yang menimbulkan banyak korban jiwa, dan tidak sedikit sumber daya yang
digunakan untuk mengatasi masalah itu. Keterlibatan militer Prancis mencerminkan
kelanjutan hubungannya yang unik dengan Pantai Gading.

Para ilmuwan bisnis menekankan kepemimpinan perusahaan. Apakah


perbedaan dalam kepemimpinan penting artinya bagi pembangunan kedua negara ini?
Kwame Nkrumah yang berpaham sosialis secara konstruktif mendukung pendidikan,
tetapi mengalihkan sumber daya dari ekspor kakao ke industri lokal yang kemudian
menimbulkan bencana ekonomi dibawah tekanan, Jerry Rawling sebagai penganut
paham sosialis lainnya menerapkan reformasi kebijakan berorientasi pasar yang
menimbulkan kesulitan sesaat tetapi kemudian membuahkan manfaat jangka panjang.
Para pemimpin berikutnya cenderung pragmatis sehingga tidak banyak
mengakibatkan kerugian dan kemungkinan menghasilkan sejumlah kebaikan.

Sekalipun pengkajian di dua negara ini saja bisa menggambarkan bukti lebih
umum dari apa yang telah dijelaskan dalam banyak literatur, kita tidak bisa
menyimpulkan dengan yakin bahwa lembaga-lembaga yang dibentik oleh Inggris di
Ghana dan Prancis di Pantai Gading merupakan faktor yang menentukan keberhasilan
dan kegagalan di kedua negara ini.

Dalam kaitan ini, kemunculan kembali pemerintahan yang lebih


terdesentralisasi di Ghana sejak tahun 1992 mungkin berkaitan dengan praktik
pemerintahan kolonial Inggris yang tidak terlalu merusak. Pada saat yang sama,
sejarah bukanlah takdir, Ghana telah membuat kemajuan yang tidak terprediksi
dengan baik melalui instrumen yang ditujukan bagi lembaga-lembaga colonial.
Segala sesuatunya juga tidak selalu suram bagi Pantai Gading. Lembaga dan
ketimpangan sangat resisten terhadap perubahan.

Anda mungkin juga menyukai